Tanggung Jawab Pemeliharaan Dan Nafkah Anak Anak Dalam Hal Kedua Orang Tuanya Pisah Ranjang Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama Hindu

(1)

TESIS

Oleh

S U M E N

117011055/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

S U M E N

117011055/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nama Mahasiswa : SUMEN

Nomor Pokok : 117011055

Program Studi : MAGISTER KENOTARIATAN

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum) (Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 2. Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, MHum 3. Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Dr. Utary Maharani Barus, SH, MHum


(5)

Nama : SUMEN

Nim : 117011055

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis : TANGGUNG JAWAB PEMELIHARAAN DAN NAFKAH ANAK DALAM HAL KEDUA ORANGTUANYA

BERCERAI DI KALANGAN WARGA NEGARA INDONESIA YANG BERAGAMA HINDU

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :SUMEN Nim :117011055


(6)

berada di bawah umur. Pemeliharaan anak tersebut diikuti oleh kewajiban ayah untuk membiayai kebutuhan si anak. Sedangkan terhadap anak yang telah dewasa tetap harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya meskipun keduanya telah bercerai. Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat Hindu bahwa perihal pemeliharaan anak apabila jatuh ke tangan salah satu pihak maka pihak yang lain tidak memperdulikan si anak. Misal apabila anak jatuh ke tangan suami maka isteri tidak memperdulikan si anak demikian pula sebaliknya. Bahkan dalam suatu peristiwa perceraian yang didahului oleh pisah ranjang maka anak diberikan pilihan apakah akan ikut ayahnya atau ibunya. Apabila ia ikut ayahnya maka pemeliharaan dan nafkah anak ada pada ayahnya dan apabila ia mengikuti ibu maka pemeliharaan dan nafkah anak jatuh pada ibunya semata.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian tesis ini adalah bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu, bagaimana pemeliharaan anak akibat percerauan yang orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan apakah upaya dalam hambatan mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan perceraian tidak dikenal dalam Agama Hindu, namun demikian dalam prakteknya sering terjadi perceraian yang berakibat pada tujuan pemeliharaan anak. Dalam hasil penelitian, apabila terjadi perceraian maka pemeliaharaan anak sering kali berada ditangan ibunya tanpa adanya pembebanan tunjangan dari bapak kandung anak tersebut. Pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berada di tangan kedua orang tuanya meskipun anak tersebut berada di bawah asuhan ibunya. Dengan perkataan lain apabila timbul perceraian maka kedua orang tuanya memiliki kewajiban untuk melakukan pemeliharaan anak yang didapatkan dalam perkawinan sebelumnya. Hambatan dalam pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu adalah faktor ekonomi, faktor orang tua menikah lagi, faktor psikologis, faktor orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya nafkah anak. Sedangkan upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut ajaran Agama Hindu adalah meningkatkan peran dan tanggung jawab orang tua yang bercerai melalui keberadaan lembaga agama seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) serta meningkatkan peran dan tanggung jawab masyarakat dan negara dalam pemeliharaan anak akibat perceraian bagi orang tua yang tidak mampu melakukan pemeliharaan anak.


(7)

Maintenance of the child's father followed by the obligation to finance the needs of the child. While the grown-up children still have to get the love of both parents even though they have been divorced. Found in the fact that the Hindu society regarding child maintenance if falling into the hands of one party that the other party does not care about the child. For example if a child falls into the hands of the husband and wife did not care for the child and vice versa. Even in the event of a divorce, which is preceded by the estranged son be given a choice whether to follow his father or his mother. When he joined his father and the maintenance of a living child then there are the father and mother when he followed the child's care and living alone falls on the mother.

Problems posed in this thesis is how the implementation of maintenance children whose parents divorced according to Hinduism, how maintenance child of divorce whose parents under the act of Marriage Law No. 1 of 1974, and whether efforts to overcome barriers to maintenance of children whose parents are divorced according to Hinduism.

The results and discussion explaining divorce is not recognized in Hinduism, but in practice often resulting in divorce child maintenance purposes. In the research, in the event of divorce then the maintenance of the children are often in the hands of his mother without the imposition of allowance of the child's natural father. Maintenance of children due to divorce their parents according to act of Marriage Law No. 1 of 1974 was in the hands of her parents even if the child is under the care of his mother. In other words if you develop the divorce both parents have an obligation to make child maintenance obtained in previous marriages. Barriers in the maintenance of the child whose parents are divorced according to Hinduism is economic factors, factors parents remarried, psychological factors, factors female parent is able to provide cost of living children. While efforts to address the welfare of the children whose parents divorced in Hinduism is to increase the role and responsibilities of parents who divorced over religious institutions such as the existence of the Hindu Association of Indonesia (PHDI) and increasing the role and responsibilities of the community and the state in the maintenance of children of divorce for men old child is not able to perform maintenance of the children.


(8)

judul Tanggung Jawab Pemeliharaan Dan Nafkah Anak Anak Dalam Hal Kedua Orang Tuanya Pisah Ranjang Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama Hindu, yang disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan moril berupa bimbingan dan arahan sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Oleh karena itu dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terimaksih kepada komisi pembimbing, yang terhormat Bapak Prof. Dr. Runtung, SH., M.Hum, Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum, dan ibu Dr. Idha Aprilyana Sembiring, SH, M.Hum.

Selanjutnya Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara di Medan

2. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN, selaku Ketua Program Studi Magister Kenotariatan (MKn)

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M,Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan (MKn) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera


(9)

6. Para pegawai/karyawan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

7. Rekan-rekan mahasiswa pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara angkatan 2011.

8. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Teristimewa dengan ketulusan hati penulis men gucapkan terima kasih kepada yang tercinta kedua orangtua Penulis ayahanda (alm) S.selwarajen. SE dan Ibunda S.Kanega yang telah memberikan doa, perhatian dan kasih sayang serta dukungannya kepada Penulis. Penulis berharap semoga perhatian dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan yang sebaik-baiknya dari Tuhan Yang Maha Esa. Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini jauh dari sempurna, walaupun demikian Penulis mengharapkan semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Januari 2014 Penulis


(10)

Nama : Sumen

Tempat, Tanggal Lahir : Medan, 16 Mei 1987

Jenis Kelamin : Laki-laki

Status : Menikah

Agama : Hindu

Alamat : Jalan M. Idrris Gg. Berdikari No. 9

II. KELUARGA

Nama Ayah : S. Selwarajen, SE

Nama Ibu : S. Kanega

Nama Istri : Kalyani Kambuna Vita

III. PENDIDIKAN

SD Swasta Kalam Kudus Medan : 1993-1999 SLTP Swasta Kalam Kudus Medan : 1999-2002

SMU Swasta Tunas Jaka Sempurna Jakarta : 2002-2005

S1 Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Medan : 2005-2010 S2 Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum USU : 2011-2013


(11)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR INDEX ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

E. Keaslian Penelitian ... 13

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 14

G. Metode Penelitian ... 19

BAB II PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974 ... 23

A. Alasan-Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ... 23

B. Akibat Hukum Perceraian... 28

C. Pemeliharaan Anak Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ... 35

D. Ketentuan Mengenai Pemeliharaan Anak Setelah Terjadi Perceraian ... 42

BAB III PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUANYA MENURUT AGAMA HINDU... 61


(12)

BAB IV HAMBATAN DAN UPAYA MENGATASI ATAS PEMELIHARAAN ANAK YANG KEDUA ORANG

TUANYA BERCERAI MENURUT AGAMA HINDU... 93

A. Pandangan Hukum Tentang Pemeliharaan Anak ... 93

B. Pandangan Agama Islam Tentang Pemeliharaan Anak... 104

C. Hambatan-Hambatan dan Upaya Penyelesaian Pemeliharaan Anak Yang Orang Tuanya Bercerai Menurut Ajaran Agama Hindu ... 110

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 143

A. Kesimpulan ... 143

B. Saran ... 144

DAFTAR PUSTAKA ... 145 LAMPIRAN


(13)

2. Arthadana : Harta benda

3. Bhisuka : Masa melakukan tapabrata yoga samadi. 4. Brahmacari : Masa menuntut ilmu

5. Catur asrama : Pembagian kehidupan menjadi empat

6. Daksina : Adanya suatu penghormatan dalam bentuk upacara dan harta benda atau uang yang dihaturkan secara ikhlas kepada pendeta yang memimpin upacara.

7. Danda : Hukuman kepada anak 8. Deva rna : Bakti kepada dewa

9. Dewi Kunti : Dalam kisah Mahabharata adalah putri dari Prabu Kuntiboja. Ia adalah saudara dari Basudewa yang merupakan ayah dari Baladewa, Kresna dan Subadra. Ia juga adalah ibu kandung Yudistira, Werkodara (Bima), dan Arjuna dan juga adalah istri pertama Pandu yang sah. Selain itu Kunti juga ibu kandung Karna.

10.Dhana : Motivasi bagi si anak

11.Dharma : Perbuatan baik yang mendatangkan karma baik

12.Dharmadana : Nasihat/wejangan atau petunjuk hidup, yang mampu mengubah kehidupan seseorang menjadi lebih baik.

13.Dharmasampati : Kedua mempelai secara bersama-sama melaksanakandharma

14.Garva : Wanita yang mengikatkan diri dengan pria/ belahan jiwa

15.Grahasta : Masa berumah tangga

16.Ida Sang Hyang Widhi Wase : Sebutan bagi Tuhan yang Maha Esa dalam agama Hindu

17.Jagadhita : Kebahagiaan di dunia

18.Kitab Manava Dharma Sastra III : Satu kitab hukum Hindu adalah kitab Smrti lainnya. Smrti merupakan kelompok kedua secara hierarkis sesudah kelompok Sruti (kelompok kitab-kitab Wahyu), yang dipandang sebagai kitab hukum Hindu karena didalamnya banyak memuat syariat (dalam


(14)

sloka (ayat).

20. Kitab suci Veda : Kitab suci agama Hindu

21.Laja HomaatauAgni Homa : Pemberkahan yaitu pandita menyampaikan puja stuti untuk kebahagiaan kedua mempelai.

22.Lascarya : Suatu yajña yang dilakukan dengan penuh keiklasan.

23.Mantra : Dalam pelaksanaan upacara yajña harus ada mantra atau nyanyian pujaan yang dilantunkan.Annasewa artinya dalam pelaksanaan upacara yajña hendaknya ada jamuan makan dan menerima tamu dengan ramah tamah.

24.Moksa : Kebahagiaan di surga

25.Moksatham jagadhita ya ca iti dharma : Kebahagiaan lahir dan batin atau

26.Mulih daha : Kembali ke rumah asal

27.Nasmita : Suatu upacara yajña hendaknya tidak dilaksanakan dengan tujuan untuk memamerkan kemewahan.

28.Panca yadnya : Lima jenis karya suci yang diselenggarakan oleh umat Hindu di dalam usaha mencapai kesempurnaan hidup.

29.Panigraha : Upacara bergandengan tangan adalah simbol mempertemukan kedua calon mempelai di depan altar yang dibuat untuk tujuan upacara perkawinan.

30.Parisada Hindu Dharma Indonesia : Majelis Wipra (Brahmana ahli, cendekiawan) yang berfungsi semacam Badan Legislatif, memegang peranan penting di dalam memecahkan berbagai permasalahan keagamaan yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat Hindu.

31.Pawiwahan : Perkawinan

32.Pitra rna : Bakti kepada leluhur 33.Pradhana : Ganjaran

34.Praja : Mempelai mampu melahirkan keturunan yang akan melanjutkan amanat dan kewajiban kepada leluhur.


(15)

37.Rna : Jalan untuk menebus utang 38.Rsi rna : Bakti kepada guru

39.Rwa-bhineda : Dua yang berbeda

40.Samskara : Pelaksanaan upacara perkawinan

41.Sancita Karmapala : Kemungkinan penjelmaan terdahulu berbuat serakah

42.Sapta : Melangkah tujuh langkah kedepan, simbolis penerimaan kedua mempelai itu.

43.Sastra : Suatu yajña harus dilakukan sesuai dengan sastra atau kitab suci.

44.Semara Reka dan Angastya Prana: Mendidik seorang anak dimulai semenjak dalam kandungan

45.Shri Mariamman : Kuil Hindu tertua di Kota Medan, Indonesia. Kuil ini dibangun pada tahun 1884 (ada pula yang menyebut 1881) untuk memuja dewi Kali.

46.Sraddha : Pelaksanaan samskara hendaknya dilakukan dengan keyakinan penuh bahwa apa yang telah diajarkan dalam kitab suci mengenai pelaksanaan yajña harus diyakini kebenarannya.

47.Tri Hita Karana : Waktu, biaya layanan sosial kemanusiaan dan lingkungan

48.Vasudhaivakutumbakam : Semua mahluk adalah bersaudara 49.Vidyadana : Pendidikan

50.Wana prasta : Masa memperdalam, menerapkan dan mensosialisasikan ilmu pengetahuan

51.Wiwaha : Pesta pernikahan, perkawinan

52.Yajña : Tindakan bukan sekedar kalimat yang diucapkan.

53.Yajña Vidhi : Hukum yang berlaku dalam pelaksanaan yajña disebut.


(16)

berada di bawah umur. Pemeliharaan anak tersebut diikuti oleh kewajiban ayah untuk membiayai kebutuhan si anak. Sedangkan terhadap anak yang telah dewasa tetap harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya meskipun keduanya telah bercerai. Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat Hindu bahwa perihal pemeliharaan anak apabila jatuh ke tangan salah satu pihak maka pihak yang lain tidak memperdulikan si anak. Misal apabila anak jatuh ke tangan suami maka isteri tidak memperdulikan si anak demikian pula sebaliknya. Bahkan dalam suatu peristiwa perceraian yang didahului oleh pisah ranjang maka anak diberikan pilihan apakah akan ikut ayahnya atau ibunya. Apabila ia ikut ayahnya maka pemeliharaan dan nafkah anak ada pada ayahnya dan apabila ia mengikuti ibu maka pemeliharaan dan nafkah anak jatuh pada ibunya semata.

Permasalahan yang diajukan dalam penelitian tesis ini adalah bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu, bagaimana pemeliharaan anak akibat percerauan yang orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan apakah upaya dalam hambatan mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.

Hasil penelitian dan pembahasan menjelaskan perceraian tidak dikenal dalam Agama Hindu, namun demikian dalam prakteknya sering terjadi perceraian yang berakibat pada tujuan pemeliharaan anak. Dalam hasil penelitian, apabila terjadi perceraian maka pemeliaharaan anak sering kali berada ditangan ibunya tanpa adanya pembebanan tunjangan dari bapak kandung anak tersebut. Pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 berada di tangan kedua orang tuanya meskipun anak tersebut berada di bawah asuhan ibunya. Dengan perkataan lain apabila timbul perceraian maka kedua orang tuanya memiliki kewajiban untuk melakukan pemeliharaan anak yang didapatkan dalam perkawinan sebelumnya. Hambatan dalam pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu adalah faktor ekonomi, faktor orang tua menikah lagi, faktor psikologis, faktor orang tua perempuan mampu untuk memberikan biaya nafkah anak. Sedangkan upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut ajaran Agama Hindu adalah meningkatkan peran dan tanggung jawab orang tua yang bercerai melalui keberadaan lembaga agama seperti Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) serta meningkatkan peran dan tanggung jawab masyarakat dan negara dalam pemeliharaan anak akibat perceraian bagi orang tua yang tidak mampu melakukan pemeliharaan anak.


(17)

Maintenance of the child's father followed by the obligation to finance the needs of the child. While the grown-up children still have to get the love of both parents even though they have been divorced. Found in the fact that the Hindu society regarding child maintenance if falling into the hands of one party that the other party does not care about the child. For example if a child falls into the hands of the husband and wife did not care for the child and vice versa. Even in the event of a divorce, which is preceded by the estranged son be given a choice whether to follow his father or his mother. When he joined his father and the maintenance of a living child then there are the father and mother when he followed the child's care and living alone falls on the mother.

Problems posed in this thesis is how the implementation of maintenance children whose parents divorced according to Hinduism, how maintenance child of divorce whose parents under the act of Marriage Law No. 1 of 1974, and whether efforts to overcome barriers to maintenance of children whose parents are divorced according to Hinduism.

The results and discussion explaining divorce is not recognized in Hinduism, but in practice often resulting in divorce child maintenance purposes. In the research, in the event of divorce then the maintenance of the children are often in the hands of his mother without the imposition of allowance of the child's natural father. Maintenance of children due to divorce their parents according to act of Marriage Law No. 1 of 1974 was in the hands of her parents even if the child is under the care of his mother. In other words if you develop the divorce both parents have an obligation to make child maintenance obtained in previous marriages. Barriers in the maintenance of the child whose parents are divorced according to Hinduism is economic factors, factors parents remarried, psychological factors, factors female parent is able to provide cost of living children. While efforts to address the welfare of the children whose parents divorced in Hinduism is to increase the role and responsibilities of parents who divorced over religious institutions such as the existence of the Hindu Association of Indonesia (PHDI) and increasing the role and responsibilities of the community and the state in the maintenance of children of divorce for men old child is not able to perform maintenance of the children.


(18)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974, perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Maksud dilaksanakannya perkawinan adalah untuk hidup dalam pergaulan yang sempurna yang merupakan jalan yang amat mulia untuk mengatur rumah tangga dan anak-anak yang akan dilahirkan sebagai satu pertalian yang amat teguh guna memperkokoh pertalian persaudaraan antara kaum kerabat suami dengan kaum kerabat istri yang pertalian itu akan menjadi suatu jalan yang membawa kepada saling menolong antara satu kaum dengan yang lain, dan akhirnya rumah tangga tersebut menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.

Oleh karena itu, suami istri dalam suatu perkawinan mempunyai secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa di samping mempunyai hak dan kewajiban secara timbal balik suami dan istri serta anak-anak yang lahir dalam perkawinan.1

Namun dalam pergaulan antara suami isteri tidak jarang terjadi perselisihan dan pertengkaran yang terus menerus maupun sebab-sebab lain yang kadang-kadang menimbulkan suatu keadaan yang menyebabkan suatu perkawinan tidak dapat dipertahankan lagi, sedangkan upaya-upaya damai yang dilakukan oleh kedua belah


(19)

pihak maupun keluarga tidak membawa hasil yang maksimal sehingga pada akhirnya jalan keluar yang harus ditempuh tidak lain adalah perceraian.

Setiap tahun kasus perceraian mengalami peningkatan di Kota Medan. Untuk tahun 2011, kasus perceraian yang terjadi mencapai 1.900 kasus. Sedangkan sampai pertengahan Februari 2012, kasus perceraian yang tengah ditangani Pengadilan Negeri (PN) dan Pengadilan Agama Medan mencapai 321 kasus. Menariknya lagi, kaum istri saat ini lebih banyak menuntut perceraian dibandingkan suami yakni 196 orang dari 321 kasus.2

Sedangkan angka perceraian di kalangan Warga Negara Indonesia khususnya yang beragama Hindu yang tercatat di Pengadilan Negeri Medan untuk tahun 2011 ada sebanyak 41 kasus, dan tahun 2012 mengalami peningkatan menjadi 46 kasus.3

Angka tersebut lebih kecil dari perceraian yang dilakukan di bawah tangan dengan cara pisah ranjang di kalangan Warga Negara Indonesia yang beragama Hindu. Menurut Parisada Hindu Dharma Medan ada sebanyak 76 kasus perceraian yang dilaporkan ke Parisada Hindu Dharma Medan untuk tahun 2012 dan didahului dengan pisah ranjang.4

Seperti halnya perkawinan yang menimbulkan hak dan kewajiban, perceraian membawa akibat-akibat hukum bagi kedua belah pihak dan juga terhadap anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan. Anak-anak tersebut harus hidup dalam suatu

1 Iman Jauhari, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, (Jakarta:

Pustaka Bangsa, 2003), hal. 86-87.

2Data Perceraian Pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Medan. 3Data Perceraian Pada Pengadilan Negeri Medan.


(20)

keluarga yang tidak harmonis sebagaimana mestinya misalnya harus hidup dalam suatu keluarga dengan orang tua tunggal seperti dengan seorang ibu atau dengan seorang ayah saja.5

Salah satu persoalan hukum yang muncul sehubungan dengan perceraian adalah mengenai pemeliharaan dan nafkah anak. Pemeliharaan dan nafkah anak menjadi penting karena anak biasanya tidak mengetahui apa yang dihadapinya setelah perceraian kedua orang tuanya.

Dalam hal terjadinya perceraian orangtua, biasanya anaklah yang menjadi korban. Orangtua beranggapan bahwa dalam perceraian mereka, persoalan anak akan dapat diselesaikan nanti setelah masalah perceraian diselesaikan. Padahal tidak demikian adanya, dan tidak demikian sederhananya, bahwa penyelesaian terbaik bagi anak akan dapat dengan mudah dicapai. Dalam kondisi apapun harus tetap diingat bahwa anak adalah juga individu yang mempunyai hak-hak dasar yang diakui sebagaimana halnya orang dewasa. Ini berarti bahwa anak adalah subjek kehidupan, bukan objek yang dapat diperlakukan sesuka hati orang dewasa (orangtua). Oleh sebab itu, dalam kasus perceraian orangtua, anak merupakan salah satu subjek dan kepentingan anak tetap harus menjadi prioritas utama.

Pada beberapa peristiwa setelah terjadinya perceraian antara orang tuanya ada kalanya terjadi perebutan antara suami dan isteri terhadap anak-anaknya. Ada pula pihak yang tidak bersedia mengasuh dan memelihara anak. Kondisi ini tentunya


(21)

sangat merugikan kelangsungan hidup anak.

Anak merupakan penerus bangsa yang mengemban tugas bangsa yang belum terselesaikan oleh generasi-generasi sebelumnya. Sebagai penerus cita-cita bangsa dan negara, anak harus dapat tumbuh dan berkembang menjadi manusia dewasa yang sehat rohani dan jasmani, cerdas, bahagia, berpendidikan dan bermoral tinggi. Untuk itu, anak tersebut harus memperoleh kasih sayang, perlindungan, pembinaan, dan pengarahan yang tepat.

Untuk mencapai kondisi ideal seperti di atas tentunya bukan tugas negara dan masyarakat semata tetapi terutama merupakan tugas dan tanggung jawab orang tua. Dalam ajaran Islam, anak justru yang sangat berguna bagi orang tua setelah ia meninggal dunia yaitu adanya amal yang tidak terputus dari anak yang soleh (human ment).6

Secara kemasyarakatan, anak mempunyai peranan penting antara lain sebagai penyambung keturunan dan ahli waris Bahkan dalam hukum adat, anak adalah sebagai penerus keturunan, penerus kekerabatan dan sebagai kelanjutan dari keputusan orang tuanya. Sedangkan dalam skala negara dan bangsa sebagaimana telah disinggung terdahulu, anak adalah merupakan aset bangsa yang tidak ternilai harganya yang dapat dijadikan sebagai salah satu indikator utama (leading indicator) ekonomi suatu bangsa.

5Ahmad Kamil,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2008), hal 5.


(22)

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur dengan tegas kewajiban orang tua terhadap anak. Dengan demikian, suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang kekal dan bahagia.

Hak maupun kewajiban orang tua terhadap anak dalam hukum dikenal dengan istilah hukum sebagai “kekuasaan orang tua” (ouderlijkemacht). Kekuasaan orang tua ini penting artinya bagi kehidupan seorang anak terutama yang belum dewasa karena melalui lembaga hukum ini hak-hak dasar anak akan dipenuhi.7 Dalam keluarga dengan kondisi yang bercerai, pertumbuhan anak dalam standar yang ideal kemungkinan sulit tercapai karena kebutuhan jasmani dan rohaninya tidak dapat dipenuhi secara sempurna.

Bagi anak-anak mempunyai keluarga yang utuh adalah hal yang sangat membahagiakan. Mereka tidak pernah membayangkan bahwa akan ada perceraian dalam keluarganya. Keadaan psikologi anak akan sangat terguncang karena adanya perceraian dalam keluarga. Mereka akan sangat terpukul, kehilangan harapan, cenderung menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi pada keluarganya. Sangat sulit menemukan cara agar anak-anak merasa terbantu dalam menghadapi masa-masa sulit karena perceraian orangtuanya.

Sekalipun ayah atau ibu berusaha memberikan yang terbaik yang mereka bisa, segala yang baik tersebut tetap tidak dapat menghilangkan kegundahan hati

anak-7 Irma Setyowati Soemitro, Kekuasaan Orang Tua Setelah Perceraian (Suatu PenelitianDi Desa Cukil, Sruwen dan Sugihan Kecamatan Tengaran, Dalam Majalah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994, hal. 37.


(23)

anaknya. Beberapa psikolog menyatakan bahwa bantuan yang paling penting yang dapat diberikan oleh orangtua yang bercerai adalah mencoba menenteramkan hati dan meyakinkan anak-anak bahwa mereka tidak bersalah. Yakinkan bahwa mereka tidak perlu merasa harus ikut bertanggung jawab atas perceraian orangtuanya. Hal lain yang perlu dilakukan oleh orangtua yang akan bercerai adalah membantu anak-anak untuk menyesuaikan diri dengan tetap menjalankan kegiatan-kegiatan rutin di rumah. Jangan memaksa anak-anak untuk memihak salah satu pihak yang sedang cekcok serta jangan sekali-sekali melibatkan mereka dalam proses perceraian tersebut. Hal lain yang dapat membantu anak-anak adalah mencarikan orang dewasa lain seperti bibi atau paman, yang untuk sementara dapat mengisi kekosongan hati mereka setelah ditinggal ayah atau ibunya. Maksudnya, supaya anak-anak merasa mendapatkan topangan yang memperkuat mereka dalam mencari figur pengganti ayah ibu yang tidak lagi hadir seperti ketika belum ada perceraian.8

Apabila dikaitkan pula dengan kebutuhan materi/jasmani anak yang hidup dalam keluarga yang kedua orang tuanya sudah bercerai, pertumbuhan dan perkembangan anak tentu akan mengalami hambatan yang serius apabila kebutuhan materi/jasmani anak berupa biaya pemeliharaan dan biaya pendidikan anak sampai dewasa tidak ada kejelasannya.

Dalam simposium aspek-aspek hukum masalah perlindungan anak dilihat dari segi pembinaan generasi muda yang diselenggarakan BPHN telah dicatat beberapa

8Bah Warnadi, “Dampak Perceraian Bagi Perkembangan Psikologis Anak”,


(24)

http://www.dishidros.go.id/buletin/umum/221-dampak-perceraian-bagi-perkembangan-psikologis-kesepakatan antara lain bahwa konsepsi perlindungan anak meliputi ruang lingkup yang luas dalam arti bahwa perlindungan anak tidak hanya mengenai perlindungan atas semua hak serta kepentingan yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar baik secara rohani, jasmani maupun sosial, melainkan perlindungan anak juga menyangkut aspek pembinaan generasi muda.9

Secara garis besar maka dapat disebutkan bahwa perlindungan anak dapat dibedakan dalam dua pengertian, yaitu :10

a. Perlindungan yang bersifat yuridis yang meliputi : - Bidang hukum publik.

- Bidang hukum keperdataan.

b. Perlindungan yang bersifat non yuridis yang meliputi : - Bidang sosial.

- Bidang kesehatan. - Bidang pendidikan.

Menyadari demikian pentingnya anak dalam kedudukan keluarga, individu, masyarakat, bangsa dan negara maka beberapa undang-undang telah mengatur hak-hak anak misalnya dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang No.4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun

anak.html,Diakses tanggal 28 Maret 2013.

9Aminah Azis,Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Medan: USU Press, 1998), hal. 26. 10 Irma Setyowati Soemitro, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990),


(25)

2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dan berbagai peraturan perundang-undangan lain. Demikian pula hak-hak anak diakui oleh sejumlah putusan pengadilan.

Di samping hak-hak anak memperoleh pengakuan dalam peraturan perundang-undangan nasional, hak-hak anak juga memperoleh pengakuan dalam peraturan perundang-undangan nasional, maupun secara internasional. Hal tersebut terlihat dalam berbagai konvensi-konvensi internasional yang memfokuskan perhatiannya terhadap persoalan anak seperti misalnyaConvention on The Rights of Child Tahun 1989, ILO Convention No. 182 Concerning The Prohibition and Amediate Action for The Worst Forms of the Child Labour tahun 1999 dan lain sebagainya.

Namun meskipun telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan dan adanya kecenderungan internasional yang memfokuskan perhatian terhadap anak, pada kenyataannya masih banyak anak yang tidak beruntung (disadvantaged children) dalam mencukupi kehidupannya.

Sebagai salah satu faktor ketidakberuntungan anak dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya baik dilihat dari aspek rohani maupun aspek jasmani berupa pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari dan pendidikan yang layak bagi anak adalah akibat adanya perceraian kedua orang tuanya.

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam pasal-pasalnya dengan tegas mengatur tentang kewajiban orang tua terhadap biaya nafkah anak setelah terjadinya perceraian yang pada hakikatnya membebankan kewajiban itu


(26)

kepada orang tua laki-laki (ayah).

Suatu hal yang patut dipahami dalam menyikapi perihal pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai adalah keberadaan hukum agama dari pasangan yang bercerai. Hukum Agama ini memegang peranan yang sangat penting dalam menyikapi permasalahan hukum dan sosial di tengah masyarakat, termasuk perihal pemeliharaan anak.

Dalam ajaran agama Hindu lapangan kehidupan dibagi menjadi empat yang di sebut dengancatur asrama, yaknibrahmacariadalah masa menuntut ilmu, grahasta

adalah masa berumah tangga, wana prasta adalah masa memperdalam, menerapkan dan mensosialisasikan ilmu pengetahuan dan bhisuka adalah masa melakukan tapa

brata yoga samadi. Empat tahap kehidupan dalam agama Hindu harus dilalui dalam kehidupan untuk mencapai tujuan hidup yang di sebut kebahagiaan lahir dan batin atau “moksatham jagadhita ya ca iti dharma”11

Dalam masa grahastaseseorang akan dapat melaksanakan kewajibannya baik secara vertikal yaitu melaksanakan hubungan dengan Ida Sang Hyang Widhi Wase

melalui pelaksanaan upacara panca yadnya, maupun secara horizontal yakni melakukan hubungan antara sesama yang diatur dalam ikatan suka duka suatu banjar/desa. Semua hak dan kewajiban yang dilakukan dalam masagrahasta adalah untuk mendukung proses pencapaian keharmonisan dalam hidup yang dapat dicapai

11Swastyastu, “Makna Mengangkat Anak Menurut Ajaran Moral Agama Hindu”, http://suryawanhindudharma.wordpress.com/dukuments/makna-mengangkat-anak-menurut-ajaran-moral-agama-hindu/,Diakses tanggal 27 Januari 2012.


(27)

dalam berbagai aspek kehidupan. Terwujudnya keluarga yang bahagia dan sejahtera dalam keluarga salah satunya karena hadirnya seorang anak dalam keluarga tersebut. Namun sebagaimana diketahui tidak semua keluarga bisa mencapai tujuan perkawinan dilangsungkan, sehingga putus di tengah jalan.

Perkawinan disebut sebagai Dharma. Dharma itu perbuatan baik yang mendatangkan karma baik seperti perkawinan. Maka sesuai hukum alam: rwa-bhineda (dua yang berbeda), maka ada pula yang disebut Adharma yaitu perbuatan buruk yang mendatangkan karma buruk. Contoh Adharma seperti perceraian. Maka dalam Agama Hindu, perceraian sangat dihindari, karena termasuk perbuatan Adharma atau dosa.

Persoalan pemeliharaan anak akibat perceraian dalam masyarakat Hindu dilakukan secara bersama-sama antara orang tuanya. Seorang ibu yang bercerai dalam agama Hindu memiliki kewajiban memelihara anak khususnya anak yang masih berada di bawah umur. Pemeliharaan anak tersebut diikuti oleh kewajiban ayah untuk membiayai kebutuhan si anak. Sedangkan terhadap anak yang telah dewasa tetap harus mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya meskipun keduanya telah bercerai.12

Kenyataan yang ditemukan dalam masyarakat Hindu bahwa perihal pemeliharaan anak apabila jatuh ke tangan salah satu pihak maka pihak yang lain tidak memperdulikan si anak. Misal apabila anak jatuh ke tangan suami maka isteri


(28)

tidak memperdulikan si anak demikian pula sebaliknya.

Bahkan dalam suatu peristiwa perceraian yang didahului oleh pisah ranjang maka anak diberikan pilihan apakah akan ikut ayahnya atau ibunya. Apabila ia ikut ayahnya maka pemeliharaan dan nafkah anak ada pada ayahnya dan apabila ia mengikuti ibu maka pemeliharaan dan nafkah anak jatuh pada ibunya semata.

Dengan sebab perceraian dilarang dalam Agama Hindu maka sebahagian besar masyarakat yang beragama Hindu melakukan pisah ranjang sebagai suatu implementasi telah terjadinya perceraian, artinya pisah ranjang menunjukkan telah terjadi perceraian. Berbeda halnya dengan masyarakat Hindu di kalangan profesional dan memiliki pendidikan tinggi, maka perceraian dianggap oleh mereka sebagai akibat perkawinan sehingga dalam keadaan ini mereka melakukan praktek sebagaimana hukum di negara mereka tinggal, yaitu mendaftarkan kasus perceraian tersebut di Pengadilan.

Bagi kaum awam pisah ranjang merupakan bentuk telah terjadinya perceraian sementara dalam kalangan profesional atau kalangan yang berpendidikan tinggi putusan pengadilan yang sah dan berkuatan hukum tetap merupakan bentuk perceraian.

Memperhatikan fenomena di atas, maka dilakukan penelitian tentang “Tanggung Jawab Pemeliharaan dan nafkah Anak Dalam Hal Kedua Orang Tuanya Bercerai Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama Hindu”.


(29)

B. Perumusan Masalah

Adapun perumusan masalah dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Bagaimana pemeliharaan anak akibat percerauan yang orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974?

2. Bagaimana pelaksanaan pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu?

3. Apakah hambatan dalam upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian tesis ini adalah:

1. Untuk menganalisis pemeliharaan anak akibat perceraian yang orang tuanya menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

2. Untuk menganalisis pelaksanaan pemiliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.

3. Untuk menganalisis hambatan dalam upaya mengatasi pemeliharaan anak yang orang tuanya bercerai menurut Agama Hindu.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam memproses ilmu pengetahuan.13 Penelitian hukum dilakukan untuk mencari

13Bahder Johan Nasution,Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008),


(30)

pemecahan atas isu hukum yang timbul.14 Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian didalam kerangka know-how didalam hukum. Dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya atas isu yang diajukan.15Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau kegunaan secara teoritis dan praktis dibidang hukum yaitu :

1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah kepustakaan di bidang keperdataan khususnya tentang masalah pemeliharaan anak akibat perceraian orang tuanya.

2. Dari segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi masyarakat untuk mengetahui tentang hak-hak anak akibat perceraian orang tuanya khususnya bagi masyarakat yang beragama Hindu dikaitkan dengan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi yang ada, penelusuran kepustakaan, khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang

14Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2007), hal.41


(31)

membicarakan masalah Tanggung Jawab Pemeliharaan Anak Dalam Hal Kedua Orang Tuanya Bercerai Di Kalangan Warga Negara Indonesia Yang Beragama Hindu, oleh karena itu penelitian ini baik dari segi objek permasalahan dan substansi adalah asli serta dapat dipertanggung jawabkan secara akademis dan ilmiah.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Ilmu hukum dalam perkembangannya tidak terlepas dari ketergantungan pada berbagai bidang ilmu lainnya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa “perkembangan ilmu hukum selain bergantung pada metodologi, aktivitas penelitian dan imajinasi sosial, juga sangat ditentukan oleh teori”.16

Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi. Suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan kebenarannya”.17 Fungsi teori dalam penelitian ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan meramalkan serta menjelaskan gejala yang diamati. Kerangka teori yang dimaksud, adalah kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, thesis dari para penulis ilmu hukum di bidang hukum.

Adanya suatu perkawinan tidak terlepas dari adanya aturan hukum dan menimbulkan akibat hukum bagi para pihak yang terkait di dalamnya Hukum pada hakikatnya adalah sesuatu yang abstrak, tetapi dalam manifestasinya dapat berwujud

16Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986), hal . 6. 17J.J. M. Wuisman,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Penyunting, M. Hisyam, (Jakarta: UI Press,


(32)

konkrit. “Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan berkurangnya penderitaan”.18

Menurut teori konvensional, tujuan hukum adalah ”mewujudkan keadilan (rechtsgerechtigheid), kemanfaatan (rechtsutiliteit) dan kepastian hukum (rechtszekerheid).”19 “Dalam hal mewujudkan keadilan, Adam Smith, Guru Besar dalam bidang filosofi moral dan sebagai ahli teori hukum dariGlasgow University

pada Tahun 1750, telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice)”.20 Smith mengatakan bahwa: “tujuan keadilan adalah untuk melindungi diri dari kerugian” (the end of justice is to secure from injury).21

Menurut Satjipto Raharjo:

Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur, dalam arti, ditentukan keluasan dan kedalamannya. Kekuasaan yang demikian itulah yang di sebut hak. Tetapi tidak di setiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu pada seseorang.22

Semua teori yang dipaparkan di atas dijadikan sebagai pisau analisis untuk mengkaji dan memahami lebih jauh tentang pemeliharaan dan nafkah anak dalam

18Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya,

1993), hal. 79

19Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), (Jakarta:

Gunung Agung Tbk, 2002), hal. 85

20Bismar Nasution,Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004, hal. 4-5. Sebagaimana dikutip dari Neil Mac Cormick, “Adam Smith On Law”, Valvaraiso University Law Review, Vol. 15, 1981 hal. 244.

21Ibid., hal 244.


(33)

hal kedua orang tuanya pisah ranjang khususnya bagi warga negara Indonesia yang beragama Hindu. Kemudian memahami dalam objek penelitian sebagai hukum yakni sebagai kaidah hukum atau sebagai isi kaidah hukum seperti yang ditentukan dalam peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Teori pendukung lain atau wacana yang berikutnya dalam analisis ini adalah teori keadilan,23 merupakan teori yang menganalisis dan menjelaskan tentang hak mengasuh, merawat, memelihara dan mewujudkan perlindungan hak-hak anak. Dapat dipastikan adanya ketidakadilan apabila anak yang telah hilang orang tuanya tidak mendapat perhatian apapun dari orang lain atau juga tidak adil apabila orang tua yang tidak memperoleh anak tidak mendapat tempat mencurahkan kasih sayangnya.24

Perlindungan anak merupakan suatu bidang pembangunan nasional. Hakikat pembangungan nasional adalah membangun manusia seutuhnya. Melindungi anak adalah melindungi manusia yaitu membangun manusia seutuhnya. Mengabaikan masalah perlindungan anak tidak akan memantapkan pembangunan nasional.

Akibat tidak adanya perlindungan anak akan menimbulkan berbagai permasalahan sosial, yang dapat menggangu ketertiban, keamanan dan pembangunan nasional. Berarti perlindungan anak yang salah satu upayanya melalui pengangkatan anak harus diusahakan apabila ingin mensukseskan pembangunan nasional kita.

Teori pengayoman dapat juga sebagai teori pendukung lainnya. Hukum

23Sayyid Sabiq,Fiqh Sunnah,(Bandung: Al-Maarif, 1994), hal. 160,

24 A. Hamid Saarong, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Medan:


(34)

melindungi manusia secara aktif dan pasif. Secara aktif, dengan memberikan perlindungan yang meliputi berbagai usaha untuk menciptakan keharmonisan dalam masyarakat dan mendorong manusia untuk melakukan hal-hal yang manusiawi. Melindungi secara pasif adalah memberikan perlindungan dalam berbagai kebutuhan, menjaga ketertiban dan keamanan, taat hukum dan peraturan sehingga manusia yang diayomi dapat hidup damai dan tentram.25

Perlindungan hukum terhadap hak-hak anak diatur dalam Pasal 22 Undang-Undang Perlindungan Anak, didalamnya diatur bahwa negara dan pemerintah berkewajiban dan bertanggung jawab memberikan dukungan dan prasarana dalam menyelenggarakan perlindungan anak. Pasal 23 ayat (1) menyebutkan negara dan pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.

Kemudian Pasal 24 juga menyebutkan negara dan pemerintah menjamin anak untuk mempergunakan haknya dalam menyampaikan pendapat sesuai dengan usia dan tingkat kecerdasan anak. Selanjutnya Pasal 25 menyebutkan bahwa kewajiban dan tanggung jawab masyarakat terhadap perlindungan anak dilaksanakan melalui peran masyarakat dalam menyelenggarakan perlindungan anak.

2. Kerangka Konsepsi

Konsep merupakan bagian terpenting daripada teori. Konsep dapat dilihat dari 2 (dua) segi yaitu segi subyektif dan dari segi obyektif. Dari segi subyektif konsep merupakan suatu kegiatan intelektual untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi


(35)

obyektif, konsep merupakan sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan intelektual tersebut. Hasil dari responsibilitas akal manusia itulah yang dinamakan konsep.26

Adapun uraian daripada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Tanggung jawab adalah kesadaran manusia akan tingkah laku atau perbuatannya yang di sengaja maupun yang tidak di sengaja. Tanggung jawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan kewajiban.27

2. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.28

3. Perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami istri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain seperti mandulnya istri atau suami.29

4. Anak adalah anak yang berusia 19 (Sembilan belas) untuk laki-laki dan 16 (enam belas) untuk perempuan dan belum pernah kawin.30

5. Pemeliharaan anak adalah upaya yang dilakukan orang tua atau bagian dari

1993), hal. 245.

26Yooke Tjuparmah S. Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmuah, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2006), hal. 122.

27Pemuda Indonesia, “Manusia dan Tanggung Jawab”,

http://baguspemudaindonesia.blogdetik.com/2011/04/20/manusia-dan-tanggung-jawab/, Diakses tanggal 1 November 2013.

28Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan Pasal 1.

29Abdul Manan,Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:

Prenada Media, 2005). hal. 443.


(36)

keluarga untuk memberi kesempatan bagi anak untuk tumbuh dan berkembang serta belajar tingkah laku untuk perkembangannya

6. Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

7. Pisah ranjang adalah perpisahan suami isteri secara sementara, tahapan sebelum terjadinya perceraian.

8. Agama Hindu adalah (Sanskerta: Sanātana Dharma Kebenaran Abadi), dan

Vaidika-Dharma (Pengetahuan Kebenaran) adalah sebuah agama yang berasal dari anak benua India. Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102 SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih bertahan hingga kini. Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setelah agama Kristen dan Islam dengan jumlah umat sebanyak hampir 1 miliar jiwa.31

9. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 adalah adalah undang-undang yang secara nasional mengatur perihal perkawinan dan akibat hukumnya. Diundangkan di Jakarta tangga pada tanggal 2 Januari 1974 dan dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.

G. Metode Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian


(37)

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu suatu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan pendapat Ronald Dworkin yang menyebutkan bahwa “metode penelitian normatif juga sebagai penelitian doktrinal ataudoctrinal research, yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum sebagailaw as it is decided by the judge through judicial process.32

2. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.

1. Data primer adalah data yang didapatkan melalui penelitian lapangan yang dilakukan di Parisada Hindu Dharma Medan.

2. Data sekunder, yaitu data berupa:

a. Bahan hukum primer, yang terdiri dari ; 1) Norma atau kaidah dasar

2) Peraturan dasar

3) Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan hokum perkawinan b. Bahan hukum sekunder, seperti hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel,

hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

32Bismar Nasution,Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah

Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal.1.


(38)

c. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya yang berasal dari bidang teknologi informasi dan komunikasi, ekonomi, filsafat dan ilmu pengetahuan lainnya yang dapat dipergunakan untuk melengkapi atau sebagai data penunjang dari penelitian ini.

3. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data dalam penelitian tesis ini adalah:

a. Studi dokumen, yaitu suatu alat pengumpulan data penelitian dengan melakukan analisa terhadap bahan kepustakaan.

b. Pedoman wawancara adalah susunan daftar pertanyaan yang dijadikan pedoman dalam mewawancarai responden beberapa pasang yg melakukan pisah ranjang dan bercerai dan nara sumber yaitu pandita di Parisada Hindu Dharma Medan.

4. Analisis Data

Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian. Sesuai dengan sifat penelitiannya, maka analisis data dilakukan dengan pengelompokan terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang sejenis untuk kepentingan analisis, sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif,


(39)

yaitu data yang sudah ada dikumpulkan, dipilah-pilah dan kemudian dilakukan pengolahannya.

Setelah dipilah-pilah dan diolah lalu dianalisis secara logis dan sistematis dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Dengan demikian diharapkan penelitian yang dilakukan dapat menghasilkan kesimpulan yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.


(40)

BAB II

PEMELIHARAAN ANAK AKIBAT PERCERAIAN ORANG TUA MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 1 TAHUN 1974

A. Alasan-Alasan Perceraian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Untuk melakukan perceraian diperlukan alasan-alasan yang sah, jadi tidak bisa dilakukan dengan semena-mena. Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 mengatur alasan-alasan untuk melakukan perceraian di dalam penjelasan Pasal 39 Ayat (2) yang dicantumkan kembali di dalam ketentuan Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 sebagai berikut :

1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.

Zina yaitu hubungan kelamin (sexsual)intercourseyang dilakukan oleh suami atau isteri dengan seseorang pihak ketiga yang berlainan seks.33

Suatu perbuatan zina kemungkinan dapat dilakukan : - Dalam keadaan terpaksa atau dalam keadaan tidak bebas, - Atas persetujuan pihak suami atau pihak isteri,

- Tanpa sepengetahuan pihak suami atau isteri yang bersangkutan.

33 M. Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dengan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, (Medan: Zahir Tading Co, 1975), hal. 136.


(41)

2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahu berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah karena atau hal lain di luar kemampuannya.

Apabila salah satu pihak dari kedua suami isteri yang bersangkutan meninggalkan pihak lainnya selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, maka pihak yang ditinggalkannya dapat mengajukan gugatan perceraian dengan mempergunakan alasan ini.

Pada dasarnya alasan untuk meninggalkan pihak lain ini haruslah dilakukan : - Dengan penuh kesadaran dan kehendak bebas dari suami atau isteri yang

meninggalkan pihak lain itu,

- Bukan karena adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan, - Dengan tanpa izin dari pihak yang ditinggalkan dan tanpa alasan yang sah, - Selama dua tahun berturut-turut.

Namun kenyatannya kadang-kadang sangatlah sulit untuk menentukan apakah ketentuan seperti tersebut di atas adalah tepat untuk menentukan alasan meninggalkan pihak lainnnya ini, oleh karena itu maka hakim dalam memeriksa gugatan perceraian yang menggunakan alasan ini haruslah memperhatikan :

- Apakah yang menjadi penyebab salah satu pihak dari suami isteri tersebut meninggalkan pihak lainnya,

- Dan di pihak manakah kesalahan yang menyebabkan salah satu pihak dari suami isteri tersebut meninggalkan pihak lainnya itu terletak.


(42)

3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat.

Bilamana seorang suami mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat maka isterinya dapat mengajukan gugatan perceraian atas dasar alasan ini, demikian juga sebaliknya apabila seseorang isteri mendapat hukuman penjara selama 5 (lima) tahun ataupun mendapatkan hukuman yang lebih berat maka suaminya dapat mengajukan gugatan perceraian dengan memakai alasan ini.

Hukuman penjara selama 5 tahun ini maupun hukuman yang lebih berat seperti tersebut di atas harus dijatuhkan setelah perkawinan berlangsung, dengan demikian disini tidaklah dipersoalkan kapan pihak yang mendapat hukuman tersebut melakukan kejahatan, apakah ia melakukan sebelum perkawinan dilangsungkan ataukah setelah perkawinan berlangsung. Yang penting dalam hal ini adalah penjatuhan hukumannya haruslah dilakukan setelah perkawinan berlangsung.

Alasan perceraian ini dimaksudkan untuk melindungi para pihak yang ditinggalkan dengan adanya penjatuhan hukuman penjara selama 5 (lima) tahun atau lebih ini, jangan sampai mereka mengalami penderitaan.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.

Bila diperhatikan alasan ini maka dapat diperinci menjadi : a. Melakukan kekejaman,


(43)

Melakukan kekejaman disini dimaksudkan adalah melakukan kekerasan. Dengan demikian maka seorang suami yang sering berlaku kasar terhadap isterinya walaupun sikap yang ia lakukan tidak sampai melakukan pemukulan ataupun penganiayaan namun dapatlah si suami tersebut dikatakan telah melakukan kekejaman terhadap isterinya.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami isteri

Apabila salah satu pihak dari kedua suami isteri, yang bersangkutan mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami-isteri, maka pihak yang lain dapat mengajukan gugatan percaraian dengan memakai alasan ini.

Untuk menentukan cacat badan atau penyakit yang diderita oleh salah satu pihak dari kedua suami isteri yang bersangkutan yang mengakibatkan dirinya tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai suami atau isteri yang dapat dijadikan alasan untuk menuntut perceraian, maka harus dilihat kembali ketentuan di dalam undang-undang perkawinan ini yang mengatur mengenai kewajiban suami-isteri.

6. Antara suami isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun dalam rumah tangga

Di dalam undang-undang perkawinan ini ditentukan bahwa suatu perkawinan dilangsungkan dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal, jadi untuk mendapatkan kebahagian, baik kebahagian material maupun spritual di dalam keluarga yang bersangkutan.


(44)

Dengan terjadinya pertengkaran dan perselisihan yang terus menerus di antara kedua belah pihak suami isteri tersebut, maka keluarga bahagia yang semula dicita-citakan akan terwujud di dalam perkawinan hanya akan menjadi cita-cita saja. Pasal 116 Kompilasi Hukum Islam menambah dua point lagi sebagai alasan terjadinya perceraian sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:

7. Suami melanggar taklik talak

Taklik talak adalah suatu ucapan yang dilafazkan suami tatkala selesai melakukan akad nikah. Taklik talak tersebut diucapkan dihadapan wali pengantin perempuan dan juga pegawai pencatat nikah. Taklik talak dibuat untuk memberikan perlindungan kepada wanita atas kesewenang-wenangan suami. Dan apabila taklik talak tersebut dilanggar maka perceraian dapat terjadi.

8. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya

ketidakrukunan dalam rumah tangga

Pengertian murtad tidak terdapat dalam Hukum Islam. Tetapi dari istilah-istilah yang timbul sehari-hari di kalangan masyarakat Islam maka pengertian murtad itu adalah pindah agama.

Murtad menurut menurut Kamisa adalah keluar dari Islam.34

Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa pada dasarnya pengertian tentang murtad tersebut hanya dikenal dalam Hukum Islam, yaitu seseorang yang selama ini berada dalam lingkungan agama Islam baik itu bertingkah laku maupun di dalam

34


(45)

masyarakat, lalu merubah statusnya tersebut dengan berpindah ke agama lain. Apabila salah satu pasangan dalam suatu perkawinan berpindah agama ke agama di luar Islam maka pada secara langsung perkawinan tersebut putus.

B. Akibat Hukum Perceraian

Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum.35 Sedangkan pengertian peristiwa hukum adalah peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat yang diatur oleh hukum.36 Adapun akibat hukum dalam kaitannya dengan akibat perceraian ini diatur di dalam Pasal 41 UU Perkawinan yang telah dijelaskan sebelumnya.

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian diatur dalam Pasal 156 Inpres Nomor 1 tahun 1991. Ada tiga akibat putusnya perkawinan karena perceraian yaitu: 1. Terhadap anak-anaknya,

2. Terhadap harta bersama (harta yang diperoleh selama dalam perkawinan). 3. Terhadap mut’ah (pemberian bekas suami kepada bekas isterinya yang dijatuhi

talak berupa benda atau uang dan lainnya).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat uraian berikut.

35J.B. Daliyo,Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992), hal. 104. 36Ibid., hal. 101.


(46)

1. Akibat terhadap anak

Keluarga yang pecah ialah keluarga dimana terdapat ketiadaan salah satu dari orang tua karena kematian, perceraian, hidup berpisah, untuk masa yang tak terbatas ataupun suami meninggalkan keluarga tanpa memberitahukan kemana ia pergi.37Hal ini menyebabkan :

1. Anak kurang mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tuntutan pendidikan orang tua, terutama bimbingan ayah, karena ayah dan ibunya masing-masing sibuk mengurusi permasalahan mereka.

2. Kebutuhan fisik maupun psikis anak remaja menjadi tidak terpenuhi, keinginan harapan anak-anak tidak tersalur dengan memuaskan, atau tidak mendapatkan kompensasinya.

3. Anak-anak tidak mendapatkan latihan fisik dan mental yang sangat diperlukan untuk hidup susila. Mereka tidak dibiasakan untuk disiplin dan kontrol diri yang baik.

Jadi akibat yang timbul dari perceraian menyebabkan anak merasa terabaikan. Oleh karena itu, Kartini Kartono mengatkan bahwa :

Sebagai akibat bentuk pengabaian tersebut, anak menjadi bingung, resah, risau, malu, sedih, sering diliputi perasaan dendam, benci, sehingga anak menjadi kacau dan liar. Dikemudian hari mereka mencari kompensasi bagi kerisauan batin sendiri diluar lingkungan keluarga, yaitu menjadi anggota dari suatu gang kriminal; lalu melakukan banyak perbuatan brandalan dan kriminal. Pelanggaran kesetiaan loyalitas terhadap patner hidup, pemutusan tali perkawinan, keberantakan kohesi dalam keluarga. Semua ini juga memunculkan kecenderungan menjadi delinkuen pada anak-anak dan remaja. Setiap perubahan dalam relasi personal antara suami-istri menjurus pada arah 37Yani Trizakia,Latar Belakang dan Dampak Perceraian, (Semarang: UNS, 2005), hal. 57.


(47)

konflik dan perceraian. Maka perceraian merupakan faktor penentu bagi pemunculan kasus-kasus neurotik, tingkah laku asusila, dan kebiasaan delinkuen.38

Lebih lanjut Kartini kartono juga mengatakan bahwa :

Penolakan oleh orang tua atau ditinggalkan oleh salah seorang dari kedua orang tuanya, jelas menimbulkan emosi, dendam, rasa tidak percaya karena merasa dikhianati, kemarahan dan kebencian, sentimen hebat itu menghambat perkembangan relasi manusiawi anak. Muncullah kemudian disharmonis socialdan lenyapnya kontrol diri, sehingga anak dengan mudah dapat dibawa ke arus yang buruk, lalu menjadi kriminal. Anak ini memang sadar, tetapi mengembangkan kesadaran yang salah. Fakta menunjukkan bahwa tingkah laku yang jahat tidak terbatas pada strata sosial bawah, dan strata ekonomi rendah saja tetapi juga muncul pada semua kelas, khususnya dikalangan keluarga yang berantakan. Memang perceraian suami-istri dan perpisahan tidak selalu mengakibatkan kasus delinkuen dan karakter pada diri anak.39 Akan tetapi, “semua bentuk ketegangan batin dan konflik familiar itu mengakibatkan bentuk ketidakseimbangan kehidupan psikis anak. Di samping itu juga tidak berkembangnya tokoh ayah sebagai sumber otoritas bagi anak laki-laki”.40 “Sehingga anak berkembang menjadi kasar, liar, brutal, tidak terkendali, sangat agresif dan kriminal”.41

2. Akibat terhadap harta

Menurut Pasal 35 UU Perkawinan harta perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan istri

38Kartini Kartono.Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. (Jakarta: Grafindo Persada, 2002),

hal 17.

39Ibid., hal 18

40Yani Trizakia,Op.Cit, hal 57. 41Kartini Kartono,Op.Cit., hal 18.


(48)

serta harta yang diperoleh dari masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu Pasal 36 UUP menentukan bahwa mengenai harta bersama, suami atau istri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan istri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

“Suatu perceraian akan membawa akibat hukum yaitu adanya pembagian harta bersama bagi para pihak yang ditinggalkannnya. Pembagian tersebut perlu dilakukan guna menentukan hak-hak para pihak yang ditinggalkannya. Dari segi bahasa harta yaitu barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi kekayaan”.42

“Sedangkan yang dimaksud dengan harta bersama yaitu harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan di luar hadiah atau warisan”.43Maksudnya adalah harta yang didapat atas usaha mereka atau sendiri-sendiri selama masa ikatan perkawinan. Sedangkan yang dimaksud harta benda perkawinan adalah “semua harta yang dikuasai suami isteri selama mereka terikat dalam ikatan perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta warisan, harta penghasilan sendiri, harta hibah, harta pencarian bersama suami isteri dan barang-barang hadiah”.44

Menurut Mukti Arto dalam suatu perkawinan terdapat tiga macam harta

42Departemen Pendidikan Nasional,Op.Cit, hal. 199. 43

Ahmad Rofiq,Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hal. 200

44 Hilman Hadi Kusuma, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999),


(49)

kekayaan, yaitu:

1. Harta pribadi suami ialah:

a. Harta bawaan suami, yaitu yang dibawa sejak sebelum perkawinan, b. Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan

2. Harta pribadi isteri ialah:

a. Harta bawaan isteri, yaitu yang dibawanya sejak sebelum perkawinan, b. Harta yang diperolehnya sebagai hadiah atau warisan.

c. Harta bersama suami isteri atau syirkah ialah harta yang diperoleh baik sendiri atau bersama suami-isteri selama dalam ikatan perkawinan, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun.45

Ketentuan mengenai harta dalam perkawinan menurut Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan menyebutkan :

1. Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

2. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Dari ketentuan Pasal 35 Undang-Undang Perkawinan itu pula Satrio menyimpulkan bahwa harta dalam perkawinan mungkin berupa :

1. Harta bersama

2. Harta Pribadi, dapat berupa: a. Harta bawaan suami b. Harta bawaan isteri

c. Harta hibahan/ warisan suami d. Harta hibahan/ warisan isteri.

Dengan demikian harta yang telah dipunyai pada saat (dibawa masuk ke dalam) perkawinan terletak diluar harta bersama. Menurut Pasal 37 jo penjelasan Pasal 35 UU Perkawinan, apabila perkawinan putus, maka harta bersama itu diatur

45 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka


(50)

menurut hukumnya masing-masing. Hal ini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Oleh karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak meninggal, mungkin pula karena perceraian.

Dengan demikian penyelesaian harta bersama adalah sebagai berikut:

1. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam, hukum Islam tidak mengenal harta bersama, karena istri diberi nafkah oleh suami, yang ada ialah harta milik masing-masing suami dan istri. Harta ini adalah hak mereka masing-masing. 2. Bagi mereka yang kawin menurut agama Islam dan agama-agama lainnya, tetapi

tunduk kepada hukum adat yang mengenal harta bersama (gono-gini atau harta guna kaya), jika terjadi perceraian bekas suami dan bekas istri masing-masing mendapat separuh (Yurisprudensi Mahkamah Agung No.387k/ Sip/ 1958 tanggal 11-2-1959 dan No.392k/ Sip/ 1969 tanggal 30-8-1969).

3. Bagi mereka yang kawin menurut agama Kristen, tetap tunduk kepada KUH Perdata yang mengenal harta bersama (persatuan harta sejak terjadi perkawinan). Jika terjadi perceraian, harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri, Pasal 128 KUH Perdata

Pasal 37 UUP belum memberikan penyelesaian tuntas mengenai harta bersama dalam hal terjadi perceraian, malah masih menghidupkan dualisme hukum. Padahal hukum adat sudah memberikan penyelesaian yang adil yaitu separuh bagi bekas suami dan separuh bagi bekas istri. Demikian juga KUH Perdata memberikan penyelesaian bahwa harta bersama dibagi dua antara bekas suami dan bekas istri.


(51)

suami dan separuh untuk bekas istri. Rumusan itu adalah sesuai dengan asas “hak dan kedudukan yang seimbang antara suami dan istri”. Akan tetapi, dalam hukum Islam Kekayaan Suami-Isteri terpisah masing-masing satu sama lainnya. Harta milik masing-masing pada waktu pernikahan dimulai, tetap menjadi miliknya sendiri. Demikian juga harta yang mereka peroleh masing-masing selama berlangsung pernikahan tidak bercampur menjadi kekayaan bersama, tetapi tetap terpisah satu sama lain. “Terhadap milik suami, si isteri tidak berhak begitu saja, dan sebaliknya. Tetapi suami-isteri walaupun bukan sebagai pemiliknya tetap boleh memakai harta itu berdasarkan perjanjian antara suami-isteri yang biasanya berlaku secara diam-diam”.46

Apabila si anak sudah mengerti, hendaklah diselidiki oleh yang berwajib, siapakah diantara keduanya (ibu atau bapak) yang lebih baik dan lebih pandai, untuk mendidik anak itu, maka hendaklah si anak diserahkan kepada yang lebih cakap untuk mengatur kemaslahatan anak itu. Akan tetapi, kalau keduanya sama saja, anak itu harus disuruh memilih kepada siapa diantara keduanya dia lebih suka. Sabda Rasulullah SAW yang artinya: “ Bahwasannya Nabi besar SAW telah menyuruh pilih kepada seorang anak yang sudah sedikit mengerti untuk tinggal bersama bapaknya atau bersama ibunya” Riwayat Ibnu Majah dan Tirmidzi.47

Berdasakan uraian di atas, jelaslah bahwa kewajiban orang tua terhadap anaknya adalah memberi nafkah, seorang ayah berkewajiban untuk memberikan

46Yani Trizakia,Op.Cit, hal 57.


(52)

jaminan nafkah terhadap anaknya, baik pakaian, tempat tinggal maupun kebutuhan lainnya, meskipun hubungan perkawinan orang tua si anak putus. Suatu perceraian tidak berakibat hilangnya kewajiban orang tua untuk tetap memberi nafkah kepada anak-anaknya sampai dewasa atau dapat berdiri sendiri.

C. Pemeliharaan Anak Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Pada setiap masyarakat manapun baik yang beraneka ragam corak kehidupannya maupun yang tidak, setiap perkawinan tidak dapat dipandang lepas dari kemungkinan menurunkan keturunan atau anak yang merupakan salah satu tujuan dari perkawinan, karena seorang anak dianggap salah satu pembawa kebahagiaan dari hasil dari perkawinannya tersebut.

Pengertian anak secara umum dipahami masyarakat adalah keturunan kedua setelah ayah dan ibu.48Yang dimaksud dengan keturunan ialah hubungan antara anak dengan orang tua, atau lebih luas dari itu: antara di satu pihak para anak, di lain pihak para orang tua beserta nenek-moyang mereka.49

Memang dalam kehidupan yang nyata tujuan perkawinan tidak hanya untuk memperoleh keturunan, namun demikian tetap dikhawatirkan perkawinan akan mudah putus apabila tujuan tersebut tidak tercapai dalam arti tidak adanya anak yang lahir selama perkawinan berlangsung.

Suatu rumah tangga yang ideal tidak hanya cukup jika dilandasi atas dasar

48Departemen Pendidikan Nasional,Op.Cit., hal. 38-39.

49H.F.A. Vollmar, Pengantar Studi Hukum Perdata, Cet. I, (Jakarta: CV. Rajawali, 1983),


(53)

kasih sayang semata-mata, lambat laun rasa kasih sayang ini dapat menjadi pudar bilamana kehadiran seorang anak yang merupakan penghubung cinta kasih antara suami dan istri tersebut tidak ada. Maka dari itu dipandang dari sudut lingkungan kekeluargaan yang meliputi suami dan istri tersebut, keturunan adalah sangat penting untuk mempertahankan keutuhan rumah tangga yang kelak akan dibina disamping sebagai penerus keturunan yang merupakan ikatan turun temurun dalam silsilah keluarga.

Menurut pengertian yang sebenarnya, anak adalah hasil dari perbuatan bersetubuh seorang laki-laki dengan seorang perempuan, lahirlah dari tubuh si perempuan seorang manusia lain yang dapat dikatakan, bahwa laki-laki tadi adalah bapaknya dan perempuan tadi adalah ibunya.50

Ketentuan-ketentuan mengenai anak ini dimuat pula dalam Pasal 250 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi “Tiap-tiap anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan memperoleh si suami sebagai bapaknya.

Sekalipun dari hubungan yang tidak sah dalam kaca mata hukum. Ia tetap dinamakan anak, sehingga pada definisi ini tidak dibatasi dengan usia. Sedangkan dalam pengertian Hukum Perkawinan Indonesia, anak yang belum mencapai usia 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya. Selama mereka tidak dicabut dari kekuasaan.51 Pengertian ini bersandar pada kemampuan anak, jika anak telah mencapai umur 18 tahun, namun belum mampu

50Prodjodikoro,Op.Cit., hal.57.


(54)

menghidupi dirinya sendiri, maka ia termasuk katagori anak. Namun berbeda apabila ia telah melakukan perbuatan hukum, maka ia telah dikenai peraturan hukum atau perUndang-Undangan.

Anak menurut Undang-Undang Perkawinan. Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pokok Perkawinan (Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974) mengatakan, seorang pria hanya diizinkan kawin apabila telah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita umur 16 (enam belas) tahun. Penyimpangan hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri.

Selain itu, dalam Pasal 47 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 juga mengatakan bahwa, “Anak yang belum mencapai 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada dibawah kekuasaan orang tuanya selama ia tidak dicabut dari kekuasaanya.

Mengenai perwalian dalam Pasal 50 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa, “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada dibawah kekuasaan wali.

Anak menurut Undang-Undang Kesejahteraan Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin.52 Dalam perspektif Undang-Undang Peradilan Anak, anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.53 Sementara dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 98 (1) dikatakan bahwa batas usia anak yang mampu berdiri sendiri atau dewasa adalah usia

52Pasal 1 (2), UU. No. 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak. 53Pasal 1 (1), UU. No. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.


(55)

21 tahun, sepanjang anak tersebut tidak bercacat fisik maupun mental atau belum pernah melangsungkan perkawinan.54 Adapun pengertian anak menurut Pasal 45 KUHP adalah orang yang belum cukup umur, yaitu mereka yang melakukan perbuatan (tindak pidana) sebelum umur 16 (enam belas) tahun.55

Sedangkan dalam Konvensi Hak Anak (KHA), anak adalah setiap manusia yang berusia dibawah 18 tahun, kecuali berdasarkan Undang-Undang yang berlaku bagi anak yang ditentukan bahwa usia dewasa telah mencapai lebih awal.56 Dengan demikian pasal ini mengakui bahwa batas usia kedewasaan dalam aturan hukum sebuah Negara mungkin berbeda dengan ketentuan KHA. Dalam kasus ini Komite Hak Anak menekankan agar Negara meratifikasi KHA menyelaraskan peraturan-peraturan hukumnya dengan KHA.

Dari pengertian ini tidak terlihat permulaan atau dimulainya status anak. Apakah sejak anak tersebut lahir, ataukah sejak anak tersebut masih dalam kandungan ibunya. Dalam hal ini KHA tidak menyebutkan secara tegas. Tetapi dalam bagian mukadimah, dinyatakan bahwa anak dikarenakan ketidakmatangan jasmani dan mentalnya memerlukan pengamanan dan pemeliharaan khusus termasuk perlindungan hukum yang layak sebelum dan sesudah kelahirannya.57 Pada prinsipnya pokok pikiran yang harus dipegang adalah bahwa Negara yang

54Instruksi Presden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta:

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam, Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama Islam, 2001), hal. 50.

55Agung Wahyono dan Siti Rahayu,Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia, (Jakarta:

Sinar Grafika,1993), hal.19.

56KHA, Pasal 1.

57Lihat mukadimah KHA pada Darwin Prinst,Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Aditya


(56)

meratifikasi KHA harus memajukan dan melindungi kepentingan dan hak anak sebagai manusia hingga mereka bisa mencapai kematangan mental dan fisik.

Dalam perkembangan anak diklasifikasikan menjadi beberapa bagian. Pertama, anak sah, yaitu anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawian yang sah atau hasil perbuatan suami isteri yang sah diluar rahim dan dilahirkan oleh isteri tersebut.58 Kedua, anak terlantar, yaitu anak yang tidak memenuhi kebutuhannya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Ketiga, anak yang menyandang cacat, yaitu anak yang mengalami hambatan secara fisik dan atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangan secara wajar. Keempat, anak yang memiliki keunggulan, yaitu anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, atau memiliki potensi dan atau bakat luar istimewa. Kelima, anak angkat, yaitu anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut kedalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atas penetapan pengadilan. Keenam, anak asuh, yaitu anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga untuk diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan karena orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembangnya anak secara wajar.59

Sedangkan dalam Undang-Undang peradilan anak dikatakan bahwa pengertian dari anak nakal adalah anak yang melakukan pidana atau anak yang

58KHI, Pasal 99.


(57)

melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perUndang-Undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Namun, dalam perkara anak nakal ini hanya bisa diajukan ke pengadilan apabila telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.60 Dan sesuai asas praduga tak bersalah, maka seorang anak nakal yang sedang dalam proses pengadilan tetap dianggap sebagai tidak bersalah sampai adanya putusan dari pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

Batas usia 8 tahun bagi anak nakal untuk dapat diajukan ke sidang anak berdasarkan pada pertimbangan sosiologis, psikologis, dan pedagogis, bahwa anak yang belum mencapai usia 8 tahun dianggap belum dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

Kedudukan anak, berhubungan dengan status yang disandangnya. Istilah status itu hampir sama dengan kedudukan. Secara literal, kata status berarti kedudukan.61 Kata status berarti “keadaan, tingkatan, organisasi, badan atau Negara dan sebagainya”.62 Adapun kata kedudukan adalah “keadaan dimana seseorang itu hidup menunjukan kepada suatu hubungan kekeluargaan tertentu”.63 Maka status anak sah yang dimaksudkan sebagai pandangan hukum terhadap anak sah. Sedangkan kedudukan anak sah menunjukan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan.

60Pasal 1 dan 2, Undang-Undang Nomer 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak.

61 John M. Echols – Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, cet. Ke-XX, (Jakarta:

Gramedia, 1992), hal 554.

62Departemen Pendidikan Nasionao,Op.Cit. 63HFA. Vollmar,Op.Cit, hal. 60.


(1)

Jauhari, Iman, Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam Keluarga Poligami, (Jakarta: Pustaka Bangsa, 2003).

Joni, Muhammad dan Tanamas, Zulchaina Z., Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999).

Kamil, Ahmad,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008).

Kamisa,Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Penerbit PusKartika, 1997). Kartohadiprodjo, Soediman, Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Jakarta:

Pembangunan, 1993).

Kartono, Kartini, Patologi Sosial 2 Kenakalan Remaja. (Jakarta: Grafindo Persada, 2002).

Kobalen, A.S, Idealnya Sebuah Perkawinan Hindu Tamil, (Jakarta: Pustaka Mitra Jaya, 2004).

Komaruddin, Yooke Tjuparmah S.Kamus Istilah Karya Tulis Ilmuah, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006).

Kusuma, Hilman Hadi, Hukum Perkawinan Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999).

Malik, Rusdi, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Universitas Trisakti, 1990).

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2005).

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007).

Mas’udi, Masdar F, Islam dan Hak-hak Reroproduksi Perempuan, (Jakarta Mizan, 1997).

Meliala, Djaja,Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, (Bandung: Penerbit Nuansa Aulia, 1998).


(2)

147

Musthoffa, Aziz, Untaian Mutiara Buat Keluarga, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2003).

Nasional, Departemen Pendidikan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 2003).

Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2008).

Nasution, Bismar, Mengkaji Ulang sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Pidato pada Pengukuhan sebagai Guru Besar, USU – Medan, 17 April 2004. ____________, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,

Makalah Disampaikan Pada Dialog Interaktif Tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Penelitian Hukum Pada Makalah Akreditasi Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003.

Natih, Ketut N., dkk, Pembinaan Perkawinan Agama Hindu, (Jakarta: Yayasan Dharma Sarati, 1990).

Prinst, Darwin,Hukum Anak Indonesia, (Bandung: Aditya Bakti, 2003). Pudja, Gede,Pengantar Agama Hindu, (Jakarta: Mayasari, 2001). Rahardjo, Satjipto,Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000). Rasjid, Sulaiman,Fiqh Islam. (Jakarta: Attahiriyah, 2004).

Rasjidi, Lili dan Putra, I. B., WyasaHukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993).

Rasjidi, Lili,Aneka Hukum Malaysia dan Indonesia,(Bandung: Alumni, 1982). Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1995).

Saarong, A. Hamid, Kedudukan Anak Angkat Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Medan: USU, 2007).

Sabiq, Sayyid,Fiqh Sunnah,(Bandung: Al-Maarif, 1994).

Saifullah, Problematika Anak dan Solusinya Pendekatan Saddudzzara’I, Mimbar Hukum Nomor 42 Tahun ke-10 (1999).


(3)

Soekanto,Soerjono,Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI-Press, 1986).

Soemitro, Irma Setyowati,Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990). Soemitro, Irma Setyowati, Kekuasaan Orang Tua Setelah Perceraian (Suatu PenelitianDi Desa Cukil, Sruwen dan Sugihan Kecamatan Tengaran, Dalam Majalah Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1994.

Soesilo, A.L.S, Pengaruh Sikap Orang Tua Terhadap Anak, Peranan Keluarga Memandu Anak, (Jakarta: Rajawali, 1985).

Sudarta, Tjokorda Rai, Manusia Hindu Dalam Kandungan Sampai Perkawinan, (Surabaya: Yayasan Dharma Aradha, 2001).

Trizakia,Yani,Latar Belakang dan Dampak Perceraian, (Semarang: UNS, 2005). Vollmar, H.F.A., Pengantar Studi Hukum Perdata, Cet. I, (Jakarta: CV. Rajawali,

1983).

Wahyono, Agung dan Rahayu, Siti, Tinjauan tentang Peradilan Anak di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika,1993).

Wuisman, J.J. M.,Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Penyunting, M. Hisyam, (Jakarta: UI Press, 1996).

Perundang-undangan

KUH Perdata

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1974 Tentang Kesejahteraan Anak. Undang-Undang Nomor. 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan Anak. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Instruksi Presden Nomor 1 Tahun 1991, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.


(4)

149

Badilag.net, Paradigma Baru dalam Penyelesaiaan Sengketa Hak Asuh Anak Pada Peradilan Agama.www.badilag.net/data/artikel.

Bah Warnadi, “Dampak Perceraian Bagi Perkembangan Psikologis Anak”, http://www.dishidros.go.id/buletin/umum/221-dampak-perceraian-bagi-perkembangan-psikologis-anak.html.

Catatan Budaya, “Perkawinan Menurut Agama Hindu Dalam Weda”, http://balipawiwahan.blogspot.com/2012/01/perkawinan-menurut-agama-hindu-dalam.html.

Githa90, “Perkawinan yang Ideal Menurut Ajaran Agama Hindu”, http://githa90.wordpress.com/2010/01/21/perkawinan-yang-ideal-menurut-ajaran-agama-hindu/.

Heru Suprapto, “Anak-anak Miskin Tanggung Jawab Negara”, http://rakyatmiskin.wordpress.com/2009/09/08/anak-anak-miskin-tanggung-jawab-negara/.

Ida Ayu Tary Puspa, “Kemiskinan Dalam Pandangan Agama Hindu”, http://tarypuspa.blogspot.com/2009/03/kemiskinan-dalam-pandangan-agama-hindu.html,Diakses tanggal 27 Juli 2013.

Ida Pedanda Gunung, “Mendidik Anak Dalam Konsep Hindu”, http://idapedandagunung.com/viewtopic.php?f=7&t=85.

Swastyastu, “Makna Mengangkat Anak Menurut Ajaran Moral Agama Hindu”, http://suryawanhindudharma.wordpress.com/dukuments/makna-mengangkat-anak-menurut-ajaran-moral-agama-hindu/.


(5)

disaksikan oleh 330 juta Dewa dan Dewi, disaksikan oleh 48.000 Rishi, dan dihadapan para hadirin yang saya muliakan saya berjanji dan menerima dengan tulus ikhlas Putri dari Bapak ……… Liu Lie Bun …….dan Ibu….Manawiyah…...Yang bernama….L. Gita Dharma Ayu….Sebagai istri dan teman hidup saya yang sah.Saya berjanji untuk memperlakukan……L. Gita Dharma Ayu……..sebagai istri dan teman hidup saya Moksartham jagadhita (lahir dan batin) sebagai seorang suami yang bijaksana, saya berkewajiban untuk memberikasihsayang dan bertindakan dildalam keadan senang maupun susah.sebagaibukti yang nyata dari ikrar saya tersebut diatas saya persembahkan Manggalyam ini adalah seutas benang suci, yang memungkinkan kuhidup dengan tentram bersamamu.aku mengalungkannya dilehermu. Semoga kau memperoleh segala keberuntungan dan menempuh hidup yang bahagia dan sejahtera.

MaanggalamThanthu Naanena Mama Jivana Hehthuna Kande Pathnaami Subagay Sanjeva Sarathas Satham Sarva Mangalamaanggalye Sivesarvathasaathige Saranye Tryambake


(6)

Ikrar Wanita

Demi Ida Sang Hyang Widi Wasa dan disaksikan oleh Wigneswara, disaksikan oleh Langit dan Bumi,disaksikan oleh Matahari dan Rembulan ,disaksikan oleh siwa Wartini, disaksikan oleh 330 juta Dewa dan Dewi, disaksikan oleh 48.000 Rishi, dan dihadapan para hadirin yang saya muliakan saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwasaya, secara tulus dan ikhlas, menerima Putra bapak...Alm.R.Krisna…..dan Ibu……K.Ramani……yang bernama..…...K. RajuKumar…sebagai suam saya yang syah,yang baru saja dihadapan hadirin yang saya muliakan yang telah mempersembahkan “Manggalyam “ danucapanikrarnya, diterimanya saya sebagai istri yang syah. Sebagai istri yang syah, saya berjanji, menjadi seorang istri yang setia, seorang pendamping yang arif dan bijaksana dalam keadaan senang maupun susah. Sebagai bukti terhadap ikrar saya yang tersebut diatas, bersama ini saya persembahkan sebuah cincin, kepada suam isaya.Dihadapan para hadirin yang saya mulyakan Semoga Sang HyangWidi wasa memberkati kami.


Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 0 13

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 0 1

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 1 38

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 1 29

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam Chapter III V

0 0 44

Tanggung Jawab Orang Tua Terhadap Nafkah Anak Pasca Putusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Islam

0 1 6

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 0 16

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 0 4

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 3 21

Tanggung Jawab Suami Terhadap Nafkah Istri dan Anak Pasca Keputusan Perceraian Bagi Warga Negara Indonesia yang Beragama Nonmuslim (Putusan Pengadilan Negeri Medan No. 182 PDT.G 2014 PN.MDN)

0 2 37