Paradigma Konstruksi Melayu saat Revolusi Sosial Sumatera Timur diKesultananLangkat dalam Surat Kabar(Analisis Framing tentang KonstruksiMelayu saat Revolusi SosialSumateraTimur di Kesultanan Langkat dalam SuratKabar PandjiRa’jat)

menentukan nilai berita suatu kejadian atau fakta. Sumadiria dalam buku Jurnalistik Indonesia2006:80 menjelaskan kriteria umum nilai berita yaitu: 1. Keluarbiasaan unusualness 2. Kebaruan newness 3. Akibat impact 4. Aktual timeliness 5. Kedekatan proximity 6. Informasi information 7. Konflik conflict 8. Orang Penting public figure, news maker 9. Kejutan surprising 10. Ketertarikan Manusiawi human interest 11. Seks sex

II.2 Paradigma

Paradigma adalah salah satu cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Paradigma tertanam kuat dalam sosialisasi para penganut dan praktisinya. Paradigma menunjukkan pada mereka apa yang penting, absah, dan masuk akal. Paradigma juga bersifat normatif, menunjukkan, kepada praktisinya apa yang harus dilakukan tanpa perlu melakukan pertimbangan eksistensial atau epitemologis yang panjang Mulyana, 2003: 9. Paradigma ilmu komunikasi berdasarkan metodologi penelitiannya, menurut Dedy Hidayat 1999 yang mengacu pada pemikiran Guba dan Lincoln 1994 terbagi atas tiga paradigma: Paradigma klasik classical paradigm; Paradigma kritis critical paradigm; dan Paradigma konstruktivisme constructivism paradigm Bungin, 2008: 237. Paradigma klasik merupakan gabungan dari paradigma positivism dan post-positivism yang bersifat interventionist, yakni melakukan pengujian hipotesis dalam struktur melalui laboratorium, eksperimen, atau survei eksplanatif dengan analisis kuantitatif. Dengan demikian, objektivitas, validitas, dan realibilitas diutamakan dengan paradigma ini. Paradigma kritis lebih berorientasi pada Universitas Sumatera Utara participative dalam arti mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual, dan multilevel analisis, dan peneliti berperan sebagai aktivis atau partisipan. Sedangkan paradigma konstruktivis bersifat reflektif dan dialektikal. Menurut paradigma ini, antara peneliti dan subjek yang diteliti, perlu tercipta empati dan interaksi dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif seperti observasi partisivasi. Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivis. Paradigma konstruktivis yaitu paradigma yang hampir merupakan antitesis dari paham yang meletakkan pengamatan dan objekstivitas dalam menemukan suatu realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini memandang ilmu sosial sebagai analisis sistematis terhadap sociallymeaningfulaction melalui pengamatan secara langsung dan terperinci terhadap pelaku sosial yang bersangkutan menciptakan dan memlihara atau mengelola dunia sosial mereka Hidayat, 2003: 3. Menurut Patton, para peneliti konstrkutivis mempelajari beragam realita yang terkonstruksi oleh individu dan implikasi dari konstruksi tersebut bagi kehidupan mereka dengan yang lain. Dalam konstruktivis, setiap individu memiliki pengalaman yang unik. Dengan demikian, penelitian dengan strategi seperti ini menyarankan bahwa setiap cara yang diambil individu dalam memandang dunia adalah valid, dan perlu adanya rasa menghargai atas pandangan tersebut Patton, 2002: 96-97. Paradigma konstruktivis memiliki beberapa kriteria yang membedakannya dengan paradigma lainnya, yaitu ontologi, epistemologi, dan metodologi. Level ontologi , paradigma konstruktivis melihat kenyataan sebagai hal yang ada tetapi bersifat majemuk, dan maknanya berbeda bagi tiap orang. Dalam epistemologi, peneliti menggunakan pendekatan subjektif karena dengan cara itu bisa menjabarkan pengkonstruksian makna oleh individu. Dalam metodologi, paradigma ini menggunakan berbagai macam jenis pengkonstruksian dan menggabungkannya dalam sebuah konsensus. Pendekatan paradigma konstruksionis mempunyai penilaian tersendiri bagaiman media, wartawan, dan berita dilihat, yaitu: Universitas Sumatera Utara 1. Faktaperistiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu bersifat subjektif. Realitas itu hadir karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan berbeda Gans, dalam Eriyanto, 2002: 19 2. Media adalah agen konstruksi. Media bukanlah sekadar saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihaknya. Lewat bahasa yang dipakainya, media dapat membentuk pandangan umum terhadap suatu kelompok. 3. Berita bukan refleksi dari realitas, ia hanya konstruksi dari realitas. Berita yang kit abaca pada dasarnya adalah hasil konstruksi dari kerja seorang jurnalis, bukan kaidah baku jurnalistik. 4. Berita bersifat subjektifkonstruksi atas realitas, opini tidak dapat dihilangkan karena wartawan saat meliput melihat dengan perspektif dan pertimbangannya sendiri. 5. Wartawan bukan pelapor, melainkan agen konstruksi realitas. Wartawan sebagai partisipan yang menjembatani keragaman subjektifitas pelaku sosial 6. Etika, moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam produksi berita. Wartawan bukan layaknya robot yang merekam segala sesuatu yang dilihat dan didengar. Etika dan moral ketika memilih satu kelompok pada dasarnya dilandasi oleh keyakinan tertentu, inilah bagian yang integral dan tidak terpisahkan dalam membentuk dan mengkonstruksi realitas. 7. Khalayak mempunyai penilaian tersendiri atas berita. Khalayak bukan dilihat sebagai subjek yang pasif, ia mempunyai tafsiran sendiri yang bisa saja berbeda dari pembuat berita.

II.3 Teori Fenomenologi