5. Mampu melakukan proses metabolisme termasuk daur generatif secara optimal jika keseluruhan tubuhnya terbenam air
6. Mampu hidup di media air asin dengan salinitas 10-40 ‰.
7. Mempunyai sistem perakaran yang berkembang baik Peranan padang lamun diperairan laut dangkal telah banyak diketahui.
Lamun merupakan sumber utama detritus, memberikan peranan sebagai habitat penting untuk ikan, terutama ikan muda yang diantaranya bernilai ekonomis
penting, dan membantu mengurangi tenaga gelombang dan arus yang datang ke daratan. Kiswara, 1995. Walaupun lamun di perairan dangkal memiliki peranan
yang penting, namun sebaran lamun dapat mengalami pengurangan akibat ancaman-ancaman dari alam maupun dari luar. Ancaman yang muncul dari
aktifitas manusia seperti reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, pembuatan jeti, pemukiman penduduk, limbah industri, dan tidak stabilnya garis pantai
Supriyadi, 2008. Parameter untuk mengetahui kondisi lamun secara umum di suatu perairan
dapat dilakukan dengan mengukur beberapa komponen padang lamun seperti kandungan biomasa, komposisi jenis, persentase tutupan lamun Kuriandewa
dalam Supriyadi, 2010, kepadatan jenis, kualitas habitatnya Bjork et al. 1999 dalam Supriyadi, 2010, luas area serta asosiasi flora dan fauna Short et al. 2004
dalam Supriyadi 2010.
2.2. Aplikasi Penginderaan Jauh untuk Pemetaan Lamun
Informasi yang akurat mengenai distribusi lamun merupakan hal penting untuk mengelola sumber daya lamun. Pemetaan sumber daya lamun dapat
dilakukan dengan menggunakan teknik observasi data insitu hingga penginderaan jauh Short et al., 2001. Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk
memperoleh informasi tentang objek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah
atau fenomena yang dikaji Lillesan dan Kiefer, 1990. Penginderaan jauh untuk lamun berhubungan dengan habitat dasar laut dimana lamun tertutupi oleh kolom
perairan sehingga tingkat intensitas cahaya yang masuk ke dalam air menurun seiring dengan bertambahnya kedalaman.
Prinsip kerja pendeteksian padang lamun menggunakan citra satelit adalah dengan memanfaatkan nilai reklektansi langsung yang khas dari tiap objek di
dasar perairan yang kemudian direkam oleh sensor. Mount 2006 menjelaskan bahwa sinar biru dan hijau adalah sinar dengan energi terbesar yang dapat
direkam oleh satelit untuk penginderaan jauh di laut yang menggunakan spektrum cahaya tampak 400-650 nm Gambar 2.
Gambar 2. Ilustrasi pendeteksian substrat dasar dengan citra satelit Mount, 2006
Gelombang masuk ke kolom air, kemudian diserap dan dipantulkan kembali oleh permukaan air. Gelombang yang dipantulkan kembali menuju
satelit adalah perwujudan dari ekstraksi sifat bawah permukaan air. Gelombang ini kemudian banyak digunakan untuk memetakan tipe substrat dasar Rasib dan
Hashim, 1997. Pemetaan lamun pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Salah satunya adalah pemetaan lamun di pesisir Pulau Bintan Kepulauan Riau yang dilakukan oleh Kuriandewa dan Supriyadi 2005. Pemetaan dilakukan
dengan menggunakan 3 band citra satelit Landsat yaitu band 1 0,45-0,52 μm,
band 2 0,52-0,60 μm, dan band 3 0,63-0,69 μm. Ketiga band tersebut dipilih
karena mampu menembus kolom perairan, sedangkan band 4 0,75-0.90 μm
digunakan untuk memisahkan area darat dan lautan. Sebelum melakukan analisis survei, citra satelit diklasifikasi dengan menggunakan klasifikasi unsupervised
untuk menghasilkan petunjuk dasar dalam menentukan titik observasi lapang. Data lapang yang akan diambil diantaranya jenis lamun, kepadatan kerapatan,
persen penutupan, biomasa, substrat dasar dan posisi geografi. Hasil survei lapang akan dicocokkan dengan tampilan citra yang sudah diklasifikasikan
dengan menggunakan klasifikasi Unsuprevised yang selanjutnya diolah kembali dengan menggunakan software Arc.View 3.2.
Selain itu, pemetaan lamun juga pernah dilakukan di daerah Toli-toli, Sulawesi Barat. Tujuan penelitian tersebut adalah memetakan informasi secara
spasial sebaran lamun, persentase tutupan lamun dan kondisi lamun dengan menggunakan citra satelit ASTER. Klasifikasi yang dipilih dalam pengolahan
citra adalah klasifikasi unsupervised karena dengan ditambahnya data lapang yang
dimasukkan ke dalam peta hasil klasifikasi maka posisi lamun terpetakan lebih akurat Supriyadi, 2010.
Penajaman citra dengan menggunakan algoritma Lyzenga juga banyak digunakan untuk memetakan subtrat dasar perairan karang, pasir dan lamun.
Untuk lebih menonjolkan objek dasar perairan dangkal dilakukan penggabungan 2 sinar tampak yaitu band 1 dan band 2, maka akan di dapat citra baru yang
menampakkan dasar perairan dangkal yang lebih informatif. Hasil transformasi citra tersebut dibagi menjadi beberapa kelas berdasarkan histogram hasil
transformasi Algoritma Lyzenga atau yang disebut juga depth-invariant index
merupakan algoritma yang diterapkan pada citra untuk koreksi kolom perairan. Pada prinsipnya metode ini menggunakan kombinasi band sinar tampak citra
satelit. Teknik ini diuji coba pada perairan Bahama dimana perairan tersebut merupakan perairan yang jernih. Sebelumnya teknik ini digambarkan untuk
mengetahui kondisi dasar perairan dengan menggunakan citra Landsat berdasarkan nilai pantulan dasar perairan yang diduga dari fungsi linear
reflektansi dasar perairan dan fungsi ekponensial kedalaman air Lyzenga, 1981. Parameter yang dibutuhkan untuk algoritma ini adalah rasio koefisien
atenuasi untuk tiap band yang digunakan. Koefisien atenuasi yang berbeda dari tiap band tergantung pada tipe perairan lokasi perekaman citra satelit. Di perairan
Bahama dengan menggunakan citra satelit Landsat band 1-2 diperoleh nilai rasio koefisien atenuasi sebesar 0,24. Rasio koefisien atenuasi dari citra satelit SPOT
XS band 1-2 diperoleh sebesar 0,36 Green et al., 2000.
2.3. Satelit ALOS