Teori Fenomenologi Konstruksi Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur diKesultananLangkat dalam Surat Kabar(Analisis Framing tentang KonstruksiMelayu saat Revolusi SosialSumateraTimur di Kesultanan Langkat dalam SuratKabar PandjiRa’jat)

1. Faktaperistiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda Gans, dalam Eriyanto, 2002: 19 2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihaknya. Lewat bahasa yang dipakainya, media dapat membentuk pandangan umum terhadap suatu kelompok. 3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kit abaca pada dasarnya adalah hasil konstruksi dari kerja seorang jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik. 4. Berita bersifat subjektifkonstruksi atas realitas, opini tidak dapat dihilangkan karena wartawan saat meliput melihat dengan perspektif dan pertimbangannya sendiri. 5. Wartawan bukan pelapor, melainkan agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial 6. Etika, moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan bukan layaknya robot yang merekam segala sesuatu yang dilihat dan didengar. Etika dan moral ketika memilih satu kelompok pada dasarnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, inilah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. 7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, ia mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita.

II.3 Teori Fenomenologi

Fenomenologi berasal dari kata fenomenon, suatu padanan dari bahasa Inggris phenomenon yang berasal dari kata Yunani phainein yang berarti memperlihatkan dengan bentuk pasifnya terlihat, atau yang tampil terlihat jelas di Universitas Sumatera Utara hadapan kita. Kata itu juga memiliki akar yang sama dengan kata fancy dan fantacy yang berarti imajinasi. Jadi fenomenon dapat saja tampil di dalam pikiran kita sejauh dia itu jelas. Fenomenologi adalah teori tentang fenomenon Praja, 2003:179. Pertama kali dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl 1859- 1938. Perhatiannya pada cara mengatur gejala yang dialami sedemikian rupa sehingga dapat memahami dunia sekitarnya, dan sambil mengembangkan suatu pandangan dunia. Tak ada realitas yang terpisah atau objektif bagi orang. Yang ada hanyalah apa yang diketahui tentang pengalaman dan maknanya. Pengalaman subjektif sekaligus mengandung benda atau hal objektif dan realitas seseorang Suyanto, 2005: 178 - 179. Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan, termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang. Itu terbenam sebagai suatu kompleks gramatika kesadaran di dalam diri manusia. Di situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku Bungin, 2003. Fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Maka fenomenologi sosial mempunyai sebuah pendekatan dan pembendaharaan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan Ardianto, 2007: 129. Dalam proses memproduksi berita, Eriyanto 2002: 106 menuliskan bahwa pemahaman wartawan erat kaitannya dengan pengertian dan anggapan persepktif wartawan dalam melihat beragam fenomena yang terjadi pada masyarakat. Ada semacam standar yang harus ditaati wartawan agar laporan yang ia berikan mempunyai nilai yang akan diinformasikan kepada masyarakat. Nilai tersebut tidaklah bersifat personal melainkan dihayati bersama dengan lembaga- lembaga yang dipercaya dalam mengontrol kerja wartawan.

II.4 Teori Interaksionisme Simbolik