Kemitraan Strategis di Kawasan Asia-Pasifik dan Afrika, serta Amerika dan

44 ini cukup membangun optimisme, baik di kalangan publik domestiknya, maupun di kalangan masyarakat internasional. Kesediaan militer untuk membuka keran demokratisasi diiringi dengan sikap positif dari oposisi membuat reformasi politik dapat berjalan secara damai. Tokoh oposisi kharismatik, Aung San Su Kyi, diperkirakan akan turut berpartisipasi di dalam pemilu mendatang. Perkembangan ini membangkitkan keyakinan publik domestik dan internasional akan arah demokratisasi di Myanmar yang sudah berada pada jalur yang tepat. Pimpinan nasional yang masih berasal dari kalangan militer sendiri, Thein Sein, mendapat pujian di kalangan publik domestik karena inisiatif dan dukungannya terhadap reformasi demokratis. Perkembangan demokratisasi di Mesir, berbeda dengan Myanmar, mengalami kemunduran selama tahun 2013 ini. Setelah gerakan protes berhasil menjatuhkan pemerintahan Husni Mubarak pada tahun 2011, hasil Pemilu 2012 yang memenangkan Ikhwanul Muslimin dengan margin tipis diikuti dengan serangkaian ketidakpuasan, protes, dan akhirnya kudeta militer pada tahun 2013. Kekerasan politik yang dilakukan oleh pemerintah militer mengundang keprihatinan dan kecaman dari dunia internasional. Indonesia telah berusaha untuk mempromosikan demokrasi di Mesir dengan mengirimkan delegasi utusan khusus ke Mesir untuk berbagi pengalaman dalam melaksanakan demokrasi di negara pluralistik. Namun memburuknya kadar kebebasan di negara tersebut menunjukkan kurangnya kesiapan berdemokrasi di negara tersebut. Peran Indonesia di dalam mempromosikan dan memproyeksikan demokrasi di kedua negara tersebut masih menyisakan peluang untuk dikembangkan. Meskipun masih ada lembaga pemeringkat yang menilai Indonesia masih belum sepenuhnya demokratis, namun keberhasilan Indonesia melakukan transisi dan konsolidasi demokrasi merupakan nilai tersendiri yang dapat dijadikan contoh bagi negara-negara yang memiliki karakteristik yang serupa. Demokratisasi di Indonesia harus dijalani dengan menghadapi berbagai tantangan sekaligus, mulai dari krisis ekonomi, pembangunan tak berimbang, gerakan separatisme, reformasi hubungan sipil-militer, konflik sosial, hingga gerakan radikalisme dan terorisme. Terlepas dari berbagai tantangan tersebut, Indonesia relatif berhasil melalui tahap demi tahap demokratisasi secara damai, mulai dari mundurnya rejim otoriter, transisi demokrasi, hingga konsolidasi demokrasi.

6. Kemitraan Strategis di Kawasan Asia-Pasifik dan Afrika, serta Amerika dan

Eropa Dalam periode 2010-2014, kemitraan strategis, diplomasi ekonomi dan fasilitasi perluasan pasar non-tradisional mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Indonesia sejauh ini telah mengembangkan kemitraan strategis 45 dengan 14 negara, termasuk di antaranya Amerika Serikat, Cina, Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa, Brazil, Turki dan Rusia. Pasar non-tradisional Indonesia tumbuh hingg 46 di Afrika. Indonesia juga pada tahun 2013 menjadi ketua Forum for East Asia and Latin America Cooperation FEALAC bersama dengan Kolombia. Potensi kemitraan dengan negara-negara lain masih dikaji, termasuk multilateralisasi perdagangan regional melalui Trans Pacific Partnership TPP dan Regional Comprehensive Economic Partnership RCEP. Masyarakat dan birokrasi di Indonesia sebenarnya tidak benar-benar satu suara tentang peluang dan prospek yang diberikan oleh TPP dan RCEP. Secara umum ada tiga pendapat tentang partisipasi Indonesia di TPP dan RCEP. Pendapat pertama menyarankan Indonesia untuk tidak bergabung dengan TPP untuk saat ini, tetapi mendukung partisipasi di dalam RCEP. Pendapat ini memandang bahwa TPP terlalu maju untuk Indonesia saat ini. Skema liberalisasi perdagangan yang diikuti Indonesia saat ini belum semuanya terlaksana penuh, sehingga multilateralisasi dipandang tidak tepat untuk saat ini karena Indonesia belum siap. TPP dipandang lebih sulit karena mencakup soal kekayaan intelektual, perlindungan lingkungan, buruh, layanan keuangan, hambatan teknis, isu regulasi dan sebagainya. RCEP di sisi lain, lebih bisa diterima karena pertama Indonesia termasuk salah satu negara yang mengusulkan dan memperjuangkannya. Faktor lainnya adalah RCEP lebih mendorong harmonisasi dari skema perdagangan bebas yang sudah ada, sehingga lebih mudah dilaksanakan bagi Indonesia. Dalam pandangan ini, Indonesia disarankan untuk terlebih dahulu membenahi pembangunan ekonomi di dalam negeri sehingga dapat lebih siap untuk menghadapi multilateralisasi dari skema liberalisasi perdagangan yang sudah ada seperti yang dilakukan melalui TPP. Pendapat yang kedua menyarankan agar Indonesia bergabung dengan keduanya, baik TPP maupun RCEP. Menurut pandangan ini, keputusan untuk bergabung dengan TPP tidak hanya tentang liberalisasi perdagangan dan persiapan menjelang pelaksanaan APEC. Namun lebih jauh, sistem perdagangan internasional melalui TPP selain menyediakan jembatan bagi pembukaan 56 pasar internasional, juga untuk mengimbangi dominasi Amerika Serikat di dalam rezim perdagangan di kawasan Asia-Pasifik. Dengan bergabungnya Cina ke dalam TPP, efek statis dari TPP akan bertambah besar, dan efek dinamisnya ada kemungkinan juga akan semakin meningkat secara positif karena merupakan simbol kerjasama di antara Cina dan Amerika Serikat. Jika sebelumnya RCEP dipandang sebagai bagian dari rivalitas antara Amerika Serikat dengan Cina, yaitu sebagai upaya Cina untuk melakukan balancing terhadap TPP, maka bergabungnya Cina ke dalam TPP bisa jadi merupakan indikator dari melunaknya rivalitas dan meningkatnya kerjasama. Di samping itu, pendapat ini juga berargumen bahwa Indonesia sebagai negara besar tidak 46 bisa menghindar dari perdagangan bebas, karena hanya dengan itu Indonesia dapat bersaing dan mendapatkan keuntungan dari ekonomi global dalam skala besar economy of scale. Pendapat yang ketiga menganjurkan Indonesia untuk tidak sama sekali bergabung dengan skema liberalisasi lebih luas seperti TPP dan RCEP. Pendapat ini didasarkan atas pandangan bahwa proporsi perdagangan internasional Indonesia saat ini hanya 30. Sisanya didapatkan dari pasar domestik. Jika Indonesia membuka pasar domestik lebih luas melalui TPP atau RCEP, dikhawatirkan pasar domestik dapat tergerus oleh produk asing. Pendapat ini cenderung menganjurkan agar Indonesia lebih fokus pada pembangunan sistem ekonomi domestik dan terlebih dahulu melakukan evaluasi terhadap skema perdagangan bebas yang sudah diterapkan saat ini seperti AFTA, AEC dan ACFTA.

7. Pelaksanaan diplomasi ekonomi dan fasilitasi perluasan pasar non-