Prinsip Bagi Hasil LANDASAN TEORI
Skema pembiayaan mudharabah dan musyarakah dijalankan dengan prinsip bagi hasil. Pembiayaan ini diberikan untuk membantu Masyarakat debitur
yang memerlukan modal untuk suatu usaha atau proyek. Bagi Masyarakat debitur hanya memiliki keahlian dan skill tetapi tidak punya modal sama sekali, jenis
pembiayaan yang sesuai adalah pembiayaan mudharabah.
Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia DSN - MUI Nomor 07DSN-MUIIV2000 menjelaskan yang dimaksud dengan pembiayaan
mudharabah adalah akad kerja sama suatu usaha antara dua pihak, dengan pihak pertama shahibul mal dalam hal ini Bank, menyediakan seluruh modal,
sedangkan pihak kedua mudharib dalam hal ini Masyarakat debitur, bertindak selaku pengelola. Keuntungan dari usaha ini dibagi di antara mereka sesuai
kesepakatan yang ada dalam akad. Dalam skema pembiayaan ini, Bank akan meminjamkan seratus persen
modalnya kepada Masyarakat debitur untuk dikelola dalam suatu proyek atau usaha. Modal tersebut harus dikembalikan apabila sudah tidak diperlukan lagi.
Sebaliknya Masyarakat debitur sebagai pengelola dana mudharib harus dapat memegang amanah atas modal yang diterima. Artinya, ia hanya menggunakan
modal dimaksud untuk keperluan proyek atau usaha yang disepakati serta memenuhi seluruh persyaratan yang ditetapkan oleh bank sebagai pemilik dana
shahibul mal. Keuntungan dari hasil proyekusaha akan dibagi-hasilkan sesuai nisbah rasio yang disepakati. Apabila terjadi kerugian, maka kerugian dimaksud
dapat ditanggung baik oleh bank maupun Masyarakat debitur, tergantung dari prinsip bagi hasil yang disepakati.
Dalam skema ini ada dua prinsip bagi hasil, yaitu revenue sharing dan profitloss sharing. Dalam revenue sharing, jumlah yang dibagi-hasilkan adalah
penghasilan kotor sebelum dikurangi dengan biaya operasional. Sedangkan dalam profitloss sharing, jumlah yang dibagi-hasilkan adalah labarugi bersih setelah
seluruh biaya operasional diperhitungkan. Menurut fatwa Dewan Syariah Nasional MUI DSN-MUI, untuk
kemaslahatan disarankan untuk menggunakan prinsip revenue sharing. Pada
umumnya Lembaga Keuangan Syariah mengikuti fatwa tersebut dengan tujuan untuk menghindari moral hazzard yang mungkin dilakukan oleh Masyarakat
debitur, misalnya dengan cara menaikkan biaya operasional yang tidak perlu. Bagi Masyarakat yang memiliki keahlian, skill dan sebagian modal, jenis
pembiayaan yang tepat adalah pembiayaan musyarakah. Menurut Fatwa DSN- MUI Nomor 08DSN-MUIIV2000, musyarakah adalah pembiayaan kerja sama
antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan risiko akan
ditanggung bersama sesuai kesepakatan. Dalam hal ini Lembaga Keuangan Syariah dan Masyarakat, masing-
masing akan menggabungkan sejumlah modal sesuai porsi yang disepakati. Modal dapat diwujudkan dalam bentuk uang tunai maupun materi yang telah disepakati
nilainya. Kemudian modal itu dikelola oleh Masyarakat debitur untuk mengembangkan usaha atau proyek. Seperti halnya dalam skema mudharabah,
Masyarakat harus juga harus bersikap amanah. Keuntungan dan kerugian yang terjadi dibagikan kepada para pihak sesuai dengan kontribusi modalnya.
Dengan demikian, pilihan apakah akan menggunakan mudharabah atau musyarakah, sangat ditentukan oleh kondisi modal Masyarakat. Lembaga
Keuangan Syariah pada umumnya lebih condong kepada pembiayaan musyarakah, karena risiko usaha ditanggung oleh kedua belah pihak. Sedangkan
untuk mudharabah, Lembaga Keuangan Syariah hanya akan menyalurkannya kepada Masyarakat debitur yang telah terbukti amanah dan profesional di dalam
usahanya. Kemudian, debitur tersebut dalam kurun waktu lama telah memberikan kontribusi yang signifikan kepada bank. Hal ini dilakukan bank dalam upaya
menerapkan prinsip kehati-hatian dalam penyaluran dana masyarakat prudential banking. Dalam menarik dana masyarakat, produk Lembaga Keuangan Syariah
yang menggunakan prinsip bagi hasil adalah tabungan dan deposito. Tabungan merupakan simpanan masyarakat yang penarikannya hanya
dapat dilakukan menurut syarat-syarat tertentu yang telah disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau alat lain yang dipersamakan dengan
itu Sedangkan deposito adalah simpanan berjangka yang penarikannya hanya
dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian Masyarakat penyimpan dengan bank.
Berdasarkan kedua definisi itu, produk dana Lembaga Keuangan Syariah sama dengan yang berlaku di bank konvensional. Bedanya terletak pada
penggunaan prinsip bunga. Lembaga Keuangan Syariah tidak menggunakan instrumen bunga sementara bank konvensional menerapkan bunga.
Prinsip bagi hasil dalam tabungan dan deposito biasanya dikenal dengan mudharabah mutlaqah yang berarti Bank sebagai mudharib bebas menyalurkan
dana dimaksud kepada berbagai bentuk dan jenis pembiayaan. Dalam istilah akuntansi dikenal sebagai investasi tidak terikat ITT, penyalurannya dibatasi
oleh syarat-syarat dari pemilik dana shahibul mal. Contoh dari penyaluran dana ITT adalah pembiayaan channelling dan executing. Sebagaimana prinsip bagi
hasil yang diterapkan pada sisi pembiayaan, yaitu revenue sharing, dalam produk dana pun digunakan prinsip yang sama. Masyarakat penabung dan deposan akan
mendapatkan bagi hasil yang dihitung berdasarkan pendapatan bank kotor, sebelum dikurangi dengan biaya operasional Bank