Loyalitas Rakyat terhadap Pemimpin menurut al-Mawardi dan Hasan al-Banna

(1)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk memenuhi persyaratan Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: Rifko Handayani

(106045201540)

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk memenuhi persyaratan Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: Rifko Handayani

(106045201540)

Di Bawah Bimbingan

Dr. Asmawi, M.Ag NIP. 197210101997031008

KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH

PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA


(3)

dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 21 Juli 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Ketatanegaraan Islam (Siyasah Syar’iyyah).

Jakarta, 21 Juli 2011 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012

PANITIA UJIAN MUNAQOSYAH 1. Ketua : Dr. Asmawi M.Ag

NIP19721010 199703 1008 2. Sekretaris : Afwan Faizin M.Ag

NIP 19721026 200312 1001 3. Pembimbing I : Dr. Asmawi M.Ag

NIP19721010 199703 1008

4. Penguji I : Iding Rosyidin, S.Ag, M,Si NIP 19701013 200501 1003

5. Penguji II : Atep Abdurofiq, M.Si NIP 197703172005011010


(4)

i

Segala puji bagi Allah SWT Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan banyak nikmat dan senantiasa memebeikan hidayah-Nya. Sehingga dengan izinnya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, dengan

judul: “Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Mawardi dan Hasan

Al-Banna”. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad Saw, yang telah membawa umatnya dari kegelapan menuju cahaya dan kesejahteraan semoga selalu tercurahkan kepada keluarga besar beliau, sahabat-sahabatnya, tabi’in, tabi’uttâbî’in, dan kita sebagai umatnya semoga mendapat syafaatnya kelak.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih jauh dari sempurna, baik dalam proses maupun isinya. Dalam menyelesaikan skripsi ini, penulis mendapat bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membimbing, membantu dan memotivasi penulis, antara lain:

1. Prof. Dr. Drs. H.M. Amin Suma, SH, MA, MM, selaku dekan Fakultas

Syari‟ah dan Hukum, dan beserta staf-stafnya.

2. Dr. Asmawi M.Ag selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan sekaligus sebagai dosen pembimbing, yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya disela-sela kesibukan untuk membantu dan


(5)

ii

Faizin, M.Ag selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah yang telah banyak membantu penulis selama masih dalam masa kuliah, serta kepada ibu Sri Hidayati, M.Ag selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah terdahulu yang memberikan semangat kepada penulis untuk segera menyelesaikan tugas akhir.

3. Dr. Abdurrahman Dahlan sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang selama ini telah memberikan nasehat serta dukungan kepada penulis selama menjadi mahasiswa.

4. Kepada orang tuaku tercinta, Abi H. Jayadi dan Ummi Hj. Maswanih, yang sangat berperan dalam mendidik, mengasuh, dan membimbing penulis dengan kesabaran dan pengertian serta tiada henti memberikan doa dan dukungan secara moril dan materil, sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini.

5. Kepada seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang telah membekali penulis dengan ilmu yang berharga, nasehat-nasehat penyemangat yang memberikan motivasi kepada penulis, kesabaran dalam mendidik penulis selama penulis melakukan studi.

6. Bagian administrasi dan tata usaha yang telah banyak membantu memberikan kelancaran kepada penulis dalam proses penyelesaian prosedur kemahasiswaan, serta pimpinan dan segenap karyawan


(6)

iii

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

7. Kepada para sahabat-sahabat dan teman-teman angkatan 2006 Siyasah

syar‟iyyah, Dian Kemala Sari, Esa Mariyani, Mufti Aulia, Yudha Septian,

Ragil Sapto Wibowo, Supardi, dan Asriyah yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tugas akhir dan menemani proses menuju kelulusan, dan semua teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima kasih kebersamaannya selama ini.

8. Kepada teman-teman dan adik-adik di Lembaga Dakwah Kampus, terima kasih telah mendoakan dan memberikan dukungan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir skripsi ini.

Jakarta, 14 Juni 2011


(7)

iv

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 5

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

D.Tinjauan Kajian Terdahulu ... 7

E.Metode Penelitian ... 10

F.Sistematika Penelitian ... 12

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN ... 13

A.Pengertian Loyalitas ... 13

B.Kewajiban Rakyat Untuk Loyal Terhadap Pemimpin ... 14

C.Batasan Taat Kepada Pemimpin ... 24

D.Ruang Lingkup Ketaatan Kepada Pemimpin dan Penguasa ... 32

BAB III SKETSA BIOGRAFI AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA A.Biografi Al-Mawardi ... 36

1.Riwayat Hidup ... 36


(8)

v

B.Biografi Hasan Al-Banna ... 48

1.Riwayat Hidup ... 48

2.Latar Belakang Pendidikan ... 50

3.Kiprah Hasan Al-Banna di Kancah Politik ... 52

4.Karya-karya Hasan Al-Banna ... 57

BAB IV LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN MENURUT AL-MAWARDI DAN HASAN AL-BANNA ... 61

A.Loyalitas Rakyat terhadap Pemimpin menurut Al-Mawardi... 61

B.Loyalitas Rakyat terhadap Pemimpin menurut Hasan Al-Banna .. 67

C.Perbedaan Pendapat Antara Al-Mawardi dan Hasan Al-Banna Mengenai Loyalitas Terhadap pemimpin ... 75

D.Implementasi Penerapan Konsep Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Pada Masa Kini ... 78

BAB V PENUTUP ... 86

A.Kesimpulan ... 86

B.Saran ... 91


(9)

1

A. Latar Belakang Masalah

Allah SWT menggariskan bahwa dalam suatu negara harus ada pemimpin sebagai penerus fungsi kenabian, hal ini untuk menjaga terselenggaranya ajaran agama, mengatur negara, memegang kendali politik, membuat kebijakan yang dilandasi. Syariat agama dan menyatukan umat dalam kepemimpinan yang tunggal. Imamah (kepemimpinan negara) adalah dasar bagi terselenggaranya dengan baik ajaran-ajaran agama dan pangkal bagi terwujudnya kemaslahatan ummat, sehingga kehidupan masyarakat menjadi aman sejahtera atau kemudian, dari kepemimpinan itu dibuat departemen-departemen dan pemerintahan daerah yang mengurus bidang-bidang dan wilayah tersendiri secara khusus, dengan berpedoman pada tuntunan hukum dan ajaran agama, sehingga departemen dan pemerintahan daerah itu mempunyai keseragaman yang solid dibawah kepemimpinan kepala negara1.

Rasulullah saw bersabda dalam sebuah hadits yang sangat terkenal:

تيع ر نع وؤسم م لك و ع ار م لك

1

Imam Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan Dalam Takaran Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1996), h. 14.


(10)

Artinya:

“Setiap dari kalian adalah pemimpin, dan setiap dari kalian akan ditanya

tentang kepemimpinannya” (HR. Al-Bukhâri dan Muslim).

Terdapat pula sebuah hadits yang diriwayaktan dari Abu Daud yang menyatakan:

اجر م يلع اورم اف ةث اث مت ك اذ او

(

دودوب ا اور

)

Artinya:

“Dan jika kalian bertiga, maka hendaklah salah seorang (di antara kalian)

memimpin” (HR. Abu Dawud).

Adapun secara „aqli, suatu tatanan tanpa kepemimpinan pasti akan rusak

dan porak poranda. Ketaatan manusia (rakyat) kepada penguasa dan pemerintah merupakan suatu keharusan untuk memberi kuasa kepada negara melaksanakan dan mewujudkan tujuan-tujuan yang terdahulu. Sebagai balasan atas ke-

iltizam-annya kepada syariah, pengikatan dirinya kepada syura, dan penanggung jawabannya terhadap anak-anak rakyat, maka rakyat wajib mentaati pemerintah agar ia dapat mewujudkan hak, menjamin keamanan, menegakkan keadilan, serta membela umat, tanah air dan agama mereka. Hak yang dimilikinya ini dan rakyat wajib melaksanakannya adalah ketaatan kepada perintah-perintah penguasa dalam batas-batas syar‟iah dan kepentingan umum.

Ketika seorang muslim memiliki loyalitas yang tinggi kepada agama, maka darinya harus ada ketaatan kepada Allah, Rasul, dan pemimpin yang memiliki komitmen terhadap Islam. Sungguh ironi, jika seseorang yang telah menyatakan dirinya muslim tidak memiliki ketaatan kepada pemimpinnya.


(11)

Sangat wajar dan manusiawi, jika pemimpin menginginkan orang yang dipimpinnya memiliki loyalitas yang tinggi terhadap dirinya. Posisi yang diterimanya mempunyai konsekuensi bahwa ia mempunyai hak untuk didengar, dipatuhi oleh yang dipimpinnya.

Karena itu, kepatuhan kepada kepala negara terikat oleh suatu keadaan bahwa dia mematuhi perintah Tuhan, yakni penguasa yang melaksanakan kebenaran dan keadilan.2 Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di dalam pemerintahannya, meskipun zalim dan merampas hak-hak rakyat, selama tidak memerintah untuk melakukan kemaksiatan dan tidak nampak kekufuran yang nyata, hukumnya tetap fardu bagi seluruh kaum muslimin.

Al-Zarqani mengutip pendapat Imam Malik dan Jumhur ahli Sunnah mengatakan bahwa bila seorang pemimpin berbuat zalim terhadap yang dipimpinnya, maka ketaatan lebih utama dari pada menentangnya. Tindakan menentang berimplikasi munculnya rasa takut, terjadinya pertumpahan darah, berkobarnya peperangan dan menyebabkan kerusakan, dalam hal ini dituntun kesabaran terhadap ketidakadilan dan kefasikan.

Bahkan Rasul dalam hadits lain mewajibkan taat dan patuh kepada pemimpin walaupun ia hanya memikirkan kepentingannya dan tidak menjalankan

2

Qamaruddin Khan, kekuasaan Pengkhianatan dan Otoritas Agama, Telaah Kritis Teori Al-Mawardi Tentang Negara, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2000), h. 7,81.


(12)

tugasnya terhadap masyarakat dengan baik. Dengan alasan mereka akan menanggung akibat dari pelalaian tanggung jawab. Hak imam yang harus dipenuhi oleh rakyat adalah untuk ditaati dan mendapatkan bantuan serta partisipasi secara sadar dari rakyat, maka kewajiban dari rakyat untuk taat dan membantu serta dalam program-program yang digariskan untuk kemaslahatan bersama. Jadi, loyalitas kepada imam adalah penting dan wajib selagi imam itu mematuhi perintah Allah dan Rasul-Nya serta tidak menyuruh kepada kemaksiatan.

Loyalitas yang diberikan kepada orang-orang mukmîn merupakan perwujudan wala` (ketaatan) kepada Allah dan Rasulnya. Islam telah melarang kaum muslimin untuk memberikan wala` (ketaatan) nya kepada orang-orang selain mereka.

Sesungguhnya loyalitas adalah sifat dasar yang harus ada dalam setiap manusia, apalagi bila ia adalah seorang muslim. Loyalitas bisa mengarah kepada komitmen dan teguh pendirian. Adapun mengenai komitmen akan berorientasi kepada sikap maka loyalitas cenderung mengarah kepada objek. Apakah itu lembaga (korps), kepercayaan (religion), maupun terhadap seseorang.

Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa tertarik dan menganggap perlu untuk pengkaji tentang loyalitas terhadap pemimpin menurut pemikiran politik Hasan al-Banna dan al-Mawardi sehingga penulis menuangkannya dalam bentuk skripsi yang berjudul: “LOYALITAS RAKYAT TERHADAP PEMIMPIN


(13)

B. Perumusan Masalah dan Pembatasan Masalah

Berdasarkan paparan latar belakang di atas, maka diantara rumusan masalahnya yaitu:

1. Bagaimanakah konsepsi politik Islam tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin?

2. Bagaimanakah pendapat al-Mawardi mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin?

3. Bagaimanakah pendapat Hasan al-Banna mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin?

4. Bagaimanakah perbedaan pendapat antara al-Mawadi dan Hasan al-Banna mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin?

5. Bagaimanakah penerapan konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin pada masa kini?

Pembahasan mengenai loyalitas sering kita dengar, seperti loyalitas kepada Allah, Rasul dan Ulil amri. Maka sudah barang tentu penelitian tentang loyalitas tidak bisa diuraikan dalam penelitian yang sederhana

Agar pembahasan ini tidak meluas, maka penulis terfokus pada loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut pemikir Islam al-Mawardi dan Hasan al-Banna. Masalah pokok dalam perbahasan ini adalah bagaimana pandangan al-Mawardi dan Hasan al-Banna tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin.


(14)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini disusun bermaksud untuk menjelaskan loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut al-Mawardi dan Hasan al-Banna. Secara rinci penelitian ini bertujuan untuk:

a) Untuk mengetahui dan menjelaskan konsep dan pengertian dari loyalitas rakyat terhadap pemimpin dalam politik Islam.

b) Untuk mengetahui dan menjelaskan pendapat al-Mawardi tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin.

c) Untuk mengetahui dan menjelaskan pendapat Hasan al-Banna tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin.

d) Untuk mengetahui implementasi penerapan konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin pada masa kini.

2. Manfaat Penelitian

Salah satu hal yang penting di dalam kegiatan penelitian ini adalah mengenal manfaat dari penelitian tersebut, baik manfaat akademis maupun manfaat praktisnya. Jadi, manfaat yang hendak dipakai adalah:

a) Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan ilmu ketatanegaraan Islam dalam hal loyalitasnya rakyat terhadap pemimpin khusunya pendapat dari al-Mawardi dan Hasan al-Banna dan relevansinya pada masa kini.


(15)

b) Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi mahasiswa, pelajar serta masyarakat luas yang merupakan bagian daripada pemerintahan, karena loyalitas atau ketaatan kepada pemimpin itu wajib dilakukan kepada pemimpin yang telah menjalankan kewajibannya dengan baik, barulah haknya untuk dipatuhi kita berikan. namun tidak menjadi wajib ketika pemimpin itu menyuruh kepada kemaksiatan.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam proses skripsi ini, peneliti melakukan proses pembelajaran serta pemahaman terhadap skripsi sebelumnya yang memiliki keterkaitan dengan judul skripsi ini, hal ini agar memberikan hasil yang lebih baik pada hasil penelitian. Diantaranya beberapa buku dan skripsi sebagai bahan tinjauan pustaka penulis:

Pertama, karya al-Mawardi3 yang berjudul Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah. Dalam kitab ini, pemikiran dan gagasan al-Mawardi tentang politik tercurah dengan begitu jelas, yaitu berisi pengangkatan imamah (kepala negara/pemimpin), pengangkatan menteri, gubernur, panglima perang, jihad bagi kemaslahatan umum, jabatan hakim, hingga jabatan wali pidana. Kitab Al-Ahkâm

Al-Shulthâniyyah juga mengkaji masalah imam shalat, zakat, fa‟i, ghanimah

3

Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah fi al-wilâyat ad-dinîyyah, (Beirut: Dâr el-Kitab al-Araby, t.th).


(16)

(rampasan perang) dan lain lain, justru pembahasan mengenai ketaatan kepada pemimpin sedikt sekali pembahasannya.

Kedua, karya Hasan Al-Banna4 yang berjudul Risalah Pergerakan

Ikhwanul Muslimin. Dalam buku ini menjelaskan tentang karakter dakwah

Ikhwânul Muslimîn dan dasar pemikiran yang membuatnya 'berbeda' dengan metode-metode dakwah yang lainnya, masalah-masalah nasional Mesir dan pentingnya memiliki pemimpin yang berpegang pada al-Qur'an dan As-Sunnah, beberapa 'modifikasi' yang harus dilakukan dalam dakwah sesuai tuntutan jaman dll.

Ketiga, karya Hadari Nawawi5 yang berjudul Kepemimpinan Menurut

Islam. Dalam buku ini menjelaskan tentang kepemimpinan menurut Islam.

Ciri-ciri, persyaratan menjadi pemimpin dalam Islam, pemimpin yang wajib ditaati dengan dalil-dalil Qur‟annya.

Keempat, karya Mochtar Effendi,6 judul buku Kepemimpinan Menurut

Ajaran Islam. Di dalam buku ini menjelaskan tentang hukum Islam mengenai

kepemimpinan, tipe-tipe kepemimpinan, macam-macam dan tingkat kepemimpinan, sifat-sifat dan kualitas kepemimpinan, fungsi dan serta kewajiban pemimpin, hak dan kewajiban pemimpin dan yang dipimpin, tehnik

4

Hasan Al-Banna, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, (Solo: Era Intermedia, 2008). 5

Hadari Nawawi, Kepemimpinan Menurut Islam, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2001).

6


(17)

kepemimpinan, pembentukan kepemimpinan, wanita dan kepemimpinan, serta kepemimpinan umat Islam di anatara manusia.

Kelima, karya Taqiyuddin al-Nabhani7 yang berjudul Sistem

Pemerintahan. Di dalam buku ini menjelaskan tentang bentuk pemerintahan

Islam, pilar-pilar pemerintahan Islam, struktur daulah Islam, khalifah, kepempinan Islam, Islam wajib diterapkan secara menyeluruh dan sekaligus, Islam dan pemerintahan militer, taat pada penguasa muslim yang memerintah berdasarkan Islam fardu, melakukan koreksi terhadap penguasa, fadu bagi kaum muslimin, serta mendirikan partai polotik fardu kifayah.

Keenam, karya Abdul Muin Salim8 yang berjudul Fiqh SiyasahKonsepsi

Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an. Buku ini berisi tentang konsep kekuasaan

dalam al-Qur‟an yang pada pembahasan mengenai prinsip-prinsip kekuasaan terdapat poin tentang perintah ketaatan kepada pemimpin.

Ketujuh, karya Farid Abdul Khaliq9 yang berjudul Fikh Politik Islam. Buku ini berisi tentang prinsip dan cabang musyawarah, ahlul halli wal aqdi yang di poin keenamnya terdapat ketaatan kepada ahlul hilli wal aqdi tergantung pada bersihnya pemilihan mereka dari tipu muslihat.

7

Taqiyuddin Al-Nabhani, Sistem Pemerintahan Islam, (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996). 8

Abdul Muin Salim, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002).

9


(18)

Kedelapan, karya Ridwan HR10 yang berjudul Fiqih Politik. Buku ini berisikan tentang siyasah syar‟iyyah, sejarah ketatanegaraan Islam dan pembentukan negara dan penyelenggaraan pemerintahan Islam yang salah satunya membahas tentang tugas, hak dan kewajiban kepala negara.

Semua karya ilmiah atau penelitian yang disebutkan di atas, terdapat beberapa kesamaan mengenai pembahasan–pembahasan yang sama dengan loyalitas atau ketaata rakyat terhadap pemimpin, namun sangat sedikit sekali dan terbatas pembahasannya.

Dan dalam hal ini, jauh berbeda pada penelitian penulis yang berjudul:

Loyalitas Rakyat Terhadap Pemimpin Menurut Mawardi dan Hasan

Al-Banna, yang membahas konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut

al-Mawardi dan Hasan al-Banna serta implementasinya pada masa kini. E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dilihat dari sifat datanya, penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, karena memaparkan data kualitatif. Dilihat dari segi tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian deskriptif karena bertujuan menjelaskan satu variabel penelitian yaitu loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut al-Mawardi dan Hasan al-Banna.

Adapun ditinjau dari segi metodologi penelitian hukum pada umumnya, studi ini merupakan studi hukum Islam dengan menggunakan

10


(19)

pendekatan normatif doktriner yaitu menurut al-Quran, Sunnah dan pemikiran ulama tentang pandangan al-Mawardi dan Hasan al-Banna.

2. Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan studi dokumenter. Adapun sumber data yang dipakai dalam penelitian ini adalah bahan-bahan pustaka yaitu mencakup karya Hasan Banna dan Mawardi. Karya al-Mawardi yang berjudul al-Ahkâm al-Shulthâniyyah dan karya Hasan al-Banna yang berjudul Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, serta jurnal politik dan makalah-makalah yang berkaitan dengan loyalitas kepada pemimpin.

3. Analisis Data

Setelah pengumpulan data selesai, maka proses selanjutnya adalah melakukan analisis data dengan menggunakan tekhnik analisis isi secara kualitatif. Metode data dilakukan dengan cara mendeskripsikan data-data tersebut secara jelas dan mengambil isinya dengan menggunakan content

analysis (analisis isi). Kemudian melakukan bongkar pasang dan menata

kembali secara sistematis data-data yang telah terkumpul sebelumnya dengan menggambarkan satu kesatuan yang utuh. Penulis menginterpretasikan dengan menggunakan bahasa penulis sendiri, dengan demikian akan nampak rincian jawaban atas pokok permasalahan yang diteliti.


(20)

4. Teknik Penulisan

Sementara untuk teknis penulisan ini penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.”

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran jelas mengenai materi yang menjadi pokok penulisan skripsi ini agar memudahkan para pembaca dalam mempelajari tata urutan penulisan ini, maka penulis menyusun sistematika penulisan sebagai berikut:

Bab pertama berjudul pendahuluan. Dalam bab ini dikemukakan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab kedua berjudul tinjauan umum tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut konsep politik Islam. Dalam bab ini penulis menguraikan tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin dan mengantarkan pembaca memahami lebih dalam isi bab dua diantaranya: pengertian loyalitas, kewajiban mentaati pemimpin, taat kepadada pemimpin tidak mutlak, dan bidang taat terhadap pemimpin.

Bab ketiga ini berjudul sketsa biografi al-Mawardi dan Hasan al-Banna, yang terdiri dari latar belakang pendidikan al-Mawardi dan Hasan al-Banna,


(21)

kiprah politik al-Mawardi dan Hasan al-Banna, karir intelektual al-Mawardi dan Hasan al-Banna dan karya-karyanya.

Bab keempat ini berjudul tentang pemikiran dari kedua tokoh tersebut yaitu al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai loyalitas rakyat terhadap pemimpin sebagai inti dari hasil peneliti serta relevansi pemikiran politik kedua tokoh tersebut pada masa sekarang. Maka penulis menyajikan tentang loyalitas rakyat terhadap pemimpin menurut al-Mawardi dan Hasan al-Banna.

Bab kelima merupakan akhir dari seluruh rangkaian pembahasan yang berisi kesimpulan dan saran-saran.


(22)

14

TERHADAP PEMIMPIN

A. Pengertian Loyalitas

Loyalitas dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah kesetiaan, ketaatan, kepatuhan1. Istilah dari kata loyalitas sebenarnya lebih dekat dengan ketaatan. Sedangkan istilah loyalitas dalam bahasa Arab secara etimologi disebut juga

walâyah yang artinya pertolongan dan al-wala’2 artinya pemuliaan, pembelaan,

cinta, dukungan, penghormatan, dan bersama-sama orang yang dicintai lahir dan batin.

Beberapa kata yang terkait dengan wala’ adalah al-muwâlah (seseorang yang memberi dukungan kepada satu pihak), maula (memiliki banyak arti, semuanya berasal dari al-nusrah (dukungan) dan al-mahabbah (cinta)), walâyah

(dukungan), al-walyu (kedekatan) dan wali (dapat diartikan orang yang mengurus orang lain).3

1

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989) cet. 2, h. 533.

2Sa‟id Hawaa dan Sayyid Qutb,

Al-Wala`, (Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001), h. 1. 3


(23)

B. Kewajiban Rakyat Taat Kepada Pemimpin

Para pemimpin harus mampu mengembalikan manusia kepada ketentuan-ketentuan yang dibawa oleh Rasul, seperti pendapat al-Mawardi bahwa tugas pemimpin adalah salah satunya diproyeksikan untuk mengambil alih peran kenabian dalam menjaga agama.4 Dalam seluruh aspek kehidupan untuk kebaikan yang menyeluruh. Apabila ulil amri telah bermufakat menentukan suatu peraturan, rakyat wajib untuk mentaatinya, dengan syarat mereka itu bisa dipercaya dan tidak menyalahi ketentuan Allah dan ketentuan Rasul-Nya, yang telah diketahui secara mutawatir. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah dan menentukan kesepakatan diantara mereka.5

Loyalitas adalah satu pilar pemerintahan dalam Islam dan menjadi salah satu landasan sistem politiknya. Tidak terbetik dalam bayangan siapapun jika terdapat suatu sistem yang baik, negara yang kuat, dan tentram tanpa adanya keadilan dari penguasa dan loyalitas dari rakyat kepada umara. Umar bin Khattab menjelaskan tentang pentingnya taat dalam agama ini dengan mengatakan: “Tidak ada arti Islam tanpa jamaah, tidak ada arti jamaah tanpa amîr, dan tidak ada arti

amîr tanpa kepatuhan”. Sebab Islam bukanlah agama individu melainkan agama

4

Lihat kitab Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, (Jakarta: Darul Falah, 2007), h. 1. 5

Abdul Qadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, (Surabaya: Bina Ilmu, 1995), h. 93.


(24)

komunitas dan Islam tidak dapat diwujudkan secara paripurna kecuali dengan adanya komunitas.6

Dari sini dapat dipahami mengapa redaksi perintah atau larangan agama sering kali dengan mengajak berbicara secara kelompok atau jamaah, bukan individu. Jamaah tidak memiliki arti jika mereka hidup sendiri-sendiri tanpa adanya ikatan sistem dan tidak disatukan oleh amîr yang mengatur urusan mereka. Meskipun amîr memiliki sifat-sifat mulia dan prestasi yang baik, kecerdasan dan penalaran yang hebat dan mental yang kuat, akan tetapi semua itu tidak mempunyai makna bagi jamaah, kecuali jamaah itu memberikan loyalitas, tidak menentang, mematuhi peraturan, dan menjauhi larangan-Nya.

Maka tidak mengherankan apabila ditemukan dalam al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah saw yang berbicara mengenai kepatuhan dan ketaatan yang menyangkut pengertian, hukum dan batas-batasan serta sisi negatifnya, apabila nilai kepatuhan dan ketaatan telah menghilang dari kehidupan jamaah. Maka syariat memerintahkan agar mematuhi para umara muslim dan melarang menentang mereka, kecuali dalam kondisi tertentu, yang diizinkan syariat agar umat tidak hidup dalam kekacauan berkelanjutan yang menggangu ketentraman.7

Loyalitas kepada penguasa merupakan salah satu rukun aqidah ulama salaf, yang tertuang hampir disemua kitab mereka. Yang demikian itu sangat penting, karena loyalitas terhadap mereka (para penguasa, dalam konteks ini

6

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, (Jakarta: Robbani Press, 1999), h. 45.

7


(25)

adalah penguasa yang adil) berdampak positif terhadap kemaslahatan agama dan dunia, sementara ketidakloyalan terhadap mereka baik secara ucapan maupun perbuatan berujung kepada kehancuran agama dan dunia.

Unsur pertama dalam pembentukan negara adalah pemerintahan atau kepemimpinan. Dalam hal “kepemimpinan”, Imam Hasan Basri mengatakan “yang menjadi perwalian kita ada lima perkara, yaitu: jum‟at, jamaah, hari raya, peperangan dan saksi hukum. Demi Allah agama tidak akan tegak tanpa mereka, walaupun mereka bertindak zalim. Demi Allah, Allah akan memberikan kemaslahatan lewat mereka yang lebih daripada kehancuran yang mereka lakukan. Ketaatan kepada mereka adalah sumber kebahagiaan, sementara ketidaktaatan kepada mereka merupakan kufur nikmat.”8

Unsur kedua dari pada unsur-unsur yang membentuk negara adalah rakyat, dimana kekuasaan (pemerintahan) menangani urusan-urusan mereka dan mengatur kepentingan-kepentingan serta memutuskan segala perkara yang timbul diantara anggota-anggotanya. Bahkan dari segi keutamaan dan prioritasnya, rakyat merupakan unsur pertama, di mana para penguasa bisa berdiri tegak.

Tidak ada artinya eksistensi seorang penguasa, baik ia raja, kepala negara, imam maupun khalifah, tanpa adanya rakyat atau jama‟ah atau umat. Ketaatan manusia (rakyat) kepada penguasa dan pemerintah merupakan suatu keharusan untuk memberi kuasa kepada negara agar melaksanakan dan mewujudkan tujuan-tujuan yang terdahulu. Sebagai balasan atas ke-iltizâm-annya kepada syariah,

8

Abdus Salam bin Barjas al-Abd Karîm, Etika Pengkritik Penguasa, (Surabaya: Pustaka Assunnah, 2002), h. 1.


(26)

pengikatan dirinya kepada syura, dan penanggungjawabannya terhadap anak-anak rakyat, maka rakyat wajib mentaati pemerintah agar ia dapat mewujudkan hak, menjamin keamanan, menegakkan keadilan, serta membela umat, tanah air dan agama mereka, serta ketaatan kepada perintah-perintah penguasa dalam batas-batas syariah dan kepentingan umum. 9

Jika ditelaah dari nash-nash agama, maka dapat diketahui bahwa Islam mewajibkan umat Islam mentaati umara dan melarang menentang mereka. Mengenai hal ini Allah berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taati pulalah

Rasul serta pemegang kekuasaan dari kalanganmu. Kalau kamu berbeda pendpat entang sesuatu, kembalilah kepada kitab Allah dan Sunnah Rasul, jika benar-benar kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang

demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (QS:An-Nisa:59).

Sebagaimana yang diketahui bahwa ketetapan yang dijadikan kaidah oleh para fuqaha adalah bahwa bentuk inperatif (amr) memberi konsekuensi hukum wajib, selama tidak ada indikasi yang didukung oleh keterangan yang mengubah status wajib menjadi sunah. Dalam ayat ini terdapat perintah mentaati Allah SWT

9

Muhammad al-Mubarak, Sisem Pemeritahan Dalam Perspektif Islam, (Solo: Pustaka Mantiq, 1995), h. 58.


(27)

dan Rasulullah saw serta khalîfah, para amîr, komandan pasukan, gubernur, qadi, dan menteri serta orang yang mengemban tanggung jawab mengurusi urusan umat Islam.

Kita memahami bahwa taat kepada Rasulullah saw wajib dengan ketetapan al-Qur‟an maka menjadi keharusan, dengan demikian, mentaati amîr juga wajib. Dapat dipahami juga bahwa menentang Rasulullah saw haram hukumnya, begitu pula menentang amîr haram pula hukumnya.

Menurut akal sehat tidak masuk akal jika pemimpin melaksanakan kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirinya dan hak umat Islam, kemudian ia tidak didengarkan kata-katanya, tidak ditaati perintah dan larangannya oleh rakyat di negri yang membutuhkan pembelaan dan kekuasaannya.10 Telah menjadi hukum keadilan, bahwa disamping ada kewajiban yang dijalankam imam, ada pula hak imam yang harus dipenuhi rakyatnya. Mengenai masalah ini, Sayyid Muhammad Rasyid Rido menulis sebagai berikut: Apabila telah selesai pelantikan dan pembai‟atan terhadap imam, maka wajiblah sekalian umat mentaati imam dan membantunya dalam hal tidak mendurhakai Allah; membunuh orang yang mendurhakai khalîfah.11

Prinsip ketaatan mengandung makna bahwa seluruh rakyat tanpa kecuali berkewajiban mentaati pemerintah, selama penguasa atau pemerintah tidak

10

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 47. 11


(28)

bersikap zalim (tiran atau diktator) selama itu pula rakyat wajib taat dan tunduk kepada penguasa atau pemerintah.12

Dalam banyak hadits, Rasul menempatkan kepatuhan kepada pemimpin pada posisi kepatuhan kepada diri Rasul dan kepatuhan terhadap Allah. Imam Bukhâri dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abi Salamah bin Abdirrahman, bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata, Bahwa Rasulullah bersabda:

Artinya: “Siapa saja yang mentaati aku, maka dia telah mentaati Allah. Dan

barang siapa yang berbuat maksiat kepadaku, maka dia telah berbuat maksiat kepada Allah. Dan siapa saja yang telah mentaati pemimpinku, maka dia telah mentaati aku. Sedangkan siapa saja yang tidak taat kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiat kepadaku”

(HR. Al-Bukhâri dan Muslim)13.

Taat kepada penguasa muslim yang menerapkan hukum-hukum Islam di dalam pemerintahannya, sekalipun zalim dan merampas hak-hak rakyat, selama tidak memerintah untuk melakukan kemaksiatan dan tidak menampakkan kekufuran yang nyata, hukumnya tetap fardu bagi seluruh kaum muslimin.

Ketaatan tersebut hukumnya wajib. Karena Allah SWT telah memerintahkan ketaatan kepada penguasa, amîr atau imam. Perintah dengan

12

Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, cet. 3, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 155.

13

Taqiyudin al-Nabhani , Sistem Pemerintahan Islam, (Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996), h. 335-336.


(29)

sebuah indikasi (Qarînah) yang menunjukkan adanya suatu keharusan (jazman) yaitu Rasulullah menjadikan ketidaktaatan kepada pemimpin itu seabagai sebuah kemaksiatan kepada Allah dan Rasul. Serta dengan adanya penegasan (ta’kîd) dalam perintah ketaaan tersebut, sekalipun yang menjadi penguasa budak hitam legam. Semuanya itu merupakan indikasi yang menunjukkan bahwa perintah itu menuntut dengan tegas agar dilaksanakan (jazim), maka taat pada pemimpin itu hukumnya fardu.

Allah telah mewajibkan kita untuk mentaati ulil amri dan mereka adalah para imam yang menjadi pemerintah kita. Seperti hadits di bawah ini, dari Anas bin Malik ra. Katanya: Rasulullah Saw bersabda:

Artinya: “Hendaklah kamu mendengarkan dan mematuhi perintah, biarpun yang diangkat untuk memerintahi kamu seorang hamba sahaya bangsa Habsyi, rambutnya bagai anggur kering.” (HR. Al-Bukhâri)14

Sekiranya kita diperdaya oleh hawa nafsu untuk mengingkari perintah dan syariat yang mulia ini, tidak lagi taat kepada penguasa, tentu kita akan menuai dosa dan terpuruk dalam ke-mudarat-an, ketetapan Nabi ini merupakan cerminan dari kesempurnaan Islam, umat yang terpukul sekiranya tidak tepat taat, akan

14

Muhammad Ibn Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhâri Al-Ja‟fi, Al-Jami’ Sohih


(30)

mengakibatkan terganggunya roda kemaslahatan dunia dan agama, kezaliman akan meluas ke segenap lapisan masyarakat, keadilan akan sirna dari muka bumi dan kita akan terjerumus ke dalam bencana sistematis.

Berbeda ketika orang yang teraniaya itu sabar dan tawakal, memohon kepada Allah agar diberikan jalan keluar, tetap loyal dan taat, maka kemaslahatan akan tetap kokoh, haknya tidak hilang dari sisi Allah. Boleh jadi Allah menggantikannya dengan yang lebih baik, setidaknya dijadikan saham kebajikan baginya di akhirat kelak. Inilah wujud sisi kemurnian Islam, loyalitas dan ketaatan tidak dikaitkan dengan keadilan penguasa. Sekiranya tidak demikian, maka hancurlah tatanan keduniaan.

Adapun jika keluar dari ketaatan kepada penguasa akan menimbulkan kerusakan yang besar dan hilangnya keamanan, menzalimi masyarakat, terbunuhnya orang-orang yang tidak bersalah, dan lain sebagainya, maka hal ini tidak boleh dilakukan. Dalam kondisi seperti ini wajib bersabar, mendengar dan taat dalam kebaikan serta menasihati para pemimpin dan mendoakan mereka dengan kebaikan.15

Kepatuhan individu kepada negara yang direpresentasikan dengan perintah para pejabatnya, merupakan hak syar‟i negara atas dirinya. Setiap individu wajib melaksanakan perintah-perintah, peraturan-peraturan dan rencana-rencana yang telah ditetapkan negara untuk merealisasikan kepentingan umum

15


(31)

dan tujuan-tujuan negara. Karena pentingnya kepatuhan serta pengaruhnya yang sangat besar pada kejayaan negara, Islam memerintahkan setiap orang untuk patuh kepada negara dalam hal yang dia senangi ataupun tidak. Negara tidak mungkin menjadikan semua warga negara setuju dengan kebijakan-kebijakan, perintah-perintahnya juga tidak mungkin bisa disepakati oleh semua pihak, apa yang dilakukan negara pasti ada yang menyukainya, adapula yang tidak.

Oleh sebab itu hawa nafsu tidak boleh menjadi patokan untuk patuh (apa yang disenanginya, secepatnya dipatuhi, sedangkan yang tidak disenanginya lambat dipatuhi atau dilanggarnya) kepatuhan semacam ini tidak cukup untuk mengelakkan tanggung jawab individu atas kewajiban patuh terhadap negara. Tidak ada keistimewaan apapun bagi seorang dengan kepatuhan semacam ini, karena setiap orang biasa melakukannya. Dan juga tidak akan bertahan lama, karena didasarkan atas hawa nafsu dan individu sendiri tidak akan sanggup bertahan dan konsisten, jika seseorang keberatan untuk patuh dalam hal yang tidak dia senangi, tentu akan menyeretnya kepada pelanggaran dan kemudian pengingkaran terbuka.

Dalam keadaan seperti itu negara mungkin diam saja dan pemberontak pun merajalela, kekacauan menyebar, sehingga runtuhlah negara. Mungkin juga negara menggunakan kekuatannya untuk memaksa para pembangkang agar patuh. Keadaan ini menimbulkan friksi dan perpecahan dan negarapun siap mengacungkan pedang. Akibatnya sudah sama maklum penguasaan negara sendiri atas warganya sehingga tidak ada yang tersisa kecuali permusuhan.


(32)

Demikianlah setiap individu harus mengingat akibat pelanggaran, membiasakan diri patuh terhadap negara dengan dasar pilihan yang tumbuh dari lubuk hatinya. Dan seyogyanya dia mengetahui bahwa kepatuhannya kepada Allah harus ditaati selama untuk tujuan baik. Jadi, setiap individu menjalankan kepatuhannya seperti orang patuh terhadap imamnya dalam sholat berjamaah.16

Keabsahan kekuasaan ulil amri mengandung makna bahwa hukum-hukum dan kebijaksanaan politik yang mereka putuskan, sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, mempunyai kekuatan yang mengikat seluruh rakyat. Karena itu seluruh rakyat yang menjadi subyek hukum wajib mentaatinya. Keberadaan hukum ini, disamping hukum Tuhan, sebagai hukum positif memperlihatkan wajah dari tata hukum yang menjadi bagian dari sistem politik dan pemerintahan. Dalam hal ini dikenal dua hukum yang berlaku dalam negara: Hukum Allah (syariah) yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah, dan hukum negara yang bersumber dari keputusan ulil amri.17

Jika pada pemimpin sudah terlihat padanya kemungkaran tetapi pemimpin tersebut masih menjalankan shalat lima waktu maka wajib bagi rakyat mentaatinya seperti hadits berikut ini, dari „Auf bin Malik ra, dia bercerita, Rasulullah Saw bersabda:

16

Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Islam, (Jakarta: Al-Amin, 1984), h. 90. 17Abd.Mu‟in Salim,


(33)

Artinya: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan ia mencintai kalian, yang kalian doakan dan mendoakan kalian. Dan seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan ia membenci kalian, yang kalianm kutuk dan mengutuk kalian. “ „Auf berkata:”kami pun bertanya:”Wahai Rasulullah, apakah kami boleh melawan mereka?‟

Beliau menjawab: ‟Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di

tengah-tengah kalian.” (HR. Muslim)18

C. Batasan Taat Kepada Pemimpin

Meskipun Islam menjadikan taat kepada pemimpin wajib bagi rakyat, akan tetapi ketaatan ini tidak bersifat mutlak dan bebas dari ikatan, sebab ketaatan mutlak menyebabkan lahirnya pemerintahan individu yang otoriter dan diktator. Dari sana, akibatnya, jati diri umat Islam menghilang. Oleh sebab itu, ketaatan rakyat kepada ulil amri di sini dibatasi oleh persyaratan-persyaratan tertentu dan cangkupan-cangkupan tertentu pula, persyaratn-persyaratan dan cangkupan itu antara lain:

1. Pemimpin yang dimaksud mempunyai komitmen pada syariah Islam dengan menerapkannya dalam kehidupan, apabila pemimpin tidak menerapkan syariah maka tidak wajib ditaati sesuai dengan ayat al-Qur‟an dalam surat Annisa ayat 59, tentang ketaatan kepada pemimpin atau dalam sebuah hadits,

18

Salîm bin Ied Al-Hilal Bahjatun Nadirin, Syarah Riyâdus Sâlihin, (t.t. Pustaka Imam


(34)

Abu Ubaidah al-qasim bin Salâm meriwayatkan dalam kitab al-am wâl dari Ali bin Abi Talib ra (”Wajib bagi imam (pemimpin) menghukum (memerintah dengan hukum yang diturunkan oleh Allah dan menyampaikan amanat. Apabila ia melaksanakan yang demikian maka wajib bagi rakyat mentaatinya”).19 Kekuasaan pemimpin itu senantiasa dibatasi dengan ketaatan kepada Zat Yang Maha Kuasa.

2. Ketaatan juga dibatasi dengan pertimbangan keadilan dan kebenaran

Apabila pemimpin menegakkan keadilan, maka rakyat wajib mentaati. Akan tetapi apabila berlaku zalim dan menindas serta jahat maka tidak wajib mentaatinya. Dalam hadits dikatakan bahwa:

Artinya: ”tidak ada keharusan untuk mematuhi perbuatan dosa, ingatlah ketaatan hanya wajib bagi prilaku yang benar” (HR. Al-Bukhâri),20

Dan Allah Swt. berfirman,

19

Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 48. 20

Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1995), h. 86.


(35)

Artinya:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada

yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS An-Nisa`: 58)

3. Tidak menyuruh manusia melakukan maksiat

Pemimpin ditaati karena ia mentaati Allah dan Rasul-Nya, barangsiapa diantara pemimpin itu menyuruh dengan apa yang sesuai dengan yang diturunkan Allah dan Rasul-Nya, wajiblah umat menaatinya. Tetapi barangsiapa yang menyuruh dengan menyalahi apa yang dibawa Rasul (menyuruh kepada maksiat), perintah itu tidak boleh ditaati dan diikuti.21

Pada prinsipnya penguasa Muslim berkewajiban melaksanakan amar

ma’ruf nahi munkar dan menyebarluaskan perbuatan terpuji serta memerangi perbuatan tercela. Jika demikian yang dilakukan maka ia wajib ditaati dan tidak dibenarkan ditentang. Sedangkan apabila penguasa mengajak, membiarkan kemaksiatan yang nyata seperti riba, zina, minuman keras, dan korupsi maka tidak dibenarkan ditaati. Sebab tidak ada kewajiban taat kepada makhluk dalam hal maksiat kepada Sang Khalik. Seandainya dibolehkan taat dalam hal kemaksiatan, maka berarti terdapat kontradiksi. Sebab tidak mungkin Allah mengharamkan sesuatu kemudian mewajibkannya.

21


(36)

Dalam hadits dari Abdullah bin Umar ra dari Nabi Saw, beliau bersabda:

Artinya: “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang disukainya dan yang tidak disukainya, selama tidak disuruh mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh mengerjakan kejahatan, tidak boleh didengar dan tidak boleh

dipatuhi.”(HR. Al-Bukhâri dan Muslim).22

Taat, sebagaimana yang sudah diketahui, tidak boleh pada hal-hal kemaksiatan, dan apa yang ditetapkan oleh Ahlul Hilli Wal Aqdi itu harus berdasarkan musyawarah. Ulama Ahlu Sunnah wa al-Jamâ’ah sepakat bahwa ketaatan kepada penguasa dalam perkara yang bukan maksiat merupakan kewajiban. Ini merupakan salah satu yang membedakan mereka dengan ahli bid‟ah dan hawa nafsu.

Syeikh Abdurrahman al-Sa‟adi berkata: Allah memerintah umat untuk mentaati ulil amri, yakni para penguasa dari kalangan pemimpin, hakim, ahli fatwa. Urusan agama dan dunia mereka tidak akan terbina dengan sempurna

22

Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, h. 86.


(37)

kecuali dengan ketaatan kepadanya yang berarti juga taat kepada Allah, cinta kepada-Nya.

Hadits-hadits yang menunjukkan kewajiban taat kepada pemimpin yang tidak dalam katagori kemaksiatan antara lain:

Pertama Hadits Abdullah bin Umar ra,

Artinya: “Seorang muslim perlu mendengarkan dan mematuhi perintah, yang disukainya dan yang tidak disukainya, selama tidak disuruh mengerjakan maksiat (kejahatan). Tetapi apabila dia disuruh mengerjakan kejahatan, tidak boleh didengar dan tidak boleh

dipatuhi.”(HR. Al-Bukhâri dan Muslim).23

Perkataan hal yang ia “sukai atau benci” maksudnya yang sesuai dengan kehendaknya atau menyelisih dari kehendaknya. Al-Mubârak Furi dalam bukunya Syarah Tirmidzi mengatakan: sekiranya pemimpin memerintahkan hal yang sunnah dan mubah, maka wajib ditaati. Al-Mutakhir mengomentari hadits ini:

”mendengar ucapan hakim dan mentaatinya hukumnya wajib bagi setiap muslim،

apakah perintah itu sesuai dengan kehendaknya atau tidak, dengan syarat tidak

23

Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, h. 86.


(38)

memerintahkan dalam hal kemaksiatan, maka tidak ada ketaatan, namun ia tidak boleh memerangi pemimpin.24

Perkataan “tidak ada ketaatan” dimaksudkan dalam hal-hal kemaksiatan

saja, semisal diperintah memakan riba atau membunuh sesama muslim, tanpa hak dan sejenisnya. Maka perintah itu justru wajib dihindari dan diingkari. Bukan dipahami apabila penguasa memerintahkan maksiat, maka seluruh perintahnya tidak wajib ditaati. Yang tidak wajib ditaati hanyalah pada lingkup perintah kemaksiatan saja.

Kedua Hadits Abu Hurairah ra tentang loyalitas dan ketaatan bukan pada hal yang kamu senangi saja, bila kamu membencinya kamu tidak taat lagi, akan tetapi loyal dan taat pada semua hal yang kamu senangi maupun yang kamu benci: “orang yang mendengar dan taat tidak ada jalan baginya, sedangkan orang yang mendengar dan maksiat tidak memiliki hujjahbaginya”.

Imam Nawawi mengatakan: “wajib taat kepada para penguasa saat hati tidak pas dan saat lainnya, selagi bukan dalam masalah kemaksiatan. Apabila dalam lingkup kemaksiatan maka tidak ada ketaatan. Perkataan “atsârâtun”, berarti kerakusan urusan dunia, dan tidak memberikan hak kamu yang ada pada mereka.25

Yang ketiga hadits Imam Muslim dari Wail bin Juhri ra:

24

Khalid Ibrahim Jindan, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, h.87

25


(39)

Artinya: “Salâmah bin Yazid bertanya kepada Nabi Saw: Wahai Nabi, bagaimana pendapat tuan sekiranya ada penguasa yang menuntut haknya dari kami, namun mereka menghalangi hak kami. Apa perintah tuan kepada kami? Nabi menghindar. Ia bertanya lagi, dan nabi menghindar lagi. Ketika sampai yang kedua atau ketiga kalinya, dan dia ditarik tangannya oleh Al-Asy‟at bin Qais, maka Nabi Saw, bersabda: Taatilah sesungguhnya bagi mereka dosa yang mereka pikul dan bagi kalian kewajiban yang terbeban. Dalam riwayat lain: Taatilah, bagi mereka dosa yang mereka pikul, dan

bagi kalian kewajiban yang terbebani.” (HR. Muslim)26

Islam telah menetapkan bahwa taat adalah suatu kewajiban seorang muslim dalam hal yang disukai maupun yang tidak disukai selama tidak diperintahkan untuk melakukan maksiat. Selain hadits diatas, Imam al-Bukhâri meriwayatkan dari Ali bin Abi Talib ra berkata bahwa:

26


(40)

Artinya: “Rasulullah Saw mengirim pasukan perang dan mengangkat seorang Anshar menjadi komandan. Beliau memerintahkan agar beliau ditaati, komandan ini marah terhadap mereka, dan berkata:

”Tidakkah Rasulullah saw telah memerintahkan agar kalian

mentaatiku?” mereka menjawab:”Benar.” Ia berkata lagi: “aku ingin

anda sekalian mengumpulkan kayu bakar dan menyalahkan api

kemudian anda masuk kedalamnya”. Mereka semua bingung, sebab

taat macam apa yang sebenarnya dikehendaki komandan semacam ini. Mereka tidak menuruti apa yang diperintahkan lalu mengadukan masalah ini kepada Nabi saw, kemudian beliau bersabda: “Seandainya mereka benar-benar masuk ke dalam api, mereka tidak akan dapat keluar lagi selamanya. Kepatuhan hanya berlaku pada

hal yang ma‟ruf”. (HR. Al-Bukhâri) 27

Maksud kata-kata Nabi saw tersebut adalah bahwa seandainya mereka masuk ke dalam api yang mereka nyalakan dengan anggapan bahwa mereka melakukan demikian karena mentaati amir mereka, maka mereka tidak akan keluar lagi yakni, meninggal dunia dan tidak keluar selamanya. Dengan demikian, Rasulullah Saw mengarahkan agar mereka tidak melakukan perintah seperti ini, sebab taat itu hanya wajib dalam hal yang baik, bukan hal yang buruk. Sebagian ulama memandang bahwa kata-kata Rasulullah Saw tersebut merupakan pengungkapan Zajr (nada menegur dengan keras), tarhib (mendorong agar

27

Muhammad Ibn Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhari Al-Ja‟fi, Al-Jami’ Sohih Al-Mukhtasor, no. 6729.


(41)

meninggalkan) dan Takhwif ( menakut-nakuti). Sedangkan Zamhsyari dan Baidawi berpendapat bahwa batasan taat kepada pemimpin yaitu pemerintah hendaknya berasal dari kalangan mereka, yaitu kaum Muslimin. Bahkan sebagian

ahli tafsir berpendapat “diantara kamu” (minkum) maksudnya para pemimpin

kebenaran. Adapun ketaatan seorang Muslim yang berdiam di negara non Muslim adalah suatu permasalahan lain yang diputuskan dan ditetapkan pertimbangan-pertimbangan lain, seperti menempati janji dan tuntutan politik syariah, atau pertimbangan-pertimbangan selain ini tentang keberadaan seorang individu atau kelompok umat Islam yang berada dalam naungan negara bukan Islam, baik para penguasa maupun mayoritas rakyatnya.

Dengan demikian, al-Qur‟an dan Sunah telah memastikan bahwa taat kepada ulil amri menjadi wajib selama berada dalam ketaatan kepada Allah. Siapapun tidak boleh ditaati selama bertentangan dengan kitabullah dan sunah Rasul-Nya.28

4. Ruang Lingkup Ketaatan Kepada Pemimpin dan Penguasa

Berdasarkan pada teks-teks agama (nusus) terdahulu dapat dipahami bahwa rakyat berkewajiban mentaati penguasa dan pemimpin mereka hanya apabila syari‟ah Allah diterapkan dan keadilan ditegakkan dalam kehidupan masyarakat, tidak menentang Allah dan tidak pula mengajak rakyat melakukan maksiat terhadap Allah SWT. Dengan demikian jelas bagi kita, bahwa hanya

28Sa‟id Hawwa,


(42)

boleh bagi penguasa memerintahkan rakyat atau individu, masyarakat hal-hal yang wajib, mustahab(yang disukai menurut syara‟), hal-hal yang mubah (boleh

dilakukan menurut syara‟) serta masalah-masalah ijtihadiah ketika tidak

diketemukan nashnya dari al-Quran maupun sunnah Nabi saw atau pemahaman nash yang memungkinkan adanya pentakwilan. Seperti kasus mengenai para personil pasukan yang dikemukakan terdahulu yakni mereka mentaati komandan mereka mengumpulkan kayu bakar dan menyalakan api dan ini adalah urusan yang mubah hukumnya. Akan tetapi perintah mencampakkan diri ke dalam api tidak dapat mereka patuhi sebab yang demikian haram hukumnya jika ditaati.

Jika dicermati kata-kata Ibnu Hajar dalam keterangannya mengenai hadits Ubadah bin ash Shâmit, “kecuali apabila kalian melihat kekufuran yang nyata yang terdapat keterangannya dari Allah,” yakni nash ayat al-Quran atau berita

sahih yang tidak dimungkinkan dapat di takwil. Maka konsekuensi hukumnya

adalah bahwa tidak boleh menentang penguasa selama perbuatannya mengandung kemungkinan dapat di takwil. Dengan demikian maka haram bagi rakyat atau individu masyarakat menentang pemerintah pemimpin Muslim apabila masalah ini bersifat ijtihadiah meskipun bertentangan dengan pendapatnya. Dan tidak sepatutnya memberi peluang bagi godaan setan agar tidak mempengaruhi kebenaran pendapatnya, dan kesalahan pendapat imam serta wajib atau boleh menentang perintahnya, lalu keluar dari jamaah umat Islam dan dengan demikian menempatkan diri pada posisi yang rawan kemurkaan Allah SWT.


(43)

Rasulullah Saw bersabda:

Artinya: “Barangsiapa menemukan pemimpinnya sesuatu yang ia tidak sukai maka hendaklah ia bersabar sebab barangsiapa yang meninggalkan

jama‟ah satu jengkal saja kemudian meninggalkan dunia, maka

matinya mati jahiliyah”. (Muttafaq „alaih)29

Apabila setiap orang membiarkan untuk dirinya hak meremehkan komitmen pada pendapat imam dan penentang fanatik pada pendapatnya serta berusaha menghimpun massa disekelilingnya maka yang demikian adalah benih-benih yang menimbulkan keretakan dalam kesatuan umat Islam serta konflik antara individu masyarakat. Dengan demikian kekuatannya menjadi pudar dan wibawanya dihadapan musuh menyusut. Allah SWT berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 46:

Artinya: “Dan janganlah saling berbantah-bantahan yang menyebabakan

kamu gentar dan hilang kekuatan”. (QS. Al-Anfal : 46)

Islam dengan sungguh-sungguh melakukan terapi terhadap masalah-masalah penting seperti ini, dimana tindakan keras diambil terhadap siapa pun

29


(44)

yang mencoba mengahancurkan loyalitas pada pemimpin dan memecah belah jama‟ah. Imam Muslim meriwayatkan dari „Arjafah berkata bahwa (“Sungguh akan ada keburukan dan keburukan. Maka barangsiapa hendak memecah belah urusan umat ini dalam keadaan menyatu, maka penggallah dengan pedang siapa pun orangnya”)

Secara singkat Islam memandang bahwa loyalitas dari rakyat kepada pemimpin adalah suatu kewajiban dan prinsip pemerintahan dalam Islam yang mana kehidupan politik tidak dapat tegak kecuali dengannya. Akan tetapi kewajiban taat kepada para pemimpin tidak bersifat mutlak melainkan terkait dengan penerapan syariah Islam dan penegakkan keadilan di tengah kehidupan manusia dan tidak mengajak rakyat mereka melakukan kemaksiatan.30

30


(45)

37

A.Biografi Al-Mawardi 1. Al-Mawardi

Nama lengkapnya adalah Abu Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al-Mawardi al-Basri al-Syafi‟i. Ia lahir di Basra Iraq pada tahun 364 H/975 M dari keluarga Arab yang membuat dan menjual air mawar, sehingga diberi nama „al

-Mawardi‟ berasal dari kata ma’ (air), dan ward (mawar)1, pada saat itu pula

kebudayaan Islam mencapai masa-masa keemasannya di tangan para khalîfah daulah Abasiyah. Dia seorang pemikir Islam yang terkenal, tokoh terkenal madzhab Syafi‟i, dan pejabat tinggi yang besar pengaruhnya dalam pemerintahan Abasiyah.2

Al-Mawardi mendapatkan kedudukan tinggi di mata raja-raja, Bani Buwaih menjadikan al-Mawardi sebagai mediator antara mereka dengan orang-orang yang tidak sependapat dengan mereka. Mereka puas dengan perannya sebagai mediator, dan menerima seluruh keputusannya. Al-Mawardi hidup pada

1

Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2000), h. 21.

2


(46)

masa pemerintahan dua khalîfah; al-Qâdir Billah (381-422H) dan al-Qâimu Billah (422-467H).3

2. Latar Belakang Pendidikan al-Mawardi

Al-Mawardi menerima pendidikan di Basra dan belajar yurisprudensi dari hukum Syafi‟i, lalu dia melanjutkan ke Bagdad untuk pendidikan tinggi, terutama mempelajari yurisprudensi, tata bahasa dan sastra, ia memutuskan untuk berguru ilmu hukum, tata bahasa, dan sastra pada Syeikh Abdul Hamid al-Isfraini dan Abdullah al-Bafi,4 di sini pula anak penyuling dan penjual mawar ini belajar hadits dan fiqh pada al-Hasan bin Ali bin Muhammad al-Jabali, seorang pakar hadits dan bahasa di zamannya, dan Abi al-Qasim Abdul Wahid bin Muhammad al- Sumairi, seorang hakim di Basra pada saat itu. Dia segera menjadi ahli studi Islam, termasuk hadits, yurisprudensi, tata bahasa dan sastra, dan wafat di Bagdad pada tahun 450 H/1058 M. Ia dikenal sebagai tokoh terkemuka madzhab Syafi‟i, pada abad ke-10, dan pejabat tinggi pada pemerintahan dinasti Abasiyah.

Masa kekhalîfahan Abasiyah adalah masa keemasan peradaban Islam. Kekhalîfahan Abasiyah yang gemilang telah memberikan suasana paling cocok bagi kemajuan ilmu pengetahuan. Cendekiawan Muslim dari seluruh dunia berkumpul di istana Abasiyah dan menyumbangkan pengetahuan mereka untuk

3

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, Hukum-Hukum Penyelenggaraan Negara Dalam Syari’at Islam, edisi Indonesia, (Jakarta: Darul Falah, 2007), h. xxvi.

4

Hari, Republika online, Al-Mawardi: Pemikir Termasyhur Di Zaman Kekhalifahan, diakses pada hari Jum‟at, 18 Maret 2011 pukul 20.00 WIB.


(47)

memperkaya dunia ilmu pengetahuan. Saat itu cendekiawan yang memberi sumbangan terbesar bagi ahli politik dan ekonomi adalah al-Mawardi, yang sekarang dianggap sebagai ilmuan besar dalam politik dan ilmu politik. Perkembangan intelektualitas selama era ini sangat luar biasa dan yang termaju selama sejarah Islam. Sebagai salah satu tokoh intelektual besar di masanya, al-Mawardi terkenal sebagai ahli politik Islam pertama, dan sejajar dengan ahli politik besar abad pertengahan, yakni Nizam al-Mulk, Ibn khaldun dan Machiavelli.5

Imam al-Mawardi diusia dewasa menjadi qadi (hakim agung) pada masa pemerintahan khalîfah Abasiyah (berkuasa pada tahun 381 H/991 H-423 H/1031 M). Ia menjabat qadi di berbagai tempat, kemudian dingkat sebagai hakim agung

(qadi al-qudat) di Ustuwa dan penasihat khalîfah.6 Pada 429 H, ia dinaikkan ke

jabatan kehakiman yang paling tinggi, Aqb al-qudat (qadi agung) di Bagdad, jabatan yang dipegangnya dengan hormat sampai pada saat wafatnya.7

Guru-guru al-Mawardi, saat al-Mawardi belajar hadits di Bagdad,yaitu:

1. Al-Hasan bin Ali bin Muhammad Jabali (sahabat Abu Hanifah al-Jumahi)

2. Muhammad bin Adi bin Zuhar al-Manqiri 3. Muhammad bin al-Ma‟alli al-Azdi

5

Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, h. 22. 6

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve), h. 276.

7


(48)

4. Ja‟far bin Muhammad bin al-Fadhl al-Bagdadi 5. Abu al-Qasim al-Qusyairi.

Ia belajar Fiqh pada:

1. Abu al-Qasim al-Sumairi di Basra

2. Ali Abu al-Asfarayini (imam madzhab imam Syafi‟i di Bagdad) dan lain sebagainya.

Murid-muridnya:

1. Imam besar, al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Khatib al-Bagdadi. 2. Abu al-Izzi Ahmad bin Kadasy.8

3. Kiprah Politik Al-Mawardi

Dari jabatan qadi (hakim), al-Mawardi mendapat promosi sebagai duta besar untuk khalifah dan menyelesaikan banyak masalah politik di negaranya. Setelah menjabat menjadi qadi diberbagai tempat, dia ditunjuk sebagai qadi

al-qudat (Hakim Agung) Ustuwa, sebuah distrik di Nishapur. Tahun 1049, dia

mendapat kenaikan jabatan sebagai qab al-qudat (ketua Mahkamah Agung) di Bagdad, posisi yang dijabatnya sampai kematiannya tahun 1058 M. Selain keputusannya dibanyak kasus menjadi contoh untuk hakim-hakim lain didekade

8


(49)

berikutnya, keputusan yang tegas untuk banyak masalah hukum dipakai sebagai petuah selama beberapa abad.9

Situasi politik di dunia Islam pada masa al-Mawardi, yakni sejak menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari pada zaman Farabi,dan bahkan lebih parah. Semula Bagdad merupakan pusat peradaban Islam dan poros negara Islam. Khalîfah di Baghdad merupakan otak peradaban itu, dan sekaligus jantung negara serta dengan kekuasaan dan wibawa yang menjangkau semua penjuru dunia Islam. 10

Tetapi kemudian lambat laun cahaya yang gemerlap itu pindah dari Bagdad ke kota-kota lain. Kedudukan khalîfah mulai melemah , dan dia harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki atau Persia serta penguasa-penguasa wilayah. Meskipun makin lama kekuasaan para pejabat tunggu dan panglima non Arab itu makin meningkat, waktu itu belum tampak adanya usaha dipihak mereka untuk mengganti khalîfah Arab itu dengan khalîfah yang berkebangsaan Turki atau Persia.

Namun demikian mulai terdengar tuntutan dari sementara golongan agar jabatan itu dapat diisi oleh orang bukan Arab dan tidak dari suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana yang dapat diperkirakan kemudian menimbulkan reaksi dari golongan lain, khusunya dari golongan Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan kepala negara, serta syarat

9

M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, (Jogjakarta: Diglossia, 2007), h. 143.

10


(50)

kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat wazir tafwidh atau penasihat dan pembantu utama khalîfah dalam menyusun kebijaksanaan. Mawardi adalah salah satu tokoh utama dari golongan terakhir ini.11

Al-Mawardi juga penulis yang cakap mengenai beragam topik seperti agama, etika, satra, dan politik. Khalîfah al-Qadirbillah memberinya penghargaan tinggi dan khalîfah Qa‟im bin Amirullah (391-560 H), khalîfah Abasiyah ke-26, menunjukkan sebagai duta besar untuk beberapa misi diplomatik ke negara-negara satelit disekitarnya. Kebijaksanaannya sebagai negara-negarawan berhasil mempertahankan prestise kekhalîfahan Bagdad padahal lebih kecil diantara amîr-amîr Saljuk dan Buyid yang terlalu kuat dan hampir independen, dan dia sering menerima hadiah berharga dari amir-amir tersebut, sehingga kekayaannya melebihi orang lain di kelas sosialnya. Walaupun dituduh oleh banyak orang

menganut kepercayaan theologies Mu‟tazilah, tetapi penulis-penulis selanjutnya

menyangkalnya12.

Sebenarnya kondisi politik pada saat itu jika kita amati secara sekilas ketika itu dunia Islam terbagi ke dalam tiga negara yang tidak akur dan saling mendendam terhadap yang lain, di Mesir terdapat negara Fatimiyyah. Di Andalusia terdapat negara Bani Umayyah. Di Irak Khurasan, dan daerah-daerah Timur secara umum terdapat negara Bani Abasiyah, hubungan antara khalîfah-khalîfah Bani Abasiyah dengan negara Fatimiyyah di Mesir didasari permusuhan

11

Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 59. 12


(51)

sengit, sebab masing-masing dari keduanya berambisi untuk menghancurkan yang lain. Hubungan Bani Abasiyah dengan khalîfah-khalfîah Bani Umaiyyah di Andalusia juga dilandasi permusuhan sejak Bani Abasiyah meruntuhkan sendi-sendi negara Bani Umaiyyah, dan untuk itu darah tercecer di sana sini.

Itulah kondisi eksternal negara Bani Abasiyah, adapun kondisi internal khalifah di Bagdad dan sekitarnya, sesungguhnya pemegang kekuasaan yang sebenarnya di Bagdad adalah Bani Buwaih, mereka adalah orang-orang Syiah fanatik dan radikal. Mereka berkuasa dengan menekan ummat, dan khalîfah sendiri tidak mempunyai peran penting yang bisa disebutkan disini, bahkan ia adalah barang mainan di tangan mereka. Mereka melemparkannya seperti bola, jika mereka tidak menyukai khalîfah, mereka langsung memecatnya.13

4. Karya-karya Al-Mawardi

Al-Mawardi adalah termasuk penulis yang produktif. Cukup banyak karya tulisnya dalam berbagai cabang ilmu, dari ilmu bahasa sampai sastra, hadits, tafsir, fikh dan ketatanegaraan.14 Salah satu bukunya yang paling terkenal, termasuk di Indonesia adalah Adab al-Dunyâ wa al-Din (Tata Krama Duniawi dan Agamawi).

Secara garis besar, karya-karya al-Mawardi dapat dikelompokkan dalam tiga cabang, yaitu keagamaan, sosio-politik, dan kebahasaan dan kesastraan, berikut diterakan sejumlah karyanya baik yang sudah pernah dicetak maupun

13

Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, h. xxiv. 14


(52)

yang masih dalam bentuk manuskrip yang disimpan disejumlah perpustakaan atau museum.15

a. Bidang Keagamaan

1) Kitab al-Tafsir, juga dikenal dengan nama al-Nukat wa al-„Uyun fi Tafsir

al-Quran al-karim. Buku ini belum pernah diterbitkan, naskah

manuskripnya berserakan diberbagai perpustakaan di dunia. Yang lengkap, dengan menambahkan beberapa kopinya dari sejumlah perpustakaan, terdapat di perpustakaan Kubriely Istambul Turki. Naskah manuskrip lainnya yang juga agak lengkap disimpan di perpustakaan Universitas al-Qurawiyin, Fas Maroko, perpustakaan Istambul Turki dan Rambur India.

Kitab al-Tafsir ini termasuk kitab induk di bidang tafsir al-Quran.

Itulah sebabnya para mufassir sesudah al-Mawardi misalnya al-Qurtubi dalam kitabnya al-Jami’ li Ahkam al-Quran dan Ibnu al-Juzi dalam Zad

al-Masir nya mengutip panjang lebar pendapat-pendapat al-Mawardi

dalam kitab itu.

2) Adab al-Dîn wa al-Dunya. Nama buku ini semula adalah al-Bughyah

al-„Ulya fi Adab al-Dîn wa al-Dunya. Judul yang disebut pertama itu diduga, adalah pemberian oleh penyunting (muhaqqiq)nya pada terbitan edisi pertama, namun tidak diketahui siapa namanya. Nama kedua itulah yabg diberikan al-Mawardi sendiri. Penerbit memberikan nama lain lagi,

15


(53)

dengan membaliknya menjadi Adab al-dunyâ wa al-Din. Di Indonesia nama yang terakhir inilah yang kita kenal. Pada buku ini al-Mawardi menggabungkan antara ketajaman analisa para fuqaha dengan ketajaman hati para satrawan.16

Kitab Adab al-Dîn wa al-Dunya ini dirujuk dan dipergunakan di hampir seluruh dunia Islam, termasuk di pesantren-pesantren Indonesia. Di mesir, kitab ini diringkas sedemikian rupa kerena dijadikan buku wajib bagi pelajar-pelajar tingkat pertama. Seperti tersurat dari namanya, buku

Adab al-Dunyâ bertopik seputar etika dan moral keagamaan murni, dan

tentang etika bermasyarakat.

3) Al-Hawi al-Kabîr. Kitab ini secara khusus membahas persoalan-persoalan

fiqh madzhab Syafi‟i. tetapi juga dibicarakan pandangan-pandangan pendiri madzhab lain, terutama Abu Hanifah, pendiri madzhab Fiqh Hanafi, terutama jika dipertentangkan dengan pendapat-pendapat Syafi‟i. menurut Mustafa al-Saqo, Profesor pada Fakultas Sastra Universitas Kairo, al-Hawi al-kabîr, adalah ensiklopedi besar di bidang fiqh Islam.

Al-Mawardi sendiri menyatakan, “Aku gelar pembahasan fiqh di sini

dalam empat ribu lembar kertas”. Maksudnya al-Hawi al-Kabîr ini adalah

buku fiqh yang amat luas. Sebagai bandingan, buku fiqh tulisan al-Mawardi yang tipis al-Iqna’, digelar hanya di atas 40 lembar kertas. al-Hawi terdiri dari lebih 20 jilid besar.

16


(54)

Sampai pada 1955 al-Hawi al-Kabîr baru pada tahap persiapan percetakan yang diprakarsai oleh Liga Arab. Dan hingga kini, belum pernah mendapatkan informasi tentang sudah atau belum terbitnya kitab ensiklopedi fikih klasik tersebut.

4) Kitab al-Iqna’. Buku ini adalah ringkasan kecil dari kitab Hawi

al-kabîr yang ditulis atas permintaan Khalîfah al-Qadir Billah. Para peneliti

kutub al-Turats menduga bahwa nama al-Hawi al-Kabîr adalah bandingan bagi nama lain kitab ringkasannya itu, yakni al-Iqna‟ (Al-Iqba‟ juga disebut al-Hawi al-sagîr).

5) Kitab A’lam al-Nubuwwah. Pada buku ini, al-awardi menjelaskan aqidahnya tentang ketuhanan dan kenabian.17 Sampai kini kitab tentang bukti-bukti kenabian Muhammad saw ini belum pernah diterbitkan, ia masih tersimpan dalam bentuk manuskrip di perpustakaan Dâr al-Kutub

al-Misriyyah. Mustafa al-Saqo menyatakan. A’lam al-Nubuwwah adalah

buku teologi yang membicarakan ide-ide Ahl al-Sunnah dan Mu‟tazilah.

Kabar terakhir menyebutkan bahwa A’lam al-nubuwwah telah diterbitkan di Kairo.

6) Kitab Adab al-qadi. Belum pernah diterbitkan, kini menuskripnya tersimpan di perpustakaan Sulaimaniyah di Istambul Turki. Seperti namanya, buku ini membicarakan tata tertib penanganan perkara dan persidangan pengadilan yang harus dipegang oleh para hakim. Tetapi

17


(55)

kabar terakhir menyatakan buku ini telah terbit bahkan sudah ada yang memiliki satu eksemplar.18

b. Bidang sosial-politik

1) Kitab al-Ahkam al-Sulthâniyyah wa al-Wilâyat al-Diniyyah (peraturan-peraturan kerajaan atau pemerintahan). Ini adalah tulisan al-Mawardi yang paling awal diterbitkan dan paling dikenal di dunia Islam. Buku ini disusun khusus tentang pemikiran politik Islam.

2) Nasîhat al-Mulk (nasihat kepada para raja). Belum pernah diterbitkan.

Anskah tulisan tangannya terdapat di perpustakaan Nasional Paris.

3) Tashil al-Nadzâr wa Ta’jil al-Dzafr. Masih dalam bentuk manuskrip, di

perpustakaan Gothe Jerman.

4) Kitab Qawânin al-Wizâroh wa Siyasah al-Mulk. Diterbitkan pertama kali oleh penerbit Dar al-„Ushur, Kairo pada tahun 1902 dengan judul adab

al-Wazir (pedoman untuk para mentri).

Bagi pengamat dan teoritisi politik dan sosiologi, al-Mawardi dengan empat buku sosial dan politik tersebut memiliki kedudukan tersendiri, bahkan jika dibandingkan dengan kapasitasnya sebagai cendekiawan keagamaan. Empat buku al-Mawardi di bidang politik dan sosial tersebut juga telah diterbitkan dalam edisi bahasa-bahasa Eropa, seperti Prancis, Jerman, Latin. Edisi Inggris al-Ahkam al-Sulthâniyyah (the Laws of Islamic Governance) baru terbit pada tahun 1996 lalau,

18


(56)

diterjemahkan oleh Dr. Asadullah Yate, diterbitkan oleh Ta-Ha Publisher Ltd.London.19

Dari empat karyanya tentang politik, buku yang pertama yang paling terkenal. Sudah berkali-kali dicetak di Mesir dan telah disalin ke dalam banyak bahasa. Buku ini sedemikian lengkap dan dapat dikatakan sebagai “konstitusi

umum” untuk negara, berisikan pokok-pokok kenegaraan seperti tentang jabatan

khalîfah dan syarat-syarat bagi mereka yang dapat diangkat menjadi pemimpin atau kepala negara dan para pembantunya, baik di pemerintahan pusat maupun di daerah, dan tentang perangkat-perangkat pemerintah yang lain.

Yang menjadi pusat perhatian kita mengenai karya-karya tulis al-Mawardi adalah bagian-bagian yang mengupas tentang jabatan kepala negara, cara pengangkatan dan persyaratannya, serta hubungan antara negara dan warganya.20 Namun jarang sekali dilakukan pengkajian yang mendalam tentang kandungan buku itu. Kenapa buku itu ditulis, sumber yang digunakan al-Mawardi dalam menulis buku serta pengaruhnya terhadap masanya dan masa berikutnya, adalah hal yang jarang dimasalahkan. Buku ini hendak memperlihatkan kepada orang Islam bagaimana seharusnya sistem politik itu, dan siapa yang seharusnya memegang kekuasaan efektif dalam sistem itu.21

Al-Mawardi cukup istimewa sebagai ahli politik pertama dalam Islam yang berpengaruh, pengaruhnya bisa dibandingkan dengan Siyâsat Nama oleh

19

Nur Mufid dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, h. 28. 20

Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 60. 21


(57)

Nizam al-mulk atau Muqaddimah oleh Ibn Khaldun. Sebagai ahli politik utama dalam Islam, tulisan-tulisannya serta pengalamannya praktisnya dalam politik terserap dalam perspektif politik penulis-penulis sesudahnya.

c. Bidang bahasa dan Kesasteraan

Meskipun para penulis biografi sepakat bahwa al-Mawardi adalah juga pakar bahasa dan sastra terbukti, misalnya, ada seratusan syair yang dimuat dalam al-akam ini dan ratusan dalam Adab al-Bunyâ wa al-Dîn, tetapi hanya dua bukunya yang nyata-nyata bertitel keabsahan dan kesastraan, yakni:

1) Kitab fi al-Nahwu (gramatika bahasa Arab). Buku ini tidak diketahui “nasibnya”.

2) Al-Amtsal wa al-hikam. Dalam kitab ini, al-Mawardi mengumpulkan

berbagai pribahsa Arab, kata-kata mutiara dan syair-syair pilihan. Ada 300 motto, 300 bait sajak, dan 300 hadits pilihan. Kini, masih dalam bentuk manuskrip, tersimpan di perpustakaan universitas Leiden Belanda.

B.Biografi Hasan Al-Banna

1) Riwayat Hidup Hasan Al-Banna

Hasan al-Banna dianggap banyak ilmuwan dan pemikir Islam sebagai Mujadid abad ke 20. Dia adalah unik, dikaruniai dengan pemahaman Islam yang benar dan mendalam dan kepercayaan yang kuat, dan seseorang yang terus


(58)

bekerja tanpa henti sampai tujuannya tercapai, satu-satunya cara menghentikannya adalah menyingkirkannya, dan itulah yang terjadi.22

Pada tahun 1906 di kota kecil Mahmudiyah, Mesir, lahirlah seorang bayi yang kelak ditakdirkan Tuhan menjadi pembela agama paling gigih, memperjuangkan Islam sepanjang sejarah dunia Arab, dialah Syekh Hasan al-Banna.23 Lingkungan tempat tumbuh berkembang Hasan al-Banna sangat sederhana. Ia tinggal disebuah kota kecil yang berdiri ditepi cabang sungai Rasyid, yag terhubung dengan sungai Nil. Nama kota tersebut adalah „a l-Mahmudiyyah Buhayrah‟. Ia tepat berada di tengah-tengah antara jalan utara menju Iskandaria, dan jalan selatan menuju Kairo. Di kota inilah Syaikh Abdurrahman al-Banna (ayah dari Hasan al-Banna), yang banyak dikenal dengan

as-sati‟i (si tukang jam) tinggal besama keluarga. Mereka menjadi pendatang

untuk bekerja sebagai pembuat dan tukang memperbaiki jam. Ayahnya selain bekerja sebagai tukang reparasi jam, juga ulama. Seperti lazimnya masyarakat Mesir, Hasan mengikuti jejak ayahnya. Hasan belajar reparasi jam dan mendapatkan pendidikan agama dasar.24

22

M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, h. 375. 23

Maryam Jamîlah, Para Mujahid Agung, (Bandung: Mizan, 1989), h. 125. 24

Zed Books Ltd, 7 Chntya Street, Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia, cet. 3, (Bandung: Mizan, 1998), h. 129.


(59)

Setiap hari ia belajar hadits dan menelusuri musnad-musnadnya. Sejak saat itu dia mulai cendrung mencurahkan perhatiannya kepada musnad Ahmad bin Hanbal, yang dianggapnya sebagai ensiklopedi Sunnah Rasul terbesar. 25

Abdurrahman al-Banna mengisahkan diusia muda Hasan al-Banna ia sudah mempertanyakan soal bumi dan bulan serta penciptaannya. Pertanda kejeniusan akalnya sudah tampak kelihatannya sejak ia masih kecil. Oleh sebab itulah maka sang ayah menyuruh Hasan al-Banna menghafal al-Qur‟an, belajar hadits, juga diajari adab dan sopan santun yang baik. Pada umur 14 tahun Hasan al-Banna berhasil menghafal al-Qur‟an, hal ini berkat kedisiplinannya dalam membagi waktu26.

2) Latar Belakang Pendidikan Hasan al-Banna

Ayahnya, Syeikh Abdurrahman al-Banna pernah belajar sebagai mahasiswa di al-Azhar pada waktu Muhammad Abduh mengajar di lembaga itu. Oleh karenanya dari ayahnya Hasan waktu kecil tidak hanya mendapatkan pelajaran murni saja, tetapi juga gagasan-gagasan pembaharuan.27 Pada usia dua belas tahun, Hasan masuk sekolah dasar negri. Pada waktu ini juga, Hasan masuk

25

Anwar Al-Jundi, Biografi Hasan Al-Banna, (Solo: Media Insani Press, 2003), h. 24. 26

Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), h. 201.

27


(60)

sebuah kelompok Islam, himpunan perilaku bermoral dan masuk himpunan pencegahan kemungkaran.28

Ketika Hasan al-Banna belajar di Madrasah al-Mu‟allimîn al-Awâliyyah, di sana ia menorehkan prestasi yang sangat gemilang. Ia berkembang dengan baik, penuh zuhud dan memperhatikan ibadah. Inilah pertama kali ayahnya melepaskan marhalah pendidikannya. Hasan al-Banna adalah orang yang sangat gemar membaca, hal ini dipengaruhi: pertama adanya perpustakaan sang ayah dan motivasi yang diberikan ayahnya untuk terus belajar dan membaca. Tidak jarang ia diberi hadiah beberapa buku, buku-buku yang memberinya pengaruh yang sangat berarti diantaranya adalah; al-Anwar al-Muhammadiyah karya al-Nabhani, Mukhtasar al-Mawahib al-Ladunniyah karya al-Qastalani, dan Nur

al-Yaqîn fi Sirât Sayyid Mursalin karya Syaikh Khudri. Kedua, Madrasah

al-Mu‟alaimîn berhasil mengumpulkan sejumlah ulama terkenal, pada marhalah ini

Hasan al-Banna menghapal banyak matan dari ilmu yang bermacam-macam, dan semua itu dilakukan diluar kurikulum pelajarn sekolah.29

Hasan al-Banna lulus sekolah dengan predikat terbaik di sekolahnya dan kelima terbaik di Mesir. Di usia 16 tahun ia telah menjadi mahasiswa di Perguruan Tinggi Dâr al-„Ulûm, Universitas Kairo. Ia juga memiliki bakat kepemimpinan yang cemerlang. Hasan al-Banna selalu terpilih menjadi ketua organisasi siswa di sekolahnya. Pada usia 21 tahun, Hasan al-Banna menamatkan

28

Zed Books Ltd, 7 Chntya Street, Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia, cet. 3, h. 130.

29


(1)

perbedaan pendapat al-Mawardi dan Hasan al-Banna mengenai konsep loyalitas atau ketaatan rakyat terhadap pemimpin adalah pertama, ada pada konsep Hasan al-Banna mengenai klasifikasi ketaatan, sedangkan al-Mawardi tidak menggunakannya; yang kedua al-Mawardi mengatakan bahwa taat pada pemimpin selama tidak berubah keadaanya (kredibilitas pribadinya rusak dan terjadi ketidaklengkapan anggota tubuh), sedangkan Hasan al-Banna memberi batasan taat pada pemimpin jika selama instruksi tersebut sejalan dan tidak bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya.

5. Implementasi penerapan konsep loyalitas rakyat terhadap pemimpin pada masa kini.

Kewajiban taat kepada pemerintah merupakan salah satu prinsip Islam yang agung. Namun di tengah carut-marutnya kehidupan politik di negeri-negeri muslim, prinsip ini menjadi bias dan sering dituding sebagai bagian dari gerakan pro status quo. Padahal, agama yang sempurna ini telah mengatur bagaimana seharusnya sikap seorang muslim terhadap pemerintahnya, baik yang adil maupun yang zalim

Bila kita mendapatkan penguasa melakukan kemaksiatan-baik yang berhubungan dengan pribadi maupun urusan rakyatnya, maka kita diperintahkan untuk bersabar, mendengar dan taat (dalam hal yang ma‟ruf), serta dilarang mencela mereka (baik dilakukan di mimbar-mimbar, buku-buku, buletin, majalah, radio, atau media-media lainnya). Rasulullah saw, telah melarang mencela penguasa atau pemimpin secara khusus dalam


(2)

95

haditsnya yang shahih. Hal itu hanyalah akan menimbulkan fitnah. Kebenaran harus kita tegakkan tanpa merendahkan kedudukan pemimpin atau penguasa di mata umat. Mendengar dan taat kepada penguasa yang zalim atau jahat bukan berarti rida dengan kemaksiatan yang ia lakukan.

B. Saran

1. Bahwa loyalitas rakyat terhadap pemimpin hukumnya wajib bagi rakyat, namun demikian bukan berarti mutlak, tetapi ada batasannya juga. Ketika pemimpin menyuruh kita kepada kemaksiatan, maka jangan diikuti, maka dari itu jika kita menemui pemimpin yang mengajak kemaksiatan, perintah Allah dan Rasul-Nya dilanggar.

2. Tetap sabar terhadap pemimpin yang dzalim, tetap menasihatinya dsn mendoakannya. karena kalau tidak, akan timbul berbagai macam pemberontakan tehadap pemerintahan akibatnya sangat merugikan sekali. 3. Dari pendapat dua tokoh Islam ini yaitu al-Mawardi dan Hasan al-Banna yang

berbeda zaman tetapi pemikirannya mengenai loyalitas ini tidak jauh berbeda, kita dapat mengambil dan mengikuti pendapat keduanya karena menurut penulis pendapat keduanya sesuai dengan Syariah Islam.


(3)

96

Al-Banna, Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001.

Abdul Khaliq, Farid, Fikh Politik Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Abdul Qadir Abu Faris, Muhammad, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Press, 1999.

Ahmad, Jamil, Seratus Muslim Terkemuka, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992. Ali Muhammmad, Rusdji, Hak Asasi Manusia, Jakarta: Ar-Raniry Press, 2004.

Al-Banna, Hasan, Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin, Solo: Era Intermedia, 2008. Al-Jundi, Anwar, Biografi Hasan Al-Banna, Solo: Media Insani Press, 2003.

Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah Fi Al-Wilâyat Ad-Dinîyyah, Beirut: Dâr el -Kitabal-Araby, t.th.

Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, Jakarta: Darul Falah, 2007 Al-Mawardi, Hukum Tata Negara dan Kepemimpinan dalam Takaran Islam, Jakarta:

Gema Insani Press, 2000.

Al-Mubarak, Muhammad, Sistem Pemeritahan Dalam Perspektif Islam, Solo: Pustaka Mantiq, 1995.

Al-Nabhani, Taqiyudin, Sistem Pemerintahan Islam, Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996. Al-Salam bin Barjas al-Abd Karîm, Abdu, Etika Pengkritik Penguasa, Surabaya:


(4)

97

Atiqul Haque, M., 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Jogjakarta: Diglossia, 2007.

Aziz bin Baz, Abdul, dkk, Fatwa-Fatwa Terlengkap, Jakarta: Darul Haq, 2006. Departemen Agama RI, Al-Quran Al-Kariem, Bandung: J-ART, 2004.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989.

Dzajuli, H.A., Fiqh Siyasah, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2003.

Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve.

Hasbi Ash Shiddiqy, T.M., Ilmu Kenegaraan Dalam Fiqh Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1991.

Hasjmy, A., Di Mana Letaknya Negara Islam, Banda Aceh: Bina Ilmu, 1984. Hawwâ, Sa‟id, dan Sayyid Qutb, Al-Wala`, Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001. Hawwâ, Sa‟id, Al-Islam, Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2002.

--- . Membina Angkatan Mujahid, Studi Analitis Atas Konsep Dakwah Hasan Al-Banna Dalam Risalah Ta’alim, Solo: Era Intermedia, 2002.

HR, Ridwan, Fiqih Politik, Yogyakarta, FH UII Pres, 2007.

Ibrahim Jindan, Khalid, Teori Politik Islam Telaah Kritis Ibn Taimiyah Tentang Pemerintahan Islam, Surabaya: Risalah Gusti, 1995.

Ibn Isma‟il Abu Abdullah Al-Bukhâri Al-Ja‟fi, Muhammad, Al-Jami’ Al-Sohih Al-Mukhtasor, Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 1987.


(5)

Ied Al-Hilal Bahjatun Nadirin, Salîm bin, Syarah Riyâdus Sâlihin, t.t.: Pustaka Imam Syafi‟i, t.th.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media, 2001.

Isya „Asyur, Ahmad, Ceramah-Ceramah Hasan Al-Banna, Hadits Tsulatsa’, Cet. 5, Solo: Era Intermedia, 2005.

Jamilah, Maryam, Para Mujahid Agung, Bandung: Mizan, 1989.

Karim Zaidan, Abdul, Masalah Kenegaraan dalam Islam, Jakarta: Al-Amin, 1984. Kencana Syafi‟i, Inu, Ilmu Pemerintahan dan al-Qur’an, Jakarta: Bumi Aksara,

2005.

Khan, Qamaruddin, Kekuasaan Pengkhianatan dan Otoritas Agama Telaah kritis Teori Al-Mawardi Tentang Negara, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2000.

Mohammad, Herry, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20, Jakarta: Gema Insani Press, 2006.

Mufid, Moh., Politik Dalam Perspektif Islam, Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004.

Mufid, Nur, dan Nur Fuad, Bedah Al-Ahkam As-Shulthâniyyah, Surabaya: Pustaka Progressif, 2000.

Mu‟in Salim, Abdul, Fiqh Siyasah Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an , Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.

--- . Fiqh Siyasah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995.

Nawawi, Hadari, Kepemimpinan menurut Islam, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2001.


(6)

99

Prayitno, Irwan, Al-Haq wal Bâthil, Bekasi: Pustaka Tarbiatuna, 2002.

Qadir Jaelani, Abdul, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1995.

Rahman, Fazlur, Konsep Negara Islam, Yogyakarta: UII press, 2006. Sjazdali, Munawwir, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993.

Tahir Azhary, Muhammad, Negara Hukum, Jakarta: Prenada Media Group, 2007. Taimiyah, Ibn, Siyasah Syar’iyyah (Etika Poloik Islam), Risalah Gusti, Surabaya,

2005.

Zed Books Ltd, 7 Chntya Street, Para Perintis Zaman Baru Islam, edisi Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.

Referensi dari Internet:

http://saga-islamicnet.blogspot.com/2011/02/telaah-hadits-pemimpin-yang-egois.htmls,

Harian Republika online, Al-Mawardi: Pemikir Termasyhur Di Zaman Kekhalifahan. Wardhaya, Eko, kaderisasikammibgr.multiply.com.

Usepsaefurohman.wordpress.com, mengutip dari Era Muslim, Agenda Politik dan Pemerintahan Islam.

Umar as-Sewed, Muhammad, “Taat Kepada Pemerintah”, dari