Prinsip-Prinsip Syariah dalam Penetapan Tarif Premi

1 Kerusakan harta benda miliki atau dalam pengawasan tertanggung, diangkut, dimuat atau dibongkar dari kendaraan bermotor yang dipertanggungkan. 2 Kerusakan jalan, jembatan, bangunan-bangunan yang terdapat di bawah, di atas atau di samping jalan sebagai akibat dari getaran, berat kendaraan, atau muatannya. i. Cedera badan kematian terhadap : 1 Penumpang kendaraan bermotor yang dipertanggungkan. 2 Tertanggung, suami atau istri dan anak tertanggung bila tertanggung adalah perorangan. 3 Pemegang saham atau pengurus bila tertanggung merupakan CV atau Firma. 4 Pengurus bila tertanggung adalah badan hukum berbentuk perseroan terbatas, yayasan atau usaha bersama dan bentuk lainnya. 5 Orang yang bekerja pada tertanggung dengan menerima imbalan jasa. 6 Orang yang tinggal bersama tertanggung. 7 Hewan milik atau dalam pengawasan tertanggung, diangkut, dimuat, dibongkar dari kendaraan bermotor yang diperanggungkan.

E. Prinsip-Prinsip Syariah dalam Penetapan Tarif Premi

Secara teknis, dalam perhitungan tarif premi antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional tidak berbeda. Keduanya menggunakan rumus matematis yang sama dan penilaian aktuaria yang sama pula. Namun ada prinsip-prinsip yang tidak boleh dilanggar yang membedakannya dengan asuransi konvensional. Dalam penetapan premi, prinsip asuransi syariah yaitu menghilangkan gharar, maisir dan riba tetap berlaku. Ketiga hal tersebut harus dihilangkan dalam asuransi syariah baik secara akad, pengelolaan, dan bahkan dalam penetapan tarif premi. Selain ketiga hal tersebut yang harus dihilangkan, dalam penetapan tarif premi juga harus memasukan unsur keadilan. a. Menghilangkan gharar Gharar harus dihilangkan baik secara konsep asuransi dan juga dalam hal penetapan tarif premi. Pada asuransi konvensional, gharar terjadi pada penetapan tarif premi, ketika perusahaan tidak mendasarkan perhitungan tarif preminya pada data statistik mengenai risiko dan kerugian yang pernah terjadi. Demi untuk menawarkan tarif premi yang murah dan mendapatkan nasabah sebanyak mungkin, maka perusahaan mengabaikan data statistik ini. Untuk dapat mengestimasi risiko yang mungkin muncul di masa mendatang, maka kita harus melihat risiko dan kerugian yang pernah terjadi sebelumnya dan dengan semakin banyak risiko yang dijadikan dasar untuk mengestimasi risiko, maka estimasi untuk risiko tersebut akan semakin akurat. Dengan demikian, agar estimasi kerugian yang akan muncul di masa mendatang semakin akurat, maka data statistik ini sangatah penting. Jika perusahaan mengabaikan data statistik ini demi mendapatkan tarif premi yang murah, maka akan menjadi gharar. Estimasi terhadap risiko dan kerugian tidak berdasar dan akan tidak akurat. Hal gharar semacam ini sangat ditentang oleh Islam dan tidak boleh ada dalam ratemaking syariah sebagaimana hadis Rasulullah SAW berikut ini : 31 ن ى رسول الل ص م عن بيع الغر ر Artinya : “Rasulullah SAW melarang jual beli yang mengandung gharar.” HR. Muslim, Tirmidzi, Nasa`I, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari abu Hurairah. b. Menghilangkan maisir Maisir tejadi pada penetapan tarif premi asuransi konvensional, ketika perusahaan mendasarkan penetapan tarif preminya dan perancangan produknya pada data statistik yang tidak credible. Contohnya pada asuransi “Hole In One”, yaitu produk asuransi untuk mencover pukulan sekali masuk ke dalam lubang golf. Biasanya dalam golf terdapat turnamen besar, yang kemudian jika seseorang dapat memasukkan bola golf ke dalam lubang hanya dalam satu kali pukulan, maka akan mendapatkan hadiah, misalnya mendapatkan mobil. Ketika seseorang dapat melakukan hole in one dan mendapatkan mobil, maka perusahaan asuransi akan mengganti kerugian kepada panitia penyelenggara turnamen besar tersebut. Data mengenai hole in One ini sangat sedikit, bahkan data industri pun sangat sedikit. Ketika data yang ada sedikit, maka akan seperti perjudian dalam menetapkan preminya. Dengan data yang sedikit pula, maka data tersebut menjadi tidak 31 Dewan Syariah Nasional DSN MUI, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi Revisi, Jakarta, DSN, h. 129. representative dari seluruh keadaan, sehingga dalam menetapkan preminya akan sulit dalam menilai risiko. Pada asuransi syariah, hal seperti tersebut di atas dilarang. Perusahaan asuransi syariah harus menggunakan data statistik yang credible sehigga semakin luas data yang digunakan maka estimasi-estimasi terhadap kemungkinan di masa mendatang akan semakin akurat. Jika data yang digunakan sangat sedikit, maka estimasi-estimasi terhadap kemungkinan di masa mendatang akan tidak akurat dan akan seperti gambling. Perjudian sangat dilarang oleh Islam sebagaimana tertulis pada surat al-Maidah ayat 90 berikut ini : ْﺸ ا ْ ْﺟر مﻻْزﻷْاو بﺎ ﻷْاو ﺮ ْ ْاو ﺮْ ﺨْا ﺎ إ اﻮ اء ﺬ ا ﺎﻬ أﺎ ﻮ ْﺟﺎ نﺎﻄ نﻮ ْ ْ ﻜ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” QS. Al-Maidah [5]: 90 Jadi, pada asuransi syariah, penggunaan data statistik yang sempit sebagai dasar perhitungan tarif premi sangat dilarang karena akan seperti perjudian. Ada produk-produk tertentu yang data statistiknya sangat sempit, sehingga perusahaan asuransi syariah tidak boleh untuk mengeluarkan produk seperti itu. Dan hal inilah yang paling membedakannya dengan asuransi konvensional. c. Menghilangkan riba 32 Pada asuransi konvensional khususnya asuransi jiwa, penetapan tarif preminya memasukan unsur bunga. Hal ini dikarenakan pada asuransi jiwa, produk yang ditawarkan berbentuk dalam kontrak jangka panjang dan investasi, sehingga memasukkan unsur bunga. Sedangkan pada asuransi kerugian, unsur bunga ini tidak dimasukkan pada penetapan tarif preminya karena kontrak pada asuransi kerugian berbentuk kontrak jangka pendek dan tidak ada unsur investasinya. Unsur bunga hanya berlaku ketika perusahaan menginvestasikan dananya. Pada penetapan premi asuransi jiwa syariah, unsur bunga ini dihilangkan dengan menggunakan asumsi bagi hasil. Dimana ketika asumsi bagi hasil yang ditetapkan oleh perusahaan itu idak sesuai dengan hasil investasi yang sebenarnya, misalnya hasil investasi ternyata lebih rendah dari asumsi, maka selisih dari asumsi tersebut akan diberikan pinjaman yaitu qard hasan dari dana pemegang saham. Dan perusahaan akan mencicil pinjaman tersebut di waktu mendatang ketika terjadi surplus underwriting . Pada asuransi konvensional, jika hasil investasi di bawah asumsi investasinya, maka perusahaan sendirilah yang menanggung kerugian tersebut. Perusahaan tidak bias meminjam dana dari para pemegang saham. Oleh karena itulah banyak sekali perusahaan asuransi dunia yang bangkrut karena mengalami negative spread karena 32 Muhaimim Iqbal, “Asuransi Umum Syariah dalam Praktik”, Jakarta : Gema Insani Press, 2005. asumsi investasi yang diperkirakan sangat jauh dari hasil investasi yang sebenarnya. Demikian juga ketika menentukan cadangan premi premium reserve, seorang aktuaris syariah tidak mendasarkan taksirannya berdasarkan jumlah uang yang tersedia ditambah premi net dan bunga untuk dapat membayarkan klaim dengan penuh, tetapi ia menghitungnya dengan mendasarkan pada skim bagi hasil mudharabah. 33 Terlihat dengan jelas bahwa asuransi konvensional masih belum terbebas dari riba, padahal riba adalah kejahatan yang abstrak, yang manusia tidak secara sadar merasakan akibat dari kejahatan riba. Riba sangat dilarang keras oleh Islam sebagaimana tertulis jelas pada ayat-ayat berikut ini : ... ْا ﷲا أوﺎ ﺮ ا مﺮ و ْ ... Artinya: “Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” QS. al-Baqarah [2]:275 أﺂ ْﺆ آ نإ ﺎ ﺮ ا ﺎ اورذو ﷲا اﻮ ا اﻮ اء ﺬ ا ﺎﻬ Artinya: “Hai orang yang beriman Bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba jika kamu orang yang beriman.” QS.al-Baqarah [2]:278 33 M. Syakir Sula, Asuransi Syariah Life and General Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema Insani Press. 2004, h. 635 ْ ْ نﺈ نﻮ ْ ﻻ ْ ﻜ اﻮْ أ سوءر ْ ﻜ ْ ْ نإو ﻮ رو ﷲا بْﺮ اﻮ ذْﺄ اﻮ نﻮ ْ ﻻو Artinya: “Dan jika kamu bertaubat dari pengambilan riba, maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya .” QS. al-Baqarah [2]: 279 d. Adil Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dalam menetapkan tarif premi harus menerapkan prinsip kesamaan. Perusahaan asuransi harus memastikan bahwa premi ke dalam common pool “adil” bagi semua pihak. Premi yang dibayarkan juga harus sesuai dengan value dan hazard yang dibawa ke dalam common pool dan premi yang dibayarkan juga harus memenuhi seluruh klaim, menutup biaya administrasi, cadangan, serta profit margin. Dan yang terpenting, premi tidak terlalu mahal sehingga dapat bersaing di pasaran. 34 Karena perusahaan merupakan wakil dari peserta asuransi, maka perusahaan harus menjalankan amanat dari peserta sebaik mungkin dan adil dalam menggolongkan risiko dan menetapkan tarif premi yang adil yang sesuai dengan risiko yang dihadapinya. Prinsip tersebut sesuai dengan ayat an-Nisa ayat 58: ⌧ ☺ 34 Delil Khairat, Buku pedoman Program Sertifikasi Asuransi Syariah Tingkat Dasar: Konsep dan Operasional General Jakarta: AASI, 2005, h. 7 ☺ ⌧ ☺ ⌧ Artinya : “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat .” QS. an-Nisa’ {4}: 58

F. Ketentuan Syariah tentang Penetapan Profit Margin