Pandangan hukum pidana islam dan hukum positif tentang tindak pidana tentang kasus Ahmad Mushaddeq

(1)

PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA:

Kajian Tentang Kasus Ahmad Mushaddeq

OLEH : ALI ROHMAN NIM : 101045122218

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(2)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...iii

DAFTAR ISI ...vi

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Riview Studi Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 16

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Positif... A. 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana... 18

A. 2. Rumusan Tindak Pidana ... 21

A. 3. Unsur-unsur Tindak Pidana... 23

A. 4. Jenis-jenis Tindak Pidana... 26

A. 5. Pengertian Tindak Pidana Penodaan Agama ... 28


(3)

B. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Islam ...

B. 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana ... 37

B. 2. Unsur-unsur Tindak Pidana... 39

B. 3. Jenis-jenis Tindak Pidana ... 42

B. 4. Pengertian Riddah ... 45

B. 5. Macam-macam Bentuk Riddah ... 47

B. 6. Sanksi Pidana bagi Pelaku Riddah ... 50

BAB III : GAMBARAN UMUM TENTANG AHMAD MUSHADDEQ DAN ALIRAN AL-QIYADAH AL-ISLAMIYAH A. Riwayat Hidup Ahmad Mushaddeq ... 56

B. Sejarah Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah... 58

B.1. Penyebaran Paham/Ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah... 58

B.2. Ikrar Kenabian Ahmad Mushaddeq... 64

B.3. Fatwa MUI Tentang Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah ... 67

B.4. Penangkapan dan Pertobatan Ahmad Mushaddeq ... 69

C. Ajaran-ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah ... 75

BAB IV : ANALISIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI (PN) JAKARTA SELATAN A. Deskripsi Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ... 91


(4)

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan ... 113 B. Saran-saran ... 115 DAFTAR PUSTAKA ………....117


(5)

PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA: Kajian Tentang Kasus Ahmad

Mushaddeq

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syari'ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai

Gelar Sarjana Hukum Islam (S.H.I)

Oleh:

ALI ROHMAN NIM : 101045122218

Di Bawah Bimbingan

Dr. Euis Nurlaelawati, MA

NIP. 150 277 992

KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A


(6)

(7)

ﻢﻴﺣﺮﻟا

ﻦﻤﺣﺮﻟا

ﷲا

ﻢﺴﺑ

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat dan petunjuknya yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat beriring salam penulis haturkan dan semoga tercurah kepada Rasulullah, Muhammad SAW.

Dalam menulis skripsi ini, penulis mendapat banyak kesulitan baik menyangkut masalah waktu, pengumpulan bahan-bahan maupun pembiayaan dan sebagainya. Namun berkat kesungguhan hati dan kerja keras serta dorongan dan bantuan dari berbagai pihak, segala kesulitan dan hambatan tersebut dapat dihadapi dengan sebaik-baiknya sehingga tugas skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Penulis dapat menyelesaikan skripsinya atas dukungan beberapa pihak, untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH.,MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

2. Asmawi, M.Ag dan Sri Hidayati,M.Ag, selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Jinayah Siyasah untuk Program Studi Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan bimbingan dan dukungan kepada penulis dalam menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.


(8)

3. Dr. Euis Nurlaelawati, MA., selaku pembimbing dengan kesabaran dan keikhlasannya telah menyempatkan waktu untuk memberikan bimbingan, arahan dan masukan bagi kesempurnaan skripsi ini.

4. Para Dosen dan Guru Besar Fakulatas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan Ilmu Pengetahuannya dan memberikan kepada penulis untuk menimba dan memperkaya ilmu.

5. Kepala Perpustakaan Utama, Perpustakaan Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta para karyawan Perpustakaan yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam menelusuri referensi dalam memberikan pelayanan dan kesempatan penulis untuk menelaah serta memberi pinjaman sumber literatur yang diperlukan.

6. Kepala Administrasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta staf yang telah membantu penulis dalam kelancaran administarasi.

7. Kedua orang tua: ayahanda Syamsuri dan ibunda Kapsah yang tidak pernah putus asa, selalu sabar dan selalu melimpahkan kasih sayangnya serta memberikan banyak dukungan baik moril maupun materil kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Kalian adalah semangat yang tidak pernah pupus dalam apa yang penulis cita-citakan. Mudah – mudahan beliau selalu dalam ridlo, bimbingan, lindungan serta ampunan Allah SWT.

8. Kakanda Ali Fatkhan ( Muzakki Hasan Barera ) dan adinda Ali Ridlo yang selalu memberikan motivasi demi terselesainya skripsi ini.


(9)

10.Dan teman-teman di Pidana Islam angkatan 2001, khususnya Nurhadi yang selalu memotivasi dan telah membantu dalam proses renyelesaian skripsi ini.

Semoga mereka selalu dalam ridlo dan bimbingan Allah S.W.T.

Dengan segala kerendahan hati, penulis menyadari bahwa apa yang dihasilkan ini jauh dari sempurna. Saran dan kritik dari pembaca sangat saya harapkan.

Jakarta, 12 Juni 2009


(10)

(11)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Agama adalah bagian yang fundamental dalam hidup dan kehidupan dan dipercaya sejak ratusan tahun yang lalu oleh masyarakat sebagai bagian pendekatan diri pada Sang Pencipta. Dalam hal keragaman agama dan keberagamaan, secara umum, masyarakat menyadari bahwa hal itu merupakan hak setiap individu untuk memilihnya, penuh kesadaran dan tanpa paksaan. Keberagamaan tidak bisa dipaksakan apalagi dengan segala model ancaman dan tekanan. Inilah sebuah kebebasan yang – menurut sebagian teolog – merupakan anugrah Tuhan terbesar bagi manusia. Yang kadang menjadi persoalan, sejauh manakah makna kebebasan beragama maupun berkeyakinan tersebut? Apakah kebebasan beragama, diartikan sebagai kebebasan seseorang untuk pindah aliran, mendirikan aliran, bahkan berpindah-pindah agama?1 Seperti inilah kalau membicarakan, mendiskusikan dan membahas masalah agama adalah suatu hal yang tidak akan ada habisnya sampai kapanpun.

Apalagi yang bicarakan itu masalah agama Islam yang merupakan agama yang menerima kritik dan tafsir selama di luar masalah-masalah aqidah. Bahkan Islam sering diibaratkan seperti pohon yang mempunyai akar, batang, ranting dan buah. Bagaimana orang memahami pohon tersebut sangat menentukan pandangan

1

Tri Wahyu Hidayati, Apakah Kebebasan Beragama Sama dengan Bebas Pindah Agama, (Salatiga: STAIN Salatiga Press dan JP Books, 2008), Cet. ke-1, Cover Belakang.


(12)

hidup dan kehidupan seseorang dalam berislam. Perbedaan pemahaman di wilayah ranting atau cabang yang disebut furu’iyah relatif dapat ditolerir. Perbedaan yang dapat menimbulkan konflik adalah soal aqidah sebagai pokok pohonnya.

Orang berbeda pandangan terhadap persoalan mendasar karena masing-masing mempunyai pemahaman atau “kebenaran” sendiri-sendiri. Bahkan jika ditelisik lebih dalam ternyata sebagian meyakini bahwa kebenaran mutlak yang sesuai dengan Allah itu tunggal sementara bagi yang lain kebenaran bagi Allah sendiri bersifat relatif. Pro dan kontra adalah hal yang biasa namun perlu dibatasi bahwa kebenaran hakiki adalah dari Allah semata dan hanya satu.2

Pro dan kontra tersebut dapat menyebabkan munculnya aliran-aliran keagamaan yang beragam baik yang dianggap benar maupun sesat. Jika kemunculan satu aliran sesat dirasa cukup mampu menghadirkan kehebohan di kalangan masyarakat, kini Indonesia justru harus menghadapi kemunculan aliran-aliran baru dalam jumlah yang banyak, yang kemudian dianggap menyimpang oleh sebagian besar pemuka agama seperti aliran Salamullah yang dipimpin Lia Eden. Efek yang ditimbulkannya pun lebih dari sekedar kehebohan belaka. Bahkan keresahan merebak di mana-mana dan hal ini memicu munculnya aksi main hakim sendiri dari masyarakat terhadap orang-orang yang dianggap menjadi pengikut aliran-aliran sesat. Salah satunya adalah serbuan massa yang dilakukan

2

Ahmad Mustofa, Perjalanan Menuju Tuhan, Pro dan Kontra tentang Qiyadah Al-Islamiyah, (Yogyakarta: Hanggar Kreator, 2008), Cet. ke-1, h. 11-12.


(13)

gabungan ormas Islam terhadap pusat Al-Qiyadah Al-Islamiyah di kota Padang. Serbuan tersebut dilakukan karena masyarakat menilai bahwa polisi seakan mengabaikannya. Mereka mengatatakan bahwa jika polisi tidak mau memperosesnya dan menangkapnya (pengikut Al-Qiyadah), mereka akan melakukan tindakan sendiri dan hal itu ternyata mereka lakukan.3

Terkait kasus penodaan agama PBNU mencatat, sejak tahun 2001 hingga 2007, sedikitnya ada sekitar 250 aliran agama yang menyimpang berkembang di Indonesia. Dan dari jumlah tersebut, 50 di antaranya tumbuh subur di Jawa Barat. Fenomena kemunculan aliran-aliran “sesat” ini sungguh mengherankan. Bagaimana dalam waktu yang relatif nyaris bersamaan, aliran-aliran agama baru yang menyimpang tadi bermunculan, seperti saling mengikuti satu sama lain?4

Salah satu aliran yang dianggap sesat tersebut adalah aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah yang mengejutkan masyarakat muslim Indonesia menjelang akhir tahun 2007 dengan segala kontroversinya. Pemahamannya terhadap Islam sangat berbeda dengan mainstream yang bukan wilayah furu’iyah, tetapi pokok-pokok ajaran yang sudah baku yang mereka kutak-katik, padahal konsep ajaran Islam yang pokok-pokok itu sudah sempurna dan tidak bisa dikutak-katik lagi.5

Aksi-aksi penentangan muncul di berbagai wilayah tanah air mulai dengan cara yang paling halus hingga kekerasan fisik dan psikis. Aparat ditekan untuk

3

A. Yogaswara dan Mualana Ahmad Jalidu, Aliran Sesat dan Nabi-nabi Palsu, Riwayat Aliran Sesat dan Para Nabi Palsu di Indonesia, (Yogyakarta: Narasi, 2008), Cet. ke-1, h. 8.

4

Ibid.

5


(14)

melakukan tindakan tegas berdasarkan pasal Penodaan atau Penistaan Agama, jika tidak mereka menyatakan akan bertindak dengan cara sendiri. Suatu ancaman yang mengerikan mengingat bahasa massa adalah bahasa tanpa konsep hukum dan keadilan yang jelas.6

Aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah dinilai melenceng dari Islam karena beberapa hal, yaitu:7 Pertama, adanya pengakuan si ‘pendiri’ aliran, bahwa dirinya adalah Nabi dan Rasul; Kedua, tidak mengakui Rasulullah SAW sebagai Nabi dan Rasul terakhir (dalam syahadat mereka, tidak mengikutsertakan nama Rasulullah SAW); Ketiga, tidak perlu menjalankan rukun Islam; dan Keempat,

tidak perlu sholat 5 waktu.

Penilaian sesat terhadap aliran tersebut memang mempunyai dasar. Salah satu dasar yang dijadikan pedoman dalam menganalisis apakah suatu aliran dianggap sesat atau tidak yaitu ketetapan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat yang telah mengeluarkan 10 (sepuluh) kriteria aliran sesat. Apabila ada satu ajaran yang terindikasi punya salah satu dari kesepuluh kriteria itu, bisa dijadikan dasar untuk masuk ke dalam kelompok aliran sesat. Kriteria-kriteria tersebut adalah sebagai berikut:8Pertama, pengingkaran terhadap rukun iman dan rukun Islam. Kedua, keyakinan dan pengikutan terhadap akidah yang tidak sesuai dalil syar`i (Al-Qu’ran dan as-Sunah). Ketiga, keyakinan bahwa wahyu turun setelah

6

Ibid.

7

“ Aliran Al-Qiyadah Jelas Sesat” artikel ini diakses pada 10 Juni 2008 dari http://.tausyiah.blogsome.com.

8


(15)

Al-Qu’ran. Keempat, pengingkaran otentisitas dan atau kebenaran isi Al-Qu’ran

Kelima, penafsiran Al-Qu’ran yang tidak berdasarkan kaidah tafsir. Keenam,

pengingkaran terhadap kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.

Ketujuh, pelecehan dan atau merendahkan para nabi dan rasul. Kedelapan,

pengingkaran terhadap Nabi Muhammad SAW sebagai nabi dan rasul terakhir.

Kesembilan, pengubahan pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan syariah.

Kesepuluh, pengkafiran sesama muslim tanpa dalil syar'i.

Kesepuluh kriteria versi MUI ini sebenarnya bukan hal yang asing lagi, sebab sejak dahulu para ulama sudah berijma' tentang kafirnya orang yang melakukan atau meyakini suatu paham, seperti yang terdapat dalan kesepuluh prinsip ini.

Karena aliran Al-Qiyadah dinilai menyimpang dari agama Islam dan syari’a, pendiri aliran tersebut yaitu Ahmad Mushaddeq dianggap melanggar Pasal 156a KUHP,yang berbunyi sebagai berikut : “Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barangsiapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”


(16)

Penodaan agama yang dilakukan oleh Ahmad Mushaddeq, pada akhirnya telah membuat dia dijerat oleh pasal 156a KUHP, diajukan ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan penodaan agama Islam.

Dengan memperhatikan fenomena yang telah diuraikan di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih mendalam dalam sebuah penelitian yang diajukan sebagai skripsi dengan judul “PANDANGAN HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM POSITIF TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA: Kajian Tentang Kasus Ahmad Mushaddeq”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, dan untuk memudahkan penyusunan skripsi ini, maka penulis memberikan pembatasan dan perumusan masalah sebagai berikut:

1. Pembatasan Masalah

a. Mendeskripsikan secara umum tindak pidana penodaan agama dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif.

b. Menjelaskan gambaran umum tentang Ahmad Mushaddeq dan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah.

c. Memaparkan hasil penelitian mengenai putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam Kasus Penodaan Agama Islam Oleh Ahmad Mushaddeq.


(17)

2. Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang di atas, pokok masalah yang akan diteliti adalah bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam oleh Ahmad Mushaddeq. Berdasarkan batasan masalah di atas, untuk menghindari ketidakjelasan arah pembahasan, maka dibuatlah rumusan masalah sebagai berikut:

a. Bagaimana aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah muncul di Indonesia dan apakah aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah merupakan sekedar ekspresi agama saja atau hanya sekedar eksperimen Ahmad Mushaddeq saja?

b. Bagaimana pandangan hukum positif Indonesia dan hukum pidana Islam terhadap kasus penodaan agama dan apa sanksinya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan umum yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui apa dan bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif mengenai penodaan agama Islam oleh aliran Qiyadah Al-Islamiyah. Sedangkan secara rincinya sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan khusus dari penelitian ini :

a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan tindak pidana penodaan agama dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif.


(18)

b. Mengetahui siapa dan bagaimana Ahmad Mushaddeq mendirikan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah dan apa motifnya.

c. Mengetahui bagaimana putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus tindak pidana penodaan agama Islam oleh Ahmad Mushaddeq dan apa sanksinya.

2. Manfaat Penelitian

Adapun beberapa manfaat dalam penelitian ini, di antaranya:

1. Bagi penulis, penulisan ini akan berguna untuk memperluas dan menambah wawasan tentang bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam oleh Ahmad Mushaddeq.

2. Bagi kalangan civitas akademika, penelitian ini diharapkan akan menambah khazanah tentang bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam oleh Ahmad Mushaddeq.

3. Bagi masyarakat umum, penulisan ini dapat menjadi informasi untuk memperluas wawasan tentang bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam oleh Ahmad Mushaddeq dan cara menanganinya.


(19)

Penelitian atau kajian terkait isu penodaam agama sudah relatif banyak dilakukan. Beberapa penelitian melihatnya dalam perspektif hukum positif, dan beberapa yang lain dalam tinjauan hukum Islam.

Salah satu kajian yang menilik masalah penodaan agama ini dilakukan oleh Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, dalam buku mereka, Delik Agama

dalam Hukum Pidana di Indonesia. Menurut mereka, suatu perbuatan atau

tindakan dapat disebut sebagai kejahatan, jika perbuatan itu bertentangan dengan asas hukum positif yang hidup dalam rasa hukum kalangan rakyat adalah suatu delik, terlepas dari apakah asas-asas tersebut tercantum di dalam undang-undang pidana ataupun tidak. Sedangkan penciptaan “Delik Agama” dapat dibenarkan berdasarkan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa.9

Mereka mengungkapkan bahwa penyusunan tindak pidana agama dapat didasarkan atas suatu alternatif atau penggabungan antara beberapa teori, tergantung dari kepentingan hukum yang hendak dilindungi. Mereka mengutip apa yang dijelaskan oleh Tim Peneliti LPHN (sekarang BPHN) dalam buku,

Pengaruh agama terhadap hukum pidana, yang menyebutkan tiga macam teori

yang dapat dijadikan dasar pembentukan delik-delik tersebut:10

a. Friedensschutz-theori, yang memandang ketertiban umum sebagai

kepentingan hukum yang harus dilindungi.

b. Geffulsschutz-theori, yang hendak melindungi rasa keagamaan.

9

Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Angkasa, 1993), Cet. ke-10, h. 56.

10


(20)

c. Religionsschutz-theori, yang melihat agama sebagai kepentingan hukum yang harus dilindungi.

Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin menilai bahwa perbuatan baru dapat dikategorikan sebagai delik agama, apabila pemidanaannya pada agama dan kehidupan agama (Tuhan, Nabi, Kitab Suci, Lembaga-lembaga Agama, dan pemuka agama), dengan kata lain bahwa dalam melakukannya itu secara nyata memang ada opzet untuk menghina perasaan orang beragama.11 Lebih jauh mereka mengungkapkan bahwa pernyataan-pernyataan tersebut, baru dapat dipidanakan, apabila dilakukan di muka orang-orang yang beragama dan dapat mengganggu ketentraman mereka yang beragama itu dan karenanya sukar dapat membahayakan atau melanggar ketertiban umum.

Maka yang dimaksud penodaan agama dalam pasal 156a adalah tindak pidana agama dengan maksud, bukan melindungi agama dari penodaan. Namun demikian secara esensial perbuatan-perbuatan yang ditujukan terhadap Nabi, Kitab Suci dan lain-lainnya dipandang ditujukan pula terhadap agama, seperti dimaksudkan oleh pasal 156a KUHP.12

Tulisan lain terkait masalah penodaan agama dilakukan oleh Abdullah Ubaid Matraji dalam artikelnya berjudul, “Pasal Penodaan Agama, Biang Masalah”. Menurut Matradji, pasal ini ghalib disebut pasal penodaan agama dan dijuluki pasal karet. Identik dengan karet karena bisa modot dan molor ke

11

Ibid., h. 59.

12


(21)

mana sesuai kepentingan si penafsir, guna menjerat kelompok yang berbeda tafsir. Telah berulang kali, pasal ini memborgol kebebasan dan menelan korban atas nama agama. Sebelum kasus penodaan agama yang dilakukan Ahmad Mushaddeq, pada tahun 2005 pimpinan Yayasan Kanker dan Narkoba Cahaya Alam (YKNCA) Ardhi Husein diganjar 4,5 tahun penjara, dengan tuduhan melanggar pasal ini. Yayasan tersebut dianggap menyebarkan paham sesat melalui bukunya berjudul Menembus Gelap Menuju Terang 2. Peristiwa itu mengakibatkan gedung yayasan yang terletak di Desa Kerampilan, Kecamatan Besuki, Probolinggo tersebut diserbu, dirusak massa, dan akhirnya ditutup secara paksa. Kasus serupa juga pernah menimpa Arsewendo Atmowiloto, pemimpin redaksi tabloid Monitor. Tanggal 15 Oktober 1990, Monitor menurunkan hasil angket mengenai tokoh yang paling dikagumi pembaca. Hasil angket itu menunjukkan Nabi Muhammad menempati urutan kesebelas, satu tingkat di bawah Arswendo Atmowiloto yang menempati peringkat kesepuluh. Karena publikasi tersebut, Arswendo dianggap melakukan penodaan agama. Akhirnya ia dijerat pasal 156a KUHP, dan mendekam di penjara selama lima tahun.13

Senada dengan Martadji, penulis lain, Ahmad Suaedy dan Rumadi, menilai bahwa pasal 156a KUHP dalam praktiknya memang menjadi semacam peluru yang mengancam, daripada melindungi warga negara. Ancaman itu terutama bila

13

Abdullah Ubaid Matraji, “Pasal Penodaan Agama, Biang Masalah”, artikel ini diakses pada 5 September 2008 dari http: //Abdullah-ubaid.blogspot.com.


(22)

digunakan oleh kekuatan yang anti demokrasi dan anti pluralisme, sehingga orang dengan mudah menuduh orang lain telah melakukan penodaan agama. Dalam praktiknya pasal ini seperti “pasal karet” (hatzaai articelen) yang bisa ditarik-ulur, mulur-mungkret untuk menjerat siapa saja yang dianggap menodai agama. Pasal ini bisa digunakan untuk menjerat penulis komik, wartawan, pelaku ritual yang berbeda dengan mainstream, aliran sempalan, dan sebagainya. Karena kelenturannya itu, “pasal karet” bisa direntangkan hampir tanpa batas. Pada dasarnya, pasal ini tidak hanya bisa dipakai untuk menjerat aliran-aliran seperti Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Lia Eden dan Ahmadiyah, misalnya, melainkan juga bisa dikenakan kepada aliran-aliran atau organisasi agama yang suka membuat kekerasan dan onar di dalam masyarakat yang mengatasnamakan agama tertentu. Sayangnya, dalam praktiknya, pasal 156a ini tidak pernah diterapkan baik oleh polisi maupun hakim untuk melindungi korban. Dalam kasus Lia “Eden” Aminudin, misalnya, yang justru ditangkap dan diadili ketika ada tekanan massa. Lia sebagai korban justru dikorbankan dan dijerat dengan pasal ini karena ada tekanan dari FPI yang dipicu oleh Fatwa MUI yang menganggapnya sesat.14

Kajian lain terkait masalah ini ditulis oleh sebuah tim yang mengungkapkan bahwa sebenarnya, pasal 156a KUHP tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS) Belanda. Melainkan dari Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

14

Ahmad Suaedy dan Rumadi, “Roy Menjadi Tersangka Penodaan Agama”, artikel ini diakses pada 5 September 2008 dari www.boediekoest.co.cc.


(23)

Pasal 4 langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP.

Pasal 1 Undang-Undang No. 1/PNPS/1965 tegas menyebutkan larangan mengusahakan dukungan umum dan untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama. Ketentuan pasal ini selengkapnya berbunyi: "Setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran dari agama itu". Dan patut dicatat, pada bagian penjelasan disebutkan bahwa agama-agama yang dianut di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Konghucu.15

Namun demikian, dari sekian tulisan-tulisan ini, belum ada kajian yang secara spesifik meneliti tentang kasus al-qiyadah yang sangat menghebohkan. Dengan demikian untuk mengisi kekosongan kajian dalam hal terkait pendoaan agama, saya tertarik untuk menelitinya dalam sebuah skripsi ini.

E. Metode Penelitian

Karena studi ini penelitian lapangan (field research), maka metode yang digunakan adalah metode yang sesuai dengan penelitian lapangan. Untuk

15

Tim redaksi, “UU No. 1/Pnps/1965, Jerat Hukum untuk Aliran-Aliran Sesat”, artikel ini diakses pada 5 September 2008 dari www.hukumonline.com.


(24)

mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini, di bawah ini akan dijelaskan metode tersebut:

E. 1. Jenis Data

Adapun jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif yakni deskripsi berupa kata-kata, ungkapan, norma atau aturan-aturan dari fenomena yang diteliti. Penulis berupaya mengupas dan mencermati sesuatu secara alamiah dan kualitatif mengenai bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam yang dilakukan oleh Ahmad Mushaddeq. Dalam penggalian data ini, penulis terjun langsung ke PN dan Kejari Jakarta Selatan yang bertujuan untuk memperoleh data yang valid dan akurat.

Penelitian ini juga termasuk penelitian kepustakaan (library research). Penelitian kepustakaan dilakukan dengan menggunakan metode pengkupasan dari buku-buku yang mengacu dan berhubungan dengan pembahasan skripsi ini. E. 2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Sumber data primer, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari wawancara atau interview secara mendalam dengan Ahmad Mushaddeq, Majlis hakim dan JPU yang menanganinya.

b. Sumber data skunder, yakni bahan-bahan tambahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan primer, yaitu data-data yang diperoleh dari


(25)

Al-Qur’an, As-Sunnah, buku-buku umum, buku-buku Islam, dan data-data tertulis lainnya yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini.

E. 3. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pengkajian bahan dokumen, KUHP, KUHAP, Penetapan Presiden No. 1 Tahun 1965, keputusan Bakor Pakem, Fatwa MUI, dan bahan-bahan yang didapat dari sumber data primer dan sekunder.

b. Wawancara atau Interview, dilakukan untuk melengkapi data-data yang obyektif mengenai prakteknya di lapangan, maka penulis mengadakan wawancara dengan Ahmad Mushaddeq, Majlis hakim dan JPU yang menanganinya, dan wawancara dengan beberapa pengikutnya untuk dijadikan responden sebagai modal dasar untuk memperoleh data-data yang kongkrit dan obyektif.

E. 4. Teknik Analisis Data

Karena jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kualitatif, maka pengolahan datanya melalui beberapa tahapan. Pertama,

dilakukan transkripsi hasil wawancara. Kedua, dilakukan pengeditan data hasil wawancara dan bahan-bahan tertulis. Ketiga, dilakukan analisis terhadap data sekaligus pemaknaan atas data. Selain itu, sifat analisis data dalam penelitian ini juga bersifat deskriptif analitis yang berusaha menggambarkan data dan informasi di lapangan berdasarkan fakta yang diperoleh secara mendalam dan apa adanya.


(26)

E. 5. Teknik Penulisan

Teknik Penulisan dalam penulisan skripsi ini disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini maka buku penentuan yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah buku Pedoman Penulisan Skripsi yang disusun oleh Tim Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan ke-1, 2007.

F. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi hasil penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bab dalam sistematika sebagai berikut:

Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, dan terakhir sistematika penulisan laporan.

Bab kedua mendeskripsikan tentang bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif terhadap tindak pidana penodaan agama Islam yang dilakukan oleh Ahmad Mushaddeq dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif. Di dalamnya terdapat pembahasan istilah dan dan pengertian tindak pidana, rumusan tindak pidana, unsur-unsur tindak pidana, jenis-jenis tindak pidana, pengertian tindak pidana penodaan agama dan terakhir ditutup dengan unsur-unsur tindak pidana penodaan agama.

Bab ketiga merupakan gambaran umum tentang Ahmad Mushaddeq dan aliran Al-Qiyadah Al-Islamiyah. Di dalamnya terdapat uraian siapa dan


(27)

bagaimana riwayat hidup Ahmad Mushaddeq, sejarah berdirinya Aliran Qiyadah Islamiyah, dan terakhir apa saja ajaran-ajaran aliran Qiyadah Al-Islamiyah.

Bab keempat merupakan hasil penelitian di lapangan bangaimana penanganan Kasus Tindak Pidana Penodaan Agama yang dilakukan oleh Ahmad Mushaddeq. Di dalamnya terdapat pembahasan deskripsi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam kasus penodaan agama yang dilakukan Ahmad Mushaddeq dan analisis hukum pidana Islam terhadap putusan tersebut.

Bab kelima merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan terhadap keseluruhan isi skripsi hasil penelitian dan diakhiri dengan beberapa saran dalam rangka perbaikan skripsi ini.


(28)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENODAAN AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM

A. Tindak Pidana Penodaan Agama dalam Perspektif Hukum Positif A. 1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana berasal dari kata Strafbaarfeit (Bahasa Belanda), yang terdiri dari tiga kata, yaitu kata straf yang artinya pidana, baar yang artinya dapat atau boleh, dan feit yang artinya perbuatan. Kata Strafbaarfeit sering diartikan berbeda-beda oleh para pakar hukum pidana, sehingga belum ada univikasi yang pasti mengenai definisi dari kata tersebut. Strafbaarfeit sering diartikan sebagai berikut:1

Tindak Pidana, istilah tindak pidana dapat dikatakan istilah yang resmi digunakan dalam hampir seluruh peraturan perundang-undangan Indonesia. Ahli hukum yang menggunakan istilah ini adalah Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, SH. Perbuatan Pidana, istilah ini adalah istilah yang digunakan ahli hukum Prof. Mr. Moeljatno, SH. menurutnya istilah ini lebih tepat daripada istilah-istilah yang lain. Istilah lain adalah Peristiwa Pidana, istilah ini digunakan oleh beberapa ahli hukum, antara lain Mr. R. Tresna dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pidana”, H.J.Van Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia”, Prof. A. Zainal Abidin dalam bukunya “Hukum Pidana”. Pembentuk

1

Adami Chazawi, Pelajaran Pengantar Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), Cet. ke-1, h. 70.


(29)

Undang-Undang juga pernah menggunakan istilah peristiwa pidana yaitu dalam Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) Tahun 1950. Istilah Pelanggaran Pidana, istilah ini digunakan pembentuk Undang-Undang dalam Undang-Undang No. 12/Drt/1951 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak. Dan terakhir adalah istilah Perbuatan yang Boleh Dipidana, istilah ini digunakan oleh Mr. Karni dalam bukunya “Ringkasan Tentang Hukum Pidana”, selain itu H.J.Van Schravendijk dalam bukunya “Buku Pelajaran tentang Hukum Pidana Indonesia” juga menggunakan istilah perbuatan yang boleh dihukum.

Pembentuk undang-undang tidak memberikan sesuatu penjelasan mengenai apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan istilah Strafbaarfeit, maka timbullah dalam doktrin berbagai pendapat tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan istilah tersebut. Seperti halnya untuk memberikan definisi terhadap istilah hukum, maka tidaklah mudah untuk memberikan perumusan atau definisi terhadap istilah Strafbaarfeit.

Masalah tindak pidana dalam ilmu hukum pidana merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting. Telah banyak diciptakan oleh para pakar hukum pidana perumusan atau definisi tentang istilah tersebut, namun tidak ada kesatuan pendapat di antara mereka.

Berikut ini beberapa definisi atau pengertian dari istilah Strafbaarfeit, yaitu :2 Menurut Simons, tindak pidana adalah kelakuan (handoling) yang

2


(30)

diancam dengan pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab; J. Baumman, berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan dengan kesalahan; sedangkan menurut Karni, tindak pidana adalah perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakukan dengan salah dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan patut dipertanggungjawabkan; demikian juga menurut Wiryono Prodjodikoro, tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Bahkan Moeljatno, berpendapat bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang melanggar larangan tersebut; dan terakhir menurut Pompe, tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.

Dengan demikian istilah Strafbaarfeit secara garis besar dapat disamakan dengan istilah “Tindak Pidana” dengan mengeyampingkan berbagai pendapat para pakar hukum pidana dan dengan pertimbangan hampir semua peraturan perundang-undangan Indonesia menggunakan istilah tersebut.


(31)

A. 2. Rumusan Tindak Pidana

Sumber Hukum Pidana ada yang tertulis dan ada yang tidak tertulis (hukum pidana adat). Agar orang dapat mengetahui bagaimana hukumnya tentang sesuatu persoalan, maka aturan hukum itu harus dirumuskan. Demikian pula keadaannya dalam hukum pidana. Perumusan aturan pidana yang tertulis terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan dalam peraturan perundang-undangan lainnya.

Syarat pertama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana ialah adanya perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan tindak pidana dalam undang-undang. Ini merupakan konsekuensi dari asas legalitas. Rumusan tindak pidana ini penting artinya sebagai prinsip kepastian. Undang-undang pidana sifatnya harus pasti. Di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang atau apa yang diperintahkan.

Rumusan dalam undang-undang menggambarkan perbuatan yang dimaksud secara abstrak/skematis. Di situ disebutkan syarat-syarat/unsur-unsur apa yang harus ada pada suatu perbuatan agar dapat dipidana. Rumusan dalam undang-undang ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, sedangkan perbuatan yang kongkrit adalah berlangsung di suatu tempat dan pada suatu waktu serta dapat ditangkap dengan panca indera.

Apabila semua unsur dalam rumusan itu terdapat di dalam perbuatan tersebut, berarti perbuatan tersebut telah memenuhi atau mencocoki rumusan tindak pidana yang terdapat di dalam undang-undang yang bersangkutan. Dengan


(32)

demikian peraturan undang-undang itu dapat diterapkan kepada perbuatan tersebut.3

Untuk perumusan norma dalam peraturan pidana itu ada 3 (tiga) cara, yaitu:4

1. Menguraikan atau menyebutkan satu per satu unsur-unsur perbuatan, misalnya:

a. Pasal 154-157 KUHP tentang haatzai delicten (menabur kebencian); b. Pasal 281 KUHP tentang pelanggaran kesusilaan;

c. Pasal 305 KUHP tentang meninggalkan anak di bawah umur 7 tahun. Cara perumusan seperti ini yang paling banyak digunakan.

2. Hanya disebutkan kualifikasi dari tindak pidana tanpa menguraikan unsur-unsurnya, misalnya:5

a. Pasal 184 KUHP tentang duel (perkelahian tanding); b. Pasal 297 KUHP tentang perdagangan wanita; c. Pasal 351 KUHP tentang penganiayaan.

Oleh karena untuk tindak pidana-tindak pidana itu tidak ada penyebutan secara tegas unsur-unsurnya, maka untuk mengetahui apa yang dimaksud perlu ada penafsiran yang didasarkan atas sejarah terbentuknya pasal tersebut. Cara penyebutan seperti ini kurang dapat dibenarkan karena ia memberi kemungkinan untuk penafsiran yang berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum.

3

Sudarto, Hukum Pidana I, (Semarang: Yayasan Sudarto dan Fak. Hokum UNDIP, 1990),

Cet. ke-1, h. 52.

4

Ibid., h. 52.

5


(33)

3. Penggabungan cara ke-1 dan ke-2, yaitu di samping menyebutkan unsur-unsurnya (perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan) juga menyebutkan kwalifikasi dari tindak pidana tersebut, misalnya :6

a. Pasal 124 KUHP tentang membantu musuh; b. Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan; c. Pasal 362 KUHP tentang pencurian; d. Pasal 378 tentang penipuan.

Dalam hubungannya dengan hal ini dapat ditambahkan bahwa para hakim dalam diktum putusannya seringkali hanya menyebutkan unsur-unsur dari tindak pidana yang telah terbukti dilakukan oleh terdakwa saja.

A. 3. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Penjabaran rumusan pidana ke dalam unsur-unsurnya, maka yang mula-mula dapat dijumpai adalah disebutkannya suatu tindakan manusia dan dengan tindakan itu seseorang telah melakukan suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Menurut ilmu hukum pidana sesuatu tindakan itu dapat merupakan hal melakukan sesuatu (een doen) atau dapat merupakan hal tidak melakukan sesuatu (een nalaten) yang juga berarti mengalpakan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang. Setiap tindak pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu pada umumnya dapat dijabarkan ke dalam unsur-unsurnya.

Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut :7

6


(34)

1. Unsur Subyektif

Unsur subyektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat pada keadaan batin orangnya. Unsur subyektif dari tindak pidana terdiri dari :8 a. Kesengajaan atau kelalaian (dolus atau culpa);

b. Maksud dari suatu percobaan atau poging; c. Macam-macam maksud atau oogmerk; d. Merencanakan terlebih dahulu

e. Perasaan takut 2. Unsur Obyektif

Unsur obyektif adalah semua unsur yang berada di luar keadaan batin manusia atau si pembuat, yaitu semua unsur mengenai pembuatannya dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat pada perbuatan dan obyek pidana. Unsur obyektif terdiri dari :

a. Sifat melawan hukum; b. Kualitas dari pelaku;

c. Kausalitas, yatu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan suatu kenyataan sebagai akibat.

Adapun unsur-unsur yang sangat penting untuk diklasifikasikan ke dalam tindak pidana sebagai berikut :9

1. Perbuatan

Unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan atau tindakan seseorang. Perbuatan orang ini adalah titik penghubung dan dasar untuk pemberian pidana.

7

P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung : CV. Armico, 1984), Cet. ke-1, h. 184.

8

Ibid.

9


(35)

2. Hubungan sebab akibat

Hubungan sebab akibat atau kausalitas merupakan unsur yang ada dalam perbuatan atau dapat diklasifikasikan suatu tindak pidana. Karena untuk menentukan akibat yang diatur dalam hukum pidana harus merupakan akibat yang dilakukan sesorang.

3. Sifat Melawan Hukum10

Unsur selanjutnya dari tindak pidana adalah unsur sifat melawan hukum. Unsur ini merupakan penilaian obyektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Perbuatan dikatakan melawan hukum apabila kita berbuat itu masuk rumusan tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang. Mengenai sifat melawan hukum ini, menurut Sudarto dibedakan menjadi dua, yaitu :11

a. Sifat melawan hukum yang formil, yaitu apabila perbuatan diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam undang-undang, sedang sifat melawan hukumnya dapat hapus berdasarkan ketentuan undang-undang. Jadi sifat melawan hukum sama dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum tertulis). b. Sifat melawan hukum materiil, yaitu perbuatan disebut melawan

hukum tidak hanya yang terdapat dalam undang-undang (hukum tertulis) saja, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang

10

Ibid., h. 76.

11


(36)

tidak tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan juga dapat dihapus berdasarkan ketentuan tidak tertulis tersebut.

4. Kesalahan

Untuk dipidananya seseorang tidak cukup hanya dipenuhinya syarat bahwa telah adanya perbuatan yang melawan hukum, tetapi juga harus ada unsur kesalahan. Hal ini berkaitan dengan asas Geen straf zonder schuld

yang artinya tidak dipidana jika tidak ada kesalahan atau istilah lainnya

Keine Straf ohne Schuld. Roeslan Saleh menyatakan bahwa asas tindak

pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan dasar dari dipidananya si pembuat. Dapat pula dikatakan bahwa orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun ia melakukan perbuatan pidana tidak selalu ia dipidana apabila ia mempunyai kesalahan.12

A. 4. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Secara umum pembagian jenis tindak pidana dapat dikemukakan sebagai berikut :13

1. Kejahatan dan Pelanggaran

a. Kejahatan rechtdelikten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak ditentukan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana, telah

12

Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Bandung: PT Aksara

Baru, 1987), Cet. ke-2, h. 76.

13


(37)

dirasakan sebagai onrecht, sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.

b. Pelanggaran adalah “wetsdelikten”, yaitu perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada undang-undang yang menentukan demikian.

2. Delik Formil dan Materiil (delik dengan perumusan secara formil dan delik dengan perumusan secara materiil).14

a. Delik formil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan pada perbuatan yang dilarang.

b. Delik materiil adalah delik yang perumusannya dititik beratkan pada akibat yang tidak diketahui (dilarang).

3. Delik commisssionis, delik ommisionis dan delik commisionis perpmmisionis commissa.15

a. Delik commisionis, yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan-larangan di dalam undang-undang;

b. Delik ommisonis, yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap perintah (keharusan-keharusan) menurut undang-undang.

c. Delik commisionis per ommisionis commissa, yaitu delik yang berupa pelanggaran terhadap larangan dalam undang-undang (delik commissionis), tetapi dilakukannya dengan cara tidak berbuat.

4. Delik dolus dan delik culpa.16

a. Delik dolus, yaitu delik yang memuat unsur-unsur kesengajaan.

b. Deli culpa, yaitu delik yang memuat kealpan sebagai salah satu unsurnya. 5. Delik tunggal dan delik berganda17

a. Delik tunggal, yaitu delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali, atau delik yang pelakunya sudah dapat dihukum dengan satu kali saja melakukan tindak pidana yang dilarang undang-undang.

14

Sudarto, op.cit., h. 57.

15

A. Fuad Usfa, Moh. Najib dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, (Malang: UMM, 2004),

Cet. ke-1, 44.

16

Sudarto, op.cit., h. 58.

17


(38)

b. Delik berganda, yaitu delik yang baru merupakan delik, apabila dilakukan beberapa kali perbuatan, atau delik-delik yang pelakunya hanya dapat dihukum menurut sesuatu ketentuan pidana tertentu apabila pelaku tersebut telah berulang kali melakukan tindakan (yang sama) yang dilarang oleh undang-undang.

6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus.18

a. Delik yang berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan terlarang itu berlangsung terus.

b. Delik yang tidak berlangsung terus adalah delik yang mempunyai ciri bahwa keadaan terlarang itu tidak berlangsung terus.

7. Delik Aduan dan delik biasa19

a. Delik aduan adalah delik yang hanya dapat dituntut karena adanya pengaduan dari pihak yang dirugikan.

b. Delik biasa adalah delik yang tanpa adanya pengaduan dapat dituntut dengan sendirinya.

8. Delik sederhana dan delik yang ada pemberatannya.20

a. Delik sederhana adalah delik-delik dalam bentuknya yang pokok seperti dirumuskan dalam Undang-Undang.

b. Delik dengan pemberatan adalah delik-delk dalam bentuk yang pokok, yang karena didalamnya terdapat keadaan-keadaan yang memberatkan maka hukuman yang diancamkan menjadi diperberat.

A. 5. Pengertian Tindak Pidana Penodaan Agama

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Agama adalah sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (Dewa dan sebagainya) dengan ajaran kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.21 Sedangkan Muhammad Abdullah Wazaar sebagaimana dikutip oleh Juhaya S. Praja, agama

18

Ibid.

19

A. Fuad Usfa, Moh. Najib dan Tongat, op.cit. h. 45.

20

Ibid.

21

Team Penyusun Kamus (ed.) (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa dan Budaya, Balai Pustaka), Kamus Besar Bahasa Iindonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), Cet. ke-4, h. 5.


(39)

adalah suatu perundang-undangan Tuhan yang memberi petunjuk kepada kebenaran dalam keyakinan-keyakinan, dan memberi petunjuk dalam tingkah laku dan pergaulan-pergaulan.22

Menurut pengertian dalam Pasal 156a KUHP yang dimaksud dengan tindak pidana penodaan agama adalah barangsiapa dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Dalam Al-Qur’an Surat Al-Kafirun ayat 7 menyebutkan “Lakum dinukum

wa liya diin” yaitu untuk kalian agama kalian, dan untuku agamaku. Dan juga

dalam Surat Al-Hujurat ayat 11 menyebutkan “Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum memperolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang) diolok-olok itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok)”. Maka dari kedua ayat tersebut terkandung pengertian, bahwa antar pemeluk agama yang berbeda-beda satu sama lain harus saling hormat menghormati dan saling menghargai. Maka apabila ada suatu pemeluk agama lain yang dengan sengaja dimuka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, maka hal tersebut merupakan suatu tindak pidana terhadap penodaan agama.

22

Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia,


(40)

Tindak pidana agama di dalam hukum negara kita, bila yang dimaksud adalah penodaan terhadap agama, kemudian kita tinjau dari segi hukum Islam, terutama tinjauan dari tujuan hukum atau dengan kata lain Spirit of law, maka merupakan suatu kepentingan primer yang harus dijadikan kepentingan hukum yang harus dilindungi. Dan dalam spirit of law dari ajaran Islam kita melihat bahwa agama tidak dapat tegak tanpa terpeliharanya jiwa, harta, akal, keturunan dan kehormatan. Semuanya dijelaskan berdasarkan sumber-sumber hukum yang jelas (nashiyyah), yang kesemuanya itu merupakan kepentingan-kepentingan utama yang diistilahkan dengan “dharuriy”. Oleh sebab itu “delik agama” dalam pengertian Islam lebih luas daripada pengertian “delik agama” dalam hukum positif.23

A. 6. Unsur-unsur Tindak Pidana Penodaan Agama

Tindak pidana dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, diatur dalam pasal 156a KUHP yang rumusannya sebagai berikut :

Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya lima tahun barangsiapa dengan sengaja di depan umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang ada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

23


(41)

Menurut pasal 156a KUHP unsur-unsur tindak pidana penodaan agama adalah sebagai berikut :24

a. Barangsiapa; b. Di muka umum;

c. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan;

d. Bersifat permusuhan dan penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia

Dengan demikian unsur-unsur yang terkandung di dalam Pasal 156a KUHP adalah sebagai berikut :25

1. Unsur Subjektif a. Barangsiapa

Menurut Sudarto, bahwa unsur pertama dari tindak pidana adalah perbuatan orang dan pada dasarnya yang melakukan tidak pidana adalah manusia. Rumusan tindak pidana dalam undang-undang lazim dimulai dengan kata-kata “Barangsiapa…., kata “barangsiapa” tidak diartikan lain lebih daripada orang.26

Yang dimaksud “barangsiapa” oleh pembuat Undang-Undang adalah orang sebagai subjek hukum yang dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana yang dilakukan.

b. Dengan Sengaja

24

Ibid., h. 92.

25

Sudarto, op.cit., h. 50.

26


(42)

Unsur kedua dari kesalahan dengan sengaja dalam arti seluas-luasnya adalah hubungan batin antara si pembuat terhadap perbuatan yang dicelakan kepada si pembuat (pertanggung jawaban pidana).

Hubungan batin ini bisa berupa sengaja atau alpa. Apa yang diartikan dengan sengaja, KUHP tidak memberikan definisi. Pentunjuk untuk dapat mengetahui arti kesengajaan dapat diambil dari M.v.T (Memorie van Toelichting), yang mengartikan kesengajaan (opzet) sebagai menghendaki dan mengetahui (willan en wettens). Jadi dapat diartikan bahwa sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang dilakukan. Orang yang melakukan perbuatan dengan sengaja menghendaki perbuatan itu dan disamping itu ia mengetahui atau menyadari tentang apa yang dilakukan itu.27 Dalam hal sesesorang melakukan sesuatu dengan sengaja dapat dibedakan 3 (tiga) corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan atau bentuk dari kesengajaan itu. Corak-corak kesengajaan adalah sebagai berikut :28

1) Kesengajaan sebagai maksud

Untuk mencapai suatu tujuan yang dekat (Dolus directus). Corak kesengajaan ini merupakan bentuk kesengajaan yang biasa dan sederhana. Perbuatan si pembuat bertujuan untuk menimbulkan akibat

27

Sudarto, Ibid., h. 19.

28


(43)

yang dilarang. Kalau akibat ini tidak akan ada, maka ia tidak akan berbuat demikian.

2) Kesengajaan dengan sadar kepastian

Dalam hal ini mempunyai 2 (dua) akibat, yaitu :29

a. Akibat yang memang dituju si pembuat (merupakan tindak pidana tersendiri atau tidak);

b. Akibat yang tidak diinginkan tetapi merupakan suatu keharusan untuk mencapai tujuan dalam nomor 1 di atas.

3) Kesengajaan dengan sadar kemungkinan (Dolus Eventualis atau Voorwaardelijk opzet)

Dalam hal ini pada waktu seseorang pelaku seseorang pelaku melakukan tindakan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, ia mungkin mempunyai kesadaran tentang kemungkinan timbulnya suatu akibat lain daripada akibat yang timbulnya memang ia kehendaki.

Apabila adanya kesadaran tentang kemungkinan timbulnya akibat lain itu tidak membuat dirinya membatalkan niatnya dan kemudian ternyata bahwa akibat semacam itu benar-benar terjadi, maka akibat terhadap seperti itu si pelaku dikatakan telah mempunyai suatu kesengajaan dengan sadar kemungkinan. Dengan kata lain, pada waktu si pelaku melakukan perbuatan untuk menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang, ia telah menyadari kemungkinan akan

29


(44)

timbulnya suatu akibat yang lain daripada akibat yang memang ia kehendaki.30

Unsur subyektif dengan sengaja dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP harus diartikan bukan semata-mata sebagai kesengajaan sebagai maksud saja, namun diartikan pula sebagai kesengajaan dengan sadar kepastian dan sebagai kesengajaan dengan sadar kemungkinan, karena unsur “dengan sengaja” itu, oleh pembentuk Undang-Undang telah ditempatkan didepan unsur-unsur yang lain dari tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP. Oleh karena itu dalam sidang pengadilan yang memeriksa perkara tersebut, pelaku harus dapat dibuktikan :

a. Bahwa pelaku telah menghendaki mengemukakan perasaaan atau melakukan perbuatan;

b. Bahwa pelaku perasaan bermusuhan, penyalahgunaan atau penodaan yang telah ia lakukan ditujukan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.

Jika kehedak atau salah satu pengetahuan pelaku sebagaimana yang dimaksudkan diatas ternyata tidak dapat dibuktikan, hakim harus memberikan putusan bebas bagi pelaku.

Mengapa harus memberikan putusan bebas dan bukan putusan bebas dari segala tuntutan hukum bagi pelaku? Jawabannya adalah karena unsur dengan sengaja atau opzet oleh pembentuk undang-undang telah dinyatakan secara

30


(45)

tegas sebagai salah satu unsur tindak pidana yang diatur dalam Pasal 156a KUHP.31

2. Unsur-Unsur Objektif a. Di depan umum

Pembatasan di depan umum berdasarkan Arrest tanggal 9 Juni 1941 yang dikemukakan oleh W.A.M Cremers dalam bukunya “Wet Boek van

Strafrech” cetakan 1954 hal. 169 adalah sebagai berikut: Suatu

penghinaan dilakukan di muka umum, jika hal itu terjadi di suatu tempat terbuka untuk dikunjungi umum dan semua orang dapat mendengarnya.32 Lain halnya dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lamintang bahwa dengan dipakainya kata-kata “di dengan umum” dalam rumusan tindak pidana yang diatur di dalam Pasal 156a KUHP tidak berarti bahwa perasaan yang dikeluarkan pelaku atau perbuatan yang dilakukan pelaku itu harus terjadi di tempat-tempat umum, melainkan cukup jika perasaan yang dikeluarkan pelaku itu dapat didengar oleh publik/masyarakat umum atau perbuatan yang dilakukan oleh pelaku itu dapat dilihat oleh publik.33 b. Mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan

31

P.A.F. Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Terhadap Kepentingan Hukum

Negara, (Bandung: CV. Armico, 1986), h. 464.

32

Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syaihabudin, op.cit., h. 71.

33


(46)

Hal ini berarti bahwa perilaku yang terlarang dalam Pasal 156a KUHP itu dapat dilakukan oleh pelaku baik dengan lisan maupun dengan tindakan.34 c. Yang bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu

agama yang ada di Indonesia.

Yang dimaksud dengan agama di dalam Pasal 156a KUHP menurut UU No. 1 (Pnps) Tahun 1965 adalah salah satu Agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.35

Tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai perasaan atau perbuatan bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia, Undang-undang ternyata tidak memberikan penjelasan dan agaknya pembentuk undang-undang telah menyerahkan kepada para hakim untuk memberikan penafsiran dengan bebas tentang perasaan atau perbuatan mana yang dapat dipandang sebagai bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.36

Menurut pendapat Juhaya dan Syihabudin bahwa kalimat “penodaan terhadap suatu agama” ditafsirkan sebagai penodaaan langsung terhadap agama baik lisan ataupun tulisan, terlepas apakah hal itu akan membahayakan ketertiban umum atau tidak. 37

34

Ibid., h. 465.

35

Juhaya S. Pradja dan Ahmad Syihabudin, op.cit., h. 69.

36

Lamintang, Delik-delik, op.cit., h. 465.

37


(47)

B. Tindak Pidana Penodaan Agama (Riddah) dalam Perspektif Hukum Islam B. 1. Pengertian Tindak Pidana

Secara etimologi kata

ْﻪ

َﺎ

َﻨ

ِﺟ

bentuk masdar dari kata jana (

َﻨَﺟ

)

pada bentuk madhi yang artinya perbuatan dosa atau perbuatan jahat atau lazimnya disebut tindak pidana. Pelaku kejahatan itu sendiri disebut dengan kata jaani yang artinya pelaku kejahatan.38 Abdul Qadir Audah mendefinisikan jinayah atau tindak pidana sebagai berikut :

ﺎ ْﻟا

ﻢْ اﺔ ﻟﺔ

ﺎﻤﻟ

ْﻴ ْ

ءْﺮﻤﻟْا

ْﻦ

ﺴ ْآا

ﺎﺣ ﻄْ او

ﻢْ ا

ْ ﻟ

مﺮ

ﺎ ْﺮ

ءاﻮ

و

ْ ﻟْا

ْ

ْوا

لﺎ

ْوا

ﺮْﻴ

ﻚﻟذ

39

”Jinayah menurut bahasa merupakan suatu nama bagi suatu perbuatan jelek seseorang. Adapun menurut istilah adalah nama bagi suatu perbuatan yang diharamkan oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jwa, harta, benda, maupun selain jiwa dan harta benda.”

Kemudian pengertian lain dari jinayah atau tindak pidana adalah berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan orang-orang mukallaf.40

Adapun menurut istilah syara’, sebagian fuqaha mendefinisikan jinayah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang menurut syara’. Meskipun demikian, pada umumnya, fuquha menggunakan istilah tersebut hanya untuk perbuatan-perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan, pembunuhan,

38

Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,

(Yogyakarta: PT. Multi Karya Grafika, 1998), Cet. ke-4, h. 696.

39

Abdul Qadir Audah, At-Tasyri’ Al-Jina’i Al-Islami, (Beirut: Darul Fikr Al-Maktab, 1992), Cet. ke-11, Jilid 2, h. 4.

40

Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,


(48)

dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqaha yang membatasi istilah jinayah pada perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishas saja. Istilah lain yang sepadan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan-larangan syara’ yang diancam dengan hukuman had atau ta’zir.41 Sayyid Sabiq memberikan definisi jinayat sebagai berikut :42

Yang dimaksud dengan jinayat menurut istilah syara’ adalah perbuatan yang diharamkan dan yang diharamkan itu adalah setiap perbuatan yang diancam dan dicegah oleh syara’ karena perbuatan tersebut dapat mendatangkan kemudharatan atau kerusakan pada agama, jiwa, kehormatan, dan harta”

Di samping istilah jinayah dalam hukum pidana Islam juga terdapat istilah jarimah, yang pengartiannya tidak dapat dipisahkan dari makna jinayah. Pengertian jarimah itu sendiri adalah perbuatan buruk, jelek, atau dosa. Jadi secara harfiah sama halnya dengan jinayah. Kata jarimah biasa dipakai untuk penyebutan bentuk atau jenis, sifat perbuatan dosa tertentu saja. Misalnya, pembunuhan, pencurian, perkosaan. Semua itu dapat disebut dengan istilah jarimah yakni jarimah pembunuhan, jarimah pencurian, dan sebagainya, yang dalam istilah hukum positifnya adalah tindak pidana. Sedangkan istilah jinayah digunakan untuk penyebutan kejahatan atau perbuatan jahat secara umum. Menurut Abdul Qadir Audah jarimah adalah :43

ﺮْﺰْ

ْوا

ﺪ ﺑ

ﺎﻬْ

ﻰﻟﺎ

ﷲا

ﺮ ز

ﺔﻴ ْﺮ

تارْﻮﻈْ

ﻢﺋاﺮ ْﻟا

41

Ahmad Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), (Jakarta:

PT. Raja Grafindo Persada, 1996), Cet. ke-1, h. 117.

42

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Penerjemah M. Nabhan Husaen, dari judul asli Fiqh

As-Sunnah,, (Bandung: PT. Darul Ma’arif, 2002), Cet. ke-20, Jilid 9, h. 168.

43


(49)

"Jarimah adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara' yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta'zir.

Kedua istilah tersebut (jinayah dan jarimah) digunakan para fuqaha (para pakar fikih) dalam pengertian yang sama yakni sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah yang apabila dilanggar diancam dengan hukuman yang telah ditentukan bentuk hukumnannya.44

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan secara etimologis, akan tetapi mempunya kesamaan arti, yang ditunjukan bagi perbuatan yang berkonotasi negatif atau dosa, perbedaannya terletak pada pemakaian dalam arah pembicaraan yakni kalau jinayah untuk menyebutkan kejahatan secara umum sedangkan jarimah untuk menyebutkan tindak pidana tertentu, misalnya jarimah pencurian, jarimah pembunuhan, dan lain-lain. Jadi dalam hukum pidana Islam istilah tindak pidana sering diistilahkan dengan kata jarimah sedangkan mengenai hukum pidananya lazim disebut dengan fiqh jinayah.

B. 2. Unsur-Unsur Jarimah/Tindak Pidana

Perbuatan dianggap atau dikategorikan sebagai jarimah atau tindak pidana dalam syari’at Islam, perbuatan tersebut harus memiliki beberapa persyaratan atau beberapa unsur yaitu :45

a. Unsur Syar’i/Formil

44

Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1993), Cet. ke-5, h. 2.

45


(50)

Yang dimaksud dengan unsur syar’i adalah adanya ketentuan syara’ atau nash yang menyatakan bahwa perbuatan yang dilakukan merupakan perbuatan yang oleh hukum dinyatakan sebagai sesuatu yang dapat dihukum atau adanya nash yang mengancam hukuman terhadap perbuatan yang dimaksud. Ketentuan tersebut harus datang (sudah ada) sebelum perbuatan di lakukan dan bukan sebaliknya. Seandainya aturan tersebut datang setelah perbuatan terjadi, ketentuan tersebut tidak dapat diterapkan. Dalam hal ini berlakulah kaidah-kaidah berikut :46

ﺔﻤْﺮ

ﺔﺑْﻮ

و

ا

”Tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman tanpa adanya nash”

ﻢْﻜﺣ

لﺎ ْ

ء ﻟْا

ْ

ﻟادْورو

”Tidak ada hukuman bagi perbuata orang-orang yang berakal sebelum adanya nash”

b. Unsur Maddi/Materiel

Yang dimaksud dengan unsur Maddi adalah adanya perilaku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan ataupun tidak berbuat atau adanya perbuatan yang bersifat melawan hukum. Dalam hukum positif, perilaku tersebut disebut sebagai unsur objektif, yaitu perilaku yang bersifat melawan hukum.

c. Unsur Adabi/Moril

Unsur ini juga disebut juga dengan al-mas’uliyah al-jinayah atau pertanggungjawaban pidana. Maksudnya adalah pembuat jarimah atau

46


(51)

pembuat tindak pidana haruslah orang yang dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Oleh karena itu pembuat jarimah haruslah orang yang dapat memahami hukum, mengerti isi beban, dan sanggup menerima beban tersebut. Orang yang diasumsikan yang memiliki kriteria tersebut adalah orang-orang mukallaf sebab hanya merekalah yang terkena khitab (panggilan) pembebanan/taklif.

Menurut Abdul Qadir Audah, unsur-unsur yang telah disebutkan di atas merupakan unsur-unsur yang bersifat umum atau dasar. Artinya unsur-unsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap macam jarimah. Jadi pada jarimah apapun ketiga unsur tersebut harus dipenuhi.47

Di samping ada unsur yang bersifat umum atau dasar ada pula unsur yang bersifat khusus. Unsur-unsur khusus dari setiap jarimah berbeda-beda dengan berbedanya sifat jarimah suatu tindak pidana dapat memiliki unsur khusus yang tidak ada pada tindak pidanya lainnya.48 Sebagai contoh, memindahkan (mengambil) harta benda orang lain secara diam-diam hanya ada pada jarimah pencurian atau menghilangkan nyawa orang lain hanya dalam kasus pembunuhan.49

Jadi, hukum pidana Islam dalam menentukan suatu tindak pidana ada tiga unsur yang harus dipenuhi yaitu :50

47

Ibid., h. 117.

48

Ibid., h. 126.

49

Ahmad Hanafi, op.cit., h. 6.

50


(52)

1. Ada nash yang melarang perbuatan dan mengancam dengan hukuman terhadapnya. Unsur ini biasa disebut dalam hukum positif dengan istilah unsur formil (rukun syar’i).

2. Melakukan perbuatan yang diancam dengan pidana, baik dengan melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan. Unsur ini biasa disebut dengan unsur materiel (rukun maddi).

3. Pelaku tindak pidana itu sudah mukallaf yang dapat bertanggung jawab atas tindak pidananya itu. Unsur ini biasa disebut dengan unsur moril (rukun abadi).

B. 3. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Dalam hukum pidana Islam, secara umum jenis-jenis tindak pidana adalah sebagai berikut :51

1. Dilihat dari segi berat-ringannya hukuman, jarimah (tindak pidana) dibagi menjadi tiga, yaitu hudud, qisas-diyat dan ta’zir.52

a. Jarimah hudud, yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman had. Hukuman had adalah hukuman yang telah ditentukan macam dan jumlahnya dan menjadi hak Allah SWT. Dengan demikian, hukuman tersebut tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi. Hak Allah artinya hukuman tersebut tidak bisa dihapuskan baik oleh perseorangan (korban) ataupun oleh masyarakat (pemerintah). Jarimah hudud ini ada

51

Ahmad Hanafi, op.cit., h. 6-7.

52


(53)

tujuh macam, yaitu : jarimah zina, jarimah qadzat, jarimah minum khamr, jarimah pencurian, jarimah hirabah (pembegalan), jarimah murtad dan jarimah pemberontakan.

b. Jarimah qisas dan diyat yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman qishas atau diyat. Hukuman qisas dan diyat adalah hukuman yang telah ditentukan batasnya dan tidak mempunyai batas terendah atau batas tertinggi, tetapi menjadi hak manusia. Hak manusia artinya si pelaku dapat dimaafkan di korban, dan apabila dimaafkan, maka hukuman tersebut menjadi hapus. Jarimah qisas dan diyat ada lima macam, yaitu : pembunuhan yang disengaja; pembunuhan mirip/semi sengaja; pembunuhan karena kesalahan; kejahatan pada selain jiwa secara disengaja (penganiayaan disengaja); dan kejahatan pada selain jiwa karena kesalahan (penganiayaan tidak sengaja).

c. Jarimah ta’zir yaitu jarimah yang dihukum dengan hukuman ta’zir. Hukuman ta’zir adalah hukuman yang tidak ditentukan batasnya hanya menyebutkan sekumpulan hukuman dari yang seringan-ringannya sampai yang seberat-beratnya dan bertujuan memberikan pelajaran. Tindak pidana yang diancam dengan hukumannya ta’zir seperti perbuatan ribba, menggelapkan titipan, memaki orang melakukan suap dan lain sebagainya.


(54)

2. Dilihat dari segi niat pelakunya, jarimah dibagi dua, yaitu : jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja.53

a. Jarimah sengaja yaitu si pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya, padahal ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang.

b. Jarimah semi sengaja yaitu si pelaku tidak sengaja mengerjakan perbuatan yang dilarang, tetapi perbuatan tersebut terjadi sebagai akibat kesalahannya.

3. Dilihat dari segi cara mengerjakannya, jarimah dibagi menjadi jarimah positif (delicta commissionis) dan jarimah negatif (delicta ommissionis).54

a. Jarimah Positif (jarimah ijabiyah) yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang seperti berbuat zina, mencuri dan lain sebagainya.

b. Jarimah Negatif (jarimah salabiyah) yaitu tidak mengerjakan suatu perbuatan yang diperintahkan, seperti tidak mengeluarkan zakat.

4. Dilihat dari segi orang yang terkena jarimah (korbannya), jarimah dibagi menjadi jarimah perseorangan dan jarimah masyarakat.55

a. Jarimah perseorangan adalah suatu jarimah dimana hukuman dijatuhkan untuk melindungi kepentingan perseorangan, meskipun sebenarnya apa yang meninggung perorangan juga berarti menyinggung masyarakat.

53

Ibid., h. 13.

54

Ahmad Hanafi, Ibid., h. 14.

55


(55)

b. Jarimah masyarakat adalah suatu jarimah dimana hukuman dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai perseorangan atau mengenai ketentraman dan keamanan masyarakat. 5. Dilihat dari segi tabiatnya yang khusus, jarimah dibagi menjadi jarimah biasa

dan jarimah politik.56

Pembagian ini didasarkan pada kemaslahatan keamanan dan ketertiban masyarakat. Oleh karena itu tidak setiap jarimah yang dilakukan untuk tujuan-tujuan politik dapat disebut jarimah politik, meskipun terkadang ada jarimah biasa yang dilakukan dalam suasana politik tertentu bisa digolongkan pada jarimah politik. Sebenarnya corak keduanya tidak berbeda hanya berbeda pada motifnya saja.

C. 4. Pengertian Riddah

Riddah berasal dari perkataan bahasa Arab dari kata asal

در

دﺮ

اًدر

(Radda Yaruddu-Raddan) yang berarti kembali. Istilah murtad dari perkataan

yang sama dalam bahasa Arab. Dalam penggunaan biasa, dalam bahasa tersebut berarti orang yang kembali kepada sesuatu.57 Seperti firman Allah :

….

Artinya:”... Dan janganlah kamu kembali kebelakang (karena takut kepad musuh) maka kamu menjadi orang yang rugi. (Al-Maidah 5: 21).

56

Ibid., h. 18.

57


(56)

Dalam mazhab Syafi’i murtad berarti kembali atau berbalik. apabila dilihat dari segi etimologis dalam Kamus Dewan (bahasa Malaysia) mempunyai beberapa pengertian yang sama. Murtad ialah orang yang keluar dari agama islam sama ada melalui perbuatan, perkataan, atau niat : orang yang semaam ini adalah orang yang kufur dan durhaka mau menyamai Tuhan (Allah) dengan yang lain. Manakala perkataan riddah dalam bahasa Arab perbuatan keluar dari agama Islam sama melalui perkataan, perbuatan dan niat.58

Dengan demikian murtad adalah orang yang keluar dari agama Islam bisa dikatakan sebagai orang kafir atau orang syirik kepada Allah SWT. Kafir berarti orang yang tidak percaya kepada Allah dan rasulnya. Perbuatan menyekutukan Allah dengan yang lain adalah seperti beribadah kepada selain Allah dan menyembah patung atau yang lainnya.

Sedangkan riddah secara terminologis adalah menolak atau keluar dari Islam dan menjadi kafir. Riddah bisa terjadi karena ucapan, perbuatan dan keyaikinan (itikad). Riddah adalah kembalinya orang yang telah beragama Islam yang berakal dan dewasa kepada kekafiran kerana kehendaknya sendiri tanpa ada paksaan dari orang lain, baik yang kembali itu lelaki ataupun perempuan. Bila seseorang menolak prisip-prinsip dasar kepercayaan (iman) seperti keyakinan adanya Allah serta Nabi Muhammad SAW sebagai utusan-Nya. Sebagaimana tercakup dalam kalimah syahadat. Mengingkari hari kebangkitan, ganjaran atau

58

Ibnu Mas’ud Zainal Abidin, Kamus Bahasa Malaysia, (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan


(57)

hukuman dari Allah termasuk perbuatan murtad. Menolak ibadah-ibadah khusus seperti sholat, zakat, puasa dan haji juga termasuk tindakan murtad. Demikian juga bila seseorang meniru tindakan orang yang bukan muslim dalam beribadah dan semacamnya yang dianggap sebagai perbuatan murtad. Dalam pendangan Imam Syafi’i riddah (murtad) adalah orang yang keluar dari agama Islam. Berbalik menjadi kafir. Orang-orang yang tidak mengakui salah satu dari hukum Islam dihukumi sebagai murtad atau kafir. Terhapuslah segala amalnya di dunia dan akhirat apabila ia mati dalam keadaan murtad. Murtad tergolong kafir yang paling keji dari segala kekafiran.59 Sebagaimana firman Allah :

Artinya: ” ... Dan barang siapa diantara kamu yang murtad dari agamannya lalu mati, sedang ia dalam keadaan kafir maka telah habis amalnya di dunia dan di akhirat. Dan mereka itulah yang menjadi penghuni neraka dan mereka kekal didalamnya”. (Al-Baqoroh 2 : 217)

Dengan demikian riddah adalah keluar dari agama Islam dengan niat kafir baik murtad dengan melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan, dengan perkataan atau ucapan dan terakhir dengan keyakinan.

B. 5. Macam-macam Murtad

59

Taqiyuddin Abi Bakar bin Muhammad, Kifayatul Akhyar fi Halli Ghoyatil Ikhtishor,


(58)

Orang Islam tidak bisa dianggap keluar dari agamanya yang berarti telah murtad kecuali jika ia melapangkan dadanya menjadi tenang dan tentram terhadap kekufuran, sehingga ia melakukan perbuatan itu. Contoh-contoh yang menunjukkan kekafiran:60

1. Mengingkari ajaran agama yang telah ditentukan secara pasti. Seperti mengingkari keesaan Allah, mengingkari ciptaan Allah terhadap alam, mengingkari adanya Malaikat, mengingkari kenabian Muhammad SAW, mengingkari al-Qur’an sebagai wahyu Allah.

2. Menghalalkan apa yang telah disepakati keharamannya, seperti menghalalkan minum khamr, zina, ribba dan memakan daging babi.

3. Mengharamkan apa yang telah disepakati kehalalannya, seperti mengharamkan makan nasi.

4. Mencaci maki Nabi SAW. Demikian juga mencaci nabi-nabi Allah sebelumnya.

5. Mencaci maki agama Islam, mencela al-Qur’an dan Sunnah Nabi, dan berpaling dari hukum yang ada dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

6. Mengaku bahwa wahyu Allah telah turun kepadanya. Ini tentun saja bagi selain Nabi Muhammad SAW.

7. Mencampakkan mushaf al-Qur’an atau kitab-kitab hadits ke tempat-tempat yang kotor dan menjanjikan sebagai penghinaan dan menganggap enteng isinya.

8. Meremehkan nama-nama Allah; meremehkan perintah-perintah-Nya, larangan-larangan-Nya, janji-janji-Nya.

Secara umum murtad terbagi dalam tiga macam, yaitu :61 a. Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan

Murtad dengan perbuatan seperti melakukan perbuatan yang diharamkan oleh Islam dan menolak pengharaman itu dengan sengaja atau dengan tujuan menghina Islam atau merendahkan secara takabur, seperti sujud kepada berhala atau mencampakan Al-Qur’an atau kitab-kitab hadits ke tempat yang

60

Sayyid Sabiq, op.cit., h. 173-174.

61


(59)

kotor atau menghina isi kandungan atau merendahkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya. Termasuk juga dalam kategori ini ialah melakukan sesuatu yang diharamkan oleh islam dengan menghalalkannya seperti berzina, minum arak, membunuh manusia dan sebagainya dengan menolak pengharamannya.

Murtad dengan meninggalkan perbuatan ialah seperti meninggalkan apa-apa yang diwajibkan oleh Islam seperti shalat, puasa, zakat dan haji dengan menafikan kewajiban atau menghalalkan meninggalkannya.

b. Murtad dengan Perkataan

Murtad dengan perkataan seperti mengeluarkan kata-kata yang dapat menunjukan atau membawa kepada kekufuran, seperti mengingkari ketuhanan dengan mengatakan Allah SWT tidak ada atau mengingkari keesaan Allah SWT dengan mengatakan ada sekutu-sekutu bagi Allah SWT, mengaku menjadi Nabi, membenarkan orang yang menjadi Nabi, mengingkari para nabi dan malaikat, mengingkari al-Qur’an dan sebagiannya, mengingkari hari kiamat, mengingkari dan menafikan Islam.

c. Murtad dengan I’tikad

Murtad dengan i’tikad bisa berlaku apabila seseorang itu mempunyai i’tikad atau kepercayaan yang bertentangan dengan Islam, seperti meyakini alam ini tidak ada penciptanya, atau beri’tikad bahwa Al-Qur’an bukan dari Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW adalah pendusta atau Ali sebagai


(60)

Tuhan atau rasul-Nya, dan i’tikad lain yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan Sunnah.

Perlu diingat bahwa dengan adanya i’tikad semata-mata di dalam hati seseorang itu belum bisa dianggap sebagai murtad selama belum ada kata-kata atau perbuatan yang mencerminkan i’tikad itu. Oleh karena itu, seseorang yang seperti itu tidak bisa dikenakan sanksi apapun, bahkan masih dianggap sebagai seorang muslim pada lahirnya dan dalam segala urusan keduniaannya, adapun hukumannya diserahkan kepada Allah sepenuhnya.

B. 6. Sanksi Bagi Pelaku Riddah

Riddah sering terjadi karena ditimbulkan oleh suatu keragu-raguan dalam jiwa sehingga mendesak iman untuk keluar. Bila demikian, maka haruslah orang yang berbuat riddah itu diberi kesempatan untuk menghilangkan keraguannya itu. Ia harus diberi dalil-dalil dan bukti-bukti yang dapat mengembalikan iman ke dalam hatinya, sehingga yakin. Dengan demikian, maka menganjurkan kepadanya untuk bertaubat dan kembali lagi ke dalam Islam adalah hal yang wajib diupayakan.62

Menurut sebagian fuqaha, kesempatan yang diberikan kepada orang murtad untuk menghilangkan keraguannya dan kembali lagi ke dalam Islam adalah selama tiga hari. Sebagian fuqaha yang lain mengatakan bahwa orang murtad tersebut hanya diberi penjelasan dan pandangan secara berulang-ulang

62


(61)

sehingga dapat diperkirakan dengan mantap, apakah ia tetap murtad atau kembali lagi ke dalam Islam. Bila ia tetap murtad, maka ia dijatuhi hukuman had.63

Kelompok fuqaha yang pertama berpegang pada dalil tindakan yang dilakukan Umar, ketika suatu saat datang seorang lalaki dari Syam kepadanya.

Umar bertanya : ” Apa kabar di daerah yang jauh disana?” Jawab lelaki tersebut : ”Ada kabar seorang lelaki bertindak murtad setelah memeluk Islam.” Tanya Umar: ”Apa yang kau lakukan padanya?.” Kata Umar :”Mengapa tidak kau penjarakan saja di rumah selama tiga hari, kau beri dia roti setiap hari dan kau anjurkan bertaubat, barangkali ia akan mau kembali lagi ke dalam Islam? Ya, Allah, sungguh aku tidak menyaksikan tindakan lelaki ini. Aku tidak menyuruhnya, dan aku tidak setuju terhadap tindakan ini! Ya Allah, sungguh aku tidak ikut campur terhadap darah yang dialirkannya!”.64

Sedangan dalil kelompok fuqaha yang kedua adalah tindakan yang dilakukan Muaz, bahwa pada suatu ketika ia datang ke Yaman dan bertemu dengan Abu Musa Al-Asy’ari. Di sampingnya ada seorang lelaki yang terikat. Muaz bertanya :”Ada apa ini?”. Jawab Abu Musa: ”Lelaki ini asalnya Yahudi. Lalu ia masuk Islam lalu kembali lagi ke agama asalnya yaitu Yahudi”. Lelaki tersebut telah dianjurkan bertaubat selama 20 malam atau hampir 20 malam sebelum Muaz datang. Kata Muaz: ”Aku tak mau duduk sehingga ia dibunuh.

63

Sayyid Sabiq, op.cit., h. 179.

64


(62)

Bunuh itulah putusan Rasullah SAW.!” Muaz mengulangi ucapannya itu tiga kali, maka dibunuhlah lelaki yang terikat itu.65

Sedangkan mengenai sanksi atau hukuman bagi pelaku riddah adalah diancam dengan 3 macam hukuman : (a) hukuman pokok (b) hukuman pengganti dan (c) hukuman tambahan. Hukuman pokok jarimah riddah adalah hukman mati. Hal ini didasarkan pada hadist Nabi SAW.66

ﻦْﺑا

دْﻮ ْﺴ

نا

لْﻮ ر

ﷲا

ﷲا

ْﻴ

ﻢ و

لﺎ

:

مد

ئﺮْ ا

ﻢ ْﺴ

ﺪﻬْ

ْنا

ﻟا

ﷲا ا

او

لْﻮ ر

ﷲا

يﺪْﺣﺎﺑ ا

ث

:

ﻴ ﻟا

اﺰﻟا

,

ْ ﻟاو

ْ ﻟﺎﺑ

,

كرﺎ ﻟاو

ْﺪﻟ

.

”Dari Ibnu Masud : Telah bersabda Rasulullah SAW : Seorang muslim yang menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan yang sebenarnya melainkan Allah; dan bahwasannya Nabi Muhammad pesuruh-Nya, ia tidak halal dibunuh kecuali karena salah satu dari tiga sebab; pertama orang perempuan yang sudah kawin berzina, kedua orang yang membunuh orang, dan ketiga orang yang keluar dari

agamannya (agama Islam) (HR. Bukhari)

ْﻦ

لﺪﺑ

ْد

ْﻮ ْ

"Bararangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah ia”. (HR.Bukhari dari Ibn Abbas)

Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman pengganti ini berupa ta'zir seperti: hukuman jilid, atau denda, atau penjara, dan lain sebagainya.67

Syekh Mahmud Saltut menyatakan bahwasanya orang murtad itu sanksinya diserahkan kepada Allah, tidak ada sanksi duniawi atasnya. Alasannya

65

Ibid.

66

Abi Husain Ibn Hajaj Qusairi An-Naisaburi, Mukhtashor Shahih Muslim, (Beirut: Maktab Al-Alami, (2000), Cet. Ke-1, h. 271.

67


(1)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Pada bagian terakhir dan sebagai bab penutup dalam penulisan skripsi hasil penelitian ini, penulis dapat menarik beberapa kesimpulan dan memberikan beberapa saran.

Kesimpulan ini merupakan jawaban dari pembatasan dan perumusan masalah yang telah dikemukakan pada bab I. Adapun beberapa kesimpulan tersebut adalah :

1. Masalah penodaan agama merupakan tindak pidana yang mencemarkan, menistakan suatu agama tertentu yang diakui di Indonesia, dalam hal ini agama Islam. Tindak pidana ini dijerat oleh pasal 156a KUHP, di mana pelakunya dapat diancam dengan hukuman penjara maksimal lima tahun. Sedangkan dalam hukum Islam tindak pidana tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana/jarimah riddah (murtad) apabila pelakunya adalah seorang muslim lalu dia mengajarkan suatu ajaran/paham yang sangat bertentangan dengan aqidah Islam secara umum seperti si pelaku mengaku sebagai rasul baru karena ia sudah dianggap keluar dari Islam (murtad), dan sanksi bagi pelakunya adalah dihukum mati, atau apabila si pelaku hanya menistakan agama Islam saja maka si pelaku dikenai hukuman ta’zir yang sepenuhnya diserahkan kepada amir/pemerintah.


(2)

2. Aliran al-Qiyadah al-Islamiyah dianggap sebagai aliran sesat dan menyesatkan, pendiri dan pengikutnya dianggap murtad. Hal ini karena lahir murni hasil pemikiran pendirinya yaitu Ahmad Mushaddeq melalui kajian dan pemahamannya terhadap al-Qur’an secara otodidak tanpa melalui kajian-kajian kitab-kitab tafsir yang mu’tabar sehingga pemahamannya ini ”dianggap sesat” oleh mayoritas umat Islam di Indonesia karena bertentangan dengan ajaran Islam pada umumnya bahkan pendirinya mengaku sebagai ”nabi” baru untuk menggantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW pada umat Islam pada umumnya meyakini bahwa Nabi Muhammad SAW itu nabi terakhir dan tidak akan ada nabi lagi sampai hari Kiamat.

3. Tindak pidana penodaan agama merupakan tindak pidana yang diatur dalam pasal 156a KUHP. Padahal pasal 156a tersebut tidak berasal dari Wetboek van Strafrecht (WvS/KUHP) Belanda, melainkan dari UU No. 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama. Pasal 4 undang-undang tersebut langsung memerintahkan agar ketentuan di atas dimasukkan ke dalam KUHP. Menurut pasal ini, agama perlu dilindungi dari kemungkinan-kemungkinan perbuatan orang yang bisa merendahkan dan menistakan simbol-simbol agama seperti Tuhan, Nabi, Kitab Suci dan sebagainya. Meski demikian, karena agama “tidak bisa bicara” maka sebenarnya pasal ini juga ditujukan untuk melindungi penganut agama. Sedangkan agama yang yang diakui oleh pemerintah ada enam yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Khong Hu Cu Confusius].


(3)

4. Karena adanya aliran tersebut, Ahmad Mushaddeq dianggap telah menyalahi aturan dan didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah melakukan tindak pidana penodaan agama Islam sehingga dia dijerat oleh pasal 156a KUHP. Di mana dalam amar putusan PN Jakarta Selatan tersebut terdakwa secara sah dan meyakinkan Ahmad Mushaddeq telah melakukan tindak pidana penodaan agama, karena semua unsur yang terdapat pada pasal 156a KUHP yang didakwakan oleh JPU terbukti secara sah dan meyakinkan, karenanya terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 4 (empat) tahun.

B. Saran

Berkenaan dengan permasalahan upaya penanggulangan penyalahgunaan narkoba di wilayah Kelurahan Sawah Baru ini, penulis perlu menyampaikan beberapa saran yaitu sebagai berikut:

1. Ditujukan kepada Departemen Agama dan MUI agar lebih memperhatikan dan lebih peka lagi terhadap perkembangan keagamaan di Indonesia, khususnya perkembangan aliran-aliran “sesat” yang lahir dari agama Islam. Karena dua lembaga itulah yang diberi kewenangan oleh pemerintah dalam mengawasi dan memutuskan “sesat” atau tidaknya suatu aliran yang berkembang di Indonesia.

2. Ditujukan kepada pembuat peraturan perundang-undangan baik di tingkat nasional (DPR-RI) dalam bentuk undang-undang dan lain sebagainya, di tingkat Provinsi (DPRD Provinsi) dalam bentuk peraturan daerah, maupun di


(4)

tingkat Kabupaten/Kota (DPRD Kab/Kota) dalam bentuk peraturan daerah, agar dalam membuat suatu peraturan perundang-undangan lebih jelas dan mudah dipahami, jangan sampai membuat suatu peraturan yang multi tafsir dan dapat ditafsirkan dengan seenaknya oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang pada akhirnya peraturan tersebut menjadi tidak konsisten bahkan dapat mulur seperti karet dan dapat kaku seperti besi sehingga terjadinya ketidakpastian hokum, yang pada akhirnya masyarakat tidak percaya lagi terhadap penegakan hukum di negeri ini.

3. Ditujukan kepada seluruh umat Islam Indonesia agar tidak mudah terpancing dan terpengaruh dengan ajakan dan rayuan orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk mengikuti pengajian yang “remang-remang” dengan dalih kajian ajaran Islam yang otentik, ternyata dikemudian hari ajaran-ajaran yang diajarkan pengajian tersebut “divonis” sesat oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Selain itu, masyarakat juga diharapkan ikut berperan aktif dalam mengawasi perkembangan keagamaan di lingkungannya msaing-masing, kalau ada aliran keagamaan yang “mencurigakan” agar segera melaporkannya ke pemerintah setempat.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Adji, Oemar Seno, Hukum (Acara) Pidana dalam Prospeksi, Jakarta: Erlangga, 1981, Cet. ke-3.

Al-Ansory, Imam Hawary, Keutamaan Enam Program Ibadah Di Masa Sirron, Bogor: PB. Al-Qiyadah Al-Islamiyah, 2007, Cet. ke-1.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996.

Audah, Abdul Qadir, At-Tasry Al-Jina’i Al-Islamy, Bairut: Dar Al-Fikr, t.th., Juz. I. Hamzah, Andi, Hukum Acara pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, 2000. ---, Kamus Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1980.

---, KUHP dan KUHAP, Jakarta, Rineka Cipta, 2000.

Hanafi, Ahmad, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1995. Hidayati, Tri Wahyu, Apakah Kebebasan Sama dengan Bebas Pindah Agama,

Salatiga: STAIN Salatiga Press dan JP Books, 2008, Cet. ke-1.

Kanter, E.Y. dan S.R. Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta: Storia Grafika, 2002.

Koharuddin, Nasrul, Ahmad Mushaddeq dan Ajaran Al-Qiyadah Al-Islamiyah, Yogyakarta: Med Press, 2008, Cet. ke-1.

Mustofa, Ahmad, Perjalanan Menuju Tuhan: Pro dan Kontra tentang Qiyadah Al-Islamiyah, Yogyakarta: Hanggar Kreator, 2008, Cet. ke-1.

Mushaddeq, Ahmad, Ruhul Qudus yang Tutun Kepada Al-Masih Al-Maw’ud, Bogor: PB. Al-Qiyadah Al-Islamiyah, 2007, Cet. ke-1.

Kuffal, M. Alam, Penerapan KUHAP Dalam Praktik Hukum, Malang, UMM Press, 2004. Cet. ke-5.


(6)

Lamintang, P.A.F, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1997.

………., Hukum Penitensier Indonnesia, CV. Armico, 1984.

………., Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan terhadap Kepentingan Hukum Negara, Bandung: CV. Armico, 1986.

Praja, s. Juhaya dan Ahmad Syihabuddin, Delik Agama dalam Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1982.

PN. Jakarta Selatan, Putusan No. 277/Pid.B/2008/PN. Jkt. Sel., Jakarta: PN Jaksel. Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Terj.) M. Nabhan Husaen, dari judul asli Fiqh

As-Sunnah, Bandung: PT. Darul Ma’arif, 2002, Cet. ke-20, jilid 9 .

Soesilo, R., Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-komentarnya lengkap pasal demi pasal, Bogor: Penerbit Politea, 1985. Team Redaksi, “ Aliran Al-Qiyadah Jelas Sesat” www.tausyiah.blogsome.com. Team Redaksi, “Apa Kriteria Aliran Sesat” www.eramuslim.com.

Team Redaksi, “Tanpa Koordinasi Pakem, Pasal Penodaan Agama dalam KUHP Impoten”, www.hukumonline.com.

Team Redaksi, “Penodaan Agama: Ahmad Musaddeq Divonis Empat Tahun”, www.suarakarya-online.com.

Team Redakjsi, “Penodaaan Agama dan Hukumnya”, www.perpustakaan-islam.com. Yogaswara, A. dan Mualana Ahmad Jalidu, Aliran Sesat dan Nabi-nabi Palsu:

Riwayat Aliran Sesat dan Para Nabi Palsu di Indonesia, Yogyakarta: Narasi, 2008, Cet. ke-1.