14
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG LOYALITAS RAKYAT
TERHADAP PEMIMPIN
A. Pengertian Loyalitas
Loyalitas dalam kamus besar Bahasa Indonesia adalah kesetiaan, ketaatan, kepatuhan
1
.  Istilah  dari  kata  loyalitas  sebenarnya  lebih  dekat  dengan  ketaatan. Sedangkan  istilah  loyalitas  dalam  bahasa  Arab  secara  etimologi  disebut  juga
walâyah  yang  artinya  pertolongan  dan  al- wala’
2
artinya  pemuliaan,  pembelaan, cinta, dukungan, penghormatan, dan bersama-sama orang yang dicintai lahir dan
batin. Beberapa  kata  yang  terkait  dengan  wala
’  adalah  al-muwâlah  seseorang yang  memberi  dukungan  kepada  satu  pihak,  maula  memiliki  banyak  arti,
semuanya berasal  dari  al-nusrah dukungan dan  al-mahabbah cinta, walâyah dukungan, al-walyu kedekatan dan wali dapat diartikan orang yang mengurus
orang lain.
3
1
Departemen  Pendidikan  dan  Kebudayaan,  Kamus  Besar  Bahasa  Indonesia,  Jakarta:  Balai Pustaka, 1989 cet. 2, h. 533.
2
Sa‟id Hawaa dan Sayyid Qutb, Al-Wala`, Jakarta: Al-I‟tisom Cahaya Umat, 2001, h. 1.
3
Irwan Prayitno, Al-Haq wal Bâthil, Bekasi: Pustaka Tarbiatuna, 2002, h. 97.
15
B. Kewajiban Rakyat Taat Kepada Pemimpin
Para pemimpin harus mampu  mengembalikan manusia kepada ketentuan- ketentuan  yang  dibawa  oleh  Rasul,  seperti  pendapat  al-Mawardi  bahwa  tugas
pemimpin  adalah  salah  satunya  diproyeksikan  untuk  mengambil  alih  peran kenabian dalam menjaga agama.
4
Dalam seluruh aspek kehidupan untuk kebaikan yang  menyeluruh.  Apabila  ulil  amri  telah  bermufakat  menentukan  suatu
peraturan,  rakyat  wajib  untuk  mentaatinya,  dengan  syarat  mereka  itu  bisa dipercaya  dan  tidak  menyalahi  ketentuan  Allah  dan  ketentuan  Rasul-Nya,  yang
telah diketahui secara mutawatir. Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang terpilih dalam pembahasan suatu masalah dan menentukan kesepakatan  diantara
mereka.
5
Loyalitas  adalah  satu  pilar  pemerintahan  dalam  Islam  dan  menjadi  salah satu  landasan  sistem  politiknya.  Tidak  terbetik  dalam  bayangan  siapapun  jika
terdapat  suatu  sistem  yang  baik,  negara  yang  kuat,  dan  tentram  tanpa  adanya keadilan dari penguasa dan loyalitas dari rakyat kepada umara. Umar bin Khattab
menjelaskan tentang pentingnya taat dalam agama ini dengan mengatakan: “Tidak
ada arti Islam tanpa jamaah, tidak ada arti jamaah tanpa amîr, dan tidak ada arti amîr
tanpa kepatuhan”. Sebab Islam bukanlah agama individu melainkan agama
4
Lihat kitab Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, Jakarta: Darul Falah, 2007, h. 1.
5
Abdul Qadir Jaelani, Negara Ideal Menurut Konsepsi Islam, Surabaya: Bina Ilmu, 1995, h. 93.
16
komunitas  dan  Islam  tidak  dapat  diwujudkan  secara  paripurna  kecuali  dengan adanya komunitas.
6
Dari  sini  dapat  dipahami  mengapa  redaksi  perintah  atau  larangan  agama sering  kali  dengan  mengajak  berbicara  secara  kelompok  atau  jamaah,  bukan
individu.  Jamaah  tidak  memiliki  arti  jika  mereka  hidup  sendiri-sendiri  tanpa adanya  ikatan  sistem  dan  tidak  disatukan  oleh  amîr  yang  mengatur  urusan
mereka.  Meskipun  amîr  memiliki  sifat-sifat  mulia  dan  prestasi  yang  baik, kecerdasan dan penalaran yang hebat dan mental yang kuat, akan tetapi semua itu
tidak  mempunyai  makna  bagi  jamaah,  kecuali  jamaah  itu  memberikan  loyalitas, tidak menentang, mematuhi peraturan, dan menjauhi larangan-Nya.
Maka tidak mengherankan apabila ditemukan dalam al- Qur‟an dan sunnah
Rasulullah  saw  yang  berbicara  mengenai  kepatuhan  dan  ketaatan  yang menyangkut  pengertian,  hukum  dan  batas-batasan  serta  sisi  negatifnya,  apabila
nilai  kepatuhan  dan  ketaatan  telah  menghilang  dari  kehidupan  jamaah.  Maka syariat  memerintahkan  agar  mematuhi  para  umara  muslim  dan  melarang
menentang  mereka,  kecuali  dalam  kondisi  tertentu,  yang  diizinkan  syariat  agar umat tidak hidup dalam kekacauan berkelanjutan yang menggangu ketentraman.
7
Loyalitas  kepada  penguasa  merupakan  salah  satu  rukun  aqidah  ulama salaf,  yang  tertuang  hampir  disemua  kitab  mereka.  Yang  demikian  itu  sangat
penting,  karena  loyalitas  terhadap  mereka  para  penguasa,  dalam  konteks  ini
6
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, Jakarta: Robbani Press, 1999, h. 45.
7
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 46.
17
adalah penguasa yang adil berdampak positif terhadap kemaslahatan agama dan dunia,  sementara  ketidakloyalan  terhadap  mereka  baik  secara  ucapan  maupun
perbuatan berujung kepada kehancuran agama dan dunia. Unsur  pertama  dalam  pembentukan  negara  adalah  pemerintahan  atau
kepemimpinan. Dalam  hal  “kepemimpinan”,  Imam  Hasan  Basri  mengatakan
“yang menjadi perwalian kita ada lima perkara, yaitu: jum‟at, jamaah, hari raya, peperangan dan saksi hukum. Demi Allah agama tidak akan tegak tanpa mereka,
walaupun  mereka  bertindak  zalim.  Demi  Allah,  Allah  akan  memberikan kemaslahatan  lewat  mereka  yang  lebih  daripada  kehancuran  yang  mereka
lakukan.  Ketaatan  kepada  mereka  adalah  sumber  kebahagiaan,  sementara ketidaktaatan kepada mereka merupakan kufur nikmat.
”
8
Unsur kedua dari pada unsur-unsur yang membentuk negara adalah rakyat, dimana  kekuasaan  pemerintahan  menangani  urusan-urusan  mereka  dan
mengatur kepentingan-kepentingan serta memutuskan segala perkara yang timbul diantara  anggota-anggotanya.  Bahkan  dari  segi  keutamaan  dan  prioritasnya,
rakyat merupakan unsur pertama, di mana para penguasa bisa berdiri tegak. Tidak ada artinya eksistensi seorang penguasa, baik ia raja, kepala negara,
imam  maupun  khalifah,  tanpa  adanya  rakyat  atau jama‟ah  atau  umat.  Ketaatan
manusia  rakyat  kepada  penguasa  dan  pemerintah  merupakan  suatu  keharusan untuk memberi kuasa kepada negara agar melaksanakan dan mewujudkan tujuan-
tujuan  yang  terdahulu.  Sebagai  balasan  atas  ke-iltizâm-annya  kepada  syariah,
8
Abdus  Salam  bin  Barjas  al-Abd  Karîm,  Etika  Pengkritik  Penguasa,  Surabaya:  Pustaka Assunnah, 2002, h. 1.
18
pengikatan dirinya kepada syura, dan penanggungjawabannya terhadap anak-anak rakyat,  maka  rakyat  wajib  mentaati  pemerintah  agar  ia  dapat  mewujudkan  hak,
menjamin  keamanan,  menegakkan  keadilan,  serta  membela  umat,  tanah  air  dan agama  mereka,  serta  ketaatan  kepada  perintah-perintah  penguasa  dalam  batas-
batas syariah dan kepentingan umum.
9
Jika  ditelaah  dari  nash-nash  agama,  maka  dapat  diketahui  bahwa  Islam mewajibkan  umat  Islam  mentaati  umara  dan  melarang  menentang  mereka.
Mengenai hal ini Allah berfirman:
“Hai  orang-orang  yang  beriman  taatilah  Allah  dan  taati  pulalah Rasul  serta  pemegang  kekuasaan  dari  kalanganmu.  Kalau  kamu  berbeda
pendpat  entang  sesuatu,  kembalilah  kepada  kitab  Allah  dan  Sunnah  Rasul, jika  benar-benar  kamu  beriman  kepada  Allah  dan  hari  akhirat.  Yang
demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.
” QS:An-Nisa:59. Sebagaimana yang diketahui bahwa ketetapan yang dijadikan kaidah oleh
para  fuqaha  adalah  bahwa  bentuk  inperatif  amr  memberi  konsekuensi  hukum wajib, selama tidak ada indikasi yang didukung oleh keterangan yang mengubah
status wajib menjadi sunah. Dalam ayat ini terdapat perintah mentaati Allah SWT
9
Muhammad  al-Mubarak,  Sisem  Pemeritahan  Dalam  Perspektif  Islam,  Solo:  Pustaka Mantiq, 1995, h. 58.
19
dan Rasulullah saw serta khalîfah, para amîr, komandan pasukan, gubernur, qadi, dan  menteri  serta  orang  yang  mengemban  tanggung  jawab  mengurusi  urusan
umat Islam. Kita  memahami  bahwa  taat  kepada  Rasulullah  saw  wajib  dengan
ketetapan  al- Qur‟an  maka  menjadi  keharusan,  dengan  demikian,  mentaati  amîr
juga  wajib.  Dapat  dipahami  juga  bahwa  menentang  Rasulullah  saw  haram hukumnya, begitu pula menentang amîr haram pula hukumnya.
Menurut  akal  sehat  tidak  masuk  akal  jika  pemimpin  melaksanakan kewajiban yang menjadi hak Allah atas dirinya dan hak umat Islam, kemudian ia
tidak didengarkan kata-katanya, tidak ditaati perintah dan larangannya oleh rakyat di  negri  yang  membutuhkan  pembelaan  dan  kekuasaannya.
10
Telah  menjadi hukum  keadilan,  bahwa  disamping  ada  kewajiban  yang  dijalankam  imam,  ada
pula  hak  imam  yang  harus  dipenuhi  rakyatnya.  Mengenai  masalah  ini,  Sayyid Muhammad  Rasyid  Rido  menulis  sebagai  berikut:  Apabila  telah  selesai
pelantikan  dan  pembai‟atan  terhadap  imam,  maka  wajiblah  sekalian  umat mentaati  imam  dan  membantunya  dalam  hal  tidak  mendurhakai  Allah;
membunuh orang yang mendurhakai khalîfah.
11
Prinsip  ketaatan  mengandung  makna  bahwa  seluruh  rakyat  tanpa  kecuali berkewajiban  mentaati  pemerintah,  selama  penguasa  atau  pemerintah  tidak
10
Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, Sistem Politik Islam, h. 47.
11
A. Hasjmy, Di Mana Letaknya Negara Islam, Banda Aceh: Bina Ilmu, 1984, h. 210.
20
bersikap  zalim  tiran  atau  diktator  selama  itu  pula  rakyat  wajib  taat  dan tunduk kepada penguasa atau pemerintah.
12
Dalam  banyak  hadits,  Rasul  menempatkan  kepatuhan  kepada  pemimpin pada  posisi  kepatuhan  kepada  diri  Rasul  dan  kepatuhan  terhadap  Allah.  Imam
Bukhâri  dan  Muslim  meriwayatkan  hadits  dari  Abi  Salamah  bin  Abdirrahman, bahwa dia mendengar Abu Hurairah berkata, Bahwa Rasulullah bersabda:
Artinya:  “Siapa  saja  yang  mentaati  aku,  maka  dia  telah  mentaati  Allah.  Dan barang  siapa  yang  berbuat  maksiat  kepadaku,  maka  dia  telah  berbuat
maksiat kepada Allah. Dan siapa saja yang telah mentaati pemimpinku, maka  dia  telah  mentaati  aku.  Sedangkan  siapa  saja  yang  tidak  taat
kepada pemimpinku, maka dia telah berbuat maksiat kepadaku” HR. Al-Bukhâri dan Muslim
13
.
Taat  kepada  penguasa  muslim  yang  menerapkan  hukum-hukum  Islam  di dalam  pemerintahannya,  sekalipun  zalim  dan  merampas  hak-hak  rakyat,  selama
tidak  memerintah  untuk  melakukan  kemaksiatan  dan  tidak  menampakkan kekufuran yang nyata, hukumnya tetap fardu bagi seluruh kaum muslimin.
Ketaatan  tersebut  hukumnya  wajib.  Karena  Allah  SWT  telah memerintahkan  ketaatan  kepada  penguasa,  amîr  atau  imam.  Perintah  dengan
12
Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum, cet. 3, Jakarta: Prenada Media Group, 2007, h. 155.
13
Taqiyudin al-Nabhani , Sistem Pemerintahan Islam, Bangil Jatim: Al-Izzah, 1996, h. 335- 336.
21
sebuah  indikasi  Qarînah  yang  menunjukkan  adanya  suatu  keharusan  jazman yaitu Rasulullah menjadikan ketidaktaatan kepada pemimpin itu seabagai sebuah
kemaksiatan  kepada  Allah  dan  Rasul.  Serta  dengan  adanya  penegasan ta’kîd
dalam  perintah  ketaaan  tersebut,  sekalipun  yang  menjadi  penguasa  budak  hitam legam.  Semuanya  itu  merupakan  indikasi  yang  menunjukkan  bahwa  perintah  itu
menuntut  dengan  tegas  agar  dilaksanakan  jazim,  maka  taat  pada  pemimpin  itu hukumnya fardu.
Allah  telah  mewajibkan  kita  untuk  mentaati  ulil  amri  dan  mereka  adalah para imam  yang menjadi pemerintah kita.  Seperti hadits di bawah ini, dari Anas
bin Malik ra. Katanya: Rasulullah Saw bersabda:
Artinya: “Hendaklah kamu mendengarkan dan mematuhi perintah, biarpun yang
diangkat  untuk  memerintahi  kamu  seorang  hamba  sahaya  bangsa Habsyi, rambutnya bagai anggur kering
.” HR. Al-Bukhâri
14
Sekiranya kita diperdaya oleh hawa nafsu untuk mengingkari perintah dan syariat  yang  mulia  ini,  tidak  lagi  taat  kepada  penguasa,  tentu  kita  akan  menuai
dosa dan terpuruk dalam ke-mudarat-an, ketetapan Nabi ini merupakan cerminan dari  kesempurnaan  Islam,  umat  yang  terpukul  sekiranya  tidak  tepat  taat,  akan
14
Muhammad  Ibn Isma‟il  Abu  Abdullah  Al-Bukhâri  Al-Ja‟fi,  Al-Jami’  Al-Sohih  Al-
Mukhtasor, Beirut: Dâr Ibnu Katsir, 1987,  no.6723
22
mengakibatkan  terganggunya  roda  kemaslahatan  dunia  dan  agama,  kezaliman akan meluas ke segenap lapisan masyarakat, keadilan akan sirna dari muka bumi
dan kita akan terjerumus ke dalam bencana sistematis. Berbeda  ketika  orang  yang  teraniaya  itu  sabar  dan  tawakal,  memohon
kepada Allah agar diberikan jalan keluar, tetap loyal dan taat, maka kemaslahatan akan  tetap  kokoh,  haknya  tidak  hilang  dari  sisi  Allah.  Boleh  jadi  Allah
menggantikannya dengan yang lebih baik, setidaknya dijadikan saham kebajikan baginya  di  akhirat  kelak.  Inilah  wujud  sisi  kemurnian  Islam,  loyalitas  dan
ketaatan  tidak  dikaitkan  dengan  keadilan  penguasa.  Sekiranya  tidak  demikian, maka hancurlah tatanan keduniaan.
Adapun  jika  keluar  dari  ketaatan  kepada  penguasa  akan  menimbulkan kerusakan  yang  besar  dan  hilangnya  keamanan,  menzalimi  masyarakat,
terbunuhnya  orang-orang  yang  tidak  bersalah,  dan  lain  sebagainya,  maka  hal  ini tidak  boleh  dilakukan.  Dalam  kondisi  seperti  ini wajib  bersabar,  mendengar  dan
taat  dalam  kebaikan  serta  menasihati  para  pemimpin  dan  mendoakan  mereka dengan kebaikan.
15
Kepatuhan  individu  kepada  negara  yang  direpresentasikan  dengan perintah  para  pejaba
tnya,  merupakan  hak  syar‟i  negara  atas  dirinya.  Setiap individu wajib melaksanakan perintah-perintah, peraturan-peraturan dan rencana-
rencana  yang  telah  ditetapkan  negara  untuk  merealisasikan  kepentingan  umum
15
Abdul Aziz bin Baz, dkk, Fatwa-Fatwa Terlengkap, Jakarta: Darul Haq, 2006, h. 169.
23
dan  tujuan-tujuan  negara.  Karena  pentingnya  kepatuhan  serta  pengaruhnya  yang sangat  besar  pada  kejayaan  negara,  Islam  memerintahkan  setiap  orang  untuk
patuh  kepada  negara  dalam  hal  yang  dia  senangi  ataupun  tidak.  Negara  tidak mungkin  menjadikan  semua  warga  negara  setuju  dengan  kebijakan-kebijakan,
perintah-perintahnya  juga  tidak  mungkin  bisa  disepakati  oleh  semua  pihak,  apa yang dilakukan negara pasti ada yang menyukainya, adapula yang tidak.
Oleh sebab itu hawa nafsu tidak boleh menjadi patokan untuk patuh apa yang  disenanginya,  secepatnya  dipatuhi,  sedangkan  yang  tidak  disenanginya
lambat  dipatuhi  atau  dilanggarnya  kepatuhan  semacam  ini  tidak  cukup  untuk mengelakkan  tanggung  jawab  individu  atas  kewajiban  patuh  terhadap  negara.
Tidak  ada  keistimewaan  apapun  bagi  seorang  dengan  kepatuhan  semacam  ini, karena  setiap  orang  biasa  melakukannya.  Dan  juga  tidak  akan  bertahan  lama,
karena  didasarkan  atas  hawa  nafsu  dan  individu  sendiri  tidak  akan  sanggup bertahan  dan  konsisten,  jika  seseorang  keberatan  untuk  patuh  dalam  hal  yang
tidak  dia  senangi,  tentu  akan  menyeretnya  kepada  pelanggaran  dan  kemudian pengingkaran terbuka.
Dalam  keadaan  seperti  itu  negara  mungkin  diam  saja  dan  pemberontak pun  merajalela,  kekacauan  menyebar,  sehingga  runtuhlah  negara.  Mungkin  juga
negara menggunakan kekuatannya untuk memaksa para pembangkang agar patuh. Keadaan  ini  menimbulkan  friksi  dan  perpecahan  dan  negarapun  siap
mengacungkan  pedang.  Akibatnya  sudah  sama  maklum  penguasaan  negara sendiri  atas  warganya  sehingga    tidak  ada  yang  tersisa  kecuali  permusuhan.
24
Demikianlah  setiap  individu  harus  mengingat  akibat  pelanggaran,  membiasakan diri patuh terhadap negara dengan dasar pilihan yang tumbuh dari lubuk hatinya.
Dan seyogyanya dia mengetahui bahwa kepatuhannya kepada Allah harus ditaati selama untuk tujuan baik. Jadi, setiap individu menjalankan kepatuhannya  seperti
orang patuh terhadap imamnya dalam sholat berjamaah.
16
Keabsahan kekuasaan ulil amri mengandung makna bahwa hukum-hukum dan  kebijaksanaan  politik  yang  mereka  putuskan,  sepanjang  hal  itu  tidak
bertentangan dengan al-Quran dan Sunnah, mempunyai kekuatan  yang mengikat seluruh  rakyat.  Karena  itu  seluruh  rakyat  yang  menjadi  subyek  hukum  wajib
mentaatinya.  Keberadaan  hukum  ini,  disamping  hukum  Tuhan,  sebagai  hukum positif  memperlihatkan  wajah  dari  tata  hukum  yang  menjadi  bagian  dari  sistem
politik dan pemerintahan. Dalam hal  ini dikenal  dua hukum  yang berlaku dalam negara:  Hukum  Allah  syariah  yang  bersumber  dari  al-Quran  dan  Sunnah,  dan
hukum negara yang bersumber dari keputusan ulil amri.
17
Jika pada pemimpin sudah terlihat padanya kemungkaran tetapi pemimpin tersebut  masih  menjalankan  shalat  lima  waktu  maka  wajib  bagi  rakyat
mentaati nya  seperti  hadits  berikut  ini,  dari  „Auf  bin  Malik  ra,  dia  bercerita,
Rasulullah Saw bersabda:
16
Abdul Karim Zaidan, Masalah Kenegaraan dalam Islam, Jakarta: Al-Amin, 1984, h. 90.
17
Abd.Mu‟in Salim, Fiqh Siyasah, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995, h. 242.
25
Artinya: “Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan ia mencintai
kalian,  yang  kalian  doakan  dan  mendoakan  kalian.  Dan  seburuk-buruk pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan ia membenci kalian, yang
kalianm  kutuk  dan  mengutuk
kalian.  “  „Auf  berkata:”kami  pun bertanya:”Wahai  Rasulullah,  apakah  kami  boleh  melawan  mereka?‟
Beliau  menjawab:  ‟Tidak,  selama  mereka  masih  menegakkan  shalat  di tengah-tengah kalian.
” HR. Muslim
18
C. Batasan Taat Kepada Pemimpin