seharusnya sama, akan tetapi GPS yang digunakan pada saat pengambilan data di lapang menghasilkan galaterror GPS sebesar 30 meter sehingga koordinat titik
sampel akan bergeser
4.3.2 Klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga
Pemetaan kondisi lamun dengan menggunakan algoritma Lyzenga Gambar 7 diawali dengan menggabungkan tiga band citra RGB 421 sehingga
menghasilkan citra komposit. Kemudian dilakukan penajaman citra dengan mengkombinasikan band 1 dan band 2 berdasarkan algoritma penurunan standard
exponential attenuation model yang menghasilkan persamaan yang disebut transformasi Lyzenga.
Gambar 7. Peta sebaran lamun di gugusan Pulau Pari berdasarkan algoritma Lyzenga
inset
Setelah pemrosesan dilakukan, maka didapat nilai rasio koefisien band 1 dan band 2 kikj dimana nilai yang didapat untuk citra adalah 1,18 sehingga
algoritma yang digunakan pada citra ini adalah Y = ln TM 1 - 1,18 ln TM 2. Hasil dari transformasi Lyzenga berupa tampilan citra baru yang menampakkan
kelas dasar perairan dangkal. Banyaknya kelas terlihat pada histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan Lampiran 7. Setiap
kelas habitat dasar perairan memiliki nilai spektral yang berbeda. Berdasarkan training area pada citra ALOS, nilai spektral untuk lamun memiliki kisaran 8,031
– 8,467. Untuk mengetahui berapa luasan habitat dilakukan klasifikasi supervised. Training area dilakukan disetiap vegetasi seperti karang, lamun dan
pasir. Perhitungan matriks kontingensi juga diterapkan pada peta hasil klasifikasi
dengan menggunakan algoritma Lyzenga Tabel 7. Berdasarkan data survey lapang yang telah dilakukan diperoleh nilai OA sebesar 65,21. Nilai UA lamun
didapat sebesar 61,11 kelas lamun telah terklasifikasi dengan benar. Kemudian PA untuk kelas lamun sebesar 30,55.
Tabel 7. Matriks kontingensi klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga di Pulau
Pari Citra
Survey Lapang UA
OA Lamun
Lain Jumlah
Lamun 11
7 18
61,11 65,21
Lain
25 49
74
Jumlah
36 56
92
PA 30,55
Algoritma Lyzenga atau disebut juga depth-invariant index yang dirumuskan oleh David Lyzenga digunakan untuk koreksi kolom perairan
dimana persamaan ini didapat dari perbandingan nilai reflektansi dari beberapa
band citra satelit di suatu perairan yang dangkal dan sangat jernih. Penerapan algoritma ini sangat terbatas untuk perairan yang memiliki daya tembus rendah,
sehingga hasil dari transformasi citra masih mengalami kekeliruan. Maka dari itu, untuk mendapatkan hasil pemetaan yang lebih akurat, Sagawa et al. 2007 telah
mengembangkan sebuah metode koreksi kolom perairan baru bernama reflectance index. Metode ini menggunakan parameter tambahan seperti data kedalaman dan
nilai reflektansi. Penelitian Sagawa et al. 2007 di Teluk Gabes Tunisia dengan
menggunakan citra satelit IKONOS menemukan perbedaan nilai overall accuracy antara peta hasil transformasi depth invariant index dengan reflectance index.
Nilai overall accuracy yang diperoleh dari depth invariant index sebesar 54 sedangkan nilai overall accuracy yang diperoleh dari reflectance index sebesar
90. Hal ini menandakan bahwa untuk penggunaan koreksi kolom perairan yang lebih akurat diperlukan parameter pendukung seperti data kedalaman, nilai
reflektansi dan koefisien atenuasi yang diambil saat pengambilan data lapang dengan menggunakan suatu peralatan seperti spektrofotometer.
Pada penelitian ini penggunaan metode klasifikasi yang berbeda didapat nilai overall accuracy OA yang berbeda pula. Nilai OA klasifikasi unsupervised
pada pemetaan lamun di perairan Pulau Pari ditemukan lebih tinggi dibanding hasil klasifikasi berdasarkan algoritma Lyzenga. Fornes et al. 2006
menemukan nilai overall accuracy dari pemetaan lamun adalah 84 dengan menggunakan metode klasifikasi supervised citra satelit Ikonos di Pulau Balearic
Laut Mediterania. Komatsu et al. 2008 menggunakan ALOS di Akeshi Jepang untuk memetakan lamun metode klasifikasi supervised menemukan nilai OA
peta sebesar 64,20. Namun dengan menggunakan algoritmaLyzenga, Komatsu et al. 2008 mendapatkan nilai OA naik menjadi 71,80.
4.4. Kondisi lamun di Perairan Pulau Pari