Kehidupan Bangsawan Melayu Kesultanan Langkat Sebelum dan Sesudah Revolusi Sosial

(1)

SURAT KABAR

Harian Merdeka, 21 Februari 1946. , 14 Maret 1946. , 15 Maret 1946.

Nederlands Instituut Voor Oorlogdocumentatie, Publicatie Pandji Ra’jat, 2 September 1947. Semangat Merdeka, 31 Januari 1946.

, 12 Maret 1946. , 13 Maret 1946. , 14 Maret 1946. , 20 Maret 1946. , 29 Maret 1946. Soeara Merdeka, 20 Februari 1946 Soeloeh Merdeka, 16 Maret 1946.

, 18 Maret 1946. , 22 Maret 1946. , 23 Maret 1946. , 25 Maret 1946. , 8 April 1946.


(2)

, 25 April 2014.

, 27 April 2014

SUMBER LISAN

Wawancara,Ratna dengan Abdul Kahar Abdullah, Medan, 02 Juni 1983. Wawancara,S.P. Dewi Murni dengan Rokyoto, Binjai, 12 Juni 1983.

Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Sulong Chalizar, Stabat, 18 Juni 1983. Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Mochtar Azis, Medan, 22 Juli 1983.

INTERNET

diakses pada tanggal 22 Agustus 2014, pukul 16.35 WIB.

05.40 WIB.

pukul 07.00 WIB.


(3)

DAFTAR INFORMAN

Nama : Datuk Oka Abdul Hamid A Umur : 64 tahun

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Alamat : Griya Pertanian Indah A7 Jalan Stasiun Kp. Lalang-Sunggal Nama : Fachrudin Ray

Umur : 81 tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS

Alamat : Komplek Pemda Stabat Nama : Jalilah Yahya

Umur : 90 tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS

Alamat : Jalan Perniagaan, Stabat Nama : Musa Darus

Umur : 72 tahun Pekerjaan : Wiraswasta

Alamat : Jalan Amir Hamzah, Tanjung Pura Nama : Oka Rulam

Umur : 92 tahun

Pekerjaan : Nelayan / Pejuang LVRI Alamat : Pulau Banyak Tanjung Pura Nama : Tengku Muhammad Nasir Umur : 77 tahun

Pekerjaan : Pensiunan PNS

Alamat : Dusun Pasar Batu, Stabat Lama Barat Nama : Tengku Rahil

Umur : 77 tahun Pekerjaan : Pensiunan PNS


(4)

Nama : Tengku Ta’zul Rizal Azis Umur : 67 tahun

Pekerjaan : Pensiunan Bank Sumut / Najir Mesjid Azizi Alamat : Komplek Pemda I, Medan


(5)

(6)

LAMPIRAN I


(7)

(8)

(9)

(10)

Soengai Karang Gading dengan Paloek Lamdaja dan dari sitoe menghilir Soengai Karang Gading sampai ke koelanya di Selat Malaka.

Dengan Selat MalakaMoelai dari Kwala Karang Gading moelai dari

Pantai sampai ke Koeala Ajer Masin.

Sumber : Het Governement van Nederland Indie en Het Zelfbestuur van Langkat Tahun 1938.


(11)

LAMPIRAN II

Gambar Istana (Lama) Darul Aman Kesultanan Langkat


(12)

LAMPIRAN III

Istana (baru) Darussalam Kesultanan Langkat


(13)

LAMPIRAN IV

Gambar Sultan Langkat, Tengku Mahmud Abdul Jalil Rahmadsyah


(14)

LAMPIRAN V

Berita peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur, termasuk Kesultanan Langkat dihapuskan


(15)

(16)

LAMPIRAN VI


(17)

Sumber : Prabudi Said (ed.). Berita Peristiwa 60 Tahun. Medan : Tanpa Penerbit. Tanpa Tahun Terbit.


(18)

LAMPIRAN VII

Korban revolusi sosial

(34 orang bangsawan Melayu Kesultanan Langkat dibunuh)


(19)

LAMPIRAN VIII

Surat protes Tengku Abdullah Hod mengenaiapa yang yang dialami para korban revolusi sosial kepada Menteri Luar Negeri


(20)

LAMPIRAN IX

Surat Balasan dari Sekretaris Jenderal, w.g J.M. Kiveron kepada Tengku Abdullah Hod


(21)

LAMPIRAN X

Pusat Pemerintahan Sumatera Timur di Medan akan dipindahkan ke Pematang Siantar


(22)

LAMPIRAN XI

FotoPengusaha kaya di Langkat Oka Muhammad Darus Umar dan merupakan salah satu korban revolusi sosial


(23)

LAMPIRAN XII

Foto keluarga besar Sultan Mahmud (diambil pasca revolusi sosial di rumahnya di Jalan Manggalan, Medan (sekarang menjadi Jalan Diponegoro) ).

Sumber foto: Djohar Arifin Husin.Sejarah Kesultanan Langkat. Medan: Yayasan Bangun


(24)

LAMPIRAN XIII

Surat Balasan dari Tengku Mahsoeri Langkat kepada P.J.M. Mr. J. Gerritsen tentang turut berduka cita atas meninggalnya Sultan Langkat


(25)

LAMPIRAN XIV

Surat kepada wali Negara Sumatera Timur dan Gubernur Jenderal Batavia mengenai permohonan bantuan untuk korban revolusi sosial


(26)

LAMPIRAN XV

Surat Mr. Moh. Hasan kepada Direksi Pengembalian Hak mengenai permata Sultan Siak


(27)

LAMPIRAN XVI

Surat Wakil Kepala Senat R.I.S., Mr. Moh. Hasan kepada Perdana Menteri mengenai daftar harta Sultan dan Bangsawan Serdang yang hilang atau diserahkan ketika terjadi


(28)

(29)

(30)

LAMPIRAN XVII

Surat pemberitahuan pemblokiran saham Sultan Abdul Azis yang tersimpan di Nederlandsch Indische Handelsbank, N.V.


(31)

LAMPIRAN XVIII

Surat balasan dari Bank Indonesia yang akan mengadakan penelitian perihal kejelasan harta Sultan Langkat (Sultan Abdul Azis) yang tersimpan

diNederlandsch Indische Handelsbank

N.V.


(32)

LAMPIRAN XIX

Surat dari European Banks International Company S.A mengenai saham-saham Sultan Abdul Azis yang telah dijual di London


(33)

LAMPIRAN XX

Surat dari Tengku Rahimah Azis mengenai kuasaahliwaris yang diberikankepadanya untuk mengurusi harta Sultan Abdul Azis di Belanda


(34)

LAMPIRAN XXI

Surat Tengku Dhiauddin Azis kepada Gubernur Bank Indonesia untuk meminta keterangan tentang kejelasan harta Sultan Langkat tersebut


(35)

(36)

(37)

DAFTAR PUSTAKA

ARSIP

Archief C.O. AMACAB van Sumatra, dr. Amir No. 3181/ P.Z., Medan, tanggal 4-6-1946. Dan di ARA (Archief Algemeene Secretarie) Reel 183.

NEFIS Publicatie, De Rol Door Dr Amir Gespeeld In De Sociale Revolutie Ter Oostkust van Sumatera No. 7 , Batavia tanggal 17-6-1946. Dan diARA 1207 (Archief Algemeene Secretarie)Kist II, dossier 51.

Surat Tengkoe Abdoellah Hod Dewa Sjahdan kepada Minister van Overzeesche Gebiedsdeelen te ‘s Gravenhage tentang berita Revolusi Sosial di Langkat, Amsterdam, tanggal 5-5-1946.

Surat balasan Secretarie Generaal (w.g. kiveron) kepada Tengkoe Abdoellah Hod Dewa Sjahdan, No. N.32/180, tanggal 28-6-1946.

Surat Sultan Langkat, Tengku Mahmud kepada Dr.H.J. van Mook, tentang ucapan selamat tahun baru dan kemakmuran dan kedamaian Belanda dan Indonesia, Medan, 30-12-1947.

Surat Komite Memperingati Revolusi Sosial kepada wali Negara Sumatera dan Gubernur Jenderal Batavia mengenai permohonan bantuan untuk korban revolusi sosial, Medan, tanggal 5-3-1948.

Surat Balasan dari Tengku Mahsoeri Langkat kepada P.J.M. Mr. J. Gerritsen tentang turut berduka Cita atas meninggalnya Sultan Langkat, dan balasannya, Medan tanggal 5-5-1948.

Surat Mr.T.M.Hasan kepada Kepala Direksi Pengembalian Hak Rijkswijk 11 di Jakarta tentang pengembalian harta-harta Sultan Siak dan Serdang, Jakarta, 17 Februari 1950. Surat-Surat Ahli Waris Sultan Langkat kepada mengenai konfirmasi Harta-harta Sultan


(38)

BUKU-BUKU

A, Datuk Oka Abdul Hamid. Sejarah Langkat Mendai Tuah Berseri. Medan : Badan Perpustakaan, Arsip, dan Dokumentasi Propinsi Sumatera Utara. 2011.

Agustono, Budi. “Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946”, dalam Tesis S2 belum diterbitkan. Yogyakarta : Pascasarjana Universitas Gadjah Mada, 1993.

Aka, Zainal Arifin.Riwayat Tengku Amir Hamzah : Cinta Tergadai, Kasih Tak Sampai.Langkat : Dewan Kesenian Langkat, 2002.

Basarshah II, Tuanku Luckman Sinar. Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur.Tanpa Kota Terbit : Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun Terbit.

Biro Sejarah Prima. Medan Area Mengisi Proklamasi. Jilid I, Medan : Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976.

Bottomore, T.B. Elite dan Masyarakat. Jakarta : Institut Akbar Tanjung. 2006.

Danil, Rohani Darus. Mendobrak Tradisi : Otobiografi. Medan : Consortium for Policy Review and Advocacy (COPRA). 2000.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah, Terj. Nugroho Notosusanto. Jakarta : UI Press. 1985. Husin,Djohar Arifin.Sejarah Kesultanan Langkat. Medan: Yayasan Bangun Langkat

Sejahtera, 2013.

Husny, Tengku Muhammad Lah.Biography Sejarah Amir Hamzah. Medan: Badan Penerbit Husny. 1976.

. Revolusi Sosial di Sumatera Utara/Tapanuli Disertai Pangkal dan Akibatnya. Medan : Badan Penerbit Husny. 1983.

Hutasoit, Marnixius. Percikan Revolusi di Sumatera. Jakarta : PT. B.P.K. Gunung Mulia. 1986.

Kementerian Penerangan R.I. Republik Indonesia : Propinsi Sumatera Utara. Medan: CV Karya Purna. 1953.

Langenberg, Michael van. “National Revolution in North Sumatera : Sumatera Timur and Tapanuli 1942-1950”, dalam Tesis Doktor, University of Sidney. 1976.

Lubis, Agus Syafwira. “Amir Hamzah (Biografi)”, dalam Skripsi belum diterbitkan.Medan : Jurusan Sejarah Fakultas Sastra USU. 1990.


(39)

Mansyur. The Golden Bridge : Jembatan Emas 1945. Medan : Lembaga Sosial Juang 45 Medan Area. Tanpa Tahun.

Noor, Amiruddin. Putri Melayu : Kisah Cinta dan Perjuangan Seorang Gadis Melayu di Tengah Kecamuk Pembantaian. Yogyakarta : Bentang. 2009.

Ratna, “Birokrasi Kerajaan Melayu Sumatera Timur di Abad XII”, dalam Tesis S2 belum diterbitkan, Yogyakarta : Pasca Sarjana UGM, 1990.

Reid, Anthony.Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur.Jakarta : Pustaka Sinar Harapan.1987.

, Revolusi Nasional Indonesia, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1996.

Ritonga, Farida Hanum. “Peranan Partai Politik Pada Peristiwa 3 Maret 1946 di Langkat”, dalam Skripsi belum diterbitkan. Medan : Jurusan Sejarah USU. 1981.

Said, Mohammad. Kuli Kontrak Tempo Dulu : Dengan Derita dan Kemarahannya. Medan : Percetakan Waspada, 1977.

Said, Prabudi (ed.). Berita Peristiwa 60 Tahun. Medan : Tanpa Penerbit, dan Tahun Terbit. Sebayang, Nas, dkk. Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia di Langkat dan Binjai.

Langkat-Binjai : Team Redaksi Panitia Penyusun Sejarah Perjuangan Kemerdekaan Indonesia. 1993.

Soeratman, Darsiti. Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939. Yogyakarta : Penerbit Taman Siswa. 1989.

Suprayitno.Mencoba (Lagi) Menjadi Indonesia. Yogyakarta : Yayasan Untuk Indonesia. 2001.

. “Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946 (Tragedi Amir Hamzah)” dalam Agus Suwignyo (ed.), Sejarah Sosial di Indonesia : Perkembangan dan Kekuaatan 70 Tahun Prof. Dr. Suhartono Wiryo Pranoto. Yogyakarta : Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, 2011.

Susilo. “Pengaruh Revolusi Sosial di Langkat Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Bangsawan Melayu di Kabupaten Langkat”, dalam Skripsi Sarjana Belum Diterbitkan. Medan : Fakultas Ilmu Sosial Unimed. 2008.

Syahnan, H.R. Dari Medan Area ke Pedalaman dan Kembali ke Kota Medan. Medan : Dinas Sejarah Kodam-II / Bukit Barisan. 1982.

T., Hasan Basrie Z. Two Rivers Darah Juang 45. Medan : Panitia Anjangsana Pejuang RI Medan Area. 1984.


(40)

BAB III

PERISTIWA REVOLUSI SOSIAL DI LANGKAT

3.1 Latar Belakang Peristiwa Revolusi Sosial

Telah dijelaskan di bab dua bahwa situasi di Sumatera Timur pasca kemerdekaan Indonesia mengalami gejolak. Berbagai konflik dan hambatan satu persatu datang menghadang Negara Republik Indonesia di wilayah Sumatera Timur yang baru seumur jagung. Mulai dari kerusuhan-kerusuhan yang dipelopori Sekutu/NICA78, hingga mengontrol kelompok radikal yang non-kooperatif79 dalam mempertahankan Republik Indonesia. Partai-partai politik dengan laskar rakyatnya yang bergabung di dalam Volksfront merasa tidak suka dengan sikap dan kebijakan yang ditunjukkan oleh T.M. Hasan dalam memimpin pemerintahan.80

Sikap tidak suka ini berawal dari pertemuan yang diadakan pada tanggal 8 September 1945 (sebelum pertemuan di Taman Siswa) oleh T.M. Hasan dengan tokoh politik, antara lain Abdul Xarim MS, Mohammad Said, dan Jahja Jacoeb di rumah dr. Amir di Tanjung

78

Netherlands Indisch Civil Administration atau NICA adalah sebuah badan pemerintahan sipil Hindia Belanda yang dibentuk oleh Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Dr. H.J. van Mook dan pembantu utamanya Ch. O. van der Plas selama mereka masih berkedudukan di Australia, tidak berapa lama setelah Jepang menyerah. NICA ini yang telah direncanakan Belanda menjadi badan resmi yang akan mengambil alih kekuasaan atas Indonesia dari tangan Jepang. Lihat, Biro Sejarah Prima,Medan Area Mengisi Proklamasi. Jilid I, Medan : Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area, 1976, hlm. 82.

79

Kelompok radikal tersebut antara lain, Saleh Umar, Marzuki Lubis, dan Jacob Siregar (PNI/Napindo), Luat Siregar, dan Nathar Zainuddin (PKI), Sarwono Sastrosutardjo (Pesindo), dan Bachtiar Yunus (Hizbullah). Lihat, Suprayitno, “Revolusi Sosial di Sumatera Timur Maret 1946 (Tragedi Amir Hamzah)” dalam Agus Suwignyo (ed.), Sejarah Sosial di Indonesia : Perkembangan dan Kekuaatan 70 Tahun Prof. Dr. Suhartono Wiryo Pranoto, Yogyakarta : Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, 2011, hlm. 149.

80


(41)

Pura. Dalam pertemuan ini T.M. Hasan dan dr. Amir lalai sehingga sama sekali tidak menyinggung masalah kemerdekaan Indonesia kepada mereka. Hal ini menimbulkan kekecewaan para tokoh politik terhadap kedua para pemimpin itu. Sikap dr. Amir sendiri sudah tidak begitu perduli terhadap proklamasi kemerdekaan karena beliau menganggap proklamasi hanyalah sandiwara belaka.81 Kekecewaan para tokoh politik ini semakin mendalam dengan adanya kebijakan T.M. Hasan yang berusaha melakukan diplomasi terhadap golongan bangsawan kesultanan di Sumatera Timur agar melebur ke dalam republik.82

Akibat desakan oleh para pemimpin politik, pada tanggal 31 September 1945T.M. Hasan memanggil seluruh para pemuda yang tergabung dalam Barisan Pemuda Indonesia (BPI) dalam rapat sosialisasi Kemerdekaan Indonesia di gedung Taman Siswa Medan. Akhirnya pada tanggal 6 Oktober 1945, bendera merah putih resmi dikibarkan di lapangan Esplanade (lapangan Merdeka sekarang), Medan.83

Pada tanggal 25 Desember 1945, T.M. Hasan melakukan kunjungan di Aceh. Selama gubernur Sumatera tidak berada di tempat, mulai tampak perubahan yang mencurigakan di wajah politik dr. Amir. Selama menjabat sebagai wakil gubernur, ia mulai berhubungan erat dengan beberapa tokoh komunis seperti Mr. Luat Siregar, dan Joenoes Nasution. Pada bulan itu, dr. Amir berangkat ke Jawa bersama Mr. Luat Siregar dan Adinegoro, serta Dr. Djamil

81

Biro Sejarah Prima,op.cit., hlm. 100-101.

82

Suwignyo, loc.cit.

83

Anthony Reid, Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera Timur, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 268; 271.


(42)

atas tawaran sekutu/NICA. Malah sepulangnya dari Jakarta, tanggal 3 Januari, sikap dr Amir menambah kecurigaan pemuda, karena dr. Amir mengatakan bahwa politik dan ekonomi di Sumatera dapat bebas dilakukan sendiri tanpa harus mengikuti sistem pemerintahan RI di Jawa.84 Pada tanggal 17 Januari 1946, dr. Amir bersama dengan Mr. Luat Siregar dan Jahja Jacoeb ditugaskan untuk memimpin Balai Layanan Informasi Penerangan dan Penyelidikan untuk memberikan panduan mengenai langkah-langkah menjalankan sistem pemerintahan, memberikan pendidikan politik kepada penduduk atas dasar untuk berpartisipasi memberikan ide-ide, baik di bidang politik, agama, dan sosial, serta digunakan sebagai sarana konferensi pers, publikasi, dan siaran radio (disamping mengendalikan pers).85

Pada tanggal 3 Februari 1946 diadakan rapat antara Komite Nasional Indonesia (KNI) daerah Sumatera Timur dengan gubernur Sumatera dan para sultan yang dihadiri oleh Tengku Hafas (Residen Sumatera Timur). Dalam rapat itu KNI meminta agar para sultan, raja-raja dan sibayak dalam tempo yang sesingkat-singkatnya segera mengubah sistem pemerintahannya dari otokrasi ke demokrasi sesuai dengan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.86

84

Ibid., hlm. 356.

85

Lihat NEFIS Publicatie, De Rol Door Dr Amir Gespeeld In De Sociale Revolutie Ter Oostkust van SumateraNo. 7 , Batavia tanggal 17-6-1946. Dandi ARA 1207(Archief Algemeene Secretarie) Kist II, dossier 51.

86

Kementerian Penerangan R.I. Republik Indonesia : Propinsi Sumatera Utara. Medan: CV Karya Purna. 1953, hlm. 76.

Kemudian para sultan dan raja-raja yang diwakili oleh Sultan Langkat memberikan pidato bahwa mereka berjanji akan setia terhadap Pemerintahan Republik Indonesia. Di dalam pidato itu, Sultan Langkat juga meminta agar gubernur Sumatera dapat


(43)

menyampaikan kepada presiden RI mengenai permohonan para sultan agar mempertimbangkan pembentukan daerah istimewa di Sumatera Timur.87

Berselang tiga hari pasca pertemuan itu yakni pada tanggal 6 Februari 1946, Gubernur Sumatera, T.M. Hasan didampingi Abdul Xarim MS dan pejabat pemerintahan lainnya melakukan kunjungan ke Selatan dengan tujuan untuk melihat keadaan-keadaan di Dari isi pidato yang diucapkan Sultan Langkat, tersirat bahwa tidak terlihat jelas kesungguhan mereka untuk setia ke dalam republik, karena sejujurnya tujuan mereka adalah ingin supaya wilayah kekuasaan mereka di Sumatera Timur menjadi daerah istimewa sehingga tetap melanggengkan sistem kekuasaan otokrasi mereka meskipun tidak seperti pada masa Belanda. Hal ini disebabkan oleh adanya segelintir bangsawan pro Belanda yang selalu menghasut para sultan agar tidak menyatukan diri ke dalam Republik. Misalnya, Sultan Langkat yang selalu dihasut oleh penasehatnya Datuk Jamil (pro Belanda), sehingga membuat sultan ragu-ragu dalam mengambil tindakan terhadap republik.

Bagi golongan politik, ini merupakan gong sebagai pertanda permainan mereka telah berakhir, dan kini akan dimulai permainan baru yang diprakarsai oleh golongan politik untuk menghancurkan kekuasaan otokrasi para bangsawan.

87

Permintaan untuk menjadi daerah istimewa di Sumatera Timur berkaitan dengan kebijakan presiden RI terhadap peleburan kerajaandi Jawa (Yogyakarta) menjadi daerah istimewa Yogyakarta. Pidato Sultan Langkat pada tanggal 3 Februari 1946, lihat Mansyur. The Golden Bridge : Jembatan Emas 1945. Medan : Lembaga Sosial Juang 45 Medan Area. Tanpa Tahun, hlm. 265-266. Rapat ini pun belum membuahkan hasil karena para sultan masih ragu untuk bergabung ke dalam republik, hanya Sultan Serdang yang terang-terangan mendukung republik. Di sisi lain para sultan dan golongan bangsawan masih menunggu uluran tangan Belanda untuk membantu mereka membangkitkan kembali kekuasaan kesultanan yang sedang mati suri. Hal ini yang menimbulkan ketidaksenangan kelompok radikal terhadap para sultan yang mereka anggap sebagai kelompok feodal dan musuh republik.; Soeara Merdeka, 20 Februari 1946, dan Merdeka, 21 Februari 1946.


(44)

daerah-daerah tersebut dari dekat guna terjalin hubungan kerjasama (koordinasi) di seluruh Sumatera.88 Selama gubernur Sumatera melakukan perjalanan, pemerintahan dipegang oleh dr. Amir. Situasi ini dimanfaatkan oleh dr. Amir dan tokoh radikal lainnya89

Kelompok radikal semakin melebarkan sayapnya dan menunjukkan wajah “garang”nya di Sumatera Timur. Mereka juga membentuk Ekonomi Rakyat Republik Indonesia (ERRI) untuk menguasai perkebunan yang terbengkalai dan hasilnya dijual guna membeli senjata untuk persiapan perang.

untuk merencanakan sesuatu yang masih belum terlihat pergerakannya.

90

Sultan pun kehilangan hak istimewanya atas tanah perkebunan tersebut, sedangkan rakyat Melayu harus menyingkir dari tanah-tanah yang telah mereka garap sejak masa Belanda. Di Langkat, Tengku Amir Hamzah sejak bulan Februari secara diam-diam mengundurkan diri dari kedudukan jabatan republiknya (asisten residen) karena tekanan-tekanan berat dari Sultan Langkat dan Datuk Jamil (sekretaris sultan) yang pro Belanda, serta di lain pihak mendapat tekanan dari para pemuda militan. Tokoh politik penting dari PNI dan bekas Gerindo, Adnan Nur Lubis mengambil alih tugas-tugas pemerintahannya atas persetujuan KNI Langkat.91

88

Tujuh keresidenan yang akan dikunjungi Mr. T.M. Hasan yaitu Tapanuli, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Palembang, Lampung, dan Bengkulu. Lihat, Soeloeh Merdeka, 22 Maret 1946.

89

Tokoh radikal itu antara lain, Luat Siregar, Sarwono Sastrosutardjo, Nathar Zainuddin, dan Abdul Xarim MS.

90

Reid, op.cit., hlm. 369.

91


(45)

Pada tanggal 27 Februari, kelompok radikal dan dr. Amir membawa Mayor Inggris, Fergusen pergi ke Asahan dan Pematang Siantar untuk meninjau daerah republik. Disana mereka diterima baik oleh rakyat dengan slogan-slogan “merdeka”.92

Di sisi lain, pergolakan di Sumatera Timur yang perlahan-perlahan mulai jelas arahnya membuat para sultan dan bangsawan cemas. Suasana kekalutan mendera Sultan Langkat dan golongan bangsawan. Mereka sering mengadakan pertemuan tertutup untuk membahas kekuatan pergerakan dan nasib mereka. Pertemuan ini, mereka lakukan secara hati-hati agar tidak membuat anak istri mereka cemas. Laskar rakyat hilir mudik di jalan-jalan raya Langkat. Truk mengangkut laskar rakyat silih berganti. Gerak-gerik sultan dan bangsawan pun mulai diawasi. Tengku Muhammad Khalid dan bangsawan lainnya sudah memiliki firasat buruk bahwa suatu hal yang mengerikan akan terjadi kepada hidup mereka.

Di samping itu, mereka memprovokasi rakyat dengan isu-isu yang tak menyedapkan bahwa para sultan telah membentuk Comite van Ontvangst sehingga membuat rakyat tidak senang terhadap golongan bangsawan.

93

Bangsawan Melayu yang tergabung dalam TKR pun mengalami tekanan. Ketidakseimbangan berita sangat mengganggu mereka. Sebagian bangsawan memilih

92

Lihat NEFIS Publicatie, De Rol Door Dr Amir Gespeeld In De Sociale Revolutie Ter Oostkust van SumateraNo. 7 , Batavia tanggal 17-6-1946. Dandi ARA 1207(Archief Algemeene Secretarie) Kist II, dossier 51.

93

Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Sulong Chalizar, Stabat, 18 Juni 1983;


(46)

menjauhi Kota Tanjung Pura, menyingkir ke rumah-rumah orang Melayu kebanyakan di luar kota. Akan tetapi hal itu tidak mudah karena rakyat yang dulu merasa tersanjung bila sekedar memperoleh lambaian tangan kaum bangsawan, sekarang mereka merasa turut terancam apabila didekati kaum bangsawan itu. Mereka khawatir akan turut dicurigai laskar rakyat.94

1. Pada masa Belanda golongan bangsawan yang menguasai kekuasaan di pemerintahan Kesultanan Langkat. Mereka juga banyak yang bekerja sebagai pegawai di Pemerintahan Belanda. Tidak ada penduduk pribumi yang diperbolehkan untuk menduduki kekuasaan tertinggi. Di kerapatan Kesultanan Langkat, orang yang menjadi hakim atau jaksa adalah keluarga sultan/bangsawan. Jadi, hal ini menimbulkan sikap pilih kasih dalam menjatuhi hukuman terhadap terdakwa.

Selama mereka menumpang di rumah rakyat, mereka juga turut membantu dalam urusan rumah tangga sang pemilik rumah seperti memasak, membersihkan rumah, dan sebagainya.

Menurut Rokyoto, ada beberapa keburukan sultan yang membuat para pemuda yang tergabung dalam laskar rakyat harus menyingkirkan mereka, yaitu sebagai berikut.

2. Pada masa pendudukan Jepang, para pemuda berusaha mendekati Jepang untuk bekerja sama sebagai taktik untuk menghancurkannya. Pada akhirnya para sultan dan bangsawan lah yang berhasil mendekati Pemerintah Jepang dan mendapat hak istimewa. Pada masa Jepang semua partai-partai politik dihapuskan dan

94

Amiruddin Noor, Putri Melayu : Kisah Cinta dan Perjuangan Seorang Gadis Melayu di Tengah Kecamuk Pembantaian, Yogyakarta : Bentang, 2009, hlm. 41.


(47)

hanya BOMPA yang tetap diperbolehkan. Hal ini yang membuat pemuda curiga kepada sultan dan bangsawan yang dianggap mereka telah menghasut pemerintahan Jepang agar membekukan partai politik. Selain itu, para sultan disuruh Jepang untuk mengumpulkan rakyat menjadi romusha sehingga membuat rakyat semakin tidak senang terhadap sultan.

3. Ketika sekutu datang memboncengi NICA, bangsawan Langkat meminta bantuan kepada Jepang yang telah mengadakan perjanjian dengansekutu/NICA untuk mengamankan orang-orang Belanda dan sarana umum seperti rumah sakit karena situasi sedang chaos. Ternyata dibalik itu sultan mengevakuasi keluarga Rampen yang merupakan orang Belanda yang bekerja di Rumah Sakit Bangkatan. Satu kompi panser Jepang mengamankannya untuk dibawa ke markas Belanda di Binjai.95

Beberapa hari sebelum terjadi revolusi sosial, dua orang pemuda dari laskar mendatangi istana Langkat untuk bertemu dengan Sultan Mahmud. Dalam pembicaraan itu, mereka meminta agar sultan memasang bendera merah putih di halaman istana. Akan tetapi Datuk Jamil yang pro Belanda segera menolaknya dengan berbagai alasan. Sultan pun yang selalu dibayang-bayangi pengaruh Datuk Jamil merasa tidak bisa berbuat apa-apa.96

95

Wawancara, S.P. Dewi Murni dengan Rokyoto, Binjai, 12 Juni 1983.

96

Tengku Mochtar mengatakan bahwa ia sangat kecewa kepada abangnya (Tengku Mahmud) karena terlalu mempercayai Datuk Jamil sebagai penasihatnya yang sudah jelas merupakan boneka Belanda.Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Mochtar Azis, Medan, 22 Juli 1983.


(48)

menjadi penanda dimulainya revolusi sosial di Langkat yang ditujukan untuk menyingkirkan golongan bangsawan.

3.2 Jalan Peristiwa Revolusi Sosial

Pada tanggal 2 Maret 1946, rombongan dr. Amir telah tiba di Medan dan suasana di Medan ketika itu benar-benar tegang. Dr. Amir yang berusaha membujuk para kelompok radikal itu tidak mampu menghentikan langkah mereka untuk melakukan revolusi sosial terhadap para bangsawan. Orang-orang di belakang layar ternyata sejak lama telah merencanakan revolusi sosial dengan rapi. Mereka adalah orang-orang yang tergabung dalam Markas Agung PKI yang dipimpin oleh Sarwono Sastrosutardjo.97

Pada tanggal 2 Maret malam, Rokyoto sedang berada di markas istimewa Pesindo di Binjai. Pada tengah malam itu beliau mendapat telepon dari Residen Sumatera Timur, Mr. Luat Siregar, untuk berbicara dengan Tengku Achmad Chairy (ketua Pesindo Binjai). Dalam perbincangan itu, Mr. Luar Siregar memerintahkan bahwa mulai besok pada tanggal 3 Maret 1946 wilayah istimewa Kesultanan Langkat dihapuskan. Tangkap para bangsawan dan cegah pertumpahan darah. Achmad Chairy segera memberikan komando kepada Laskar Pesindo untuk bersiap. Beliau memberi komando untuk menangkap seluruh golongan bangsawan yang memiliki jabatan dan orang-orang yang pro Belanda.

Politik saling curiga mencurigai pada masa itu adalah hal biasa di Sumatera Timur.

98

97

Tengku Lah Husny, Revolusi Sosial di Sumatera Utara/Tapanuli Disertai Pangkal dan Akibatnya. Medan : Badan Penerbit Husny. 1983, hlm. 46.

98


(49)

Pada tanggal 3 Maret 1946 mulailah diberlakukan revolusi sosial di Sumatera Timur. Pertama-tama revolusi sosial berlangsung di Sungga l. Di Binjai, Volksfront memaksa agar pemerintah wilayah Binjai diserahkan kepada mereka. Pada tanggal 4 Maret Datuk Jamil yang mendengar aksi penangkapan dan pembunuhan itu, segera meminta bantuan kepada sekutu dan Pesindo Koloni V99 untuk memberikan perlindungan dan menjaga istana di Binjai. Setelah situasi dinilai aman, mereka pindah ke Istana Darul Aman Tanjung Pura yang dijaga oleh TKR. Pesindo yang telah mengetahui hal itu segera melakukan penyerbuan ke istana di Langkat.100

Pada tanggal 4 Maret jam 23.00 WIB, Tengku Saidi Husny sebagai Wakil Asisten Residen di Tanjung Pura mendapat telepon dari Abu Samah (ketua PKI Langkat) yang mengatakan bahwa besok tanggal 5 Maret 1946 revolusi sosial di Langkat akan dilaksanakan. Mendapat berita yang mengejutkan itu, ia langsung menghubungi Tengku Amir Hamzah yang menjabat sebagai Asisten Residen RI di Langkat untuk mengkonfirmasi berita tersebut. Dalam pembicaraan itu, Tengku Amir Hamzah hanya berpesan jangan sampai terjadi pertumpahan darah. Keesokan harinya Joenoes Nasution menghadiri rapat di Binjai dan memerintahkan penghapusan sistem kesultanan pada pukul 05.00 sore tanpa kejelasan pasti tentang pengganti kekuasaannya.101

99

Pesindo Koloni V merupakan Laskar Pesindo pimpinan Dr. Nainggolan yang bertujuan untuk mempertahankan kerajaan. Anggota laskar ini terdiri dari orang Batak antara lain, Raja Ngena Karo-Karo, Raja Ismail Maklan, Philips Simanjuntak, dan L.Lumbantobing.

100

Tuanku Luckman Sinar,Bangun dan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur,Tanpa Kota Terbit : Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun Terbit, hlm. 493. Mengenai jalannya peristiwa revolusi sosial di Sumatera Timur, lihat lampiran V dan VI.

101

Reid, op.cit., hlm. 380.


(50)

sebagai Asisten Residen Langkat dan keduduka n bangsawan lain di pemerintahan telah dicopot dan diganti oleh para tokoh radikal.102

Kemudian pada tanggal 7 Maret dini hari, Tengku Amir Hamzah ditangkap di Istana Binjai dan dibawa ke Kebun Lada, kemudian diasingkan di Kuala Begumit. Sebelum beliau ditangkap, bangsawan dan datuk-datuk lainnya di Binjai telah ditangkap. Tengku Amir Hamzah ditangkap dengan tuduhan sebagai kaki tangan Belanda. Pada malam itu, ada 18 orang yang ditangkap. Selain Tengku Amir Hamzah dan para bangsawan, terdapat orang-orang Batak yang tergabung dalam Pesindo Koloni V. Mereka ditangkap karena jelas-jelas pro terhadap Belanda, seperti Raja Ngena Karo-Karo (mantri polisi RI di Binjai), Raja Ismail Maklan (komisi kantor bupati), dan Philips Simanjuntak (kantor pos Binjai), dan L.Lumbantobing (pegawai kantor kota).103

Melihat tidak ada reaksi dari sultan mengenai berita di Binjai, pada tanggal 7 Maret, Volksfront mengutus Marwan cs dan Usman Parinduri dari Pesindo, sementara di pihak kesultanan diwakilkan oleh Tengku Mochtar dan Tengku Jafar. Dalam pertemuan itu, tokoh Pesindo itu memerintahkan sultan untuk menyerahkan kekuasaan pemerintahan agar tidak terjadi pertumpahan darah. Mereka mengatakan percuma saja para bangsawan mempertahankan pemerintahan karena rakyat pun sudah tidak senang terhadap kesultanan. Akhirnya sultan mengalah dan memerintahkan agar polisi Istana Langkat yang menjaga

102

Jabatan Tengku Hafas sebagai Residen Sumatera Timur digantikan oleh Joenoes Nasution, sedangkan jabatan Tengku Amir Hamzah sebagai asisten residen Langkat digantikan oleh Adnan Nur Lubis. Husny, op.cit., hlm. 48.

103


(51)

istana untuk mundur. Sementara itu, Datuk Jamil telah mati ditembak ketika melarikan diri dari tahanan rumah mantan Residen Tengku Hafas di Medan, di dalam perjalanan ke Tanjung Pura.104

Setelah istana dapat dikendalikan, pada tanggal 7 Maret tepat pukul 12.00 malam, barisan Pesindo yang dipimpin Marwan cs dan Usman Parinduri menyerbu istana Langkat. Ketika itu, opas yang bekerja sedang memukul lonceng rubuh terkena tembakan. Lampu-lampu mati seketika dan membuat suasana semakin mencekam. Kemudian para laskar masuk ke dalam istana dan menangkap para bangsawan. Tengku Harison yang sempat ingin melarikan diri ditangkap dan disiksa. Ketika itu, istana Langkat dihuni oleh 200 kepala keluarga yang merupakan kerabat Sultan Langkat. Mereka yang bermaksud menghindari lubang ular, malah masuk ke lubang buaya.105

Menurut Oka Rulam, yang memperoleh cerita dari temannya Dollah (Abdullah) anggota Laskar Pesindo yang ikut dalam eksekusi tersebut, bahwa sewaktu istana Langkat diserbu oleh Pesindo, sultan dan keluarga serta bangsawan lainnya tidak ada yang melawan. Akan tetapi adiknya Sultan Mahmud yang bernama Tengku Harun berusaha melarikan diri, akhirnya ditembak hingga meninggal.106

Di luar istana, suara tembakan itu terdengar oleh rakyat. Menurut Fachrudin Ray, ketika terjadi revolusi sosial, ia mendengar tembakan dari istana karena rumahnya berada di

104

Ibid., hlm. 495.

105

Ibid., hlm. 496.

106


(52)

belakang Mesjid Azizi yang tidak jauh dari istana. Ia melihat dari jendela banyak kelompok pemuda hilir mudik di istana. Beliau dan keluarga serta rakyat sekitar merasa ketakutan, namun setelah mengetahui bahwa penyerbuan itu ditujukan untuk menangkap golongan bangsawan, mereka tidak terlalu cemas. Rakyat sekitar tidak mampu berbuat apa-apa untuk menolong para bangsawan itu.107

“Marwan cs yang merupakan penggerak/promotor revolusi sosial di Tanjung Pura. Semua golongan partai seperti PKI, PNI, dan organisasi agama serta masyarakat umum yang ingin merdeka juga melakukan revolusi sosial. Jadi, yang melakukan revolusi sosial tidak hanya PKI.”

Perlu diketahui, bahwa orang yang melakukan revolusi sosial tidak hanya barisan Pesindo yang disokong Volksfront, tetapi juga banyak partai-partai lainnya seperti PNI dan partai beraliran agama seperti Hizbullah dan Sabilillah ikut terlibat. Pendapat itu dibenarkan oleh Abdul Kahar Abdullah, seorang anggota Pesindo cabang Medan.

108

Menurut Tengku Mochtar Azis, Marwan cs dan Usman Parinduri adalah orang yang tidak asing baginya. Ia bercerita bahwa Marwan merupakan pemuda Tanjung Pura. Ketika masih bersekolah di Makhtab Mahmudiyah, ia pernah kesal kepada Tengku Temenggung karena disuruh mencari hama sehingga kini ia ingin balas dendam. Mengenai Usman Parinduri, ia pernah ditangkap oleh Jepang dan Tengku Mochtar Azis yang

107

Wawancara, dengan Fachrudin Ray, Stabat, 12 Februari 2014.

108


(53)

membebaskannya.109 Ia merupakan bekas anggota Kenkokutai dan pemimpin PKI di Langkat.110

Menjelang subuh, sultan dan keluarga serta para bangsawan dibawa ke Sawit Seberang dan ditahan di sebuah rumah perkebunan di Sawit Seberang. Regu pertama yang terdiri dari Datuk Jamil, Oka. Ibrahim, dan Tengku Siddik dibawa ke Sungai Sawit Seberang dan satu persatu kepala mereka dipenggal. Dalam peristiwa itu, kedua putri sultan juga turut diperkosa oleh Marwan cs dan Usman Parinduri. Hal yang sama juga terjadi kepada bangsawan lain di Binjai. Tengku Amir Hamzah dan Pesindo Koloni V juga dibunuh pada tanggal 20 Maret 1946.111

Menurut Rokyoto, Tengku Amir Hamzah adalah orang yang baik. Rakyat sendiri tidak memandang pemerintahan yang diemban beliau sebagai pemerintahan yang kejam. Ia tetap orang yang bersahaja, meskipun pada saat pemerintahan Jepang, beliau hanya menjadi pejabat di bagian ekonomi kerajaan yang bertugas mengurusi upeti rakyat bagi pemenuhan kebutuhan logistik militer Jepang. Sungguh ini suatu pekerjaan yang sangat menyakiti hatinya. Akan tetapi beliau tidak melawan terutama kepada Sultan Mahmud yang merupakan paman sekaligus mertuanya. Bagi adat yang berlaku di istana “titah dijunjung, titah disembah” masih dipegang teguh oleh para bangsawan. Meskipun itu salah tetapi jika perintah sultan maka wajib dilaksanakan. Sikap Tengku Amir Hamzah inilah yang kemudian

109

Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Mochtar Azis, Medan, 22 Juli 1983.

110

Reid, op.cit., hlm. 368.

111


(54)

membuat partai politik menuduhnya sebagai kaki tangan Belanda. Mereka dibunuh atas perintah Sulaiman Saleh yang memiliki pengaruh di Pesindo.112

Suasana yang tidak menentu membuat nafsu untuk membunuh semakin membara. Revolusi sosial yang ditujukan untuk menghapuskan kekuasaan otokrasi Kesultanan Langkat menjadi peristiwa berdarah yang mengerikan. Rokyoto menambahkan, meskipun Tengku Achmad Chairy dan Tengku Kamil Hasyim sebagai pemimpin Pesindo di Binjai, namun mereka tidak mengetahui akan ada peristiwa berdarah. Mereka yang mendapat perintah dari markas Pesindo pusat untuk melakukan evakuasi tanpa pertumpahan darah segera mengomando pasukannya, namun apa yang terjadi di lapangan mereka tidak mampu membendungnya.113

Dalam peristiwa revolusi sosial di Langkat orang-orang yang dibunuh diperkirakan sebanyak 200 orang, dan lebih kurang sekitar 34 orang adalah keluarga Sultan Langkat termasuk para pembesar istana.114 Di samping itu juga terdapat pegawai perkebunan dan pejabat istana yang ditangkap kemudian dibebaskan, seperti Datuk Mahidin, Datuk Ahmad Setia Berjasa, H. Oka Salamudin, Haris Lubis dan Jabal Nasution. Dalam peristiwa revolusi sosial, rakyat Melayu biasa yang memiliki hubungan dengan sultan juga ditangkap, seperti keluarga Darus115

112

Wawancara, SP Dewi Murni dengan Rokyoto, Binjai, 12 Juni 1983.

113

Ibid.

114

Lihat lampiran VII.

dan Umri yang menjadi korban revolusi sosial.

115

Keluarga Darus yang menjadi korban revolusi sosial adalah pengusaha kaya di Langkat dan pemimpin Orkes Langkat Band, OkaMuhammad Darus Umar. Beliau ditangkap oleh laskar rakyat di rumahnya karena dituduh mata-mata Belanda. Ia ditangkap dan dibawa naik kereta api ke Kuala Simpang dan hingga kini


(55)

Perlu diketahui bahwa tidak semua bangsawan Melayu ditangkap dalam peristiwa revolusi sosial. Jadi, walaupun ia memiliki kedudukan tetapi tidak terbukti adanya hubungan sebagai kaki tangan Belanda, maka ia tidak ditangkap. Hal ini yang dibenarkan oleh Tengku Muhammad Nasir yang dipaparkannya sebagai berikut:

“Ayah atok sejak tahun 1927 hingga tahun 1967 jadi penghulu (kepala desa) di Stabat Lama. Tapi waktu terjadi revolusi sosial ayah atok tidak ditangkap. Kami tenang-tenang saja di rumah.”116

Selain pembunuhan dan pemerkosaan, harta-harta sultan dan bangsawan lain yang tidak sempat diselamatkan dijarah oleh para laskar rakyat yang kemudian diserahkan kepada republik,117 dan banyak diantara mereka yang merampok untuk kepentingan pribadi. Menurut Rokyoto, situasi yang tidak dapat dikontrol membuat sesama anggota laskar rakyat saling bertengkar untuk memperebutkan harta, sedangkan yang dekat dengan pimpinan akan mendapat bagian lebih banyak dari harta sultan dan bangsawan Langkat tersebut.118

Setelah mendengar berita penangkapan sultan, sekutu Belanda segera menyampaikan pernyataan kepada dr. Amir dan memerintahkan tentara Jepang di Tanjung Beringin bergerak mencari dan menyelamatkan Sultan Langkat. Dr. Amir sendiri berusaha sekuat tenaga untuk

tidak diketahui dimana jasadnya.Rohani Darus Danil, Mendobrak Tradisi : Otobiografi. Medan : Consortium for Policy Review and Advocacy (COPRA). 2000, hlm. 13.

116

Wawancara, dengan Tengku Muhammad Nasir, Stabat, 16 April 2014.

117

Harta-harta sultan Langkat yang dijarah seperti emas, berlian, barang-barang perak, mobil mewah,perabotan rumah, uang, dan sebagainya.

118


(56)

menyelamatkan Sultan Langkat yang telah banyak berjasa kepadanya.119Kepada pihak Volksfront Langkat, Jepang menyampaikan ultimatum agar menyelamatkan sultan tanpa cedera sedikitpun. Mendengar info dari kurir-kurirnya di kota, Marwan cs cemas dan tiga hari kemudian segera memindahkan rombongan sultan ke Perkebunan Namu Unggas.120

Di sana rombongan diserahkan kepada laskar-laskar pimpinan Ismail Daud, sedangkan Marwan cs melarikan diri. Dua minggu kemudian rombongan sultan dipindahkan lagi ke Batang Serangan dan kemudian dipindahkan lagi ke Tanjung Selamat untuk menghilangkan jejak. Di Tanjung Selamat, rombongan sultan dipecah dua, sebagian dikembalikan lagi ke Sawit Seberang dan sultan sendiri dengan dua istri dan anaknya yang paling kecil langsung dibawa ke Berastagi. Kemudian pada tanggal 26 Maret 1946 rombongan tawanan laki-laki dari Sawit Seberang dibawa menuju Sunggal dan kemudian dibawa ke Kampung Merdeka (Berastagi).121

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, selain perlakuan keji terhadap bangsawan, juga terjadi pemerkosaan terhadap kedua putri sultan. Akan tetapi berita pemerkosaan itu tersebar luas setelah beberapa bulan peristiwa itu terjadi sehingga muncul protes keras dari organisasi-organisasi Islam. Kejadian-kejadian di Langkat itu membuat rakyat ragu terhadap revolusi sosial yang dianggap telah melenceng jauh. Marwan cs dan Usman Parinduri yang jelas bersalah ditangkap dan dihukum mati oleh organisasi pemuda Islam dari Laskar

119

Selama Sultan Mahmud ditahan, dr. Amir berusaha mencari tahu keberadaan Sultan Mahmud dan keluarganyaserta meminta kepada Sarwono cs agar hanya nyawa sultan diselamatkan, sedangkan bangsawan lain terserah saja. Lihat, Sinar, op.cit.,hlm. 498.

120

Ibid., hlm. 497.

121


(57)

Hizbullah (Masyumi), sedangkan orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan para sultan menurut pemuka agama, perlu disyahadatkan kembali.

Selain itu, protes juga dilakukan oleh kerabat Sultan Langkat, salah satunya adalah Tengku Abdullah Hod (abang Tengku Amir Hamzah)yang berada di Amsterdam. Di dalam surat yang ditujukan kepada Menteri Luar Negeri Hindia Belanda di Gravenhage, beliau mengecam segala tindakan pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan yang dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dirinya laskar rakyat sehingga mencoreng adat istiadat Melayu.122 Dalam surat balasannya yang ditulis oleh Sekretaris Gubernur Jenderal, w.g. J.M.Kiveron mewakili Menteri Luar Negeri Hindia Belanda, disebutkan bahwa mereka turut bersimpati apa yang dialami oleh golongan bangsawan dan akan memberikan bantuan serta berkontribusi untuk pemulihan kedamaian di Sumatera Timur di bawah kedaulatan Belanda atas Indonesia.123

Munculnya protes itu membuat ketegangan para pemimpin itu. Dr Amir yang posisinya sudah tersudutkan mulai melakukan tindakan untuk mereorganisasi dewan pemerintah untuk mengadili para bangsawan itu. Posisi Joenoes Nasution124

122

Lihat Lampiran VIII.

123

Lihat Lampiran IX.

124

Joenoes Nasution merupakan salah satu tokoh PKI penting di Sumatera Timur. Ia pernah menjabat sebagai ketua PKI Sumatera Timurdan membentuk Badan Pusat Perekonomian Rakyat atau BAPPER pada Desember 1945 (kemudian menjadi ERRI). Ia juga menjadi salah aktor penggerak revolusi sosial 1946 dan pernah menjabat sebagai Residen Sumatera Timur pada Maret tahun 1946.

yang tergeser dari kedudukannya membuat ia melakukan ancaman terhadap dr. Amir di rumahnya. Setelah kembali dari tur pada tanggal 21 Maret, tampak ketegangan diantara kedua kubu pemimpin


(58)

ini semakin meningkat. Untuk menghindari kudeta terhadapnya, T.M. Hasan mengambil kebijakan untuk pergi ke Pematang Siantar pada tanggal 24 Maret 1946. Hal ini juga dengan maksud untuk memindahkan pusat pemerintahan Sumatera Timur ke kota tersebut karena dinilai cukup aman dari ancaman sekutu/NICA yang akan datang kembali untuk menduduki Sumatera Timur.125Situasi dan tekanan-tekanan yang semakin menyudutkannya, akhirnya dr. Amir segera mengambil tindakan melarikan diri ke kamp RAPWI (Inggris) di Medan pada tanggal 25 April 1946.126

Dari Binjai, suami saya dipindahkan ke penjara di Brastagi selama 3 bulan, kemudian dipindahkan ke Tahanan Rakyat di Raya selama 1 tahun. Saya sempat melihat suami dan Tengku Sulong disana. Setelah dibebaskan suami saya pernah bercerita bagaimana kehidupan di penjara. Di sana mereka tinggal 5 orang dalam 1 kamar dan makan dalam 1 talam. Nasinya seperti makanan ayam karena bercampur kerikil dan ikan busuk. Suami saya sering tidak makan tetapi anaknya sangat lahap makan.”

Pengalaman masa-masa sulit dan kejamnya revolusi sosial juga dirasakan oleh bangsawan Melayu Langkat lainnya. Hal ini diutarakan oleh Jalilah Yahya, seperti berikut :

“Ketika itu selepas maghrib rumah kami didatangi oleh orang yang tidak dikenal. Ternyata rumah kami telah dikepung oleh 12 orang pemuda Laskar Pesindo. Tujuan mereka adalah untuk membawa Tengku Muhammad Khalid (Kejuruan Stabat). Merasa tidak bersalah suami saya mengikuti perintah mereka dan digiring ke dalam truk. Sebelum pergi, ia berpesan kepada saya untuk menyampaikan kepada keluarga di rumah besar jika ia dibawa oleh kelompok pemuda. Anak tertuanya, Tengku Sulong juga ikut ditangkap oleh Pesindo dan dikumpulkan di Pekan (Pajak Stabat sekarang). Disana telah ramai para bangsawan telah dikumpulkan. Dari Pekan Stabat, mereka dibawa ke markas Pesindo di Binjai (sekolah Binjai 3 sekarang).

125

Reid, op.cit., hlm. 386; Lihat juga Lampiran X.

126

Lihat NEFIS Publicatie, De Rol Door Dr Amir Gespeeld In De Sociale Revolutie Ter Oostkust van Sumatera No. 7 , Batavia tanggal 17-6-1946. Dan di ARA 1207 (Archief Algemeene Secretarie) Kist II, dossier 51.


(59)

Selama suaminya di penjara, kehidupan keluarganya susah. Jalilah berusaha menghidupi dirinya dan anaknya yang masih berumur 3 bulan. Akan tetapi karena kesulitan ekonomi dan tidak bisa bekerja karena sekolah telah ditutup, akhirnya ia memutuskan untuk pergi mengungsi ke rumah ibunya Besilam. Untuk pergi ke Besilam, ia berjalan kaki sambil menggendong anaknya dan baru tiba disana menjelang maghrib.127

Pemuda : “Untuk menyatukan diri dengan Pemerintahan Republik Indonesia”

Hal serupa juga dituturkan oleh Tengku Sulong Chalizar, anak Tengku Muhammad Chalid, Kejuruan Stabat. Tengku Sulong bercerita bahwa pada malam itu rumahnya (rumah besar) didatangi oleh dua pemuda yang kemudian diketahui sebagai anggota Laskar Pesindo. Beliau memperagakan seperti di bawah ini:

Pemuda : “Assalamualaikum. Selamat malam”

Tengku Sulong : “Waalaikumsalam. Silahkan duduk. Ada apa?”

Pemuda : “Saya diutus untuk menyiapkan tengku untuk membawa tengku ke markas”

Tengku Sulong : “Untuk apa?”

128

Merasa tidak bersalah, tanpa ragu-ragu, beliau ikut dengan kedua pemuda tersebut. Setelah beliau turun dari tangga beliau melihat di sekeliling rumahnya telah dikepung oleh Pesindo yang lengkap membawa senjata tajam. Dari rumahnya, beliau dikumpulkan ke

127

Wawancara, dengan Jalilah Yahya, Stabat, 22 Mei 2014.

128


(60)

Pekan Stabat dan dibawa ke Tanjung Kasau. Setelah itu, beliau dibawa ke markas Pesindo di sekolah Biskop (sekarang SMP 3) Binjai. Di markas itu sudah terdapat para tawanan yang terdiri dari pembesar-pembesar Stabat termasuk ayahnya Kejuruan Stabat.129

Di markas Pesindo Binjai, beliau bertemu dengan Ketua Pesindo Stabat, Abdul Hamid yang merupakan teman baik Tengku Sulong. Ketika melihat Tengku Sulong ditawan Abdul Hamid menangis karena tahu akan terjadi sesuatu dengan temannya. Suatu hari, Tengku Sulong dipanggil keluar dari tahanan untuk menemui salah satu anggota Pesindo. Anggota Pesindo itu menanyakan keterlibatan Tengku Sulong di dalam Harib (Harimau Bampu). Harib merupakan perkumpulan pasukan inti dari Sabilillah. Pesindo menangkap Tengku Sulong dengan alasan bahwa beliau pro Belanda karena b dari kata Harib dimaksudkan sebagai Belanda. Beliau melawan sehingga beliau dimaki-maki dengan kasar oleh anggota Pesindo tersebut.130

Selama berada di markas Pesindo di Binjai, meskipun sering dimaki, golongan bangsawan masih diperlakukan dengan baik. Seminggu ditawan di Biskop Binjai, kemudian mereka dibawa ke Kebun Lada. Disana mereka tinggal di dalam kamar-kamar yang sempit dan gelap. Setiap kamar diisi oleh 3 orang, dan disinilah penderitaan mereka jelas nyata. Tengku Sulong bercerita selama disana mereka makan 3 kali sehari tetapi tidak diberi air minum. Mereka makan nasi bungkus dan nasinya dibungkus dengan rapi. Sesampainya di depan pintu, mereka ditanya mau makan atau tidak. Jika mau, nasi yang dibungkus tadi

129

Ibid.

130


(61)

dilempar ke lantai yang kotor. Lauknya pun menggunakan ikan busuk. Jadi bercampurlah nasi itu dengan pasir dan kerikil. Begitulah makanan sehari-hari yang mereka makan selama di dalam tahanan. Selain itu, mereka juga kerap mendapat pukulan fisik.131

Setelah 5 hari berada disana, kemudian mereka dipindahkan ke Kuala Begumit. Disana beliau bertemu dengan golongan bangsawan dan orang penting kerajaan yang ditangkap seperti Wan Syaifuddin. Di Kuala Begumit mereka ditahan selama 2 minggu. Mereka yang ditahan ada 15 orang dan semuanya adalah bangsawan Melayu. Beliau bercerita bahwa tiap malam ada yang dibebaskan atau dibunuh. Orang yang membunuh mereka adalah mandor-mandor perkebunan yang dulunya akrab dengan mereka, seperti mandor Yang Wijaya adalah orang yang membunuh Tengku Amir Hamzah. Yang Wijaya dulunya adalah ayah angkat Tengku Amir Hamzah dan pernah bekerja sebagai guru silat di istana Langkat. Pada siang hari, penjaga yang selalu mengantar nasi membocorkan siapa-siapa saja yang masuk daftar untuk dibunuh nanti malam.132

Oleh karena merasa tindakan Pesindo sudah tidak manusiawi, maka para tawanan itu sepakat untuk melawan dengan menggunakan alat-alat sederhana yang mereka dapatkan di dalam kamar tahanan itu. Ketika itu, Tengku Sulong tidak merasa takut. Akan tetapi niat itu diurungkan karena ayahnya melarangnya. Ayahnya berpesan jika memang mereka harus meninggal sekarang itu karena takdir mereka sudah ditentukan oleh Allah SWT.133

131

Ibid.

132

Ibid. 133


(62)

Malam yang dinantikan datang. Setelah adzan Isya berkumandang, angin bertiup sangat kencang. Mereka menunggu sampai dipanggil, ternyata hingga keesokan paginya mereka belum dipanggil sehingga mereka masih selamat.Akan tetapi tidak dipanggil malam itu bukan akhir dari penderitaan mereka. Keesokan malamnya, sekitar pukul 10 malam pasukan Volksfront datang. Pimpinan mereka memerintahkan untuk membawa Tengku Sulong ke Binjai untuk diinterogasi dan kemudian dibawa kembali ke Kuala Begumit.134

Setelah 2 minggu, Volksfront memerintahkan para tawanan untuk dibawa ke tahanan di Kampung Merdeka, Berastagi. Ketika dibawa ke Berastagi, mereka diangkut menggunakan truk dan di dalam truk itu telah banyak para tawanan lainnya. Sebelum naik truk, Tengku Sulong sempat dinasehati oleh anggota Volksfront yang masih memiliki hati nurani supaya jangan duduk di tepi. Akhirnya ia dan ayahnya naik truk dan memilih duduk di tengah. Truk berhenti di tengah jalan untuk mengangkut tahanan orang Karo dan anggota Pesindo yang pro Belanda, truk mereka dihadang oleh para anggota laskar. Sambil memaki, mereka mengancam akan membunuh. Kemudian datanglah segerombolan pemuda Laskar Pesindo dengan menggunakan motor. Di saat itu mereka dimaki-maki dan seketika itu juga mereka disiksa dengan menggunakan pisau sehingga para tawanan yang duduk di tepi truk mengalami luka. Ternyata itulah sebab mengapa pemuda itu berpesan agar mereka jangan duduk di tepi.135

134 Ibid.

135


(63)

Setelah sampai di Markas Pesindo di Kampung Merdeka, mereka diminta untuk turun satu persatu. Mereka dijaga oleh gabungan Laskar Pesindo dan TKR. Disana beliau bertemu dengan Suhut, Ketua Pesindo di Berastagi. Beliau pernah sebelumnya bertemu dengan Suhut ketika pergi menemui Tengku Ja’far di Berastagi sebelum revolusi sosial terjadi.136

Setelah turun, dengan leher terikat satu dengan yang lain oleh rantai, mereka dikumpulkan. Suhut memanggil nama Tengku Sulong. Ketika maju, beliau ditanyakan kembali mengapa beliau mendirikan Harib dan mengapa namanya Harib. Beliau menjawab Harib didirikan sebagai basis utama Laskar Sabilillah. Jika namanya Hariw maka nanti dikira orang Harimau Ratu Wilhelmina. Oleh karena jawaban Tengku Sulong dianggap melawan, Suhut mengambil balok dan memukul kepala Tengku Sulong dengan keras sehingga kepalanya mengeluarkan darah dan beliau jatuh tersungkur.137

Setelah kejadian itu, mereka disuruh masuk ke kamar. Para bangsawan tidur tanpa menggunakan alas dan baju. Keesokan paginya, setelah sadar Tengku Sulong bangun dan mengintip dari celah dinding bahwa yang berada di tahanan adalah bangsawan dan orang Melayu dari Langkat, Serdang, dan sebagainya.138

Paginya, mereka disuruh duduk berbaris. Untuk mengambil makan, mereka harus berkelompok. Setiap kelompok terdiri dari 5 orang. Mereka makan menggunakan talam dan tidak boleh berbagi. Untuk makan, yang memasak makanan adalah para golongan

136

Ibid.

137

Ibid.

138


(64)

bangsawan yang menjadi tawanan. Mereka masak di ruangan besar. Tidak jarang mereka makan kerak nasi bercampur tanah dan kerikil.139

Tengku Sulong bercerita bahwa pernah suatu malam pintu kamar tahanan diketuk dan Tengku Sulong disuruh keluar. Tengku Sulong diminta membuka semua pakaiannya dan kemudian diperintahkan tidur tanpa sehelai benangpun. Jika ingin membuang air kecil atau air besar, maka mereka harus buang di kamar itu juga. Salah seorang sekamarnya yang ingin membuang air besar, karena tidak tahan, ia mengetuk pintu untuk meminta penjaga supaya membiarkannya keluar untuk buang air besar. Akan tetapi penjaga itu tidak mengizinkan dan menyuruhnya buang air besar di kamar. Akhirnya, ia buang air besar di dalam kamar tersebut menggunakan alas pecinya. Najis-najis bersatu dengan tempat mereka tidur. Selama disana mereka memang selalu buang air besar di dalam kamar menggunakan baju atau alas-alas lainnya. Barulah setelah itu mereka diizinkan untuk membuangnya keluar.140

Menurutnya selama berada di penjara mereka mengalami kesulitan air, sehingga untuk mandi seminggu sekali dapat dikatakan sangat jarang. Pada suatu malam, ketika hujan lebat turun, mereka disuruh keluar. Mereka disuruh membuka semua pakaian mereka dan mandi hujan. Menurutnya hal itu sungguh memalukan dan tidak berperikemanusiaan.141

Para tahanan diperiksa satu persatu oleh jaksa yang bekerja dibawah Volksfront. Tengku Sulong yang sedang diinterogasi sempat melihat laporan dari pimpinan PKI di Stabat

139

Ibid.

140

Ibid.

141


(65)

bernama Iswaidi. Di dalam laporan tersebut disebutkan bahwa Tengku Sulong harus disingkirkan. Meskipun tidak ada bukti, mereka tetap dianggap bersalah.142

Setelah diperiksa oleh jaksa, para tawanan dibawa ke tahanan di Raya. Di Raya mereka sudah sepenuhnya dijaga dan diawasi oleh TKR dan Laskar Barisan Harimau Liar. Selama berada di Raya beliau diperbolehkan untuk dijenguk oleh sanak keluarga. Di dalam tahanan itu, sering juga ada tawanan yang dipindahkan, seperti Sultan Langkat dan bangsawan lain, dipindahkan ke Perkebunan Bah Birung Ulu dan ada sebagian lain ke Kuta Cane.143 Mengingat Sultan Langkat yang menderita sakit parah, ia dititipka n di rumah seorang saudagar Pakistan di Wilhelmina Straat (sekarang jalan Sutomo) Pematang Siantar. Sultan Langkat sering memperlihatkan dirinya di jendela loteng sehingga orang mudah melihatnya.144

Pengalaman ditangkap ketika terjadi revolusi sosial juga dirasakan oleh Tengku Mochtar Azis, adik Sultan Langkat. Ketika terjadi revolusi sosial, Tengku Mochtar Azis sedang berada di Tanjung Beringin. Kemudian beliau ditangkap di rumahnya dengan alasan akan diperiksa sebentar di markas Pesindo dan kemudian diangkut menggunakan truk ke Binjai. Selama ditahan, ia mendengar cerita dari orang teman satu kamarnya yang dikenalnya di istana yang bernama Yusuf (sebelum dibunuh) bahwa Tengku Amir Hamzah telah meninggal dipancung karena dituduh pro Belanda.

142

Ibid.

143

Ibid.

144


(66)

Pada hari itu juga (tanggal 20 Maret 1946) mereka dibawa ke Gundaling, Berastagi. Selama berada di tempat itu mereka mendapat perlakuan kejam dan tidak manusiawi oleh pemuda laskar. Mereka tinggal di kamar yang berisi 5 orang. Setelah 12 hari disana, mereka dipindahkan ke Kampung Merdeka, Berastagi. Makanan yang disuguhkan kepada mereka persis seperti makanan untuk hewan dan untuk mandi hanya seminggu sekali. Selama di tahanan banyak bangsawan yang sakit karena makanan dan lingkungan yang buruk dan sebagian ada yang dibawa ke rumah sakit. Setelah 100 hari ditahan, kemudian Tengku Mochtar Azis dan para bangsawan Langkat dipindahkan ke Tahanan Rakyat di Raya.145

Pengalaman serupa juga dialami keluarga Datuk Oka Abdul Hamid dari Lepan. Ayahnya (Oka Abdullah Debot) pernah bercerita kepadanya, bahwa ketika terjadi revolusi sosial ayahnya ikut ditangkap, sedangkan kakek dari ayah dan ibunya mengungsi ke Kuala Simpang dan Banda Aceh dengan berjalan kaki melewati hutan. Memang ketika itu, banyak penduduk Melayu di Langkat yang merasa takut sehingga memilih mengungsi ke Aceh karena situasi disana cukup aman. Ayahnya mengatakan selama di tahanan, untuk makan dan ganti pakaian sekali seminggu sangat susah. Akan tetapi tidak lama ayahnya dibebaskan kembali.146

145

Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Mochtar Azis, Medan, 22 Juli 1983; Lihat juga

Pandji Ra’jat, 2 September 1947.

146


(67)

Pengalaman pahit masa-masa revolusi sosial juga dialami oleh Tengku Rahil dan Keluarga Darus.147

147

M. Darus Umar merupakan salah satu pengusaha kaya di Langkat dan pemimpin grup musik Langkat Band yang terkenal pada masa Belanda. Ayahnya, H. Abdullah Umar adalah termasuk kerabat Sultan Langkat. M. Darus Umar memiliki tiga orang istri dan 20 orang anak. Rohani, op.cit., hlm. 4. Untuk mengetahui lebih jelas silsilah keluarga M. Darus Umar, lihat, Susilo. “Pengaruh Revolusi Sosial di Langkat Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Bangsawan Melayu di Kabupaten Langkat”, dalam Skripsi Sarjana Belum Diterbitkan. Medan : Fakultas Ilmu Sosial Unimed. 2008, hlm. 77-79. Untuk mengenal Muhammad Darus Umar, lihat foto lampiran XI.

Kedua keluarga ini harus mengalami kehidupan di dalam pengungsian. Tengku Rahil bercerita, ketika peristiwa revolusi sosial terjadi, beliau masih berumur 8 tahun. Berselang beberapa hari setelah penangkapan keluarga sultan, malam harinya rumah mereka didatangi beberapa orang pemuda yang diketahui dari Laskar Pesindo. Menurutnya, orang yang mendatangi rumahnya (anggota Pesindo) itu merupakan penduduk yang dikenal baik dalam kehidupan sehari-hari, misalnya pedagang es, dan sebagainya. Mereka sangat ketakutan. Tujuan mereka mendatangi rumahnya, agar keluarga Tengku Rahil pindah mengungsi dari rumahnya. Akan tetapi karena orang tuanya tidak terlibat atau tidak memiliki kedudukan penting di Kesultanan Langkat, orang tuanya tidak ditangkap seperti uwaknya Tengku Amir Hamzah. Mereka hanya disuruh pindah dari Tanjung pura, sedangkan atoknya, Tengku Pangeran Jambak, yang dulunya pernah menjabat sebagai Luhak Langkat Hilir tidak ditangkap karena sudah tua dan sakit-sakitan. Mengingat situasi Langkat yang tidak aman dan memikirkan keselamatan anak-anaknya, akhirnya orang tuanya memutuskan agar mereka mengungsi ke rumah sanak keluarganya yang tinggal di Pekubuan yang situasinya jauh lebih aman. Mereka mengungsi hanya dengan membawa barang-barang seadanya, sedangkan harta benda ditinggal di rumah.


(68)

Selama berada di tempat pengungsian di Pekubuan, maka untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarga, ayahnya bekerja bercocok tanam di kebun milik mereka yang berada disana. Tengku Rahil yang masih kecil pun berusaha meringankan beban orang tuanya dengan tidak nakal dan membantu ibunya menjaga adik. Ketika itu, kondisi orang tuanya sangat terpuruk, terutama ibunya yang dilanda kesedihan karena banyak sanak keluarga ibunya yang meninggal akibat kejamnya revolusi sosial. Selama berada di Pekubuan, aktivitas orang tuanya diawasi dan sekali-kali datang anggota Laskar Pesindo ke tempat mereka mengungsi. Mereka mengungsi selama 3 bulan lamanya hingga ada berita dari para anggota laskar bahwa mereka boleh kembali ke rumah. Ketika kembali, kondisi rumah sudah berantakan. Harta-harta benda yang ditinggal sudah habis dijarah oleh Laskar Pesindo.148

Mengenai harta-harta benda Sultan Langkat tidaklah jelas keberadaannya. Menurut Rokyoto, sebagian harta-harta yang diambil oleh Laskar Pesindo kemudian dibawa ke Binjai. Akan tetapi ketika Pesindo pusat di Medan melakukan pengawasan terhadap Pesindo Binjai, harta-harta tersebut dibawa mereka ke Medan.149 Menurut Oka Abdul Hamid, harta-harta yang dibawa ke Medan kemudian dikumpulkan di depan halaman Hotel de Boer.150

148

Wawancara, dengan Tengku Rahil, Tanjung Pura, 28 Mei 2014.

149

Wawancara, SP Dewi Murni dengan Rokyoto, Binjai, 12 Juni 1983.

150

Wawancara, dengan Datuk Oka Abdul Hamid A, Medan, 12 April 2014.

Salah satu harta Sultan Langkat yang dirampas yaitu mobil luks bermodel sport merk “Maybach”,


(69)

dikendarai oleh pemimpin PKI, Abdul Xarim MS, di Pematang Siantar, tidak lama setelah peristiwa revolusi sosial terjadi.151

Menjelang akhir bulan April 1946, harta benda Kesultanan Langkat diambil alih oleh Komando Divisi-IV dan dibawa ke Pematang Siantar oleh Mayor Mahroezar dan Mayor Tengku Dhamrah. Harta benda itu akhirnya diserahkan kepada Kapten Adil yang menjadi Perwira Keuangan Divisi-IV untuk disimpan dalam kas divisi. Akan tetapi dari tujuh belas peti yang berisi harta sultan, hanya tiga belas peti yang sampai ke tangan Komando Divisi-IV. Dalam bulan November 1946 dibentuk panitia oleh Dja’far Harahap untuk meregistrasi dan menilai harta benda yang berada dalam pengamanan tentara. Kemudian dalam bulan Januari 1947 sebagian harta benda feodal yang disimpan dalam kas Divisi-IV (berganti nama menjadi Divisi Gajah-II) sekitar sepuluh juta gulden Belanda, diputuskan untuk dilelang di hadapan umum dan hasilnya dipergunakan untuk membiayai perjuangan kemerdekaan.152

151

Said, op.cit., hlm. 5.

152

Biro Sejarah Prima, op.cit., hlm. 635.

Setelah revolusi sosial mulai mereda, datang kembali tantangan dari adanya Agresi Militer Belanda I yang dimulai tanggal 21 Juli 1947. Pasukan Sekutu mendarat di Sumatera Timur. Di sisi lain, perhatian ekstrim Pesindo terhadap golongan bangsawan sudah mulai berkurang. Kegiatan Laskar Pesindo dan barisan pemuda terfokus di markas Pangkalan Brandan untuk mempersiapkan perang melawan Belanda. Penjagaan para tahanan bangsawan di Raya sudah sepenuhnya berada di tangan TKR.


(70)

Pergerakan Belanda cukup gesit untuk menguasai Sumatera Timur. Ketika itu Belanda telah menduduki Stabat dan rumah besar Kejuruan Stabat dijadikan markas Belanda.153 Oleh karena merasa posisi mereka mulai tersudutkan, pada tanggal 27 Juli 1947 para pemuda dan laskar rakyat bergabung untuk membumihanguskan Kota Tanjung Pura, termasuk seluruh gedung-gedung pemerintahan dan Istana Kesultanan Langkat agar tidak diduduki Belanda. Aksi bumi hangus yang dilakukan TNI dan laskar rakyat menimbulkan efek psikologis terhadap penduduk Sumatera Timur, terutama penduduk Melayu serta Cina.154

Menurut Rohani Darus, malam tanggal 27 Juli 1947, Kota Tanjung Pura dibumihanguskan, termasuk seluruh pabrik getah, kilang padi, dan kilang papan milik ayahnya, Muhammad Darus Umar. Menurut kabar yang beredar, ayahnya diculik oleh sekelompok anggota PKI/Pesindo karena dituduh mata-mata Belanda.155

Hal serupa juga dibenarkan oleh adik kandung Ani Darus bernama Musa Darus. Menurut Musa Darus, ketika terjadi Agresi Militer Belanda beliau masih berumur 5 tahun. Situasi yang menakutkan, sehingga ibunya memutuskan membawa mereka mengungsi naik kereta api ke Kualasimpang (Aceh). Begitu pula dengan istri dan anak-anak ayahnya yang lain juga ikut mengungsi ke daerah yang aman.156

153

Wawancara, Tengku Luckman Sinar dengan Tengku Sulong Chalizar, Stabat, 18 Juni 1983.

154

Suprayitno, op.cit., hlm. 83.

155

Rohani,loc.cit.

156


(71)

Rohani Darus menggambarkan bagaimana situasi kehidupan mereka selama mengungsi di Aceh, yaitu sebagai berikut :

“Ketika kereta api yang membawa kami mengungsi tiba di stasiun Kualasimpang, kami tidak tahu bagaimana nasib ayah yang sebenarnya. Tapi karena kondisi yang tidak mengizinkan kami tidak sempat lagi mencek keberadaan ayah. Menurut informasi yang kami terima, ayah termasuk salah seorang yang diculik anggota PKI/Pesindo. Masih menurut berita dari mulut ke mulut, kabarnya ayah sempat ditahan di Kualasimpang lalu dipindahkan ke Langsa. Tapi sampai saat ini, kami tidak dapat mengetahui dimana sebenarnya ayah kami ditawan karena tidak tahu hutan rimbanya. Ketika mengungsi, kami pun tidak bisa membawa barang-barang apapun karena rumah kami ikut terbakar. Jadi yang kami bawa hanyalah baju yang melekat di tubuh kami. Yang penting kami bisa menyelamatkan diri dari serangan tentara Belanda … Tidak lama kami tinggal di Kualasimpang. Entah apa sebabnya kami harus pindah lagi ke Sungai Raya, Aceh Perlak. Di sini kami tinggal di gudang milik PJKA yang tidak terpakai lagi di dekat stasiun kereta api. Sebagai gudang lama yang tak terpakai lagi, tentu tidak sehat bagi kami yang masih anak-anak. Selain kumuh dan berdebu, gudang itu juga tidak mempunyai jendela sehingga tidak ada udara segar yang masuk. Akibatnya, kami selalu menderita sakit. Hampir seluruh badan kami terkena penyakit kudis atau puru (patek).”157

Menurut Musa Darus, selama di Sungai Raya kehidupan mereka sangat susah. Untuk makan menggunakan ikan asin sudah sangat mewah. Di sana mereka tidak memiliki sanak saudara, dan menurutnya penduduk disana tidak ada yang membantu mereka. Untuk bertahan hidup, mereka berjualan dengan membantu ibunya. Abang dan kakaknya berjualan teh manis dan telur rebus di stasiun kereta api, sedangkan beliau yang masih kecil hanya

157


(72)

membantu membawa barang dagangan. Uang hasil jualan mereka berikan kepada ibunya untuk keperluan sehari-hari.158

Kami menjajakan dagangan masing-masing di stasiun kereta api ketika kereta api itu berhenti di stasiun itu baik untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. Pekerjaan ini kami jalani setiap hari dengan tidak mengenal lelah atau capek. Uang hasil jualan itu, nantinya dikumpulkan untuk membeli keperluan pokok seperti beras dan ikan asin. Ibu juga berkali-kali mengatakan kepada kami, agar selama dalam pengungsian ini hidup dengan hemat dan berusaha mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya untuk modal bila keadaan sudah pulih kembali.”

“ … Abang dan kakak saya memilih berjualan nasi bungkus dan teh manis. Sedangkan saya, sesuai dengan kondisi yang masih kecil memilih berjualan rokok daun nipa dan sirih …

159

Selama Agresi Militer Belanda, Pemerintah Belanda terus mendesak Pemerintahan RI melalui gubernur Sumatera untuk membebaskan para tawanan revolusi sosial. Akhirnya pada tanggal 1 Agustus 1947, para tawanan yang terdiri dari para sultan dan raja-raja sibayak dan bekas pejabat sipil kolonial resmi dibebaskan setelah adanya pernyataan dari Pemerintah RI bahwa revolusi sosial yang terjadi di Sumatera Timur dianggap tidak sah. Pernyataan ini menjadi titik berakhirnya revolusi sosial di Sumatera Timur, meskipun kebebasan para tawanan belum sepenuhnya dirasakan.

158

Wawancara, dengan Musa Darus, Tanjung Pura, 1 Agustus 2014.

159


(73)

BAB IV

KAUM BANGSAWAN MELAYU LANGKAT SETELAH REVOLUSI SOSIAL

4.1 Citra Kaum Bangsawan di Mata Masyarakat

Setelah dinyatakan resmi dibebaskan pada bulan Agustus 1947, para bangsawan antusias untuk menghirup kembali jiwa merdeka yang selama beberapa waktu direnggut oleh ketidaksenangan, ketidakadilan, dan situasi yang tidak menentu. Rasa suka cita itu diungkapkan oleh Tengku Sulong Chalizar, sebagai berikut:

“Setelah mendengar kami semua dibebaskan, subuh hari patik dan ayah patik segera keluar. Sangkin senangnya celana ayah patik sampai koyak tersangkut kawat waktu menerobos keluar. Kami pulang dengan cara masing-masing. Patik dan ayah patik pulang ke Stabat menggunakan motor yang tertinggal di dekat tahanan.”160

“Setelah pulang ke Stabat, suami andong (Tengku Muhammad Chalid) tidak mendapatkan siapa-siapa di rumah. Sejak suami ditahan, madu andong (istri tua) pulang ke rumah orang tuanya di Tanjung Pura, andong pulang ke Besilam. Seminggu lewat, suami andong datang mengendarai mobil dan Akan tetapi kebebasan itu belum sepenuhnya dirasakan oleh sebagian golongan bangsawan itu karena mereka terkadang masih diintai oleh laskar rakyat dan jika pergi kemana-mana harus dikawal oleh tentara Belanda. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Jalilah Yahya mengenai keadaan suaminya pasca dibebaskan dari tahanan:

160


(74)

dikawal oleh tentara Belanda menjemput andong untuk pulang ke Stabat. Awalnya andong merasa takut, tapi suami andong bilang kalau kita hanya dikawal karena diperjalanan masih kurang aman.”161

Perlu diketahui, sebagian dari para pemuda bangsawan yang dibebaskan dari tawanan tidak diperkenankan pulang ke kampung halamannya tanpa disertai surat izin. Ada juga diantara mereka, misalnya Tengku Sulong Chalizar dan Tengku Dhiauddin Azis162

Mengenai isu adanya Comite van Ontvangst yang pernah dituduhkan kepada kelompok bangsawan yang menjadi sebab pecahnya revolusi sosial ternyata tidak terbukti. Hal inipun dibenarkan oleh Joenoes Nasution, ketika diwawancarai di tahanan Raya. Beliau mengatakan bahwa memang tidak ada bukti bahwa sultan-sultan membentuk Comite van Ontvangst seperti yang dituduhkan itu atau mau memberontak terhadap RI. Hal yang mengejutkan diperoleh dari pernyataan dari wawancara Marzuki Lubis yang direkam oleh NIP Xarim. Beliau mengatakan bahwa revolusi sosial hanyalah suatu taktik yang bermotif untuk melemahkan dukungan terhadap Belanda, untuk mengumpulkan harta buat dana, dan sekaligus untuk menambah semangat dukungan rakyat.

yang kemudian menggabungkan diri dalam TKR dan laskar rakyat untuk kemudian melawan Belanda di dalam Agresi Militer Belanda I dan II.

163

161

Wawancara, dengan Jalilah Yahya, Stabat, 7 Mei 2014.

162

Tengku Dhiauddin Azis (adik Sultan Mahmud) tidak ditangkap karena dianggap pro republik dengan turut aktif sebagai TKR. Pada waktu terjadi revolusi sosial, Tengku Dhiauddin Azis sedang menemani Sultan Syarif Kasim (Sultan Siak) untuk menemui keluarga sultan Siak di Tanjung Pura.Lihat, Tuanku Luckman Sinar, Bangundan Runtuhnya Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Tanpa Kota Terbit : Tanpa Penerbit dan Tanpa Tahun Terbit, hlm. 495.

163

Ibid., hlm. 542.

Jadi, Comite van Ontvangst yang terus didengungkan kepada rakyat hanyalah isu belaka, meskipun faktanya para golongan


(75)

bangsawan masih ada yang berhubungan dengan Belanda.Akan tetapi dengan tidak terbuktinya kesalahan para golongan bangsawan, situasi itu tidak mampu mengembalikan kedudukan mereka yang telah diwariskan turun-temurun.

Revolusi sosial tidak hanya menggoreskan luka di hati para bangsawan, tetapi telah memisahkan ikatan keluarga karena banyak bangsawan Melayu Langkat hidup terpisah-pisah. Pembantaian yang terjadi pada masa revolusi sosial telah menghabiskan sebagian golongan bangsawan Langkat, sehingga banyak rumah-rumah yang kosong karena penghuninya sudah meninggal. Mereka yang bebas kembali ke rumahnya masing-masing, dan ada juga yang hijrah karena rumahnya telah hancur dan ada juga yang tidak mau kembali karena merasa trauma. Mereka banyak yang hijrah ke Medan dan ada yang menumpang di rumah saudara yang tinggal di Malaysia. Sultan Mahmud dan keluarganya sudah tidak lagi bisa kembali ke istana di Tanjung Pura Karena telah ludes terbakar.164 Beliau memilih hijrah ke Medan dan tinggal di rumah miliknya di jalan Manggalan, Medan.165

Golongan bangsawan yang selamat, sebagian kerap merasa rendah diri karena sudah tidak berkuasa lagi. Stigma sebagai golongan feodal yang diberikan oleh kelompok radikal membuat sebagian dari mereka tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanannya. Kalaupun mereka pergunakan, mereka hanya menuliskan huruf T saja di depan nama mereka. Gelar tengku, wan, dan sebagainya yang dulu pernah dijunjung tinggi kini sudah memudar. Rakyat

164

Sultan Langkat ditahan di Berastagi dan Pematang Siantar sekitar dua bulan. Beliau yang sudah sakit-sakitan, pada bulan Mei 1946 dibebaskan dan dibawa ke Medan. Beliau tidak pernah kembali ke istananya di Tanjung Pura dan memilih tinggal di Medan hingga istana itu dibakar pada tahun 1947. Ibid., hlm. 498.

165


(76)

yang dulu jika menyapa atau berjabat tangan dengan seorang bangsawan dianggap suatu keberkahan, kini dianggap sebagai hal biasa.

Di mata rakyat ketika itu, terdapat pandangan yang berbeda-beda dalam menilai apa yang dialami oleh golongan bangsawan. Ada yang berpendapat bahwa tindakan mereka telah salah karena dengan harta dan kekuasaan, sebagian bangsawan bertindak menyombongkan diri. Ada pula yang memang tidak suka karena telah terprovokasi oleh isu-isu negatif bahwa para bangsawan adalah kaum feodal. Akan tetapi mayoritas rakyat tetap menerima golongan bangsawan dan tidak menganggap mereka sebagai musuh. Menurut Fachrudin Ray, masyarakat malah prihatin atas apa yang dialami oleh golongan bangsawan. Beliau mengatakan bahwa seburuk-buruknya pemerintahan Kesultanan Langkat, namun hasil kekayaan yang didapat Kesultanan Langkat juga disisihkan untuk mensejahterahkan rakyatnya sehingga hal itu tetap dikenang oleh rakyat.166

166

Wawancara, dengan Fachrudin Ray, Stabat, 12 Februari 2014.

Jadi, secara umum rakyat masih tetap menerima mereka. Hanya saja karena bangsawan sudah tidak memiliki kekuasaan lagi, maka jika mereka bertemu atau menyapa golongan bangsawan sudah tidak seperti dulu lagi.

4.2. Menjalani Gelar Tanpa Kedudukan

Peristiwa revolusi sosial yang terjadi mengubah hampir seluruh kehidupan bangsawan Melayu. Telah disebutkan sebelumnya bahwa harta dan tahta yang menjadi kekuatan mereka kini telah tiada lagi. Demikian juga hak-hak istimewa yang selama ini mereka miliki, tinggal menjadi kenangan saja.


(77)

Selama beberapa tahun setelah revolusi sosial, sebagian dari bangsawan Melayu menanggalkan gelar kebangsawanannya karena takut dan khawatir dicap sebagai golongan feodal dan kaki tangan Belanda. Hal ini sesuai seperti yang diutarakan oleh Zainal Arifin Aka bahwa ayahnya, H. Abdul Kadir Ahmady, adalah seorang bangsawan Melayu yang juga aktif dalam basis perjuangan kemerdekaan. Akan tetapi setelah revolusi sosial, beliau tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan itu. Hal tersebut kemudian diikuti oleh anak-anaknya dan hingga kini mereka tidak menggunakan gelar tengku di depan nama mereka.167

Menurut Datuk Oka Abdul Hamid bahwa setelah kembali dari tahanan, golongan bangsawan sudah jatuh karena sudah tidak lagi memiliki kekuasaan dan harta. Jabatan-jabatan penting yang dipegang mereka selama ini sudah tidak ada lagi. Para datuk pun sudah tidak memiliki kekuasaan lagi di wilayah pemerintahannya. Stigma negatif sebagai kaum feodal dan pro Belanda pasca revolusi sosial masih saja disebarluaskan ke masyarakat sehingga mengganggu pikiran dan aktivitas mereka.168

Adapun kehidupan Sultan Langkat juga mengalami perubahan. Selama bebas, beliau hanya bisa berdiam di rumah karena sakit-sakitan. Akan tetapi dalam keadaan sakit beliau menyempatkan diri untuk menerima atau menjamu tamu-tamunya yang ingin bersilahturahmi ke rumahnya. Akhirnya pada tanggal 23 April 1948 beliau wafat. Banyak sanak saudara, kerabat, serta rakyat di Langkat datang untuk menyatakan rasa turut berduka cita dan mendoakan sultan yang sangat dihormati oleh rakyat. Letnan Gubernur Jenderal Hindia

167

Susilo, Pengaruh Revolusi Sosial di Langkat Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Bangsawan Melayu di Kabupaten Langkat, dalam Skripsi Sarjana Belum Diterbitkan. Medan : Fakultas Ilmu Sosial Unimed, 2008,

hlm. 62-63.

168


(78)

Belanda, P.J.M. Mr.J.Gerritsen juga mengirimkan surat turut berduka cita atas wafatnya Sultan Mahmud yang kemudian dibalas oleh Tengku Mahsoeri Langkat mewakili keluarga almarhum Sultan Mahmud.169

Negara Sumatera Timur yang dipimpin oleh Wali Negara, dr. Tengku Mansyur, segera mendapat sambutan dari mayoritas adalah penduduk asli Sumatera Timur. Dalam hal ini, golongan bangsawan mencoba berusaha memperoleh kedudukan dengan ikut aktif di dalam dalam pemerintahan NST. Selain itu, mereka juga membentuk komite memperingati revolusi sosial atas nama korban revolusi sosial di Sumatera Timur. Tujuan pembentukan komite ini adalah untuk memohon kepada NST dan Pemerintah Hindia Belanda memberikan bantuan istimewa kepada mereka yang menjadi korban revolusi sosial.

Setelah sultan Mahmud wafat, kehidupan bangsawan Melayu bagaikan “anak ayam kehilangan induknya” karena pemimpin yang menjadi panutan telah tiada. Memang setelah Kesultanan Langkat hancur, para bangsawan Melayu Langkat mencoba berembuk untuk membangun kembali pemerintahan adat (juriat) yang dikepalai pemangku adat. Pemangku adat yang dipilih pun masih berdasarkan sistem genealogis, yaitu garis keturunan. Mereka mencoba dengan segala cara untuk mengembalikan eksistensi mereka sebagai golongan bangsawan. Hal ini juga dimanfaatkan mereka setelah didirikannya Negara Sumatera Timur pada tahun 1948.

170

169

Lihat Lampiran XIII.

170

Lihat Lampiran XIV.

Inilah fase pertama bangkitnya pergerakan bangsawan Melayu pasca revolusi sosial. Akan tetapi sepanjang


(79)

perjalanan pemerintahan NST, kurang mendapat dukungan dari penduduk Sumatera Timur yang multikultural. Hal ini disebabkan karena NST dan para pemimpinnya dianggap sebagai boneka Belanda.

Memang akhirnya pemerintah pusat dan KNIP Pusat juga tidak dapat membenarkan aksi revolusi sosial 1946 itu. Para menteri yang berkunjung seperti Mr. Mohammad Rum, Mr. Syafrudin Prawiranegara, dan Mrs. Maria Ulfah Santoso, pernah menjanjikan bahwa para korban revolusi sosial itu akan dikembalikan kehormatan dan harta benda mereka oleh negara. Akan tetapi janji itu tidak pernah terwujud.171

Setelah NST dihapuskan dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, bangsawan-bangsawan Melayu yang turut terlibat dalam NST dianggap sebagai orang-orang yang anti republik dan tidak setia terhadap pemerintah RI. Atas keterlibatan itu, mereka dianggap tidak berhak untuk duduk dalam pemerintahan RI. Pada masa-masa selanjutnya, golongan etnis Melayu menjadi kelompok yang terpinggirkan dari aktifitas pemerintahan yang berlangsung di Sumatera Timur pada sekitar tahun 1950-1960an.172

Hal ini terbukti dengan tidak adanya bangsawan Melayu yang duduk di pemerintahan di Langkat karena kursi pemerintahan sebagian dikuasai oleh rakyat pendatang. Akan tetapitidak dapat dipungkiri bahwa ada juga yang setelah kembali dari tahanan diberi kembali pekerjaan semula atau mendapat pekerjaan baru, misalnya Tengku Muhammad Chalid. Menurut Jalilah Yahya, pada tahun 1950 suaminya dipanggil ke Jakarta untuk menemui salah seorang pejabat pemerintahan. Beliau ditugaskan untuk bekerja di salah satu instansi di

171

Sinar, loc.cit.

172


(1)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

kesehatan, kekuatan, dan kesabaran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih atas bantuan tenaga, buah

pikiran, dan semangat serta bimbingan yang telah diberikan dalam menyelesaikan skripsi ini:

1.

Kepada kedua orang tua penulis, Bapak Arwin dan Ibu Sri Hariani yang telah

melahirkan dan memberikan kasih sayang yang tulus, terutama kepada ibunda yang

selalu mendoakan dan memberikan senyuman sehingga menjadi kekuatan bagi

penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Allah selalu memberikan

karunia-Nya kepada mereka. Kepada adik-adik yang tersayang, Hanna Hudaiva dan Intan

Nuraini yang selalu mengingatkan dan memberi motivasi penulis untuk

menyelesaikan skripsi ini.

2.

Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara, beserta Pembantu Dekan I Dr. M. Husnan Lubis, M.A, Pembantu

Dekan II Drs. Samsul Tarigan, dan Pembantu Dekan III Drs. Yudi Adrian Muliadi,

M.A., atas bantuan dan segala fasilitas yang penulis peroleh di Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara, maka penulis dapat menyelesaikan studi.

3.

Bapak Drs. Edi Sumarno, M.Hum sebagai Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera yang telah banyak memberikan ilmu, nasehat, dan

motivasi kepada penulis baik selama kuliah maupun pada saat mengerjakan penulisan

skripsi ini. Kepada Ibu Dra. Nurhabsyah, M.Si, sebagai Sekretaris Departemen


(2)

Sejarah Fakultas Ilmu Budaya USU yang selalu mengingatkan dan memberi masukan

kepada penulis dalam mengerjakan skripsi.

4.

Bapak Drs. Fachrudin Daulay, M.SP. dan Ibu Dra. Farida Hanum Ritonga, M.SP.

sebagai Dosen Penasehat Akademik penulis yang telah sabar memberikan

nasehat-nasehat terbaiknya kepada penulis selama masa studi.

5.

Terima kasih banyak penulis ucapkan kepada Ibu Dra. Ratna, M.S. selaku

pembimbing skripsi penulis, yang telah memberi banyak masukan, motivasi, bantuan,

dan meminjamkan referensi berupa buku-buku yang berkaitan dengan topik penulisan

skripsi ini. Saran dan kritik ibu sangat berperan penting mengarahkan penulis dalam

mengerjakan skripsi ini.

6.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Suprayitno, M.Hum, yang

telah memberikan inspirasi dan arahan kepada penulis mengenai topik penulisan

skripsi ini.

7.

Kepada seluruh Bapak/Ibu dosen penulis, khususnya di Departemen Sejarah. Semoga

ilmu yang diberikan dapat penulis amalkan seperti ilmu padi. Kepada abang

Amperawira sebagai tata usaha Departemen Sejarah terima atas bantuannya dalam

proses administrasi.

8.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada seluruh informan dalam penulisan

skripsi ini yang telah berkenan memberikan pengalaman dan pengetahuannya

sehingga membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.


(3)

10.

Kepada para sahabat tersayang, Yayuk Herlina, Handoko, Maryana Malik, Ana

Vawariza Berutu, Novi Nelvia, Novila Windaka, Nur Fauziah, Lilis Sofiyanti, Luluk

Muthoharo, Matsani, Fiki Rahmawansyah, Lonny Simanjuntak, Moses Agustinus

Berutu, Harun Majri, Suheriyanto Ginting, Ardia Gemala Irawan, Suharyana Akbar,

Fahriansyah, dan seluruh teman-teman Mahasiswa Departemen Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, yang tidak mungkin penulis tulis satu

persatu, khususnya stambuk 2010 terima kasih atas pengalaman dan suka duka yang

telah kita lewati bersama. Terima kasih juga kepada abang dan kakak senior yang

menjadi penasehat penulis yang senantiasa memberikan masukan positif demi

terselesaikannya skripsi penulis, dan juga adik-adik junior penulis ucapkan terima

kasih.

Akhirnya dengan rasa suka cita penulis mengucapkan terima kasih banyak atas segala

kontribusi yang diberikan dari semua pihak baik yang sudah disebutkan maupun yang belum

disebutkan karena adanya keterbatasan. Semoga kebaikan saudara-saudaraku yang telah

penulis terima hingga saat ini dapat dibalas oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Medan, 15 Oktober 2014

Penulis


(4)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….. i

UCAPAN TERIMA KASIH ……… ii

DAFTAR ISI ………. v

ABSTRAK ………..……... vii

BAB I PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah ……….. 1

1.2

Rumusan Masalah ………... 7

1.3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ………... 7

1.4

Tinjauan Pustaka ………. 8

1.5

Metode Penelitian ……….. 11

BAB II KAUM BANGSAWAN MELAYU LANGKAT

2.1 Masa Pemerintahan Kolonial Belanda ……….. 14

2.2 Masa Pendudukan Jepang ………. 26

2.3 Masa Kemerdekaan Indonesia ……….. 36

BAB III PERISTIWA REVOLUSI SOSIAL DI LANGKAT

3.1

Latar Belakang ………... 43

3.2

Jalan Peristiwa Revolusi Sosial ………. 51

BAB IV KAUM BANGSAWAN MELAYU LANGKAT SETELAH REVOLUSI SOSIAL

4.1 Citra Kaum Bangsawan di Mata Masyarakat ………... 78


(5)

4.3 Bangkit dari Bayang Hitam Revolusi Sosial ………..…. 88

BAB V KESIMPULAN ……… 100

DAFTAR PUSTAKA ……… 104

DAFTAR INFORMAN ………. 119


(6)

ABSTRAK

Skripsiyang berjudul Kehidupan Bangsawan Melayu Kesultanan Langkat Sebelum

dan Sesudah Revolusi Sosial merupakan salah satu kajian sejarah khususnya tentang sejarah

lokal. Tulisan ini membahas bagaimana gambaran pasang surut kehidupan bangsawan

Melayu menghadapi tiga zaman, Belanda, Jepang, dan Indonesia hingga klimaksnya

kejatuhan sistem otokrasi golongan bangsawan pada masa revolusi sosial. Dari keseluruhan,

titik pusat tulisan ini adalah bagaimana situasi dan upaya golongan bangsawan selama

menjalani hidup pasca revolusi sosial.

Tujuan tulisan ini adalah menjelaskan bagaimana kehidupan bangsawan Melayu,

terutama sesudah revolusi sosial. Selain itu, tulisan ini dapat menambah khasanah ilmiah

bagi Ilmu Sejarah, khususnya mengenai sejarah lokal daerah Langkat. Selain itu, tulisan ini

diharapkan dapat menjadi sarana informasi bagi pemerintah daerah mengenai pembangunan

di Langkat, baik pembangunan ekonomi maupun pembangunan mental masyarakat sebagai

modal sosial.

Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode sejarah yang

terdiri dari empat tahapan yaitu pengumpulan sumber (heuristik), kritik sumber (verifikasi)

yang terdiri dari kritik ekstern dan kritik intern, penafsiran sumber (interpretasi), dan

penulisan sejarah (historiografi).

Dari hasil penelitian yang telah diuraikan di setiap babnya dapat diambil beberapa

kesimpulan

adalah Masa Kolonial Belanda dapat dikatakan merupakan masa yang terbaik

bagi golongan bangsawan Melayu. Hasil pendapatan dari konsesi tanah perkebunan dan

tambang minyak, Sultan Langkat dan golongan bangsawan mendapat keistimewaan dan

bergaya hidup mewah. Gaya hidup mewah yang dipertahankan sultan, mengakibatkan sultan

terlilit utang. Sikap ragu-ragu yang ditunjukkan para sultan untuk melebur ke dalam

pemerintahan RI dan adanya isu

Comite van Ontvangst

membuat para kelompok radikal

merencanakan suatu gerakan yang disebut revolusi sosial.Pasca revolusi sosial hidup mereka

berubah. Harta dan tahta yang dulu selalu dibanggakan telah musnah. Kini hanya gelar

kebangsawanan yang dipakainya yang menunjukkan identitas mereka sebagai golongan

bangsawan. Untuk melanjutkan perjalanan hidup, mereka harus bangkit dengan

mengupayakan berbagai cara. Mulai dari mengumpulkan keluarga yang sempat terpisah,

menjual harta yang masih bisa diselamatkan untuk bertahan hidup dan membiayai

pendidikan anak-anaknya, bekerja yang tidak bergantung dengan orang lain, mengupayakan

harta yang pernah dijarah, dan membentuk kembali pemerintahan adat Kesultanan Langkat.