Syarat-syarat Wakaf Rukun dan Syarat Wakaf a. Rukun Wakaf

27

b. Syarat-syarat Wakaf

Masing-masing rukun wakaf mempunyai syarat-syarat tertentu, yaitu: 1 Syarat Waqif orang yang mewakafkan Ulama menetapkan syarat-syarat pewakaf waqif sebagai berikut: 26 a Berakal yaitu mempunyai akal, maka tidaklah sah apabila wakaf yang diberikan oleh orang gila. b Dewasa baligh, tidak sah wakaf apabila yang mewakafkan masih di bawah umur anak-anak. c Tidak dalam tanggungan. d Kemauan sendiri, bukan atas tekanan atau paksaan dari pihak manapun. e Merdeka. 2 Syarat Mauquf benda yang diwakafkan Para fuqaha sepakat bahwa barang yang diwakafkan itu al- Mauquf harus berupa barang kongkrit dan pasti, diketahui dan betul- betul milik penuh bagi orang yang mewakafkan. Menurut Mazhab Hanafi, syarat barang yang diwakafkan itu ada empat macam, yaitu: 27 a Barang yang diwakafkan itu harus berupa harta benda, tidak boleh mewakafkan manfaat semata tanpa bendanya, juga tidak boleh 26 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf, Jakarta: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaA, 2004, h. 219 27 Wahbah Zuhaili, Fiqh Al-Islam, h. 184 28 mewakafkan sesuatu harta yang tidak baik menurut syara’, seperti barang-barang yang memabukkan dan kitab-kitab yang menyesatkan. Harta yang ada nilainya adalah: harta yang dimiliki oleh orang dan dapat digunakan secara hokum sah dalam keadaan normal ataupun tertentu, seperti uang, buku dan harta lain yang tidak dapat berpindah. Dari sini, harta yang tidak dimiliki oleh manusia tidak bisa dikatakan harta yang bernilai, seperti burung yang terbang di angkasa, ikan yang berada di air. Begitu pula, harta yang tidak diperkenankan bagi manusia untuk memanfaatkannya. Seperti minuman keras, dan babi untuk umat Islam. Sedangkan, harta yang tidak ada nilainya adalah harta yang tidak dapat dimanfaatkan, baik dalam keadaan normal atau tertentu, dan tidak ada dalam kepemilikan seseorang. Syariat juga tidak mengakui nilai dan harta itu dan tidak menjamin jika terjadi kerusakan, seperti hal-hal yang memabukkan dan yang telah diharamkan bagi umat Islam. Dengan demikian harta atau benda yang boleh diwakafkan adalah benda yang boleh diperjuabelikan serta dapat dimanfaatkan. 28 b Barang yang diwakafkan itu harus jelas, baik kejelasan ukuran, seperti mewakafkan 100m tanah maupun lainnya. 28 Kitab al-mughni jilid 6 hal 237 dan syara’ al-islam, jilid 1 hal 247 29 Fuqaha mengharuskan syarat sahnya harta wakaf adalah harta itu harus diketahui secara pasti dan tidak mengandung sengketa. Oleh karena itu, meskipun waqif mengatakan: Aku wakafkan sebagian dari hartaku, namun tidak ditunjukkan hartanya, maka batal tidak sah wakafnya. Demikian juga, wakaf itu tidak sah ketika waqif itu berkata: Aku wakafkan salah satu dari dua rumahku ini, namun tidak ditentukan rumah yang mana. Hanya saja, jika waqif berkata: Aku wakafkan seluruh dari harta dan rumahku. Meskipun dia tidak menentukan kadar jumlah yang diwakafkan, wakafnya tetap sah, karena dia telah mewakafkan seluruh yang dimilikinya, dari tanah atau rumah itu. Hal semacam ini juga tidak menimbulkan perbedaan pendapat. Jadi tidak boleh mewakafkan suatu barang yang tidak jelas, sebab ketidak jelasan itu dapat mengarah kepada terjadinya pertikaian. c Barang yang diwakafkan itu betul-betul milik penuh bagi orang yang mewakafkannya. Karena wakaf itu menggugurkan hak milik, maka haruslah barang yang diwakafkan itu betul-betul sebagai hak milik orang yang berwakaf. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha bahwa wakaf tidak sah, kecuali jika wakaf itu berasal dari harta milik pewakaf sendiri. Sebab, wakaf adalah suatu tindakan yang menyebabkan terbebasnya satu kepemilikan menjadi harta wakaf. Untuk itu, seorang pewakaf haruslah pemilik dari harta 30 yang diwakafkannya, atau dia adalah orang yang berhak untuk melaksanakan wakaf terhadap suatu harta, yaitu dengan diwakilkannya oleh pemilik harta wakaf atau mendapat wasiat untuk melakukan itu. d Barang yang diwakafkan itu harus sudah dibagi, tidak sebagai kongsi dengan orang lain jika memang barang itu dapat dibagi. Sebab penerimaan atas barang yang diwakafkan itu adalah syarat bolehnya wakaf, sedangkan barang atau harta kongsi itu menghalangi penerrimaan tersebut. Harta wakaf bisa saja berupa harta yang bercampur milik umum, dan bisa juga harta yang terpisah dari harta lainnya. Namun, para ulama sepakat bahwa harta wakaf tidak boleh berupa harta yang bercampur, khususnya untuk masjid dan kuburan, karena wakaf tidak terlaksana, kecuali harta itu terpisah dan bebas. Sebab, tidak dapat dibayangkan jika masjid dipakai sebulan dan sebulan lagi berubah fungsi menjadi tempat hiburan. Dan, tidak dapat dibayangkan pula ika kuburan dipakai selama satu tahun, dan setahun kemudian berubah fungsi sebagai tempat tinggal. Hal ini, mengingat masjid memiliki fungsi sangat besar, yaitu sarana beribadah kepada Allah dengan ikhlas. Hal itu tidak dapat terlaksana jika status tanah tempat masjid itu tidak dijelaskan. Begitu juga, 31 pekuburan tidak dapat difungsikan sebagai pemakaman resmi jika tidak ditentukan lahannya. 3 Syarat Mauquf’Alaih sasaran atau penerima wakaf Menurut Jumhur Ulama, beberapa persyaratan umum yang harus diperhatikan dalam mauquf’alaih adalah tujuan wakaf tidak bertentangan dengan syara’, tidak dibatasi waktu dan sesuatu yang tidak menimbulkan madharat pada ahli warisnya. Ketika tujuan dari disyariatkannya wakaf adalah untuk menjaga kesinambungan pahala bagi pihak pemberi wakaf, maka pendekatan diri pada Allah beserta kelangsungannya menjadi pokok pembahasan para ahli fikih dalam mengkaji syarat sasaran dari wakaf itu sendiri. Syarat tersebut secara global, meliputi hal-hal berikut: 1. Pihak yangh diberi wakaf adalah pihak yang berorientasi pada kebajikan. 2. Sasaran tersebut diarahkan pada aktivitas kebajikan yang kontinu. 3. Barang yang telah diwakafkan tidak kembali kepada si waqif 4. Pihak yang diberi wakaf cakap hukum untuk memiliki dan menguasai harta wakaf. Sasaran wakaf dapat ditujukan kepada Wakaf Khairi dan Wakaf Ahli. Wakaf Khairi adalah wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan umum seperti yang dilakukan Umar bin Khattab. Ia mewakafkan 32 sekaligus mengelola sendiri tanahnya di Khaibar dan membagikan hasilnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah dan kepentingan umum lainnya. Adapun wakaf ahliwakaf dzurri yang terkadang disebut wakaf ‘al-aulad adalah wakaf yang khusus diperuntukkan orang-orang tertentu. Jadi yang menikmati manfaat benda wakaf ini sangat terbatas kepada yang termasuk golongan kerabat sesuai dengan ikrar yang dikehendaki si Waqif. 4 Syarat Sighat Wakaf pernyataan wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan hartanya Berkenaan dengan syarat-syarat yang berkenaan dengan shigat, para ulama mensyaratkan atas shigat itu sebagai berikut: a Ta’bid, yaitu waqif harus menyerahkan harta wakaf untuk selamnya, tidak dibatasi waktu. Meskipun Imam Maliki membolehkan wakaf ditentukan batas waktunya namun para Imam Mazhab lainnya menolak argumen itu. 29 b Ilzam, yaitu tidak dipertautkan pada suatu khiyar, seperti mensyaratkan di waktu tertentu harus mengembalikan harta wakaf kepada waqif apabila ia membutuhkannya. Imam Maliki membolehkan ikrar ta’liq wakaf yaitu ikrar yang dikaitkan dengan keadaan tertentu yang dapat mempengaruhi ada dan tidak adanya wakaf, di sisi lain Imam Hambali membolehkan ta’liq wakaf akan tetapi hanya berkaitan dengan 29 Wahbah Zuhaili, Fiqh Al-Islam, h. 204-205 33 kematian saja. Ia hanya mensyahkan perkataan waqif: “Barang ini merupakan wakaf sesudah saya meninggal”. Sedangkan Imam Hanafi dan Syafi’i tidak mensyahkannya. 30 c Sighat tidak terkait dengan persyaratan bathil seperti seseorang mensyaratkan sebagai benefit wakafnya untuk perbuatan maksiat. 31 d Jumhur Ulama selain Imam Maliki menyatakan sighat harus mengandung arti yang tegas dan tunai, namun Malikiyah membolehkan wakaf berkaitan dengan syarat dan penangguhan realisasi pada masa yang telah ditetapkan oleh waqif.

4. Tinjauan Syariah Terhadap Uang Sebagai Objek Wakaf