Implementasi wakaf uang di badan wakaf Indonesia

(1)

IMPLEMENTASI WAKAF UANG

DI BADAN WAKAF INDONESIA

Skripsi

Diajukan pada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (SE.Sy)

Oleh:

Arief Muzacky Juhanda (206046103808)

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

IMPLEMENTASI WAKAF UANG

DI BADAN WAKAF INDONESIA

Skripsi

Diajukan pada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Ekonomi Syariah (SE.Sy)

Oleh:

Arief Muzacky Juhanda (206046103808)

Di bawah Bimbingan:

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Umar Al Haddad, M.A M. Mujibur Rohman, S.Ag, M.A

NIP: 196809041994011001 NIP: 150 4111 45

JURUSAN PERBANKAN SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul ”Implementasi Wakaf Uang di Badan Wakaf Indonesia, telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 14 Maret 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Program Studi Muamalat (Ekonomi Islam)

Jakarta, 24 Maret 2011 Dekan,

Panitia Ujian Munaqasyah

Ketua : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag NIP. 19640412 199403 1004

Sekretaris : Moch Syafii, SEI

Pembimbing I : Dr. Umar Al Haddad, M.A. NIP. 196809041994011001 Pembimbing II: M. Mujibur Rohman, S.Ag, M.A

NIP. 150 4111 45

Penguji I : Prof. Dr. H. Fathurrahman Jamil, M.A NIP. 196011 071985051001

Penguji II : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A NIP. 1957 3121 1985 03 1003


(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk memenuhi gelar strata satu (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 14 Maret 2011


(5)

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah, Tuhan semesta alam, yang senantiasa selalu memberikan kasih dan sayang-Nya kepada seluruh makhluk-Nya. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada Rasulullah Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya.

Dalam penulisan skripsi ini, tak mudah mempertahankan semangat ketika banyak rintangan menghadang, akan tetapi hal tersebut tak terasa sulit ketika keyakinan dan motivasi terus mengiringi, baik dari diri sendiri maupun dari orang-orang terkasih disekitar. Alhamdulillah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik, meskipun disadari masih banyak kekurangan, karena penulis hanyalah manusiadhaif yang masih harus banyak belajar.

Untuk itu penulis mengucapkan syukur yang begitu besar kepada Sang Maha Pencipta Allah SWT, dengan izin-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Selain itu, terwujudnya skripsi ini tak lepas dari dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu penulis berterimakasih yang sebanyak-banyaknya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MH, MM., sebagai Dekan Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatulah Jakarta.

2. Bapak Prof. Dr. Umar Al Haddad, MA dan M. Mujibur Rahman, MA , sebagai Dosen Pembimbing Skripsi yang telah bersedia memberikan waktu luang kepada


(6)

penulis untuk membimbing, mengarahkan dan memberikan berbagai petunjuk sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Noor Yamin Aini, MA, sebagai Dosen Pembimbing Akademik penulis, yang telah bersedia meluangkan waktunya kepada penulis untuk membimbing dari awal perkuliahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Ibu Dr. Euis Amalia M.Ag, selaku Ketua Program Studi Muamalat dan bapak Azharuddin Lathif, M.Ag selaku Sekretaris Program Studi Muamalat, serta Ibu Oke selaku Asisten Sekretaris Prodi Muamalat yang selalu bersedia melayani para mahasiswa termasuk penulis dalam kaitan tugas akhir skripsi ini.

5. Ayahanda dan Ibunda tersayang H. Jubaedi dan Hj. Nurkodah atas doa yang tak pernah henti dipanjatkan dan kasih sayang yang tak pernah henti diberikan, yang selalu memotivasi dan mendukung penulis baik secara moril maupun materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

6. Adik-adikku Faisal dan Aldy atas motivasi dan dukungannya dalam penyusunan skripsi ini.

7. Adinda Nur Rohmawati yang selalu memberikan semangat kepada penulis baik dalam suka maupun duka, terutama dalam penulisan skripsi ini, semoga Allah meridhoi dan memberkahi kita,amiin.

8. Teman-temanku di Prodi Perbankan Syariah angkatan 2006, khususnya kelas C, yang selalu menjadi teman belajar, diskusi, sharing, baik di dalam maupun di luar


(7)

kelas hingga selesainya penulisan skripsi ini. Semoga tali silaturrahim kita selalu terjalin.

9. Teman-temanku alumni 2006 Pon-Pes Daar El-Qolam, terutama yang berada di wilayah Ciputat, Syafe’i Hazami, Arma Hidayat, Kurnia Ramadhan, Ramfalak dan Izharul Irfan, atas dukungan mereka dalam penyusunan skripsi ini, semoga tali silaturrahim kita selalu terjaga.

10. Teman-temanku yang ada di kostan, yaitu Syarifudin, Syarif Hidayat, Ibay, Syuhada, Hamdan dan Zaenal atas dukungan mereka dalam penyusunan skripsi, semoga tali silaturahmi kita selalu terjaga.

11. Seluruh rekan-rekan yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu, yang telah memberikan kontribusi yang cukup besar sehingga penulis dapat menjalani perkuliahan di UIN hingga akhir.

Akhir kata hanya kepada Allah jualah penulis memanjatkan doa, semoga Allah memberikan balasan berupa amal yang berlipat kepada mereka, atas dorongan, dukungan dan kontribusi mereka, penulis hanyalah hamba yangdhaif. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi bagi orang banyak.Amin

Jakarta, 24 Maret 2011 M 19 Rabiul Akhir 1342 H


(8)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PERSETUJUAN PANITIA UJIAN... iii

LEMBAR PERNYATAAN... iv

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI ...viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

1. Pembatasan Masalah ... 5

2. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1. Tujuan Penelitian ... 6

2. Manfaat Penelitian ... 6

D. Kajian Pustaka... 7

E. Metode Penelitian... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf... 13

1. Pengertian Wakaf ... 13


(9)

a. Dasar Hukum dari Al-Quran... 19

b. Dasar Hukum Dari As-sunnah ... 20

c. Dasar Hukum Dari Perundang-undangan Indonesia... 22

3. Rukun dan Syarat Wakaf ... 26

a. Rukun Wakaf ... 26

b. Syarat-syarat Wakaf ... 27

4. Tinjauan Syariah Terhadap Uang Sebagai Objek Wakaf ... 33

B. Praktik Perwakafan di Indonesia... 38

C. Model pengelolaan Wakaf Uang di Indonesia dan Luar Negeri... 41

1. Di Indonesia ... 41

2. Di Luar Negeri ... 44

BAB III GAMBARAN UMUM BADAN WAKAF INDONESIA A. Sejarah Pendirian ... 49

B. Visi, Misi, dan Strategi Badan Wakaf Indonesia ... 50

C. Struktur Lembaga... 51

D. Program Kerja ... 53

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI WAKAF UANG PADA BADAN WAKAF INDONESIA A. Pengelolaan Wakaf Uang... 55

B. Implementasi wakaf uang pada Badan Wakaf Indonesia ... 59

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 68

B. Saran... 70


(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu lembaga sosial ekonomi Islam yang akhir-akhir ini juga menarik perhatian umat Islam di Indonesia untuk dikembangkan adalah wakaf. Salah satu institusi Islam yang sebenarnya telah lama dikenal masyarakat Indonesia namun hingga kini belum dikelola secara optimal.

Setiap muslim/muslimat yang terpelajar dan menaruh peduli terhadap ajaran agama yang di peluknya (Islam), pasti mengetahui dan memang sudah sepantasnya tahu, bahwa Islam tidak hanya mengatur perihal shalat di masjid (Ibadah) saja dengan berbagai bentuknya, akan tetapi juga memberikan pedoman yang jelas dan nyata tentang tata aturan muamalah dalam konteksnya yang sangat luas dan sekaligus luwes.1

Wakaf adalah salah satu lembaga sosial Islam yang sangat dianjurkan untuk digunakan oleh seseorang atau lembaga sebagai sarana penyaluran rezeki yang diberikan oleh Allah SWT kepadanya. Wakaf dikategorikan sebagai amal jariah yang pahalanya akan terus mengalir walau si pewakaf telah meninggal dunia. Karena harta wakaf terus dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak. Potensi yang terdapat pada wakaf sebenarnya tidak dapat diremehkan, terutama

1

Husain Syahatah dan Sidiyah Muh-Amin Adalah,Transaksi dan etika bisnis dalam Islam, (Jakarta: Visi Insani publishing, 2005) h.1-2


(11)

dalam hal perannya menyediakan layanan-layanan publik yang mencakup bidang pendidikan, kesehatan, sosial maupun untuk pemberdayaan ekonomi umat.

Di tengah problem sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi akhir-akhir ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat strategis. Disamping sebagai salah satu aspek ajaran islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan pentingnya kesejahteraan dimensi sosial.

Sejak dulu, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk diambil airnya, sedang wakaf benda bergerak baru mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang dikenal dengan istilah cash waqf. Cash waqf diterjemahkan dengan wakaf tunai, namun kalau melihat obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waqfditerjemahkan dengan wakaf uang.2

Dalam catatan sejarah Islam, wakaf sudah dipraktikkan baik dalam bentuknya yang masih tradisional/konvensional, baik dalam bentuk wakaf berupa benda-benda tidak bergerak maupun wakaf produktif berupa wakaf tanah atau wakaf tunai. Bahkan wakaf tunai sudah dipraktikkan sejak awal abad kedua hijriyah.

Dari sini kemudian muncul berbagai analisis tentang pentingnya peran wakaf produktif yang dewasa ini digalakkan dibeberapa negara Islam di dunia. Di Turki

2

Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag P.I, 2006) h.1


(12)

misalnya, badan pengelola wakaf mendapatkan alokasi 5 persen dari net income wakaf produktif. Angka yang sama juga diterima Kantor Administrasi Wakaf Bangladesh. Sementara itu, The Central Waqf Council India mendapatkan sekitar 6 persen darinet incomepengelolaan dana wakaf.3

Negara Indonesia yang begitu potensial dalam perkembangan pengelolaan wakaf yang notabene mayoritas berpenduduk umat muslim. Wakaf dapat dikembangkan sebagai salah satu alternatif dan instrumen yang cukup memadai untuk menyejahterakan kehidupan umat di Indonesia.

Akan tetapi dalam perkembangan wakaf di Indonesia masih mengalami problem dalam pengelolaan dan pengembangan wakaf. Adapun masalah yang dihadapi adalah: Pertama, kebekuan pemahaman muslim Indonesia tentang wakaf. Kedua, nazhir wakaf yang bersifat tradisional dan konsumtif. Ketiga, lemahnya political will pemegang otoritas. Keempat, pengaruh krisis ekonomi dan politik dalam negeri.

Dalam konteks Indonesia, perbedaan mengenai keabsahan wakaf tunai untuk saat ini setidaknya telah mencapai titik temu. Hal ini karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang mewadahi umat Islam tertinggi di negeri ini telah mengeluarkan fatwa mengenai kebolehan memberi wakaf dalam bentuk uang. Fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002.4 Saat ini sudah dikeluarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf yang diundangkan oleh Presiden

3

Achmad Djunaidi dan Thobieb Al-Asyhar, Menuju Era Wakaf Produktif Sebuah Upaya Progresif untuk Kesjahteraan Umat,(Jakarta, Mitra Abadi Press, 2005), cet. Ke-2 h.29

4


(13)

Susilo Bambang Yudhoyono. Undang-Undang tersebut merupakan terobosan yang cukup signifikan dalam dunia perwakafan khususnya pada pemberdayaan wakaf secara produktif untuk kepentingan sosial (kesejahteraan umat). Dalam hal ini harta wakaf seperti uang, saham atau surat berharga lainnya yang diamanatkan kepada nazhir harus dikelola secara produktif sehingga manfaatnya dapat digunakan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat banyak dan aspek kemanfaatan dzat (harta yang diwakafkan) menjadi esensi dari wakaf itu sendiri.

Dengan adanya fatwa MUI dan Undang-Undang No 41 Tahun 2004 tentang wakaf ini telah menjadi pijakan hukum bagi umat Islam di Indonesia untuk melakukan perbuatan hukum memberikan wakaf dalam bentuk uang. Diharapkan wakaf uang bisa digalakkan dan bisa menjadi alternatif pengumpulan dana yang bersifat abadi untuk memberdayakan perekonomian umat dan berbagai sarana dan prasarana yang dibutuhkan umat disamping dana yang bersumber dari zakat, infaq, dan sedekah.

Persoalan yang kemudian mengemuka mengenai pengelolaan wakaf itu sendiri. Besarnya potensi dana yang terkumpul dari wakaf uang akhirnya telah menimbulkan kekhawatiran di sebagian orang mengenai kemungkinan penyelewengan dana wakaf uang. Karenanya diperlukan suatu lembaga yang benar-benar kredibel untuk mengelola wakaf uang. Dengan dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004 tentang wakaf telah menjadi landasan untuk pengembangan pengelolaan wakaf uang dimasa depan. Berbagai pihak mulai dari Pemerintah, umat Islam, sampai kepada Lembaga Keuangan Syariah seperti Badan Wakaf Indonesia dan Bank


(14)

Syariah dapat berperan untuk bersama-sama mengembangkan pengelolaan wakaf di Indonesia. Keberadaan lembaga Badan Wakaf Indonesia dan Bank Syariah dipandang merupakan alternatif lembaga yang cukup representatif untuk mengelola dana amanah tersebut. Lebih jauh, dengan asumsi pengelolaan wakaf ini menyangkut pengelolaan dana besar, maka kemungkinan perolehan pendapatan bagi Lembaga Badan Wakaf Indonesia dan Bank Syariah baik dari hasil pengelolaan maupun dari hasil jasa (fee based income) merupakan satu daya tarik bagi berkiprahnya Lembaga Badan Wakaf Indonesia dan Bank Syariah di dalam pengelolaan wakaf.

Dalam skripsi ini penulis mencoba untuk membahas secara lebih mendalam mengenai Implementasi Wakaf Uang di Badan Wakaf Indonesia.

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan efisien, maka penulis membatasi pembahasannya dalam masalah implementasi wakaf uang di badan wakaf Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang dibahas dalam skripsi ini, maka pokok permasalahan yang dibatasi dengan beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut:

a. Bagaimana pengelolaan wakaf uang di badan wakaf Indonesia? b. Bagaimana implementasi wakaf uang di badan wakaf Indonesia?


(15)

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ilmiah ini bertujuan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran suatu objek penelitian. Menemukan berarti mendapatkan dan melahirkan sesuatu hal baru yang sebelumnya tidak ada, mengembangkan berarti memperluas atau mengkaji lebih dalam yang sudah ada sedangkan menguji kebenaran dilakukan jika terhadap apa yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk:

a. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan wakaf serta hukum-hukum wakaf

b. Untuk mengetahui bagaimana pengelolaan wakaf uang di Badan wakaf Indonesia

c. Untuk mengetahui bagaimana implementasi wakaf uang di Badan Wakaf Indonesia

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini bagi penulis secara umum adalah menyumbangkan pemikiran berupa gagasan buah pikir sebagai hasil/kegiatan penelitian berdasarkan prosedur ilmiah serta melatih kepekaan kegiatan penulis sebagai mahasiswa terhadap masalah-masalah yang berkembang dilingkungan sekitar, sedangkan lebih khusus lagi pentingnya melakukan penelitian ini adalah:


(16)

Kegunaan teoritis bagi program study muamalat, hasil penelitiana ini dapat menambah khazanah pengetahuan, melengkapi dan memberi informasi yang berharga mengenai wakaf uang.

Kegunaan praktis, hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan pelajar, mahasiswa, akademis lainnya dan terutama para pelaku terkait dengan penelitian ini.

D. Kajian Pustaka

Berdasarkan telaah yang telah dilakukan terhadap beberapa sumber kepustakaan, peneliti melihat bahwa masalah pokok dalam penelitian ini tampaknya masih kurang dapat perhatian dari para peneliti, untuk tidak mengatakan belum pernah diteliti sama sekali, adapun penelitian yang sudah dibahas, antara lain:

1. Khairul Bejaharnia, 203046101718, Mekanisme investasi dana wakaf produktif tabungan wakaf Indonesia dalam pemberdayaan masyarakat peternak (studi kasus kampoeng ternak dompet dhuafa republika), (Jakarta, Program Studi Perbankan Syariah Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2007.

2. Lili Zahriah, 203046101720, Analisis strategi pemberdayaan wakaf produktif pendekatan balances scorecard (studi kasus yayasan wakaf al-muhajirin jakapermai bekasi), (Jakarta, Program Studi Perbankan Syariah Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2008).


(17)

3. Anita Chairani, 203046101673, Peluang dan Tantangan Pengelolaan Wakaf Uang pada Perbankan Syariah Pasca Undang-Undang No 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta, Program Studi Perbankan Syariah Jurusan Muamalat Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2008)

Namun, pada penelitian yang dilakukan saudara Khairul Bejaharnia mengkaji tentang manajemen wakaf produktif, dari segi kerangka teoritis. Maupun yang diterapkan pada Tabungan Wakaf Indonesia (TWI) Dompet Dhuafa Republika dan Investasi dana wakaf produktif TWI dalam pemberdayaan kelompok serta manfaatnya terhadap masyarakat peternak.

Dalam penelitian saudari Lili Zahriah lebih cenderung mengkaji tentang sistem pengelolaan harta wakaf yang dikelola Nazhir wakaf Yayasan Wakaf Al-Muhajirien Jaka Permai Bekasi dalam mengukur kinerjanya melalui metode pendekatan balanced scored, melalui empat perspektif yaitu: perspektif keuangan, perspektif pelannganan (jama’ah atau masyarakat), proses bisnis internal, dan perspektif pertumbuhan dan perkembangan.

Sedangkan penelitian yang dilakukan saudari Anita Chairani lebih difokuskan pada bagaimana model pengelolaan wakaf uang menurut UU No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf serta menganalisa peluang dan tantangan pengelolaan wakaf uang pada perbankan syariah setelah dikeluarkannya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

Menurut penulis penulisan dan penelitian karya tulis ini sangat penting karena sesuai dengan perkebangan kondisi sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat


(18)

islam di Indonesia saat ini masih membutuhkan konsep dan tawaran pengembangan kondisi sosial ekonomi umat islam. Adapun perbedaan penilitian saya dengan penelitian yang ada diatas adalah pada penelitian ini lebih difokuskan kepada Implementasi Wakaf Uang di Badan Wakaf Indonesia.

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang data-datanya dinyatakan dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Metode penelitian ini bersifat deskriptif, karena data yang dianalisis itu berupa deskripsi dari gejala-gejala yang diamanati.

2. Pendekatan Penelitian

Adapun tipe atau pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa survei pada Badan Wakaf Indonesia.

3. Jenis Data dan Sumber Data

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data, yaitu:

a. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dari hasil wawancara pihak Badan Wakaf Indonesia, yaitu hasil pertanyaan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.


(19)

b. Data Sekunder

Adalah data yang diperoleh dari literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku serta sumber lainnya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini, Penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research) dan penelitian lapangan(field research).

a. Penelitian Lapangan (Field Research) yaitu Penulis terjun langsung ke lapangan dan melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.

b. Penelitian Kepustakaan (Library Research) yaitu penulis mengambil data dari bahan-bahan pustaka yang didapat dari peraturan perundang-undangan, buku-buku, kitab-kitab fiqih, internet dan literature-literatur yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

5. Tehnik Analisa Data

Penelitian ini termasuk penelitian lapangan. Karena data yang dikumpulkan bersifat kualitatif seperti pendapat seseorang, kegiatan seseorang, penerimaan terhadap sebuah ide dan sebagainya, maka penelitian ini termasuk penelitian kualitatif, yaitu metode penelitian yang data-datanya


(20)

dinyatakan dalam bentuk kata-kata atau kalimat. Metode penelitian ini bersifat deskriptif, karena data yang dianalisis itu berupa deskripsi dari gejala-gejala yang diamanati. Penelitian ini dilakukan dengan cara survey dan mengambil kasus pada salah satu lembaga pengelola wakaf tunai, yaitu pada badan wakaf Indonesia.

6. Tehnik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, Penulis merujuk pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Untuk keserasian dan keterlibatan pembahasan serta untuk mempermudah analisa materi dalam penulisan skripsi ini, maka berikut penulis menjelaskan dalam sistematika penulisan. Secara garis besar, Dalam penulisan skripsi ini, Penulis merujuk pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007”. skripsi ini terdiri dari lima bab yang dibagi dalam sub bab dalam setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainnya, yaitu sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini penulis mengemukakan latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistem penulisan.


(21)

BAB II LANDASAN TEORI

Bab ini berisi tentang tinjauan umum tentang wakaf, meliputi pengertian wakaf, dasar hukum wakaf, yang meliputi dasar hukum dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan Undang-Undang Indonesia, rukun dan syarat wakaf, serta tinjauan syariah terhadap uang sebagai obyek wakaf, bab ini juga membahas tentang praktik perwakafan di Indonesia.

BAB III GAMBARAN UMUM BADAN WAKAF INDONESIA

Bab ini berisi tentang, Sejarah Pendirian, Visi, Misi dan strategi, struktur lembaga, program kerja.

BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI WAKAF UANGPADA BADAN

WAKAF INDONESIA

Bab ini membahas tentang pengelolaan wakaf uang pada Badan Wakaf Indonesia, dan implementasi wakaf uang pada Badan wakaf Indonesia.

BAB V PENUTUP


(22)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Umum Tentang Wakaf 1. Pengertian Wakaf

Wakaf, secara bahasa adalah al-habs (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk masdar dari ungkapan waqfu al-syai’, yang berarti menahan sesuatu. Imam Antarah, dalam syairnya, berkata : “Untaku tertahan di suatu tempat, seolah-olah dia tahu agar akubisa berteduh di tempat itu.”

Dengan demikian, pengertian wakaf secara bahasa adalah menyerahkan tanah kepada orang-orang miskin atau untuk orang-orang miskin untuk ditahan. Diartikan demikian, karena barang milik itu dipegang dan ditahan oleh orang lain, seperti menahan hewan ternak, tanah dan segala sesuatu.

Perkataan waqf, yang menjadi wakaf dalam bahasa Indonesia, berasal dari kata kerja bahasa Arab

ﻒ ﻗ و

yang berarti menghentikan, berdiam di tempat atau menahan sesuatu. Pengertian menghentikan ini (kalau) dihubungkan dengan ilmu baca Al-Qur’an (ilmu tajwid) adalah tata cara menyebut huruf-hurufnya, dari mana dimulai dan di mana harus berhenti. Wakaf dalam pengertian ilmu tajwid ini mengandung makna menghentikan bacaan, baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas sementara. Menurut aturannya seorang pembaca tidak boleh berhenti dipertengahan suku kata,


(23)

harus ada pada akhir kata di penghujung ayat agar bacaannya sempurna. Pengertian wakaf dalam makna berdiam di tempat, dikaitkan dengan wuquf yakni berdiam di Arafah pada tanggal 9Zulhijjah ketika menunaikan ibadah haji. Tanpa wukuf di Arafah tidak ada haji bagi seseorang.5

Dalam istilah syara’ secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan) asal, lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Adapun yang dimaksudtahbisul ashli adalah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, dijual, dihibahkan, digadaikan, disewakan dan sejenisnya. Lebih lanjut, mengenai pemanfaatan wakaf adalah menggunakannya sesuai dengan kehendak pemberi wakaf tanpa imbalan.6

Para Ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf secara istilah (hukum). Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam, sesuai dengan perbedaan mazhab yang mereka anut, baik dari segi kelaziman dan ketidaklazimannya, syarat pendekatan di dalam masalah wakaf ataupun posisi pemilik harta wakaf setelah diwakafkan. Selain itu, juga perbedaan persepsi di dalam tata cara pelaksanaan wakaf, dan apa-apa yang berkaitan dengan wakaf, seperti persyaratan serah terima secara sempurna dan sebagainya.

5

Mohammad Daud Ali,Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-press, 1988), h. 80

6

Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab, Penerjemah Masyukur A. B, dkk (jakarta: Lentera,1996), h. 635


(24)

Ketika mendefinisikan wakaf, para ulama merujuk kepada para Imam mazhab, seperti Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan imam-imam lainnya. Maka, yang terlintas di benakkita setelah membaca definisi-definisi yang mereka buat, seolah-olah definisi tersebut adalah kutipan dari mereka. Padahal, kenyataannya tidak demikian, karena definisi itu hanyalah karangan ahli-hali fiqh ya ng dating sesudah mereka.

Ada beberapa pengertian wakaf menurut para ulama: a. Menurut Abu Hanifah

Wakaf adalah menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif dalam rangka mempergunakan manfaatnya untuk kebaikan. Berdasarkan definisi itu maka pemilikan harta wakaf tidak lepas dari si wakif bahkan ia dibenarkan menariknya kembali dan ia boleh menjualnya, karena yang lebih kuat menurut pendapat abu hanifah adalah bahwa wakaf hukumnya jaiz (boleh), tidak wajib sama halnya dengan pinjaman.7

b. Menurut Jumhur

Wakaf adalah menahan suatu benda yang mungkin diambil manfaatnya (hasilnya) sedang bendanya tidak terganggu. Dengan wakaf itu hak pengguna si wakif dan orang lain menjadi terputus. Hasil benda tersebut digunakan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT. Atas dasar itu, benda tersebut lepas dari pemilikan si wakif

7

Wahbah Al-Zuhaili,Al-Fiqh al-Islam Wa Adillatuhu, terj. Indonesia (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), cet. 3, juz 8, h. 153


(25)

dan menjadi hak Allah SWT. Kewenangan wakif atas harta itu hilang, bahkan ia wajib menyedekahkan sesuai dengan tujuan wakaf.

c. Menurut Malikiyah

Wakaf adalah perbuatan si wakif yang menjadikan manfaat hartanya untuk digunakan oleh penerima wakaf, walaupun yang dimiliki itu berbentuk upah atau menjadikan hasilnya untuk dapat digunakan seperti mewakafkan uang. Wakaf dilakukan dengan mengucapkan lafadz wakaf untuk masa tertentu sesuai dengan keinginan pemilik. Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan, yaitu pemberian manfaat benda secara wajar sedang benda itu tetap menjadi milik si wakif. Perwakafan ini berlaku untuk suatu masa tertentu, dan karenanya tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

Pendapat para ulama ini mewarnai perundang-undangan Indonesia. Pengertian wakaf menurut peraturan pemerintah nomor 28 tahun 1977 pasal 1 (1) adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.8

Pasal 215 instruksi presiden nomor 1 tahun 1991 menyatakan: “wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau sekelompok orang atau 8


(26)

badan hukum yang memisahkan sebagian dari miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat dan keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam”.9

Menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 2004 tentang wakaf pasal 1 ayat 1: wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.10

Saat ini di Indonesia sedang berkembang wakaf benda bergerak berupa uang, hal ini diatur dalam UU No. 41 tahun 2004 Tentang Wakaf, UU ini memberikan pengertian tentang harta benda wakaf. Harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Adapun harta benda wakaf tersebut terdiri dari benda tidak bergerak dan benda bergerak. Salah satu benda bergerak yang dapat diwakafkan adalah uang, wakaf uang yang dapat diwakafkan adalah mata uang rupiah.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga yang mewadahi umat Islam tertinggi di Indonesia telah memberikan pengertian wakaf uang dalam fatwanya. Adapun pengertian wakaf uang menurut MUI adalah 9

Peraturan Dirjen Bimas Islam DEPAG RI No. Kep/D/75/1978 dan Inpres RI No. 1 Tahun 1991Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI)

10


(27)

wakaf yang dilakukan seseorang kelompok, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.11

Dalam usaha memberikan ruang gerak kegiatan perwakafan dalam era globalisasi, maka Bank Indonesia memberikan definisi wakaf tunai (uang) sebagai “penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahkan dan dibekukan untuk selain kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya”.12

Dari beberapa definisi wakaf yang telah disebutkan, dapat penulis simpulkan bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah suatu perbuatan hukum yang dilakukan seseorang dengan cara menahan harta bendanya (wakaf uang) untuk digunakan manfaatnya di jalan Allah SWT dan untuk kesejahteraan umum menurut syariah, sepanjang uang tersebut dimanfaatkan sesuai dengan tujuan akad wakaf dan tidak habis atau musnah. Perbuatan wakaf ini adalah sebagai manifestasi kepatuhan terhadap agama karena wakaf merupakan salah satu cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.

11

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Komisi Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, pada tanggal 11 mei 2002.

12

Mulya Siregar, Peranan Perbankan Syariah Dalam Wakaf Tunai (Sebuah Kajian Konseptual), (Jakarta: Biro Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2001), h. 1


(28)

2. Dasar Hukum Wakaf

a. Dasar Hukum dari Al-Quran

Adapun dalil-dalil yang menjadi dasar disyariatkannya ajaran wakaf bersumber dari pemahaman teks ayat Quran, karena tidak ada ayat Al-Quran yang secara tegas menjelaskan tentang ajaran wakaf. Ayat-ayat yang pada umumnya dipahami dan digunakan oleh para fuqaha sebagai dasar atau dalil yang mengacu kepada ajaran wakaf, antara lain firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran (3) ayat 92:







Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali Imran/3:92).13 Ayat lain yang menganjurkan syari’at wakaf adalah surat Al-Baqarah (2) ayat 267 :

















Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu 13


(29)

memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan Ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. Al-Baqarah/2:267)14

Kesimpulannya, Al-Quran dalam hal wakaf tidak menyebutkan secara khusus, Al-Quran hanya membicarakan soal umum yaitu soal menafkahkan harta pada jalan Allah. Cara menafkahkan harta pada jalan Allah salah satunya dengan wakaf.15

b. Dasar Hukum dari As-Sunnah

Di samping mengemukakan dalil atau dasar hukum wakaf dari Al-Quran, para fuqaha juga menyadarkan masalah wakaf kepada hadits atau sunnah Nabi. Diantara hadits Nabi yang dijadikan dasar hukum wakaf oleh para fuqaha adalah sabda Nabi:

:

)

.(

Artinya:Dari Abu Hurairah r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Apabila seseorang telah meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu dari shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya” (HR. Muslim, Ibn Majah, Turmudzi, Abu Dawud dan Ahmad).16

14

Q.S. al-Baqarah ayat 267

15

Drs. H. Abdul Halim,Hukum Perwakafan di Indonesia, (jakarta: Ciputat Press, 2005), Cet. 1, h. 68

16


(30)

Walaupun secara umum disebutkan adalah sadaqah jariyah, namun yang dimaksud hadits di atas termasuk wakaf. Wakaf akan menghasilkan pahala selagi barang yang diwakafkan itu utuh dan dapat dimanfaatkan, maka orang yang berwakaf terus menerima pahala dari Allah SWT.

Selain hadits di atas, ada hadits yang secara tegas menyinggung dianjurkan ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar:

:

:

:

:

:

)

(

Artinya: “Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa sahabat Umar ra. memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap kepada Rasulullah untuk memohon kepada petunjuk. Umar berkata: Ya Rasulullah, saya mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintah kepadaku? Rasulullah menjawab: bila kamu suka, kamu tahan (pokoknya) tanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya). Kemudian Umar melakukan shadaqah, tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak pula diwariskan. Berkata Ibnu Umar: Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan cara baik


(31)

(sepantasnya) atau makan dengan tidak brrmaksud menumpuk harta”. (HR. Bukharri Muslim)17

Para ulama salaf sepakat bahwa wakaf itu sah adanya dan wakaf Umar di Khaibar itu adalah wakaf yang pertama terjadi di dalam sejarah Islam.18

Kesimpulannya, secara eksplisit hukum wakaf sedikit ditetapkan oleh as-Sunnah dan sebagian besar ditetapkan oleh ijtihad fuqaha dengan berpegang padaIstihsan, Istishab,dan‘urf atau kebiasaan.19

c. Dasar Hukum dari Perundang-Undangan Indonesia

Di Indonesia, praktik wakaf telah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam yaitu sejak akhir abad ke-12 M. Saat ini, salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di Indonesia adalah ketika negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangakat hukum positif sekaligus sebagai landasan hukum dalam pengelolaan wakaf.

Hukum positif Indonesia yang mengatur tentang wakaf dapat kita lihat dari beberapa peraturan di bawah ini, yaitu:

17

Shahih Al-Bukhori dalamFath Al-Bari, hal.259-260.

18

Wahbah al-Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989), Juz 8, h. 157

19

Tuti A. Najib dan Ridwan al-Makassary, ed., Wakaf, Tuhan dan Agenda Kemanusiaan: Studi Tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia, (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h. 7


(32)

1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dimana negara secara resmi menyatakan perlindungan terhadap harta wakaf. Penegasan atas perlindungan tanah milik perwakafan tertuang dalam Peratutan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah.

2) Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Peraturan ini tergolong sebagai peraturan yang pertama yang memuat unsur-unsur substansi dan teknis perwakafan. PP No. 28 Tahun 1977 ini hanya mengatur perwakafan tanah milik, yang meliputi inventarisasi tanah wakaf, proses terjadinya perwakafan tanah milik, dan proses pemberian hak atas tanah wakaf. Terbitnya PP ini menciptakan pembaharuan yang cukup penting dalam pengelolaan harta wakaf. Peraturan ini memberikan legalitas bagi bolehnya pertukaran harta wakaf setelah mendapat izin dari Menteri Agama. Secara substansial peraturan ini tersebut membolehkan pertukaran harta wakaf agar dapat diberdayakan secara optimal. Aturan ini merupakan pembaharuan karena mayoritas umat menganut mazhab Syafi’i bahwa harta wakaf tidak diperbolehkan untuk dipertukarkan walaupun kondisi harta wakaf tidak diperbolehkan untuk dipertukarkan walaupun kondisi


(33)

harta wakaf sudah tidak layak lagi digunakan, seperti masjid yang hampir roboh.20

3) Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Aturan ini membawa beberapa pembaharuan dalam pengelolaan wakaf. Pembaharuan ini pada dasarnya merupakan elaborasi dari prinsip pembaharuan yang terdapat pada Peraturan Pemerintah PP No. 28 Tahun 1977. Beberapa perluasan aturan perwakafan dalam KHI antara lain berkaitan dengan objek wakaf, nazir, dan sebagainya. Terkait dengan objek wakaf misalnya, dalam KHI disebutkan bahwa objek wakaf telah mencakup harta benda yang bergerak, sedangkan dalam PP No. 28 ketentuan seperti ini belum ada.21

4) Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. UU wakaf ini merupakan penyempurnaan dari beberapa peraturan perundangan wakaf yang sudah ada dengan menambahkan hal-hal baru yang merupakan upaya memberdayakan wakaf secara produktif dan akuntabel. Dengan adanya Undang-Undang ini terdapat perluasan benda yang diwakafkan (mauquf bih). Dalam UU ini, selain mengatur tentang wakaf benda tidak bergerak, juga mengatur tentang wakaf benda bergerak, seperti

20

Departemen Agama RI, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 100

21


(34)

uang, saham, atau surat-surat berharga lainnya.22 Sebelum keluarnya Undang-Undang Wakaf ini, sudah keluar Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengenai kebolehan memberi wakaf dalam bentuk uang. Fatwa MUI tersebut adalah:23

a) Wakaf Uang (cash waqaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.

b) Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga. c) Wakaf uang hukumnyajaiz (boleh).

d) Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’i.

e) Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.

5) Peraturan Pemerintah No. 42 tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang wakaf yang meliputi: ketentuan umum, Nazhir, Jenis harta benda wakaf, akta ikrar wakaf dan pejabat pembuat akta ikrar wakaf, tata cara pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf, pengelolaan dan pengembangan, bantuan pembiayaan Badan Wakaf Indonesia, peembinaan dan pengawasan.

22

Departemen Agama RI,Proses Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 212

23

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, Pada tanggal 11 Mei 2002


(35)

Dengan adanya UU No. 41Tahun 2004 tentang wakaf dan fatwa MUI tersebut telah menjadi pijakan hukum bagi umat Islam di Indonesia untuk melakukan perbuatan hukum memberikan wakaf dalam bentuk uang. Dan saat ini sudah keluar pula Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf.

3. Rukun dan Syarat Wakaf a. Rukun Wakaf

Para ulama telah sepakat bahwa tanpa memenuhi rukun dan syarat, perbuatan wakaf tidak akan terwujud. Khusus mengenai jumlah rukun wakaf, terdapat perbedaan antar jumhur dan mazhab Hanafi.

Menurut jumhur, mazhab Syafi’i dan Maliki serta Hambali, rukun wakaf ada empat, yaitu:24

1) Waqif(orang yang mewakafkan) 2) Mauquf(benda yang diwakafkan)

3) Mauquf’Alaih(sasaran atau penerima wakaf)

4) Sighat Wakaf (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan hartanya)

Menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf hanya satu, yaitu berupa pengucapanshigat(ijab dan qabul).25

24

Muhammad Khatib al-Sarbini,Mughni al-Muhtaj, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al-Arabi, t.t), Juz II, h. 376

25


(36)

b. Syarat-syarat Wakaf

Masing-masing rukun wakaf mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu: 1) Syarat Waqif(orang yang mewakafkan)

Ulama menetapkan syarat-syarat pewakaf (waqif) sebagai berikut:26 a) Berakal yaitu mempunyai akal, maka tidaklah sah apabila wakaf

yang diberikan oleh orang gila.

b) Dewasa (baligh), tidak sah wakaf apabila yang mewakafkan masih di bawah umur (anak-anak).

c) Tidak dalam tanggungan.

d) Kemauan sendiri, bukan atas tekanan atau paksaan dari pihak manapun.

e) Merdeka.

2) SyaratMauquf(benda yang diwakafkan)

Para fuqaha sepakat bahwa barang yang diwakafkan itu ( al-Mauquf) harus berupa barang kongkrit dan pasti, diketahui dan betul-betul milik penuh bagi orang yang mewakafkan.

Menurut Mazhab Hanafi, syarat barang yang diwakafkan itu ada empat macam, yaitu:27

a) Barang yang diwakafkan itu harus berupa harta benda, tidak boleh mewakafkan manfaat semata tanpa bendanya, juga tidak boleh 26

Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi,Hukum Wakaf, (Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaA, 2004), h. 219

27


(37)

mewakafkan sesuatu harta yang tidak baik menurut syara’, seperti barang-barang yang memabukkan dan kitab-kitab yang menyesatkan.

Harta yang ada nilainya adalah: harta yang dimiliki oleh orang dan dapat digunakan secara hokum (sah) dalam keadaan normal ataupun tertentu, seperti uang, buku dan harta lain yang tidak dapat berpindah.

Dari sini, harta yang tidak dimiliki oleh manusia tidak bisa dikatakan harta yang bernilai, seperti burung yang terbang di angkasa, ikan yang berada di air. Begitu pula, harta yang tidak diperkenankan bagi manusia untuk memanfaatkannya. Seperti minuman keras, dan babi untuk umat Islam.

Sedangkan, harta yang tidak ada nilainya adalah harta yang tidak dapat dimanfaatkan, baik dalam keadaan normal atau tertentu, dan tidak ada dalam kepemilikan seseorang. Syariat juga tidak mengakui nilai dan harta itu dan tidak menjamin jika terjadi kerusakan, seperti hal-hal yang memabukkan dan yang telah diharamkan bagi umat Islam. Dengan demikian harta atau benda yang boleh diwakafkan adalah benda yang boleh diperjuabelikan serta dapat dimanfaatkan.28 b) Barang yang diwakafkan itu harus jelas, baik kejelasan ukuran,

seperti mewakafkan 100m tanah maupun lainnya. 28


(38)

Fuqaha mengharuskan syarat sahnya harta wakaf adalah harta itu harus diketahui secara pasti dan tidak mengandung sengketa.

Oleh karena itu, meskipun waqif mengatakan: Aku wakafkan sebagian dari hartaku, namun tidak ditunjukkan hartanya, maka batal (tidak sah) wakafnya. Demikian juga, wakaf itu tidak sah ketika waqif itu berkata: Aku wakafkan salah satu dari dua rumahku ini, namun tidak ditentukan rumah yang mana.

Hanya saja, jika waqif berkata: Aku wakafkan seluruh dari harta dan rumahku. Meskipun dia tidak menentukan kadar jumlah yang diwakafkan, wakafnya tetap sah, karena dia telah mewakafkan seluruh yang dimilikinya, dari tanah atau rumah itu. Hal semacam ini juga tidak menimbulkan perbedaan pendapat.

Jadi tidak boleh mewakafkan suatu barang yang tidak jelas, sebab ketidak jelasan itu dapat mengarah kepada terjadinya pertikaian. c) Barang yang diwakafkan itu betul-betul milik penuh bagi orang

yang mewakafkannya. Karena wakaf itu menggugurkan hak milik, maka haruslah barang yang diwakafkan itu betul-betul sebagai hak milik orang yang berwakaf. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha bahwa wakaf tidak sah, kecuali jika wakaf itu berasal dari harta milik pewakaf sendiri. Sebab, wakaf adalah suatu tindakan yang menyebabkan terbebasnya satu kepemilikan menjadi harta wakaf. Untuk itu, seorang pewakaf haruslah pemilik dari harta


(39)

yang diwakafkannya, atau dia adalah orang yang berhak untuk melaksanakan wakaf terhadap suatu harta, yaitu dengan diwakilkannya oleh pemilik harta wakaf atau mendapat wasiat untuk melakukan itu.

d) Barang yang diwakafkan itu harus sudah dibagi, tidak sebagai kongsi dengan orang lain jika memang barang itu dapat dibagi. Sebab penerimaan atas barang yang diwakafkan itu adalah syarat bolehnya wakaf, sedangkan barang atau harta kongsi itu menghalangi penerrimaan tersebut.

Harta wakaf bisa saja berupa harta yang bercampur (milik umum), dan bisa juga harta yang terpisah dari harta lainnya. Namun, para ulama sepakat bahwa harta wakaf tidak boleh berupa harta yang bercampur, khususnya untuk masjid dan kuburan, karena wakaf tidak terlaksana, kecuali harta itu terpisah dan bebas. Sebab, tidak dapat dibayangkan jika masjid dipakai sebulan dan sebulan lagi berubah fungsi menjadi tempat hiburan. Dan, tidak dapat dibayangkan pula ika kuburan dipakai selama satu tahun, dan setahun kemudian berubah fungsi sebagai tempat tinggal. Hal ini, mengingat masjid memiliki fungsi sangat besar, yaitu sarana beribadah kepada Allah dengan ikhlas. Hal itu tidak dapat terlaksana jika status tanah tempat masjid itu tidak dijelaskan. Begitu juga,


(40)

pekuburan tidak dapat difungsikan sebagai pemakaman resmi jika tidak ditentukan lahannya.

3) SyaratMauquf’Alaih(sasaran atau penerima wakaf)

Menurut Jumhur Ulama, beberapa persyaratan umum yang harus diperhatikan dalam mauquf’alaih adalah tujuan wakaf tidak bertentangan dengan syara’, tidak dibatasi waktu dan sesuatu yang tidak menimbulkan madharat pada ahli warisnya.

Ketika tujuan dari disyariatkannya wakaf adalah untuk menjaga kesinambungan pahala bagi pihak pemberi wakaf, maka pendekatan diri pada Allah beserta kelangsungannya menjadi pokok pembahasan para ahli fikih dalam mengkaji syarat sasaran dari wakaf itu sendiri. Syarat tersebut secara global, meliputi hal-hal berikut:

1. Pihak yangh diberi wakaf adalah pihak yang berorientasi pada kebajikan.

2. Sasaran tersebut diarahkan pada aktivitas kebajikan yang kontinu. 3. Barang yang telah diwakafkan tidak kembali kepada si waqif 4. Pihak yang diberi wakaf cakap hukum untuk memiliki dan

menguasai harta wakaf.

Sasaran wakaf dapat ditujukan kepadaWakaf Khairidan Wakaf Ahli.Wakaf Khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum seperti yang dilakukan Umar bin Khattab. Ia mewakafkan


(41)

sekaligus mengelola sendiri tanahnya di Khaibar dan membagikan hasilnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah dan kepentingan umum lainnya. Adapun wakaf ahli/wakaf dzurri yang terkadang disebut wakaf ‘al-aulad adalah wakaf yang khusus diperuntukkan orang-orang tertentu. Jadi yang menikmati manfaat benda wakaf ini sangat terbatas kepada yang termasuk golongan kerabat sesuai dengan ikrar yang dikehendaki siWaqif.

4) Syarat Sighat Wakaf (pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan hartanya)

Berkenaan dengan syarat-syarat yang berkenaan dengan shigat, para ulama mensyaratkan atas shigat itu sebagai berikut:

a) Ta’bid, yaitu waqif harus menyerahkan harta wakaf untuk selamnya, tidak dibatasi waktu. Meskipun Imam Maliki membolehkan wakaf ditentukan batas waktunya namun para Imam Mazhab lainnya menolak argumen itu.29

b) Ilzam, yaitu tidak dipertautkan pada suatu khiyar, seperti mensyaratkan di waktu tertentu harus mengembalikan harta wakaf kepadawaqif apabila ia membutuhkannya.

Imam Maliki membolehkan ikrar ta’liq wakaf yaitu ikrar yang dikaitkan dengan keadaan tertentu yang dapat mempengaruhi ada dan tidak adanya wakaf, di sisi lain Imam Hambali membolehkan ta’liq wakaf akan tetapi hanya berkaitan dengan 29


(42)

kematian saja. Ia hanya mensyahkan perkataan waqif: “Barang ini merupakan wakaf sesudah saya meninggal”. Sedangkan Imam Hanafi dan Syafi’i tidak mensyahkannya.30

c) Sighat tidak terkait dengan persyaratan bathil seperti seseorang mensyaratkan sebagai benefit wakafnya untuk perbuatan maksiat.31 d) Jumhur Ulama selain Imam Maliki menyatakan sighat harus

mengandung arti yang tegas dan tunai, namun Malikiyah membolehkan wakaf berkaitan dengan syarat dan penangguhan realisasi pada masa yang telah ditetapkan olehwaqif.

4. Tinjauan Syariah Terhadap Uang Sebagai Objek Wakaf

Perkembangan yag menarik dalam hal pengembangan institusi wakaf akhir-akhir ini adalah digunakannya uang sebagai objek benda yang diwakafkan yang dikenal dengan istilah cash waqhatau banyak diartikan para pihak dengan wakaf tunai. Istilah wakaf tunai sendiri pada dasarnya kurang tepat. Hal ini mengingat inti persoalan daricash waqf ialah uang, bukan tunai, karena yang menjadi pembahsan para ahli fiqh ialah hukum mewakafkan uang, dengan kata lain menjadikan uang sebagai objek wakaf. Adapun tunai telah dianalisa para ahli fiqh dan mereka menjelaskan semua wakaf harus tunai, tidak boleh dalam bentuk utang. Karena itu tunai tidak dapat menjadi objek wakaf.

30

Muhammad Jawad Mugniyah,Fiqh Lima, h. 642-643

31


(43)

Digunakannya uang sebagai objek wakaf semakin mendapat tempat di kalangan umat Islam Indonesia akhir-akhir ini. Perkembangan ini pada akhirnya telah menimbulkan pertanyaan, bagaimana sebenarnya tinjauan hukum Islam (syariah) terhadap digunakannya uang sebagai objek wakaf? Timbulnya pertanyaan semacam ini pada dasarnya adalah hal yang wajar. Hal ini mengingat selama ini wakaf yang populer di kalangan umat Islam Indonesia terbatas pada wakaf tanah dan bangunan yang diperuntukkan bagi tempat ibadah, pendidikan, atau lahan perkuburan. Karenanya UU No. 41Tahun 2004 dan fatwa MUI tentang diperbolehkannya wakaf dengan uang, merupakan hal baru bagi umat Islam Indonesia.

MUI sendiri dalam fatwanya yang membolehkan wakaf uang selain menggunakan dasar hukum Al-Quran dan Hadits yang berkaitan dengan wakaf, juga secara khusus memperhatikan pandangan para ulama yang telah membolehkan wakaf dengan uang. Beberapa pandangan yang digunakan MUI tersebut antara lain adalah:32

a. Pendapat Imam Az-Zuhri bahwa mewakafkan dinar hukumnya boleh, dengan cara menjadikan dinar tersebut sebagai modal usaha kemudian keuntungannya disalurkan padamauquf ‘alaih.

b. Pandangan dari ulama Mazhab Hanafi yang membolehkan wakaf uang dinar dan dirham sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urf

(hukum yang ditetapkan berdasarkan adat kebiasaan), berdasarkan hadits

32

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia, Keputusan Fatwa Majelis Ulama Indonesia Tentang Wakaf Uang, ditetapkan di Jakarta, Pada tanggal 11 Mei 2002


(44)

yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud r.a: “Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah SWT adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah SWT pun buruk”.

c. Pendapat sebagian ulama Mazhab Syafi’i:

“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham (uang)”.

Walaupun banyak dari kalangan ulama yang telah membolehkan wakaf uang, namun ada pula sebagian ulama yang sulit menerima pendapat bahwa sah hukumnya mewakafkan dinar dan dirham (uang). Adapun alasan para ulama yang tidak membolehkan berwakaf dengan uang, diantaranya:33

a. Bahwa uang bisa habis zatnya sekali pakai. Uang hanya bisa dimanfaatkan dengan membelanjakan sehingga bendanya bisa lenyap, sedangkan inti ajaran wakaf adalah pada kesinambungan hasil dari modal dasar yang tetap lazim kekal. Oleh karena itu, ada persyaratan agar benda yang akan diwakafkan itu adalah benda yang tahan lama, tidak habis dipakai.

b. Uang seperti dinar dan dirham diciptakan sebagai alat tukar yang mudah, orang melakukan transaksi jual beli, bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya.

33

Mustafa Edwin Nasution dan Uswatun Hasanah, ed.,Wakaf Tunai Inovasi Finansial Islam: Peluang dan Tantangan dalam Mewujudkan Kesejahteraan Umat, (Jakarta: PSTT-UI, 2006), h. 98


(45)

DalamAl-Is’af fi AhkamI al-Awqaf, al-Tharablis menyatakan sebagian ulama klasik merasa aneh ketika mendengar fatwa yang dikeluarkan oleh Muhammad bin Abdullah al-Anshori, murid dari Zufar, sahabat Abu Hanifah, tentang bolehnya berwakaf dalam bentuk uang kontan dinar dan dirham, dan dalam bentuk komoditas yang dapat ditimbang atau ditukar, seperti makanan gandum. Hal ini membuat mereka merasa aneh karena tidak mungkin mempersewakan benda-benda seperti itu, oleh karena itu mereka segera mempersoalkannya dengan mempertanyakan apa yang kita dapat lakukan dengan dana tunai dirham? Atas pertanyaan ini Muhammad bin Abdullah al-Anshori menjelaskan dengan mengatakan: “kita investasikan dana itu dengan cara mudharabah dan labanya kita sedekahkan. Kita jual benda makanan itu, harganya kita putar dengan usahamudharabah hasilnya disedekahkan”.34

Wahbah Zuhaili menjelaskan secara tegas bahwa ulama Mazhab Maliki memperbolehkan wakaf uang, mengingat manfaat uang masih dalam cakupan hadits Nabi Muhammad SAW dan benda sejenis yang diwakafkan oleh para sahabat, seperti baju perang, binatang dan harta lainnya serta hal tersebut mendapatkan pengakuan dari Rasulullah SAW. Secara qiyas, wakaf uang dianalogikan dengan baju perang dan binatang. Qiyas ini telah memenuhi

syarat ‘illah (sebab persamaan), dan jami’ (titik persamaan) terdapat dalam qiyas dan yang diqiyaskan. Sama-sama benda bergerak dan tidak kekal, yang

34


(46)

mungkin rusak dalam jangka waktu tertentu, bahkan wakaf uang jika dikelola secara professional memungkinkan uang yang diwakafkan kekal selamanya.35

Dari berbagai pandangan ulama tentang wakaf uang tersebut menujukkan adanya kehati-hatian para ulama dalam memberikan fatwa sah atau tidak sahnya suatu praktik wakaf uang. Hal ini disebabkan harta wakaf adalah harta amanah yang terletak ditangan nazir. Sebagai harta amanah, maka nazir hanya boleh melakukan hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi harta wakaf. Berdasarkan pertimbangan ini, disamping memikirkan model investasi wakaf uang, perlu juga dipikirkan antisipasi adanya resiko kerugian yang akan mengancam eksistensi dan kesinambungan aset wakaf.36

Walaupun ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama mengenai sah tidaknya wakaf uang, namun mengingat manfaat wakaf uang yang begitu besar bila dikembangkan dengan baik bagi kemaslahatan umat, pengelolaan wakaf uang tetap menjadi pilihan yang menarik bagi umat Islam untuk dikembangkan. Dari segi pemanfaatan misalnya, wakaf uang tentunya dapat dimanfaatkan lebih luas. Dana wakaf nantinya bisa digunakan untuk mendirikan perusahaan, pusat perbelanjaan, atau apa saja yang bernilai ekonomis tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Dananya terus mengalir, keuntungan yang diperoleh lebih besar, akan lebih banyak umat yang dibantu

35

Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 212

36


(47)

dengan dana tersebut. Dengan demikian mobilisasi dana dari umat Islam untuk umat Islam dapat dilakukan secara maksimal dan didayagunakan bagi kemanfaatan umat yang sebesar-besarnya.

B. Praktik Perwakafan di Indonesia

Sejarah perkembangan wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam. Praktik wakaf diasumsikan telah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya beberapa kerajaan Islam di nusantara sejak akhir abad ke-12 M.

Di masa-masa awal penyiaran Islam ini, kebutuhan akan masjid untuk menjalankan aktivitas ritual dan dawkah membuat pemberian tanah wakaf untuk masjid menjadi tradisi yang lazim dan meluas di kantong-kantong Islam di nusantara. Praktik-praktik yang meyerupai wakaf dilaporkan telah ada sejak jauh sebelum datangnya Islam di nusantara. Praktik yang menyerupai wakaf ini dapat ditemukan dalam tradisi penyerahan tanah di beberapa daerah, seperti di Mataram, telah dikenal praktik semacam wakaf yang disebuttanah perdikan yaitu tanah yang diberikan oleh Negara kepada orang tertentu yang dianggap telah berjasa dan mereka dibebaskan dari pembayaran pajak, di Lombok dikenal tanah pareman yaitu tanah Negara yang dibebaskan dari pajak landrente yang diserahkan kepada desa-desa subak, juga kepada candi dan juga kepentingan bersama. Dalam tradisi masyarakat Baduy di Cibeo, Banten Selatan juga dikenalHuma Serangyaitu ladang yang dikerjakan setiap tahun secara bersama-sama dan hasilnya dipergunakan untuk kepentingan bersama


(48)

dan di Minangkabau ada pulatanah pusakayaitu tanah keluarga yang dikelola secara turun-temurun dan hasilnya juga dapat dimanfaatkan oleh keluarga untuk membantu membiayai kebutuhan ekonomi keluarga atau memberi bantuan uang sekolah pada anak-anak di perantauan. Sedangkan di Aceh dikenal tanah weukekeuh yaitu tanah pemberian sultan yang digunakan untuk kepentingan umum.37

Seiring dengan perkembangan sosial masyarakat Islam dari waktu ke waktu, praktik perwakafan mengalami kemajuan setahap demi setahap. Tradisi wakaf untuk tempat ibadah tetap bertahan, tetapi mulai muncul juga wakaf untuk kegiatan pendidikan, seperti untuk pendirian pesantren dan madrasah.

Namun selama itu harta benda wakaf masih dikelola secara tidak produktif karena wakaf hanya difahami oleh mayoritas Islam Indonesia sebagai amalan ibadah semata (mahdhah) yang tidak memiliki dimensi ekonomi ataupun dimensi social. Padahal di tengah permasalahan social masyarakat yang semakin rumit dan tuntutan akan sebuah kehidupan yang adil dan makmur sesuai dengan amanah UUD 1945, wakaf memiliki peran sangat penting dalam membangun peradaban umat Islam di Indonesia.

Perkembangan wakaf di Indonesia mulai menggeliat sekitar tahun 2000-an. Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menjadi jawaban bagi masa depan perwakafan di Indonesia agar dapat diberdayakan secara lebih produktif dan professional. Keterbatasan mengenai fungsi dan manfaat wakaf yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Negara Tahun 1977 serta Peraturan Dasar Agraria yang

37


(49)

terangkum dalam UU No. 5 Tahun 1960 yang hanya mengatur benda tidak bergerak dan peruntukkannya lebih banyak untuk kepentingan ibadah mahdah seperti masjid, mushalla, pesantren dan lainnya setidaknya untuk saat ini mulai dapat diakomodasi kekurangannya dengan lahirnya UU No. 41 tahun 2004.

Pemberdayaan wakaf setidaknya menjadi semakin lebih baik lagi ketika dari sisi implementasinya, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf. Kedua peraturan ini memiliki pengaruh yang sangat penting, karena selain untuk kepentingan ibadah yang sifatnyamahdah, aspek penekanan terhadap pemberdayaan wakaf secara lebih produktif untuk kepentingan social dan kesejahteraan umat juga dikedepankan sehingga akan berjalan selaras.

Lahirnya UU No. 41 Tahun 2004 juga membawa konsekuensi bagi system pengelolaan wakaf di Indonesia agar lebih professional dan independen. Untuk itu diperlukan suatu lembaga baru yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam memberdayakan asset wakaf Indonesia agar lebih produktif. Pentingnya pembentukan sebuah lembaga wakaf nasional yang bersifat independen diperlukan dalam rangka untuk membina Nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf baik secara nasional maupun internasional.

Badan Wakaf Indonesi (BWI) pun lahir sebagai suatu jawaban bagi pengembangan pengelolaan perwakafan Indonesia yang lebih professional dan produktif sehingga menghasilkan manfaat wakaf yang dapat menbsejahterakan umat. Sehingga kelak BWI akan memiliki peran kunci, selain berfungsi sebagai Nazhir,


(50)

BWI juga akan sebagai Pembina Nazhir sehingga harta benda wakaf dapat dikelola dan dikembangkan secara produktif. BWI ke depan tidak hanya berfungsi sebagai lembaga yang mengelola wakaf secara independen dan mandiri agar dana yang dikelola lebih produktif, akan tetapi fungsi penyadaran dan sosialisasi terhadap masalah wakaf, baik fungsi dan manfaatnya kepada masyarakat harus juga dimainkan perannya oleh BWI itu sendiri.

C. Model Pengelolaan Wakaf Uang di Indonesia dan Luar Negeri 1. Di Indonesia

Sampai saat ini di Indonesia sudah ada beberapa lembaga yang mengelola wakaf uang seperti Baitul Maal Muamalat yang bekerja sama dengan Bank Muamalat Indonesia, LAZ Portalinfak, Pos Keadilan Peduli Umat dan Yayasan Dompet Dhuafa Republika.

Di awal operasi produk wakaf uang, pola pengelolaan wakaf uang yang dilakukan oleh Yayasan Dompet Dhuafa Republika adalah langsung memanfaatkan dana wakaf pada sasaran, tidak menginvestasikannya terlebih dahulu, sehingga asset pokok wakaf digunakan untuk membiayai operasional program wakaf, bukan profit atau benefitnya.

Seiring waktu berjalan, lembaga itu terus melakukan evaluasi dan inovasi dalam maksimalisasi pengembangan wakaf uang. Di tahun 2004, Dompet Dhuafa telah melakukan strategi baru antara lain mereka bekerja sama dengan Batasa Capital dan BII Syariah. Kerjasama ini telah berhasil


(51)

meluncurkan “Wakaf Investasi Dompet Dhuafa Batasa Syariah”. Sebuah produk yang diluncurkan untuk mensinergikan investasi dengan charitydemi membangun bangsa. Wakaf tersebut akan dialokasikan untuk mendorong kegiatan sektor riil, khususnya yang berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan usaha kecil dan menengah.

Komisaris utama Batasa Tazkia, M. Syafi’i Antonio, menyatakan bahwa produk ini adalah gabungan antara wakaf uang dengan investasi reksa dana syariah, dimana investor dapat menentukan dengan leluasa presentasi yang diperolehnya dan mewakafkan sebagian atau seluruh dari investasinya sebagai harta wakaf. Bagi yang mengeluarkan wakaf akan diberikan Sertifikat Wakaf Investasi Atas Nama dari Dompet Dhuafa dengan nominal terkecil Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah). Dalam prosesnya, Batasa Capital berperan sebagai Manajer Investasi sementara Dompet Dhuafa akan berperan sebagai nadzir, yang akan mengelola dana wakaf.

Secara operasional, pengelolaan wakaf uang pada Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) sama dengan pola pengelolaan wakaf uang di Yayasan Dompet Dhuafa Republika diaawal operasinya, yaitu langsung memanfaatkan dana wakaf pada sasaran, tidak menginvestasikannya terlebih dahulu sehingga dana yang digunakan untuk membiayai operasional program wakaf adalah aset pokok wakaf bukan profit atau benefitnya. Adapun strategi penghimpunan dana wakaf uang di PKPU adalah dengan menyediakan sertifikat wakaf uang dengan nominal minimal Rp.500.000,- (lima ratus ribu).


(52)

Untuk mengoptimalkan pengelolaan dan pengembangan wakaf di Indonesia sudah dibentuk Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang bersifat independent dan dapat membentuk perwakilan di Propinsi dan Kabupaten jika dianggap perlu. Pada bulan Juli 2007 keluar Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 75/M Tahun 2007 yang memutuskan mengangkat keanggotaan BWI periode 2007-2010 yang diketuai oleh Bapak Tholhah Hasan.38 Adapun tugas dari Badan Wakaf Indonesia (BWI):

a. Melakukan pembinaan terhadap nadzir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf.

b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan hara benda wakafberskala Nasional dan Internasional.

c. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf.

d. Memberhentikan dan mengganti Nadzir.

e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.

f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada Pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.39

Badan Wakaf Indonesia (BWI) ini secara organisatoris harus bersifat independent, dimana pemerintah dalam hal ini sebagai fasilitator, regulator,

38

Tholhah Hasan, “Perkembangan Kebijakan Wakaf di Indonesia”, Republika, 14 Maret 2008, h. 19

39

Departemen Agama RI, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Depag RI, 2006), h. 94


(53)

motivator dan pengawasan. Jadi, tugas utama badan ini adalah memberdayakan wakaf, baik wakaf benda tidak bergerak maupun benda bergerak yang ada di Indonesia sehingga dapat memberdayakan ekonomi umat.40

2. Di Luar Negeri

Dalam hal wakaf uang, negara yang sampai saat ini boleh dikatakan paling berkembang dan maju dalam pengelolaannya adalah Bangladesh. Di Bangladesh wakaf uang memang telah menuai hasil memuaskan. Melalui dana wakaf, pemerintah Bangladesh mampu memberdayakan masyarakatnya dan mandiri secara ekonomi. Hal ini bermula dari pengenalan sertifikat wakaf tunai yang dilakukan oleh Prof. Dr. M. A. Mannan, serta pendirian sebuah bandar bernama Social Investment Bank Ltd. (SIBL). Badan ini kemudian berfungsi untuk menggalang dana dari orang-orang melalui sertifikat wakaf tunai. Lalu dana yang terkumpul dikelola, sedangkan keuntungannya disalurkan kepada rakyat miskin yangmembutuhkan.

Menurut M. A. Mannan, wakaf uang dapat berperan sebagai suplemen bagi pendanaan berbagai macam proyek investasi sosial yang dikelola oleh bank-bank Islam, sehingga dapat berubah menjadi bank wakaf (sebuah bank yang menampung dana-dana wakaf). Pengenalan Sertifikat Wakaf Tunai ini dimaksudkan sebagai instrumen pemberdayaan keluarga kaya dalam memupuk

40


(54)

investasi sosial sekaligus mewujudkan kesejahteraan sosial. Wakaf uang membuka peluang yang unik bagi penciptaan investasi di bidang keagamaan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Tabungan dari warga yang berpenghasilan tinggi dapat dimanfaatkan melalui penukaran Sertifikat Wakaf Tunai tersebut dapat dibelanjakan untuk berbagai tujuan yang berbeda seperti pemeliharaan harta-harta wakaf itu sendiri.41

Manfaat lain dari Sertifikat Wakaf Tunai adalah bahwa dia dapat mengubah kebiasaan lama di mana kesempatan wakaf itu seolah-olah hanya untuk orang-orang kaya saja. Karena Sertifikat Wakaf Tunai seperti yang dterbitkan oleh SIBL dibuat dalam denominasi sekitar US$21, maka sertifikat tersebut dapat terbeli oleh sebagian besar masyarakat muslim. Bahkan, setifikat tersebut dapat dibuat dalam pecahan yang lebih kecil lagi. Dipandang dari sisi ini, maka penerbitan Setifikat Wakaf Tunai diharapkan dapat menjadi sarana bagi rekonstruksi sosial dan pembangunan, dimana mayoritas penduduk dapat ikut berpartisipasi.

Garis-garis besar pengaturan operasionalisasi Sertifikat Wakaf Tunai sebagaimana yang diterapkan SIBL adalah sebagai berikut:

a. Wakaf Tunai harus diterima sebagai sumbangan sesuai dengan Syariah. Bank harus mengelola wakaf tersebut atas nama waqif.

41

M. A. Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrumen Keuangan Islam, (Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI, 2001), h. 36


(55)

b. Wakaf dilakukan dengan tanpa batas waktu dan rekeningnya harus terbuka dengan nama yang ditentukan oleh waqif.

c. Waqif mempunyai kebebasan memilih tujuan-tujuan sebagaimana tercantum pada daftar yang jumlahnya ada 32 sesuai dengan identifikasi yang telah dibuat oleh SIBL atau tujuan lain yang diperkenalkan oleh syariah.

d. Wakaf Tunai selalu menerima pendapatan dengan tingkat (rate) tertinggi yang ditawarkan bank dari waktu ke waktu.

e. Kuantitas wakaf tetap utuh dan hanya keuntungannya saja yang akan dibelanjakan untuk tujuan-tujuan yang telah ditentukan oleh waqif. Bagian keuntungan yang tidak dibelanjakan akan secara otomatis ditambahkan pada wakaf dan profit yang diperoleh akan bertambah terus.

f. Waqif dapat meminta bank mempergunakan keseluruhan profit untuk tujuan-tujuan yang telah ia tentukan.

g. Waqif dapat memberikan Wakaf Tunai untuk sekali saja, atau ia dapat juga menyatakan akan meberikan sejumlah wakaf dengan cara melakukan deposit pertama kalinya sebesar Tk.1000 (atau equivalent dengan jumlah tertentu pada mata uang Rupiah). Deposit-deposit berikutnya juga dapat dilakukan dengan pecahan masing-masing Tk.1000 atau kelipatannya. h. Waqif dapat juga meminta kepada bank merealisasikan Wakaf Tunai pada


(56)

i. Atas setiap setoran Wakaf Tunai harus diberikan tanda terima dan setelah jumlah wakaf tersebut mencapai jumlah yang ditentukan, barulah diterbitkan sertifikat.

j. Prinsip dan dasar-dasar peraturan Syariah Wakaf Tunai dapat ditinjau kembali dan dapat berubah.

Dengan diterbitkannya Sertifikat Wakaf Tunai oleh SIBL telah membuka peluang kepada masyarakat untuk membuka rekening deposito wakaf tunai dengan tujuan untuk mencapai sasaran-sasaran sebagai berikut: a. Menjadikan perbankan sebagai fasilitator untuk menciptakan wakaf tunai

dan membantu dalam pengelolaan wakaf.

b. Membantu mobilisasi tabungan masyarakat dengan menciptakan wakaf tunai dengan maksud untuk memperingati orang tua yang telah meninggal, anak-anak dan mempererat hubungan kekeluargaan orang-orang kaya.

c. Meningkatkan investasi sosial dan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal.

d. Memberikan manfaat kepada masyarakat luas, terutama golongan miskin, dengan menggunakan sumber-sumber yang diambilkan dari golongan kaya.

e. Menciptakan kesadaran di antara orang kaya tentang tanggung jawab sosial mereka terhadap masyarakat.


(57)

g. Membantu usaha-usaha pembangunan bangsa secara umum dan membuat hubungan yang unik antara jaminan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Kesimpulannya, seseorang dapat memiliki Sertifikat Wakaf Tunai dengan maksud untuk memenuhi target investasi sedikitnya meliputi empat bidang yaitu:

a. Kemanfaatan bagi kesejahteraan pribadi (dunia+akhirat). b. Kemanfaatan bagi kesejahteraan keluarga (dunia+akhirat). c. Pembangunan Sosial.

d. Membangun masyarakat sejahtera: jaminan sosial bagi si miskin dan jaminan keamanan sosial bagi si kaya.

Dari beberapa paparan di atas, wakaf uang yang dikelola SIBL ini mempunyai beberapa keunggulan antara lain, memperluas jangkauan pemberi wakaf dan mendapat partisipasi penuh masyarakat. Masyarakat yang tidak mempunyai fixed asset dan harta berlebihan dapat mewakafkan uang sesuai dengan kemampuannya. Dana itu dikumpulkan dan dikelola oleh lembaga wakaf serta mendistribusikan hasilnya pada beneficiary. Benefit yang dihasilkan dapat bermanfaat untuk meningkatkan produktifitas asset-asset wakaf yang belum terkelola dengan baik.

Selain itu dana deposit permanen ini dapat diinvestasikan pada bidang investasi sosial dan dakwah Islam dengan cara mentransferkan tabungan kaya pada enterpreneur dan masyarakat untuk mendanai proyek-proyek yang berkenaan dengan dakwah Islam serta pemberdayaan ekonomi dan potensi masyarakat.


(58)

BAB III

GAMBARAN UMUM BADAN WAKAF INDONESIA

A. Sejarah Pendirian

Kelahiran Badan Wakaf Indonesia (BWI) merupakan perwujudan amanat yang digariskan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kehadiran BWI, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 47, adalah untuk memajukan dan mengembangkan perwakafan di Indonesia. Untuk kali pertama, Keanggotaan BWI diangkat oleh Presiden Republik Indonesia, sesuai dengan Keputusan Presiden (Kepres) No. 75/M tahun 2007, yang ditetapkan di Jakarta, 13 Juli 2007. Jadi, BWI adalah lembaga independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia yang dalam melaksanakan tugasnya bersifat bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, serta bertanggung jawab kepada masyarakat.42

BWI berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota sesuai dengan kebutuhan. Dalam kepengurusan, BWI terdiri atas Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan, masing-masing dipimpin oleh oleh satu orang Ketua dan dua orang Wakil Ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota. Badan pelaksana merupakan unsur pelaksana tugas, sedangkan Dewan Pertimbangan adalah unsur pengawas pelaksanaan tugas BWI. Jumlah anggota Badan Wakaf Indonesia terdiri dari paling

42


(59)

sedikit 20 (dua puluh) orang dan paling banyak 30 (tiga puluh) orang yang berasal dari unsur masyarakat. (Pasal 51-53, UU No.41/2004).43

Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Keanggotaan Perwakilan Badan Wakaf Indonesia di daerah diangkat dan diberhentikan oleh Badan Wakaf Indonesia. Keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diangkat untuk masa jabatan selama 3 (tiga) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk pertama kali, pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia diusulkan kepada Presiden oleh Menteri. Pengusulan pengangkatan keanggotaan Badan Wakaf Indonesia kepada Presiden untuk selanjutnya dilaksanakan oleh Badan Wakaf Indonesia. (Pasal 55, 56, 57, UU ANo.41/2004).

B. Visi, Misi, dan Strategi Badan Wakaf Indonesia44 1. Visi

Badan Wakaf Indonesia mempunyai visi:

“Terwujudnya lembaga independen yang dipercaya masyarakat, mempunyai kemampuan dan integritas untuk mengembangkan perwakafan nasional dan internasional”.

2. Misi

Badan Wakaf Indonesia mempunyai misi:

43

http://www.bwi.or.id/

44


(60)

“Menjadikan BWI sebagai lembaga professional yang mampu mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan pemberdayaan masyarakat”.

3. Strategi

Adapun strategi untuk merealisasikan Visi dan Misi Badan Wakaf Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Meningkatkan kompetensi dan jaringan Badan Wakaf Indonesia, baik nasional maupun internasional.

2. Membuat peraturan dan kebijakan di bidang perwakafan.

3. Meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf.

4. Meningkatkan profesionalitas dan keamanahan nazhir dalam pengelolaan dan pengembangan harta wakaf.

5. Mengkoordinasi dan membina seluruh nazhir wakaf. 6. Menertibkan pengadministrasian harta benda wakaf.

7. Menghimpun mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf yang berskala nasional dan internasional.

C. Struktur Lembaga Struktur Organisasi Dewan Pertimbangan

Ketua : Dr. H.M. Anwar Ibrahim (Ketua)


(61)

: Drs. H. Ahmad Djunaidi

Anggota : Dr. Mulya E. Siregar

: H. Muhammad Abbas Aula, Lc. MHI

Badan Pelaksana

Ketua : Prof. Dr. KH. Muhammad Tholhah Hasan

Wakil Ketua I : H. Mustafa Edwin Nasution, Ph.D Wakil Ketua II : Drs. KH. A. Hafizh Utsman

Sekretaris : Dr.Sumuran Harahap, M.Ag.MM.MH

Wakil Sekretaris : H.M. Cholil Nafis, Lc. MA

Bendahara : Drs. H. Siradjul Munir

Wakil Bendahara : Prof. Dr. Suparman, MSc

Divisi-divisi

Pembinaan Nazhir : Dr. KH. Maghfur Usman

: Dr. H. Jafril Khalil, MCL. Drs. FIIS Pengelolaan Wakaf : Prof. Dr. H. Fathurrahman Djamil, MA

: Ir. Suhaji Lestiadi

Hubungan Masyarakat : Prof. Dr. Masykuri Abdillah, MA : Ir. Muhammad Syakir Sula, AAIJ, FIIS

Kelembagaan : Dr. Wahiduddin Adams, SH. MA

Penelitian dan Pengembangan : Dr. Uswatun Hasanah, MA : Dian Masyita, SE. MT


(62)

D. Program Kerja

Program kerja untuk merealisasikan visi, misi, dan srategi tersebut, BWI mempunyai 5 divisi, yakni Divisi Pembinaan Nazhir; Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf; Divisi Kelembagaan; Divisi Hubungan Masyarakat; dan Divisi Penelitian dan Pengembangan Wakaf.

Adapun program kerja masing-masing divisi adalah sebagai berikut: 1. Divisi Pembinaan Nazhir

Dalam rangka melaksanakan tugasnya sebagai Pembina nazhir, Divisi Pembina Nazhir meyusun program sebagai berikut:

a. Menyusun kurikulum untuk pelatihan nazhir.

b. Menyusun modul untuk pelatihan nazhir oleh tim khusus yang dibentuk oleh pengurus BWI.

c. Modul dan kurikulum yang sudah disusunoleh tim khusus, diteliti dan diuji oleh Divisi Litbang.

d. Mengadakan lokakarya mengenai kurikulum dan modul yang akan dipergunakan untuk pelatihan nazhir.

e. Menyelenggarakan pelatihan-pelatihan nazhir. 2. Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf

Divisi Pengelolaan dan Pemberdayaan Wakaf meyusun program sebagai berikut: a. Pemetaan tanah wakaf untuk tujuan produktif.

b. Program penghimpunan dana wakaf uang. c. Pembangunan gedung wakaf center.


(63)

d. Program investasi harta wakaf.

e. Penyaluran hasil investasi kepada mauquf alaih sesuai yang ditetapkan dalam ikrar wakaf.

3. Divisi Kelembagaan

Divisi Kelembagaan Wakaf meyusun program sebagai berikut:

a. Menyiapkan dan menyusun pedoman penyelesaian sengketa mengenai perwakafan baik musyawarah, mediasi, arbitrase atau pengadilan.

b. Menyiapkan pedoman hubungan kerja.

c. Pengembangan lembaga, pembentukan perwakilan BWI di provinsi atau kabupaten/kota sesuai kebutuhan bersama.

d. Memberikan rekomendasi persetujuan atau penukaran harta benda wakaf. e. Penerbitan kebijakan dan prosedur pengelolaan wakaf produktif.

4. Divisi Hubungan Masyarakat

Divisi Hubungan Masyarakat menyusun program sebagai Program publikasi dan edukasi public

5. Divisi Penelitian dan Pengembangan Wakaf

Divisi Penelitian dan Pengembangan Wakaf meyusun program sebagai berikut: a. Menginvetarisir asset-aset wakaf di seluruh Indonesia.

b. Memetakan dan menganalisis potensi ekonomi dari setiap asset wakaf dengan berkoordinasi dengan divisi lain yang berkaitan.


(64)

BAB IV

IMPELEMNTASI WAKAF UANG DI BADAN WAKAF INDONESIA

A. Pengelolaan Wakaf Uang

Wakaf bagi seorang muslim merupakan realisasi ibadah kepada Allah melalui harta benda yang dimilikinya, yaitu dengan melepas benda yang dimilikinya untuk kepentingan umum. Ajaran wakaf disandarkan pada Sabda Rasulullah saw. “Apabila anak Adam meninggal maka terputuslah semua amalnya kecuali tiga perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak soleh yang mendoakannya” (HR. Muslim).45 Para ulama fikih sepakat, yang dimaksud dengan “shadaqah jariyah” dalam hadis di atas adalah wakaf. Ulama-ulama ahli hadis pun sepakat mengamini pandangan tersebut.

Ketika berwakaf, ada empat rukun yang harus dipenuhi. Pertama, orang yang berwakaf (waqif). Kedua, benda yang diwakafkan (mauquf). Ketiga, orang yang menerima manfaat wakaf (mauquf ‘alaih). Keempat, lafadz atau ikrar wakaf (sighat). Benda yang dapat diwakafkan terdiri dari dua macam: benda tak bergerak misalnya tanah; dan benda bergerak contohnya uang. Selain rukun wakaf yang empat, ada satu lagi elemen penting dalam wakaf, yaitu nazhir atau pengelola harta wakaf. Nazhir adalah orang yang diberi tugas untuk mengelola wakaf. Dalam buku-buku fiqh tidak disebutkan bahwa Nazhir termasuk salah satu rukun wakaf. Namun karena peran

45

Imam Muslim, Shahih Muslim, No. 3084, jz. 8, h. 405; Abu Daud,Sunan Abi Daud, No. 2494, jz. 8, h. 76.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)