73
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pengertian residivis atau pengulangan dalam hukum Islam adalah sama dengan pengertian yang dikemukakan dalam hukum positif,
yaitu melakukan jarimah tindak pidana yang telah mendapatkan hukuman pada jarimah yang pertama.
B. 1. b. Bentuk-bentuk Residivis
Penghukuman jarimah telah ditetapkan dalam hukum Islam baik dalam Al-Qur’an, Sunnah, maupun Ijma’. Hanya saja, dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat dalam penetapan
dasar penegakan hukuman residivis. Berdasarkan perbedaan tersebut, seperti dikutip oleh Abdul Qadir Audah bahwa
pengulangan jarimah dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
40
1. Pengulangan Khusus
Suatu jarimah tidak dianggap sebagai pengulangan jarimah kecuali apabila kejahatan yang dilakukan kedua kalinya oleh pelaku jarimah yang sama atau sejenis dengan jarimah
yang pertama. Apabila terjadi jarimah yang kedua kalinya dan jarimah tersebut tidak sama dengan jarimah yang pertama tidak sejenis, maka pelaku jarimah tersebut tidak dianggap
sebagai pelaku pengulangan jarimah. 2. Pengulangan Umum
Adalah dianggap sebagai pengulangan jarimah, apabila jenis kejahatan yang dilakukan pada jarimah yang kedua kalinya tidak sama atau harus berbeda dengan jarimah yang
pertama. Dalam hal mengenai waktu dalam pengulangan jarimah ini fuqaha tidak menentukan
batas waktu antara jarimah yang pertama dengan jarimah yang kedua.
41
B. 1. c. Sistem Pemidanaan terhadap Pelaku Residivis
Dalam hukum Islam sistem penghukuman terhadap pelaku yang mengulangi kembali kejahatannya, kemungkinan dapat diperberatnya hukuman bagi pelakunya.
42 40
Abdul Qodir Audah , op. cit., h. 766 dan Abdul Aziz Amir, op.cit., h. 505
41
Abdul Qadir Audah, op.cit., h. 767
74
Mengenai penambahan hukuman karena pengulangan, tidak terdapat keseragaman bagi semua jarimah. Sehingga setiap jarimah terdapat ketentuannya masing-masing.
Dari ketentuan tersebut di atas, sebagai contoh pada pelaku peminum khamr apabila terjadi pengulangan setelah dijatuhkan hukuman pada perbuatan yang terdahulu. Dia dapat
dikenakan pemberatan hukuman apabila ia melakukan kembali perbuatan tersebut, sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadits:
ا نا درو ﺪﻗو بﺮﺷ ﺪﻗ نﺎ ﺎ أ و
ﻰ ﺎ ﷲا ﻰ ﺻ ﻰ ﺮ ﺨ ا
ﺎﺛﻼﺛ ,
ﺮﻀﻓ ﺮ ﺎﻓ ,
نﺎآ ﺎ ﻓ ﻰﻓ
ﺪ ﻓ ﺮ ا ﺔ اﺮ ا و
اور راﺰ ا
43
Artinya: Dan telah datang seseorang menghadap kepada Nabi Muhammad bersama dengan
Nu’man yang telah meminum khamer sebanyak tiga kali, maka Nabi memerintahkan untuk dipukul, maka ketika ia meminum yang keempat kalinya Nabi memerintahkan untuk
mencambuknya. H.R. Al-Bazzar
Hadits ini menunjukan bahwa pengulangan jarimah mewajibkan ta’zir. Hal ini juga menunjukan adanya pemberatan dalam penghukuman, karena sesungguhnya pemukulan itu lebih
ringan dari pada jilid, tiga kali minum satu kali pukulan, yang keempat kalinya dijatuhi hukuman cambuk. Pemberatan hukuman itu karena adanya pengulangan, di mana terdapat pemberatannya
pada alat pemukulnya. Dalam hadist lain juga disebutkan mengenai pemberatan pada pelaku peminum khamr
yang telah berulang kali melakukan pengulangan jarimah tersebut. Dari Abdullah bin Umar menerangkan:
ﺮ ﷲا ﺪ لﺎﻗ
: ﷲا ﻰ ﺻ ﷲا لﻮ ر لﺎﻗ
و أو :
ﺷ ﺮ
ﺎﻓ ﺮ ﺨ ا ب ﺪ ﺎﻓ دﺎ نﺎﻓ وﺪ
و نﺎﻓ
ﻮ ﻗ ﺎﻓ دﺎ .
ﺪ لﺎﻓ
42
Ibid.
43
Muhammad Abu Zahroh, al-Uqubah, op.cit., h. 216
75
ﷲا :
ا بﺮﺷ ﺪﻗ ﺮ ﻰ ﻮ
ﻗأ نأ ﻰ ﻜ ﻓ ﺔ اﺮ ا ﻰﻓ ﺮ ﺨ ا .
ﺪ ﺣأ اور
44
Artinya: Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa yang meminum arak cambuklah dia, jika ia
mengulanginya, cambuklah, jika ia tetap mengulanginya, maka bunuhlah, Abdulah berkata: hadapkanlah kepadaku seorang peminum arak yang mengulangi perbuatannya untuk yang
keempat kali, aku akan membunuhnya. H.R Ahmad
Hadits tersebut di atas menunjukan pemberatan hukuman bagi pelaku jarimah yang mengulangi perbuatannya, dan dalam pemberatan sanksi hukuman dapat juga dalam bentuk
hukuman mati. Dari penjelasan contoh tersebut di atas, pelaku pengulangan peminum khamr
menyebabkan pemberatan pada hukuman dan hal ini membuka dua pendapat:
45
1. Pemberatan pada alat pemukulnya. Di sini hakim dapat memilihnya dalam menjatuhkan
hukuman, apakah diperberat ataukah diperingan, sementara jumlahnya tetap sama. Perbedaanya hanya penukaran pada alat eksekusi hukuman.
2. Penambahan hukuman ta’zir, maka hakim dapat menambahkan hukuman karena
pengulangannya itu. Sebagai contoh yang lain:
Dalam perzinaan jika si pelaku perzinaannya mendapatkan hukuman dera atau jilid. Jika perbuatan tersebut oleh si pelaku dilakukan kembali, maka dia dapat diperberat hukumannya
dengan alat pemukul. Jadi, cara pemberatan hukuman pada pelaku jarimah yang melakukan kembali
kejahatannya adalah dengan cara:
46
1. Pemberatan pada alat pemukulnya.
2. Penambahan pada hukuman ta’zir ditambah dengan hukuman penjara.
44
T. M. Hasbi Asshiddiqie, Koleksi Hadist-Hadist Hukum, Semarang : PT Pustaka Rizki Putra, 2001, Cet. ke-3, JIlid IX, h. 193
45
Muhammad Abu Zahroh, op.cit., h. 217
46
Ibid, h. 220
76
Demikianlah salah satu contoh sistem penghukuman dalam Islam dan masih banyak lagi kasus-kasus yang menunjukan pemberatan hukuman terhadap pelaku pengulangan jarimah, yang
tidak dapat diuraikan secara keseluruhan oleh penulis. Hal yang menjadi titik fokus dalam pengulangan jarimah ini adalah jika seandainya suatu jarimah yang pertama telah dijatuhkan
hukuman dan dia mengulangi kembali jarimah tersebut, maka tidak menutup kemungkinan untuk diperberatnya suatu hukuman. Jika si pelaku kembali lagi melakukan kejahatan setelah
diperberatnya hukuman, maka ia dapat dikenakan sanksi hukuman mati atau dapat pula dijatuhkan hukuman penjara seumur hidup.
47
B.1. Residivis dalam Perspektif Hukum Positif B.1.a. Pengertian Residivis
Residivis adalah seseorang yang telah melakukan kejahatan atau pelanggaran dan telah dijatuhi hukuman vonis dan hukuman itu telah dijalankan, kemudian ia melakukan kejahatan
kembali.
48
Menurut Adeng H. Suadarsa, seperti dikutip Ninik Widianti dan Pujanuraga residivis ialah orang yang pernah melakukan suatu perbuatan kriminal atau tindak pidana, kemudian
dijatuhkan hukuman dan setelah selesai menjalankan hukumannya itu ia masih juga melakukan tindak pidana ulangan.
49
Sementara S.R Sianturi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan residivis secara umum adalah apabila seseorang melakukan tindak pidana dan untuk itu dijatuhkan pidana padanya, akan
tetapi pada jangka waktu tertentu mis, 5 tahun:
a. Sejak setelah tindak pidana tersebut dilakukan seluruhnya atau sebagian atau b. Sejak pidana tersebut seluruhnya dihapuskan atau
47
Abdul Qodir Audah, op.cit, h. 768
48
Samidjo, Pengantar Pengulangan Indonesia, Bandung : Armico, 1985, h. 166
49
Ninik Widianti dan Pujanuraga, Perkembangan Kejahatan dan Masalah Kejahatan ditinjau dari Segi Kriminologi dan Sosial,
Jakarta : PT. Pradnya Pramita, 1989, Cet. ke-1, h. 82
77
c. Apabila kewajiban menjalankan pidana itu belum kadaluarsa. Pelaku yang sama itu kemudian melakukan tindak pidana lagi.
50
Hal residivis ini diatur dalam KUHP buku II titel XXXI. Pasal.486 :
stbld. 26359. 429-34172, 337. Hukuman penjara yang ditentukan pada pasal 127, 204 – ayat pertama, 244-248, 253-260 bis. 263, 264, 266-268, 274, 362, 363, 365 ayat pertama, kedua dan
ketiga, 368 ayat pertama dan kedua, sekedar ditunjukan di situ pada ayat kedua dan ketiga, pasal 365, pasal 369, 372, 374, 375, 378, 380, 381-383, 385-388, 397, 399, 400, 402, 415, 417, 425,
432, ayat penghabisan, 452, 466, 480 dan 481, begitu juga hukuman penjara sementara yang akan dijatuhkan menurut pasal 204 ayat kedua, 365 ayat keempat dan 368 ayat kedua, sekedar
ditunjukan di situ kepada ayat keempat. Pasal 365, dapat ditambah sepertiganya, jika yang bersalah melakukan kejahatan itu belum lewat lima tahun sejak ia lepas dari menjalani seluruh
atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya, baik karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal-pasal itu, maupun karena salah satu kejahatan yang dimaksudkan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer. Pada salah satu pasal 140-143 dan 145-149 atau sejak ia dibebaskan sama sekali dari hukuman itu atau bila pada waktu membuat kejahatan itu hak
menjalankan hukuman itu belum hilang karena lewat waktunya. Pasal.487 :
Hukuman penjara ditentukan pada pasal 131, 140, ayat pertama, 141, 170, 213, 214,338, 341, 342, 344, 347, 348, 351, 353, 355, 438-443, 459 dan 460 begitu pula hukuman penjara sementara yang
akan dijatuhkan menurut pasal 104, 130 ayat kedua dan ketiga, pasal 140 ayat kedua dan ketiga, 339, 340, 344 dapat sepertiganya, jika pada waktu bersalah itu belum lewat waktu lima tahun
sejak ia lepas dari menjalani seluruh atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan padanya baik pada salah satu kejahatan maupun yang diterangkan pada pasal-pasal itu karena salah satu
kejahatan yang dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer pada salah satu pasal 106 ayat kedua dan ketiga, 107 ayat kedua dan ketiga, 108 ayat kedua, 109 sekedar
kejahatan yang dibuat itu atau perbuatan yang beserta dilakukan pada waktu itu menyebabkan suatu luka atau menyebabkan matinya orang, 131 ayat kedua dan ketiga, 137 dan 138 atau sejak ia
dibebaskan sama sekali dari hukuman itu atau pada waktu melakukan kejahatan, hak menjalankan hukuman itu belum hilang karena lewat waktunya.
Pasal 488 :
50
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya I, Jakarta : Alumni Ahaem, 1996, h.401
78
Hukuman yang ditentukan pada pasal 134-138, 142-144, 207, 208, 310-321 dan 484 dapat ditambah sepertiganya, jika pada waktu yang bersalah melakukan kejahatan itu belum lewat waktu
lima tahun, sejak ia lepas dari menjalani sama sekali atau sebagian hukuman penjara yang dijatuhkan kepadanya, karena salah satu kejahatan yang diterangkan pada pasal itu, atau sejak
pidana tersebut baginya sama sekali telah dihapuskan atau jika pada waktu melakukan kejahatan, kewenangan menjalankan pidana tersebut belum kadaluarsa.
51
Contoh : A melakukan pencurian, maka dari itu ia diadili untuk diberi keputusan dan hakim
menjatuhkan hukuman misalnya 5 tahun. Setelah A menjalankan hukuman dan dibebaskan kemudian ia mengulangi perbuatannya lagi dan melakukan pencurian untuk yang kedua kalinya.
Pencurian yang kedua kalinya dilakukan di dalam jangka 5 tahun, setelah ia menjalani hukuman dan kembali lagi ke dalam masyarakat. Untuk perbuatan pencurian yang kedua kalinya
hukuman yang dapat dijatuhkan adalah 5 tahun + 13 x 5 tahun = 6 tahun 8 bulan, walaupun ternyata dalam prakteknya hakim jarang sekali menjatuhkan hukuman yang berat.
Adapun yang menjadi dasar diperberatnya hukuman bagi residivis adalah bahwa orang yang demikian itu membuktikan telah mempunyai tabiat yang jahat dan oleh sebab itu dianggap
merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum. Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa definisi residivispengulangan
jarimah dalam hukum Islam pada kenyataannya adalah sama dengan definisi residivis yang dikemukakan hukum positif, yaitu melakukan kejahatan dan telah dijatuhi hukuman dan hukuman
tersebut sudah dijalankan baik setengah maupun seluruhnya.
B.1.b. Bentuk-bentuk ResidivisPengulangan Tindak Pidana
Mengenai bentuk-bentuk pengulangan tindak pidana, menurut doktrin, dari sudut
sifatnya, sistem residivis itu dapat dibagi dalam dua bagian :
a. Residive Umum Generale Residive
51
Andi Hamzah, KUHP KUHAP, Jakarta : Rineka Cipta, 2003, Cet. ke-10, h. 193-194
79
Adalah apabila seseorang melakukan kejahatan, terhadap kejahatan yang mana telah dijatuhi hukuman, maka apabila ia kemudian melakukan kejahatan lagi yang dapat merupakan bentuk
kejahatan apapun, kejahatan tersebut dapat digunakan sebagai alasan untuk memperberat hukuman.
Contoh : A melakukan kejahatan pencurian, karena itu, ia dijatuhi hukuman. Setelah A menjalani
hukuman, ia kembali dalam masyarakat itu. Akan tetapi A kemudian melakukan kejahatan penganiayaan terhadap B.
Berdasarkan residive ini, maka perbuatan penganiayaan itu dapat merupakan alasan untuk memperberat hukuman yang dijatuhkan atas dirinya.
b. Residive Khusus Speciale Residive Jenis residive ini terdapat bila :
Seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan hukuman oleh hakim. Kemudian ia melakukan kejahatan lagi yang sama sejenis dengan kejahatan yang pertama,
maka persamaan kejahatan yang dilakukan kemudian itu merupakan dasar untuk meperberatkan hukuman.
52
Contoh : 1.
Kejahatan terhadap keamanan negara : makar, untuk membunuh presiden, dan menggulingkan pemerintahan, pemberontakan dan lain sebagainya.
2. Kejahatan terhadap tubuh atau nyawa orang :
Penganiayaan, perampasan kemerdekaan, perampasan jiwa dan lain sebagainya. 3. Kejahatan terhadap harta benda : perampasan, pencurian, penggelapan dan penipuan dan
lain sebagainya.
53
52
Ibid, h. 186-187
53
S.R. Sianturi, op.cit, h. 402
80
Menurut sistem yang pertama, pengulangan dari pada suatu kejahatan yang manapun, sudah dilakukan kejahatan itu menyebabkan ditambahnya pidana, sedangkan menurut sistem
kedua hanya pengulangan dari pada kejahatan yang sejenis menyebabkan ditambahnya pidana.
54
Mengenai pengulangan tindak pidana ini seperti yang telah diterangkan sebelumnya diatur dalam KUHP buku ke-II titel ke-31 pasal 486, 487 dan 488. Maka maksimal pidana
ditambah sepertiganya, akan tetapi dalam hal ini ditentukan beberapa syarat tentang seseorang dapat dikategorikan sebagai residivis :
55
1. Terhadap kejahatan yang pertama yang telah dilakukan harus sudah ada keputusan hakim
yang mengandung hukuman. 2.
Keputusan hakim tersebut, harus merupakan keputusan yang tidak dapat diubah lagi, artinya yang mempunyai kekuatan hukum tetap, ini tidak berarti bahwa hukuman itu
harus sudah dijalani. 3.
Di dalam pasal 486 dan 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan penjara, sedang di dalam pasal 488
tidak ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama. 4.
Jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian dan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertama, jangka waktunya adalah lima tahun.
Contoh: A melakukan tindak pidana pencurian pada tanggal 2 januari 2000, kemudian A
dijatuhi hukuman penjara 1 tahun, yang dijalani saat itu juga. Pada tanggal 2 januari 2001 setelah ia menjalankan hukuman seluruhnya, A dibebaskan. Kemudian pada tanggal 1 januari
2002, A melakukan perbuatan penggelapan, dengan demikian jangka waktu antara tanggal 1
januari 2001 dan saat perbuatan masih terletak kurang dari lima tahun, dan atas dasar pasal
486 hukuman atas diri A berhubungan dengan perbuatannya yang kedua tadi, dapat ditambah dengan sepertiganya.
54
Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta : Aksara baru, 1978, Cet. ke-3, h. 11
55
Ibid.
81
Akan tetapi, apabila setelah dibebaskan pada tanggal 2 januari 2001, pada tanggal 10 januari 2006 melakukan penipuan, maka atas diri A tidak boleh dijatuhkan hukuman yang
terberat, karena pada saat dilakukannya perbuatan yang kedua itu telah terletak di luar jangka waktu.
Mengenai hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertama dilakukan, dapat diterangkan bahwa apakah hukuman itu telah dijalani seluruhnya atau sebagian atau
walaupun si terhukum mendapatkan ampunan grasi, hal ini tetap merupakan dasar pemberatan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap perbuatan yang kemudian dilakukan.
56
B. 2. c. Sistem Pemidanaan terhadap Pelaku Residivis.