24 Tabel 2.1 Binatang percobaan, dosis dan pengaruh patologi pemberian sitrinin
Jenis hewan percobaan Dosis mgkg BB
Efek patologi
Kelinci 20-75
20 8 minggu
Pembengkakan ginjal Neukrosis akut
Kerusakan ginjal kronis Depresi
Glukose urea
Tikus 48
14-32 2 hari
2 minggu Neukrosis akut
Kerusakan ginjal kronis
Babi 100
40 2 hari
5-6 minggu Neukrosis akut
Kerusakan ginjal kronis
Sumber: Wiley dan Morehouse 1977
2. Kandungan toksin pada urin Sitrinin yang disuntikkan pada beberapa hewan percobaan menyisakan
residu sitrinin di dalam darah dan urin binatang tersebut. Kelinci yang mendapat suntikan 24-44 mgkg melalui intravenous, intramuskuler atau subkutan, maka dalam
waktu 5 menit darah kelinci tersebut mengandung sitrinin dalam jumlah banyak berkisar antara 33 hingga 67
gml. Sitrinin akan bertahan dalam darah selama 24 jam. Bila diberikan melalui oral, darah kelinci dapat mengandung sitrinin sebanyak
15 sampai 20 gml dalam waktu 3 jam. Sekitar 20 sitrinin diikat plasma darah.
Anjing yang diberi suntikan sitrinin melalui intravenous pada urinnya mengandung sitrinin sebanyak 22 persen setelah 48 jam.
3. Efek biologi lain
Sitrinin efektif untuk penanggulangan beberapa penyakit pada tumbuhan seperti penyakit akar hitam pada kol kubis karena serangan Xanthomonas
campestris. Selain itu juga mempunyai kemampuan sebagai inhibitor pada khamir Saccharomyces cereviseae serta Candida albicans. Aktifitas antibiotika terhadap
protozoa Paramesia sp. Juga dimiliki oleh sitrinin Wiley dan Morehouse 1977.
25 Tabel 2.2 Nilai LD
50
Jenis Hewan
sitrinin terhadap beberapa jenis hewan percobaan
LD
50
Cara pemberian mgkg
Tikus 67,0
Suntikan pada subkutan atau pada intraperitoneal
Babi 37,0
Suntikan pada subkutan Kelinci
19,0 Suntikan pada intravenous
Marmut 35,0
110,0 Suntikan pada subkutan
Suntikan intraperitoneal oral Sumber: Wiley dan Morehouse 1977
Biosintesis sitrinin
Percobaan dengan [ 1
-14
C ] asetat dan [
14
C ] format Aspergilus candidus
menunjukkan bahwa sitrinin berasal dari kondensasi 5 unit asetat, dan introduksi terhadap tiga-satu unit karbon pada C-11 dan C-13 . Biosintesa asal yang serupa
diperlihatkan untuk produksi sitrinin dari P. citrinum. Biosintesa sitrinin dari P. citrinum adalah
[ 1
14
C ] dan [ 6
-14
Reduksi sitrinin
C ] glukosa. Keduanya mempunyai atom C dengan
posisi yang sama. Pola label pada radioaktif sitrinin membukt ikan asal molekul- molekul skeleton dari 2 unit karbon. Atom C-10 lebih aktif mendukung lintasan
asesat malonal. Penggabungan satu unit karbon tampaknya berurutan C-11, C-12 dan C-13. Okhratoksin A dan sitrinin yang keduanya berasal dari P.viridicatum
cenderung mendukung penggabungan yang dimulai pada C-11. Sitrinin ditemukan bersama okhratoksin pada bebijian gandum, jawawut, yang terkontaminasi oleh P.
citricum. Selain itu sitrinin juga dijumpai pada buah apel yang tercemar P. expansus dan juga patulin. Pada kacang tanah sitrinin ditemukan bersama aflatoksin yang
terinfeksi A. flavus, P. citrinum dan A. terreus Hajjaj 2000.
Secara alami kandungan metabolit sekunder yang diproduksi oleh strain Monascus purpureus baik berupa pigmen, lovastatin dan sitrinin bervariasi.
Beberapa strain mempunyai intensitas warna dan kadar lovaatatin yang tinggi, dengan kadar sitrinin rendah. Beberapa strain yang lain mempunyai kadar lovastatin
26 rendah, intensitas warna tinggi dan kadar sitrinin yang relatiif tinggi juga. Kadar
sitrinin yang terkandung dalam Monascus purpureus dapat direduksi dengan perlakuan penambahan asam lemak rantai medium seperti yang dilaporkan oleh
Hajjaj et al 2000. Percobaan yang dilakukan Hajjay dengan penambahan beberapa jenis asam lemak dengan panjang rantai yang bervariasi, menunjukkan hasil yang
bervariasi. Hasil terbaik ditunjukkan penambahan asam lemak rantai medium yaitu asam oktanoat.
Prinsip dasar yang menjadi pertimbangan penambahan asam lemak untuk tujuan reduksi sitrinin adalah memotong jalur metabolism pembentukan metabolit
sekunder pada Monascus sp. Percobaan menggunakan
13
C
Tabel 2.3 Efek asam lemak dengan variasi panjang rantai karbon pada produksi pigmen dan sitrinin menggunakan M. ruber dengan
adanya glukosa dan MSG nuclear magnetic
resonance menunjukkan bahwa biosintesis pigmen merah pada Monascus ternyata menggunakan sekaligus dua jalur pathway seperti terlihat pada gambar 4, yaitu jalur
pembentukan struktur kromophore polyketide synthase dan jalur sintesis asam lemak the fatty acid synthesis pathway. Dengan memotong jalur sintesis asam
lemak dengan cara menambahkan asam lemak dari luar, ternyata dapat mereduksi kandungan sitrinin pada Monascus sp. Hasil penelitian Hajjay 2000 tersaji pada
tabel berikut .
a
Tipe asam lemak yang ditambahkan
Konsentrasi mgg biomasa
b
Pigmen merah Sitrinin
Kontrol 54
14 Asam heksanoat
43,5 10
Asam oktanoat 114
7,4 Asam dekanoat
52,5 9,0
Asam dodekanoat 51
3,6 Asam miristat
54 14,6
Asam stearat 51
11,6 Asam oleat
55,5 13
Keterangan: a. Masing-masing pada konsentrasi 5 gramliter. Level sitrinin dan
pigmen diukur setelah 95 jam pertumbuhan M. Ruber. b. pada 1 mM. Sumber : Hajjay et al 1999
27 Perlakuan lain yang juga sering dilakukan untuk tujuan reduksi sitrinin adalah
mutagenesis. Mutagenesis dilakukan misalnya dengan penyinaran menggunakan sinar UV, perendaman dengan larutan kimia etidibium bromid dan sebagainya. Upaya-
upaya tersebut terbukti dapat mereduksi kandungan sitrinin dengan hasil bervariasi. Meskipun upaya reduksi sitrinin sering dilakukan pada produksi angkak, secara alami
strain-strain Monascus purpureus memiliki kandungan sitrinin yang cukup rendah.
Khamir Amilolitik
Khamir merupakan mikroorganisme golongan fungi yang dibedakan bentuknya dari mould kapang karena ber sel tunggal uniseluler.
Reproduksi vegetatif pada khamir terutama dengan cara pertunasan. Sebagai sel tunggal, khamir tumbuh dan berkembang biak lebih cepat dibanding dengan
mould yang tumbuh dengan pembentukan filamen. Khamir sangat mudah dibedakan dengan mikroorganisme yang lain misalnya dengan bakteri, khamir mempunyai
ukuran sel yang lebih besar dan morfologi yang berbeda. Sedangkan dengan protozoa, khamir mempunyai dinding sel yang lebih kuat serta tidak melakukan
photosintesis bila dibandingkan dengan ganggang atau algae. Dibandingkan dengan kapang dalam pemecahan bahan komponen kimi, khamir lebih efektif memecahnya
dan lebih luas permukaan serta volume hasilnya lebih banyak. Khamir dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya yaitu bersifat
fermentatif dan oksidatif. Jenis fermentatif dapat melakuka n fermentasi alkohol yaitu memecah gula glukosa menjadi alkohol dan gas contohnya pada produk roti.
Sedangkan oksidatif respirasi akan menghasilkan karbon dioksida dan air. Keduanya bagi khamir dipergunakan untuk energi walaupun energi yang dihasilkan
melalui respirasi lebih tinggi dari yang melalui fermentasi Fardiaz 1992. Secara umum
memiliki bentuk elipsoidal, dengan ukuran diameter 5 sampai 10 mikron untuk sel yang besar, dan 1-3 mikron untuk ukuran sel yang kecil. Mikrooorganisme ini
memiliki beberapa organel sel antara lain nukleus, sitoplasma dan membran sitoplasma, vakuola, mitokondria, globula lipid serta dinding sel yang tebal 25 nm
dengan komponen terbesar glukan, juga terdapat kitin dan protein. Morfologi khamir secara umum disajikan pada Gambar 2.9.
28 Gambar 2.9 Bagian-bagian khamir Anonim, 2004
Identifikasi khamir untuk kepentingan klasifikasi sedikit berbeda dengan kapang. Pada kapang idintifikasi biasanya didasarkan atas bentuk morfologinya,
sedangkan identifikasi khamir selain didasarkan pada morfologi juga ditentukan oleh sifat-sifat lainnya yaitu sifat kultur, fisiologi dan reproduksi seksual.
Berdasarkan sifat-sifat tersebut khamir dapat dibedakan atas tiga kelas, yaitu: 1. Kelas Ascomycetes atau khamir askosporogenous, dimana spora tumbuh di dalam
askus. 2. Kelas Basidiomycetes yang membentuk spora pada basidium.
Aktivitas khamir pada bahan pangan dikelompokkan menjadi beberapa kelompok meliputi : aktivitas pada glukosa, aktivitas dalam senyawa nitrogen,
3. Kelas Deuteromycetes, yaitu khamir yang tidak memproduksi spora seksual, disebut juga fungi imperfecti dan terdiri dari famili: Sporobolomycetaceae yang
memproduksi ballistospora dan Cryptococcaceae yang tidak memproduksi ballistospora maupun spora seksual.
29 aktivitas pada asam-asam organik, aktivitas dalam degradasi protein, aktivitas dalam
degradasi lemak, aktivitas dalam degradasi selulosa, pektin dan xilan, serta aktivitas dalam degradasi pati. Khususnya khamir yang memiliki kemampuan dalam degradasi
pati, telah menjadi subyek penelitian-penelitian di seluruh dunia. Penelitian yang dilakukan adalah berkaitan dengan sifat amilolitik khamir pada pati dalam
memproduksi etanol dan biomassa khamir untuk memproduksi minuman dan makanan. Enzim amilase sebagai aktivitas amilolitik pada khamir, diproduksi secara
ekstraseluler. Secara umum kelompok khamir yang mempunyai kemampuan amilolitik jumlahnya relatif sedikit antara lain Schwaniomyces occidentalis,
Saccharomycopsis fibuliger, Sacch diastiticus, Candida dan Pichia Sedangkan jenis- jenis khamir lainnya tidak memproduksi amilase Roosifta 2004.
Khamir amilolitik memiliki potensi penting pada produk-produk dimana pati digunakan sebagai bahan utamanya sehingga dapat menyumbangkan flavor yang
dikehendaki. Peran amilase khamir yang cukup familiar pada produk fermentasi Indonesia adalah pada tape ketan atau tape singkong ubi kayu. Pada fermentasi
sayur asin dan asam terdapat beberapa yeast jenis Candida sake dan C. guilliermondii yang menggunakan substrat maltosa dan pati untuk diubah menjadi glukosa,
kemudian dimetabolisme lebih lanjut menjadi asam-asam organik seperti asam laktat, asetat, suksinat, etanol dan gliserol Puspito Fleet 1985. Takeuchi et al 2006,
melakukan purifikasi dan karakterisas i α-amilase dari Pichia burtonii yang diisolasi
dari starter tradisional “Murcha” dari Nepal. P. burtonii memproduksi enzim amilolitik ekstraseluler katika dikulturkan pada media yang mengandung pati. Enzim
hasil purifikasi diberi nama Pichia burtonii α-amilase PBA suatu glikoprotein yang
memiliki berat molekul 51 kDa, mempunyai aktivitas optimal pada pH 5,0 pada suhu 40
˚C, dan aktivitasnya dihambat oleh ion-ion logam seperti Cd
2+
, Cu
2+
, Hg
2+
, Al
2+
, dan Zn
2+
. Kebanyakan khamir yang digunakan dalam industri termasuk kelas
Ascomycetes terutama jenis Saccharomyces. Beberapa khamir makanan dideskripsikan sebagai berikut.
30
Schizosaccharomyces
Schizosaccharomyces melakukan reproduksi aseksual dengan cara
pembelahan dan membentuk empat atau delapan askospora per askus setelah melakukan konjugasi isogamik. Khamir jenis ini sering ditemukan pada buah-buahan
tropis, molase, tanah, madu, dan sumber-sumber lainnya. Spesies yang paling umum dijumpai adalah S. pombe.
Kelompok khamir ini tidak memproduksi etanol dalam konsentrasi tinggi. S. pombe juga dikenal sebagai ”fission yeast”. Khamir ini digunakan sebagai
model organisme dalam biologi dan sel molekuler. Merupakan eukaryote unicellullar, berbentuk batang berukuran diameter 3-4 mikrometer dan panjang 7-14 mikrometer.
Khamir ini juga merupakan eukariot yang memiliki genom terpendek yaitu sekitar 13,8 million pasangan basa.
S. pombe memfermentasi asam malat menjadi etanol dan CO
2
dan telah digunakan secara komersial dalam fermentasi champagne. Fermentasi dengan S. pombe
menghasilkan wine yang titrat keasaman dapat dikurangi karena mempunyai kemampuan memfermentasi asam malolaktat, tetapi menghasilkan wine dengan
kualitas buruk.
Pichia
Sel khamir ini berbentuk oval sampai silinder, dan kemungkinan juga membentuk pseudomiselium. Asckospora berbentuk bulat atau seperti topi, dengan
jumlah satu sampai empat per askus. Genus Pichia terdiri dari 56 spesies. Pichia membranefaciens mampu survive pada konsentrasi alkohol tinggi. Pichia merupakan
khamir nitrat-negatif tetapi beberapa genus seperti Hansenula menunjukkan nitrat- positif.
Kemampuan beberapa genus Pichia tumbuh pada metanol sebagai sumber karbon dan energi sangat penting dalam industrial standpoint. Karakteristik ini
ditemukan pada genera Candida, Hansenula, dan Torulasora. Penggunaan jalur metanol pada jenis khamir ini mimpunyai kemiripan dengan permulaan oksidasi
metanol menjadi formaldehid, suatu reaksi yang dikatalisasi oleh alkohol oksidase. Reaksi menghasilkan reduksi secara simultan oksigen menjadi hidrogen peroksida.
31 Maka dari itu adanya sequester alkohol oksidase di dalam organel sub seluler
peroksisom berfungsi mencegah toksisitas dari hidrogen peroksida.
Saccharomyces
Sel khamir yang termasuk jenis ini mungkin berbentuk bulat, oval, atau memanjang dan mungkin membentuk pseudomiselium. Reproduksi khamir dilakukan
dengan cara pertunasan multipolar, atau melalui pembentukan askospora. Spesies yang paling umum digunakan dalam industri makanan adalah Saccharomyces
cerevisiae, misalnya dalam pembuatan roti, anggur, brem, gliserol, enzim invertase. Koloni S. cerevisiae berwarna putih kekuningan, agak berlendir, dan
mempunyai aroma khas seperti aroma roti. Untuk pertumbuhannya membutuhkan oksigen, cahaya, dan suhu. Suhu optimum pertumbuhannya adalah 30
C, suhu maksimum 35-37
C, dan suhu minimumnya adalah 9-11C Judoamidjojo, et al, 1992.
Saccharomyces cerevisiae melakukan perbanyakan diri dengan pertunasan
budding atau pada beberapa kasus dengan melakukan pembelahan fission, meskipun beberapa khamir seperti Candida albicans dapat tumbuh sebagai filament-
filamen miselium sederhana yang tidak beraturan. Mereka juga dapat bereproduksi secara seksual, membentuk asci yang megandung lebih dari 8 askospora-askospora.
Saccharomyces cerevisiae dikenal sebagai bakers yeast atau brewers yeast. Khamir memfermentasi gula yang ada pada tepung atau yang ditambahkan
pada adonan, menghasilkan karbon dioxida CO
2
dan alkohol ethanol. Pada adonan roti CO
2
terperangkap sebagai gelembung-gelembung udara kecil dalam adonan, sehingga adoanan kelihatan mengembang.
Endomycopsis
Endomycopsis merupakan kelompok khamir sejati true yeast, sel berbentuk pseudomiselium dengan jumlah spora 1-4, bereproduksi secara vegetatif
aseksual melalui pembentukan spora blastospora. Hanya beberapa khamir yang dapat memfermentasi polisakarida termasuk khamir jenis ini dapat memfermentasi
32 pati, contohnya Endomycopsis fibuliger. Jenis Endomycopsis burtonii dapat diisolasi
dari produk fermentasi tape baik tape singkong maupun tape ketan
Sifat Fisiologi Khamir
Sifat fisiologi khamir secara umum berkaitan erat dengan kondisi pertumbuhan, metabolisme, dan substrat untuk pertumbuhan khamir. Kondisi
pertumbuhan yang berkaitan dengan batas aktivitas air berkisar 0,88-0,94. Kisaran suhu untuk pertumbuhan kebanyakan khamir pada umumnya hampir sama dengan
kapang, yaitu mempunyai kisaran suhu optimum 25-30°C dan kisaran suhu maksimum pertumbuhan 35-47°C. Kebanyakan khamir lebih menyukai tumbuh pada
keadaan asam, yaitu pada pH 4-4,5, dan tidak dapat tumbuh dengan baik pada medium alkali, kecuali jika telah beradaptasi. Khamir tumbuh baik pada kondisi
aerobik. Metabolisme dan substrat untuk pertumbuhan khamir berkaitan erat dengan
hal-hal sebagai berikut: Khamir dapat dibedakan atas dua kelompok berdasarkan sifat metabolismenya, yaitu yang bersifat fermentatif dan oksidatif. Khamir fermentatif
dapat melakukan fermentasi alkohol, yaitu memecah glukosa melalui jalur glikolisis Embden Meyerhoff-Parnas.
Penelitian yang dilakukan oleh Suha et al 2000, berkaitan dengan analisis
fisiologi ko-kultur Monascus sp J101 dengan S. cereviseae menunjukkan bahwa selama proses fermentasi Monascus sp. J101 dengan S. cereviseae kultur filtrat
distimulasi untuk membentuk spora reproduktif yang secara bertahap menghasilkan akselerasi reproduksi dan proliferasi sel. Juga dideteksi aktivitas protein kinase C.
Khitinase EC 3.2.1.14, suatu protein 120-kDa yang disekresikan dimurnikan dari
kultur filtrat S. cereviseae sebagai efektor. Kultur filtrat mengandung total lipid Khamir yang digunakan pada roti dan bir bersifat fermentatif kuat. Akan
tetapi dengan adanya oksigen , dapat melakukan respirasi yaitu mengoksidasi gula menjadi karbón dioksida dan air. Kedua sistem tersebut menghasilkan energi,
meskipun energi yang dihasilkan melalui respirasi lebih tinggi dibandingkan dengan melalui fermentasi.
33 kira-kira 4 kali lebih banyak dibanding tanpa kokultur terutama asam oleat dan asam
linoleat. Penambahan asam lemak dari luar hanya berkontribusi pada peningkatan masa sel.
Perubahan morfologi dan peningkatan produksi pigmen Monascus selama ko- kultur dengan S. cerevisiae atau A. oryzae diteliti oleh Shin et al.1998. Dilaporkan
terjadi perubahan morfologi yang signifikan pada kultur Monascus. Dengan kokultur menunjukkan peningkatan masa sel dua kali lipat dan pigmen mengalami
peningkatan 30-40 kali dibanding monokultur. Sebaliknya kokultur antara Monascus dengan Bacillus cereus tidak terjadi perubahan morfologi, peningkatan pertumbuhan
sel, dan peningkatan produksi pigmen. Kokultur antara Monascus dan S. cerevisiae lebih efektif dalam meningkatkan
produksi pigmen dibanding dengan A. oryzae. Dilaporkan bahwa peningkatan pertumbuhan sel dan peningkatan produksi pigmen terjadi berhubungan dengan
perubahan morfologi. Beberapa enzim hidrolitik diproduksi oleh S. cerevisiae seperti amilase dan
kitinase yang berfungsi sebagai efektor. Penambahan enzim komersial amilase dan protease dari A. oryzae keduanya menyebabkan perubahan morfologi di dalam sel
Monascus dan efektif dalam meningkatkan produksi pigmen. Sebaliknya lisozim, amilase dan protease dari spesies Bacillus, protease dari Staphylococcus, dan
khitinase dari Streptomyces tidak efektif. Enzim hidrolitik menyebabkan perubahan morfologi dan peningkatan produksi pigmen berkaitan dengan kemampuannya
mendegradasi dinding sel Monascus. Terjadi peningkatan produksi pigmen sekitar 10 kali lipat dengan menggunakan kokultur S. cerevisiae pada fermentasi cair oleh
Monascus.
Aplikasi Ko-kultur pada Proses Fermentasi
Ko-kultur merupakan pertumbuhan bersama dua atau lebih jenis sel mikroba yang berbeda pada suatu media fermentasi. Ko-kultur juga diartikan sebagai
campuran tipe-tipe sel yang berbeda dalam suatu kultur yang memungkinkan merupakan pendekatan suatu model interaksi secara in vivo Mark 2005. Aplikasi
ko-kultur secara umum bertujuan untuk meningkatkan aspek-aspek positif tertentu
34 yang diharapkan dari kegiatan fermentasi. Beberapa peneliti telah mengaplikasikan
ko-kultur pada topik penelitian mereka. Mays et al. 1984, melakukan ko-kultur antara Lactobacillus dengan Veillonella untuk produksi asam propionat. Prinsip ko-kultur
tersebut adalah suatu proses untuk produksi asam laktat atau garamnya dan asam propionat dan atau asam asetat atau garamnya oleh katabolisme suatu substrat
karbohidrat melalui proses fermentasi bakteri dua tahap secara simultan. Tahap pertama, karrbohidrat dikonversi menjadi asam laktat oleh bakteri sakarolitik seperti
Lactobacillus casei subspesies rhamnosus. Pada tahap ke dua, asam laktat secara resultante difermentasi menjadi asam propionat dan asam asetat, karbon dioksida dan
hidrogen oleh bakteri kedua yang diadaptasi untuk mampu tumbuh dengan keberadaan bakteri pertama, misalnya jenis-jenis bakteri yang mampu
mengkatabolisme asam laktat seperti Veillonella criceti. Simove et al. 2004 menggunakan kultur campuran Rhodotorula rubra GED10
dan bakteri yoghurt Streptococcus thermophilus 13a+Lactobacillus bulgaricus 2-11 untuk produksi beberapa eksopolisakarida. Metode yang digunakan adalah
campuran mikroba tersebut dikultivasi pada media whey keju yang telah diultrafiltrasi WU. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa laktosa yang terdapat
di dalam substrat WU dapat secara efektif digunakan oleh campuran mikroba Rhodotorula rubra GED10 dan bakteri yoghurt Streptococcus thermophilus
13a+Lactobacillus bulgaricus 2-11 untuk sintesis beberapa eksopolisakarida. Ko-kultur antara M. purpureus dan M. ruber dilakukan oleh Panda et al.,
2010 untuk optimasi parameter-parameter fermentasi untuk meningkatkan produksi lovastatin angkak. Ko-kultur M. purpureus MTCC 369 dengan M. ruber MTCC
1880 dilakukan pada fermentasi padat. Optimasi parameter- parameter proses fermentasi yang berbeda seperti temperatur, waktu fermentasi, volume inokulum, dan
pH dari subtrat padat dirancang dengan metodologi respon permukaan dari rancangan Box-Behnken’s faktorial untuk memaksimalkan produksi lovastatin. Hasil yang
diperoleh menunjukkan produksi lovastatin tertinggi adalah 2,83 mgg diprediksi pada 14 hari fermentasi pada substrat padat dibawah kondisi proses yang dioptimasi.
35
3. METODOLOGI UMUM