hadapan kita. Kata itu juga memiliki akar yang sama dengan kata fancy dan fantacy yang berarti imajinasi. Jadi fenomenon dapat saja tampil di dalam pikiran
kita sejauh dia itu jelas. Fenomenologi adalah teori tentang fenomenon Praja, 2003:179.
Pertama kali dicetuskan oleh filsuf Jerman Edmund H. Husserl 1859- 1938. Perhatiannya pada cara mengatur gejala yang dialami sedemikian rupa
sehingga dapat memahami dunia sekitarnya, dan sambil mengembangkan suatu pandangan dunia. Tak ada realitas yang terpisah atau objektif bagi orang. Yang
ada hanyalah apa yang diketahui tentang pengalaman dan maknanya. Pengalaman subjektif sekaligus mengandung benda atau hal objektif dan realitas seseorang
Suyanto, 2005: 178 - 179. Fenomenologi berpandangan bahwa apa yang tampak dipermukaan,
termasuk pola perilaku manusia sehari-hari adalah gejala atau fenomena dari apa yang tersembunyi di “kepala” si pelaku. Sebab, realitas itu bergantung pada
persepsi, pemahaman, pengertian, dan anggapan-anggapan seseorang. Itu terbenam sebagai suatu kompleks gramatika kesadaran di dalam diri manusia. Di
situlah letak kunci jawaban terhadap apa yang terekspresi atau menggejala di tingkat perilaku Bungin, 2003.
Fenomenologi menunjuk banyak hal dasar yang penting bagi pemikiran interpretif. Maka fenomenologi sosial mempunyai sebuah pendekatan dan
pembendaharaan kata untuk menginterpretasikan kehidupan dunia dan menjadi sebuah pemahaman bagaimana sikap alamiah kehidupan sehari-hari dimainkan
Ardianto, 2007: 129. Dalam proses memproduksi berita, Eriyanto 2002: 106 menuliskan
bahwa pemahaman wartawan erat kaitannya dengan pengertian dan anggapan persepktif wartawan dalam melihat beragam fenomena yang terjadi pada
masyarakat. Ada semacam standar yang harus ditaati wartawan agar laporan yang ia berikan mempunyai nilai yang akan diinformasikan kepada masyarakat. Nilai
tersebut tidaklah bersifat personal melainkan dihayati bersama dengan lembaga- lembaga yang dipercaya dalam mengontrol kerja wartawan.
II.4 Teori Interaksionisme Simbolik
Universitas Sumatera Utara
Pendekatan interaksionisme simbolik berawal dari pemikiran George Herbert Mead. Ia mengajarkan bahwa makna muncul sebagai interaksi di antara
manusia, baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui aksi dan respon yang terjadi, kita memberikan makna ke dalam kata-kata atau tindakan, dan karenanya
kita dapat memahami suatu peristiwa dengan cara-cara tertentu. Ide dasar interaksionisme simbolik menyatakan bahwa lambing atau simbol kebudayaan
dipelajari melalui interaksi, orang memberi makna terhadap segala hal yang akan mengontrol sikap tindak mereka Morisan dkk, 2010: 126.
Pada awalnya Mead tidak pernah menerbitkan gagasannya secara sistematis dalam sebuah buku, namun pada perkembangannya, para
mahasiswanya yang setelah kematian Mead kemudian menerbitkan pemikiran Mead tersebut dalam sebuah buku berjudul Mind, Self, and Society, yang
kemudian Herbert Blummer, sejawat Mead, kemudian mengembangkan dan menyebutnya sebagai teori interaksionisme simbolik Santoso, 2010: 21.
Mead mendefinisikan “mind” pikiran sebagai fenomena sosial yang tumbuh dan berkembang dalam proses sosial sebagai hasil dari interaksi. Mind
dalam hal ini mirip dengan symbol, yakni sebagai hasil dari interaksi sosial. Hanya, mind terbentuk setelah terjadinya percakapan diri self-conversation,
yakni ketika seseorang melakukan percakapan diri yang juga disebut sebagai berpikir. Karenanya bagi Mead, berpikir tidak mungkin terjadi jika tidak
menggunakan bahasa. Konsepsi “mind”lebih merupakan proses daripada sebuah produk. Hal ini berarti bahwa kesadaran bukanlah hasil tangkapan dari luar,
melainkan secara aktif selalu berubah dan berkembang. Mead mengatakan bahwa, “consciousness mind is not given, it is emergent”. Kesadaran mind tidak
diberi, tapi dicari. Self, menurut Mead adalah proses yang tumbuh dalam keseharian sosial
yang membentuk identitas diri. Perkembangan self tergantung pada bagaimana seseorang melakukan role taking pengambilan peran dari orang lain. Dalam role
taking kita mengimajinasikan tingkah laku kita dari sudut pandang orang lain.Esensi self bagi Meadadalah reflexivity. Yakni bagaimana kita merenung
ulang relasi dengan orang lain untuk kemudian memunculkan adopsi nilai dari orang lain.
Universitas Sumatera Utara
“Society” menurut Mead adalah kumpulan self yang melakukan interaksi dalam lingkungan yang lebih luas yang berupa hubungan personal, kelompok
intim, dan komunitas. Institusi society karenanya terdiri dari respon yang sama. “Society” dipelihara oleh kemampuan individu untuk melakukan role taking dan
generalized others. Dalam bukunya tersebut, Mead 1934 berpendapat bahwa kita
menggunakan simbol untuk menciptakan pengalaman kita akan pikiran sadar, pemahaman kita akan diri kita sendiri, dan pengetahuan kita akan tatanan dunia
sosial yang lebih besar. Ia menyebutnya masyarakat. Dengan perkataan lain, simbol menjembatani dan membentuk seluruh pengalaman kita karena simbol
membentuk kemampuan kita untuk merasakan dan menafsirkan apa yang terjadi di sekeliling kita.
Ada pula George Herbert Blumer 1967, yang merupakan professor di Universitas California. Pemikiran Blumer tentang interaksionisme simbolik lebih
banyak merupakan penuangan ide Mead. Sebagai seorang penganut pemikiran Mead, ia berusaha menjabarkan pemikiran idolanya Mead mengenai konsep
interaksionisme simbolik. Menurut Blumer dalam Santoso, 2010: 23 ada tiga prinsip dasar interaksionisme simbolik; meaning makna, language bahasa, dan
thought pemikiran. Blumer menyatakan bahwa perilaku seseorang terhadap sebuah objek atau
orang lain ditentukan oleh makna yang ia pahami tentang objek atau orang tersebut. Dijelaskan bahwa makna tidak melekat pada objek, melainkan
dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa.Bahasa adalah bentuk dari simbol. Berdasarkan makna yang dipahaminya, seseorang kemudian dapat memberi nama
terhadap suatu objek, tindakan atau sifat. Thought secara sederhana menjelaskan bahwa seseorang melakukan dialog dengan dirinya sendiri ketika berhadapan
dengan sebuah situasi dan berusaha untuk memaknai situasi tersebut.Untuk bisa berpikir maka seseorang memerlukan bahasa dan harus mampu untuk berinteraksi
secara simbolik.
II.5 Media Massa dan Konstruksi Realitas Sosial