Kiprah Politik Al-Mawardi Biografi Al-Mawardi

4. Ja‟far bin Muhammad bin al-Fadhl al-Bagdadi 5. Abu al-Qasim al-Qusyairi. Ia belajar Fiqh pada: 1. Abu al-Qasim al-Sumairi di Basra 2. Ali Abu al-Asfarayini imam madzhab imam Syafi‟i di Bagdad dan lain sebagainya. Murid-muridnya: 1. Imam besar, al-Hafidz Abu Bakar Ahmad bin Ali Khatib al-Bagdadi. 2. Abu al-Izzi Ahmad bin Kadasy. 8

3. Kiprah Politik Al-Mawardi

Dari jabatan qadi hakim, al-Mawardi mendapat promosi sebagai duta besar untuk khalifah dan menyelesaikan banyak masalah politik di negaranya. Setelah menjabat menjadi qadi diberbagai tempat, dia ditunjuk sebagai qadi al- qudat Hakim Agung Ustuwa, sebuah distrik di Nishapur. Tahun 1049, dia mendapat kenaikan jabatan sebagai qab al-qudat ketua Mahkamah Agung di Bagdad, posisi yang dijabatnya sampai kematiannya tahun 1058 M. Selain keputusannya dibanyak kasus menjadi contoh untuk hakim-hakim lain didekade 8 Imam Al-Mawardi, Al-Ahkâm Al-Shulthâniyyah, edisi Indonesia, h. xxvi. berikutnya, keputusan yang tegas untuk banyak masalah hukum dipakai sebagai petuah selama beberapa abad. 9 Situasi politik di dunia Islam pada masa al-Mawardi, yakni sejak menjelang akhir abad X sampai pertengahan abad XI M, tidak lebih baik dari pada zaman Farabi,dan bahkan lebih parah. Semula Bagdad merupakan pusat peradaban Islam dan poros negara Islam. Khalîfah di Baghdad merupakan otak peradaban itu, dan sekaligus jantung negara serta dengan kekuasaan dan wibawa yang menjangkau semua penjuru dunia Islam. 10 Tetapi kemudian lambat laun cahaya yang gemerlap itu pindah dari Bagdad ke kota-kota lain. Kedudukan khalîfah mulai melemah , dan dia harus membagi kekuasaannya dengan panglima-panglimanya yang berkebangsaan Turki atau Persia serta penguasa-penguasa wilayah. Meskipun makin lama kekuasaan para pejabat tunggu dan panglima non Arab itu makin meningkat, waktu itu belum tampak adanya usaha dipihak mereka untuk mengganti khalîfah Arab itu dengan khalîfah yang berkebangsaan Turki atau Persia. Namun demikian mulai terdengar tuntutan dari sementara golongan agar jabatan itu dapat diisi oleh orang bukan Arab dan tidak dari suku Quraisy. Tuntutan itu sebagaimana yang dapat diperkirakan kemudian menimbulkan reaksi dari golongan lain, khusunya dari golongan Arab, yang ingin mempertahankan syarat keturunan Quraisy untuk mengisi jabatan kepala negara, serta syarat 9 M. Atiqul Haque, 100 Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, Jogjakarta: Diglossia, 2007, h. 143. 10 Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, Jakarta: UI Press, 1993, h. 58. kebangsaan Arab dan beragama Islam untuk menjabat wazir tafwidh atau penasihat dan pembantu utama khalîfah dalam menyusun kebijaksanaan. Mawardi adalah salah satu tokoh utama dari golongan terakhir ini. 11 Al-Mawardi juga penulis yang cakap mengenai beragam topik seperti agama, etika, satra, dan politik. Khalîfah al-Qadirbillah memberinya penghargaan tinggi dan khalî fah Qa‟im bin Amirullah 391-560 H, khalîfah Abasiyah ke-26, menunjukkan sebagai duta besar untuk beberapa misi diplomatik ke negara- negara satelit disekitarnya. Kebijaksanaannya sebagai negarawan berhasil mempertahankan prestise kekhalîfahan Bagdad padahal lebih kecil diantara amîr- amîr Saljuk dan Buyid yang terlalu kuat dan hampir independen, dan dia sering menerima hadiah berharga dari amir-amir tersebut, sehingga kekayaannya melebihi orang lain di kelas sosialnya. Walaupun dituduh oleh banyak orang menganut kepercayaan theologies Mu‟tazilah, tetapi penulis-penulis selanjutnya menyangkalnya 12 . Sebenarnya kondisi politik pada saat itu jika kita amati secara sekilas ketika itu dunia Islam terbagi ke dalam tiga negara yang tidak akur dan saling mendendam terhadap yang lain, di Mesir terdapat negara Fatimiyyah. Di Andalusia terdapat negara Bani Umayyah. Di Irak Khurasan, dan daerah-daerah Timur secara umum terdapat negara Bani Abasiyah, hubungan antara khalîfah- khalîfah Bani Abasiyah dengan negara Fatimiyyah di Mesir didasari permusuhan 11 Munawwir Sjazdali, Islam dan Tata Negara, h. 59. 12 Jamil Ahmad, Seratus Muslim Terkemuka, h. 164. sengit, sebab masing-masing dari keduanya berambisi untuk menghancurkan yang lain. Hubungan Bani Abasiyah dengan khalîfah-khalfîah Bani Umaiyyah di Andalusia juga dilandasi permusuhan sejak Bani Abasiyah meruntuhkan sendi- sendi negara Bani Umaiyyah, dan untuk itu darah tercecer di sana sini. Itulah kondisi eksternal negara Bani Abasiyah, adapun kondisi internal khalifah di Bagdad dan sekitarnya, sesungguhnya pemegang kekuasaan yang sebenarnya di Bagdad adalah Bani Buwaih, mereka adalah orang-orang Syiah fanatik dan radikal. Mereka berkuasa dengan menekan ummat, dan khalîfah sendiri tidak mempunyai peran penting yang bisa disebutkan disini, bahkan ia adalah barang mainan di tangan mereka. Mereka melemparkannya seperti bola, jika mereka tidak menyukai khalîfah, mereka langsung memecatnya. 13

4. Karya-karya Al-Mawardi