Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

54

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kejahatan merupakan suatu patogen sosial yang dari hari ke hari semakin meningkat, terutama di tanah air yang tercinta ini. Hal tersebut dapat kita ketahui melalui media massa baik elektronik maupun cetak. Tragisnya tindak kriminal tersebut terjadi bukan hanya di kota-kota besar bahkan di desa-desa terpencil sekali pun kian merajalela, baik dalam bentuk pembunuhan, perampokan, perkosaan, narkotika, dan lain sebagainya. Suatu hal yang lebih memprihatinkan lagi bagi bangsa kita, kejahatan-kejahatan tersebut bukan hanya dilakukan oleh orang-orang dewasa saja, akan tetapi oleh anak-anak di bawah umur bahkan banyak pula dilakukan oleh wanita. Kita tentunya akan bertanya ”apa yang menyebabkan tindak kejahatan dari hari ke hari terus semakin meningkat?” Padahal aparat penegak hukum telah menerapkan pemberian sanksi pidana yang setimpal terhadap pelakunya akan tetapi pelaku masih juga belum jera. Bahkan ada indikasi statistik kejahatan malah meningkat, baik secara kuantitas maupun kualitasnya. 1 Dalam hal ini kita dapat berspekulasi, bahwa mungkin banyak faktor yang dapat mendorong seseorang melakukan kejahatan, di antaranya karena faktor lingkungan, sosial, ekonomi, politik, perfilman, bacaan- bacaan porno dan lain sebagainya. Untuk menanggulangi kejahatan-kejahatan tersebut negara kita mengadakan berbagai usaha baik dalam bentuk penanggulangan maupun pencegahan. Salah satu usaha tersebut adalah dengan menjatuhkan hukumansanksi bagi setiap pelakunya yang tujuannya agar si pelaku menjadi jera. Apabila ia kembali berintegrasi dengan masyarakat, dia tidak akan berbuat kejahatan lagi. 2 Sedangkan mengenai salah satu hukuman yang berlaku di Indonesia adalah hukuman penjara. Sering dikritik bahwa sistem kepenjaraan dianggap tidak berprikemanusiaan dan tidak mengindahkan HAM. Dari sisi kritik ini, sistem tersebut perlu diubah dengan sistem yang lain yaitu diubah dengan sistem pemasyarakatan. Sistem pemasyarakatan yang berlaku dewasa ini, secara konseptual dan historis sangatlah berbeda dengan apa yang berlaku dalam sistem kepenjaraan. Asas yang dianut sistem pemasyarakatan dewasa ini menempatkan tahanan, narapidana, anak negara, dan klien pemasyarakatan sebagai subyek dan dipandang sebagai pribadi dan warga negara biasa, maka dihadapi bukan dengan latar belakang pembalasan tetapi dengan pembinaan dan bimbingan. Perbedaan kedua sistem tersebut memberi implikasi pada perbedaan dalam cara-cara pembinaan dan bimbingan yang dilakukan disebabkan perbedaan tujuan yang ingin dicapai. 3 Tujuan utama dari sistem pemasyarakatan adalah untuk melindungi masyarakat dari segala bentuk kejahatan dan membina narapidana agar tidak kembali melakukan kejahatan. Tetapi apakah memang demikian kenyataannya? Artinya apakah masyarakat sudah terlindungi dari kejahatan? Apakah para narapidana mantan narapidana yang sudah habis menjalani masa hukumannya 1 Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995, Cet. ke-2, h. 9 2 A. Widiada Gunakaya, Sejarah dan Konsepsi Pemasyarakatan, Bandung: CV. Armico, 1988, Cet. ke-1, h. 42 3 Departemen Kehakiman RI, Pola Pembinaan NarapidanaTahanan, Jakarta: Departemen Kehakiman RI, 1990, Cet. ke-1, h. 4 55 kemudian kembali lagi ke masyarakat, memang benar tidak akan melakukan kejahatan lagi? Singkatnya, apakah mereka dapat dijamin untuk tidak menjadi residivis? 4 Perlu ditambahkan juga bahwa Lembaga Pemasyarakatan selanjutnya disebut LP yang dulu disebut penjara sering menerima tuduhan sebagai sekolah sejahatan school of crime. Adanya penilaian seperti itu mengakibatkan lembaga ini terpojok dan sulit untuk memperbaiki citranya. Sebutan sebagai sekolah kejahatan [sekolah tinggi kejahatan], akan semakin nyata terlihat manakala bekas narapidana melakukan kejahatan ulang setelah bebas, serta mereka masih dicurigai kalau kembali ke masyarakat. Hal ini pertanda bahwa masyarakat masih melihat Lembaga Pemasyarakatan LP sebagai pusat latihan untuk para penjahat agar terlatih melakukan kriminal. Melihat keadaan tersebut, apakah kita setuju bahwa LP sebagai sekolah kejahatan? 5 Dalam konteks pemenjaraan, sistem hukuman dalam hukum pidana positif telah mengalami beberapa kali perubahan. Hal ini dilatar belakangi karena kurang berhasilnya sistem hukuman yang diterapkan oleh hukum pidana positif, yang akhirnya dibentuklah sistem baru sebagai perubahan dari sistem kepenjaraan. Sistem baru tersebut adalah sistem pemasyarakatan yang kini masih berlaku di negara Indonesia dengan harapan agar lebih baik dan efektif dari sistem-sistem sebelumnya. Berbeda dengan hukum pidana positif, dalam pidana Islam bahwa masalah hukuman tidak banyak permasalahan, apalagi perubahan-perubahan seperti dalam hukum pidana positif, karena setiap pelaku kejahatan mayoritas sudah ada ketetapannya dalam nash. Misalnya, hukuman bagi pencuri dikenai hukuman potong tangan, bagi pezina dikenai hukuman dera atau rajam, bagi pembunuh dikenai hukuman qisas, dan lain sebagainya. Dalam hukum pidana Islam, hukuman penjara merupakan hukuman alternatif yang didasarkan pada ijtihad hakim, sebagaimana halnya dengan ijtihad Khalifah Umar yang memenjarakan orang-orang yang tidak membayar hutang. 6 Dengan memperhatikan fenomena yang telah diuraikan di atas, baik dalam hukum pidana positif maupun hukum pidana Islam, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dalam sebuah penelitian yang diajukan sebagai skripsi dengan judul “TINDAKAN PREVENTIF AGAR NARAPIDANA TIDAK MENJADI RESIDIVIS Studi Kasus Lembaga Pemasyarakatan Kelasa II A Wanita Tangerang”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah