TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS

1. Tinjauan Pustaka 1.1 Teori Otonomi Daerah Otonomi daerah secara umum diartikan sebagai pemberian kewenangan oleh pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam UU No 22 Tahun 1999 sebagai titik awal pelaksanaan otonomi daerah maka Pemerintahan Pusat menyerahkan sebagian kewenangan kepada Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten Kota untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar dalam pelayanan umum kepada masyarakat setempat. Untuk menjamin proses desentralisasi berlangsung dan berkesinambungan, pada prinsipnya acuan dasar dari otonomi daerah telah diwujudkan melalui diberlakukannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 serta regulasi pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah No 104 sampai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 110 Tahun 2000 yang berlaku efektif 1 Januari 2001. Hal yang mendasar dalam UU ini adalah adanya kebijakan publik yang kuat untuk mendorong pemberdayaan masyarakat, pengembangan prakarsa, dan kreativitas, peningkatan peran serta masyarakat dan peningkatan manajemen pengelolaan dana daerah. Arahan yang diberikan oleh undang- MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 undang ini sudah sangat baik. Tetapi apakah ia dapat mewujudkan pemerintahan daerah otonom yang efesien, efektif, transparan dan akuntabel. Hasil yang diinginkan terkait dengan ketaatan penerapan dan kesesuaian isi pokok-pokok aturan dengan kondisi daerah otonom lain yaitu: 1. Di Bidang Pendapatan, UU No 34 Tahun 2000 tentang Pajak dan Retribusi Daerah sebagai pengganti UU No 18 Tahun 1997 sebelum otonomi sekaligus dengan PP No 65 dan 66 Tahun 2000 sebagai peraturan pelaksana apakah mampu mendorong daerah mengoptimalkan semua potensi dan memberi kewenangan lebih luas bagi daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah; 2. Di Bidang Belanja, Peraturan Pemerintahan No 104 s.d 110 merupakan regulasi pengelolaan belanja daerah. Apakah regulasi ini sebagai peraturan pelaksana mampu meningkatkan kinerja keuangan daerah dalam bentuk pencapaian efisiensi dan efektifitas belanja daerah. Chandler dan Pleno berpendapat bahwa “Kebijakan publik adalah pemanfaatan yang strategis terhadap sumber daya yang ada untuk memecahkan masalah-masalah publik atau pemerintahan” Tangkilisan, 2003. Anderson menyatakan bahwa : “Kebijakan publik sebagai kebijakan yang dibangun oleh badan dan pejabat pemerintahan dimana implikasi dari kebijakan tersebut adalah: 1. Kebijakan publik selalu memiliki tujuan tertentu atau mempunyai tindakan yang berorientasi pada tujuan; 2. Kebijakan publik berisi tindakan-tindakan pemerintah; 3. Kebijakan publik merupakan apa yang benar-benar dilakukan pemerintah; MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 4. Kebijakan publik yang diambil dapat bersifat positif dalam arti merupakan tindakan pemerintah mengenai segala sesuatu masalah tertentu atau bersifat negatif dalam arti merupakan keputusan pemerintahan untuk tidak melakukan sesuatu; 5. Kebijakan pemerintah setidak-tidaknya dalam arti yang positif didasarkan pada peraturan perundangan yang bersifat mengikat dan memaksa” Tangkilisan, 2003. Dunn mengemukakan bahwa terdapat lima tahapan penyelesaian persoalan publik yang dapat digambarkan sebagai berikut Tangkilisan, 2003: Policy Setting Policy Formulation Policy Adoption Policy Implementation Policy Assesment Gambar 2.1. penyelesaian Persoalan Publik Reformasi pembiayaan melalui perubahan regulasi merupakan salah satu bentuk kebijakan publik dalam upaya mengganti pendekatan manajemen pendapatan dan belanja melalui pengaturan kembali ketentuan yang ada dalam pengelolaan biaya. Berdasarkan definisi Anderson “Penerapan reformasi pembiayaan berarti bahwa Pemerintahan telah melakukan pengaturan MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 pengelolaan sumberdaya melalui penetapan peraturan regulasi dengan tujuan agar pengelolaan pendapatan dan belanja daerah oleh pemerintahan daerah lebih baik dari sebelumnya” Tangkilisan, 2003. Menurut Patton dan Sawicki bahwa “Tahap implementasi berkaitan dengan berbagai kegiatan yang diarahkan untuk merealisasikan program, dimana pada posisi ini ekskutif pemerintahan daerah mengatur cara-cara untuk menerapkan kebijakan dalam bentuk regulasi sehingga mampu mengatur secara efektif dan efisien sumber daya, unit-unit teknis dan prosedur yang dapat mendukung pelaksanaan program” Tangkilisan, 2003. Jadi tahap implementasi merupakan peristiwa yang berhubungan dengan apa yang terjadi setelah perundangan ditetapkan dengan memberikan otoritas pada suatu kebijakan dengan membentuk output yang jelas dan dapat diukur. Perubahan paradigma pembiayaan APBD oleh Pemerintahan melalui regulasi sesungguhnya memiliki keterkaitan dengan beberapa teori dan penelitian tentang pengelolaan biaya yang hampir relevan dengan apa yang dimaksud reformasi pembiayaan adalah apa yang dikemukakan oleh Ronald W. Hilton. Pengelolaan Biaya cost management mencakup dua aspek, pertama adalah bahwa secara filosofi pengelolaan biaya adalah suatu pengembangan organisasi karena secara terus menerus memberikan dan menawarkan ide bagi organisasi untuk menemukan cara pengambilan keputusan yang benar untuk meningkatkan pelanggan dan mengurangi biaya. Aspek kedua yaitu bahwa secara sikap atau kebijakan, pengelolaan biaya harus seluruhnya dihasilkan dari suatu keputusan manajemen. Bila dikaitkan dengan tata pemerintahan MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 khususnya di daerah, maka pengelolaan biaya yang paling relevan adalah menghasilkan aturankebijakan tertulis melalui suatu regulasi di bidang penerimaan atau regulasi di bidang pengeluaran. Melalui otonomi daerah diharapkan daerah akan lebih mandiri dalam menentukan seluruh kegiatan. Pemerintahan daerah diharapkan mampu memainkan peranan dalam membuka peluang memajukan daerah dengan menumbuh kembangkan seluruh potensi sumber pendapatan daerah dan mampu menetapkan belanja daerah secara wajar, efisien dan efektif termasuk kemampuan perangkat daerah meningkatkan kinerja. Secara umum ada lima aspek yang dipersiapkan dalam pengaturan perubahan otonomi daerah yaitu: 1. Pengaturan Kewenangan; 2. Pengaturan Kelembagaan; 3. Pengaturan Personil; 4. Pengaturan Asset dan Dokumen; 5. Pengaturan Keuangan. Dalam penulisan ini, aspek pengaturan kewenangan terutama terhadap pengelolaan belanja daerah dan pendapatan daerah serta pengaturan keuangan terutama pengaturan pajak dan retribusi daerah serta pengaturan dana perimbangan sebagai kekuatan utama otonomi daerah adalah lingkup kajian nantinya dalam pembahasan. MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 1.2 Gambaran Pengelolaan Keuangan Era sebelum Otonomi Daerah Sejak Repelita I Tahun 1967 sampai dengan pertengahan Repelita IV Tahun 1999, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 April dan berakhir 31 Maret tahun berikutnya. Bentuk dan susunan APBD yang ada sama dengan bentuk dan susunan APBN hanya saja sebutan untuk pos-pos pendapatan dan belanja berbeda. Menurut UU Nomor 5 Tahun 1974, sumber pembiayaan daerah sangat didominasi oleh bantuan keuangan dari pemerintahan pusat. Bantuan keuangan dimaksud dapat dibagi dalam dua kategori yaitu pendapatan yang diserahkan kepada pemerintahan daerah dan subsidi kepada pemerintahan daerah. Dalam pasal 55 Undang-Undang tersebut disebutkan tentang sumber pendapatan daerah otonom yaitu: 1. Pendapatan Asli Daerah Sendiri PADS yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain pendapatan yang sah; 2. Pendapatan yang berasal dari pemberian pemerintahan pusat yang terdiri dari sumbangan pemerintahan pusat serta subsidi rutin dan pembangunan. Istilah subsidi daerah otonom sebagai bagian dari bantuan pemerintahan pusat terus mengalami perubahan istilah disesuaikan dengan sasaran pemberian bantuan. Terakhir sebelum otonomi daerah digunakan istilah Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan Daerah; MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 3. Lain-lain penerimaan yang sah; 4. Penerimaan pembangunan sebagai komponen penerimaan yang bersumber dari pinjaman yang dilakukan pemerintahan daerah; 5. Dana sektoral, jenis dana ini tidak termuat dalam APBD namun masih merupakan jenis penerimaan daerah dalam bentuk bantuan dari pemerintahan pusat untuk membantu pembangunan sarana dan prasarana yang pelaksanaannya dilakukan oleh dinas provinsi. Dari uraian diatas, diketahui bahwa sebelum adanya Undang-Undang Otonomi Daerah yang ditandai dengan hadirnya UU Nomor 22 dan 25 Tahun 1999, ternyata sistem penatausahaan pembiayaan daerah sudah menerapkan konsep perimbangan keuangan antara pemerintahan pusat dan daerah tetapi belum didasarkan pada konstribusi setiap daerah dalam hal pendapatan yang diperoleh dari sumber daya alam yang dieksploitasi. Di sisi pengeluaran daerah, pengaturan belanja diatur melalui Peraturan Pemerintahan Nomor 5 Tahun 1975 dan Nomor 6 Tahun 1975 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 1994 Jo. Tahun 1996 yang mengatur tentang tata cara penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era sebelum otonomi daerah dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut diatas, dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja pemeliharaan, belanja perjalanan dinas, belanja angsuran, MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 sumbangan dan bantuan, pengeluaran tidak termasuk bagian lain serta pengeluaran tidak tersangka; b. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk membiayai pekerjaan baik fisik maupun non fisik; c. Dalam jenis belanja rutin berupa belanja barangjasa, belanja pemeliharaan dan perjalanan dinas terdiri dari sub jenis pengeluaran yang tertera dengan sistem digit. Namun dalam pelaksanaannya, setiap jenis belanja tersebut memiliki digit penutup dengan sebutan pengeluaran lain- lain yang tidak jelas pemanfaatan dan pertanggungjawabannya seperti belanja barang lain-lain, pemeliharaan lain-lain dan perjalanan dinas lain- lain; d. Masih dalam komposisi belanja rutin, terdapat belanja dengan sebutan pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak tersangka yang tidak jelas tujuan penggunaan dan pertanggungjawabannya. Prosedur pencairan pengeluaran ini ditentukan oleh kebijakan Kepala Daerah masing-masing; e. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja pembangunan didanai dari subsidi pemerintahan pusat; f. Belanja pembangunan terdiri dari pekerjaan fisik dan non fisik. Dan terhadap pekerjaan non fisik, sangat sulit diukur tingkat manfaat dan pencapaian sasaran serta pertanggungjawabannya seringkali tidak didukung bukti pengeluaran yang memadai. MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 1.3. Gambaran Pengelolaan Keuangan Era setelah Otonomi Daerah A. Reformasi Pengelolaan Keuangan Daerah Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Dalam upaya pemberdayaan pemerintahan daerah, maka perspektif perubahan yang diinginkan dalam pengelolaan keuangan daerah di masa otonomi daerah dan anggaran daerah adalah: a. Pengelolaan keuangan daerah harus bertumpu pada kepentingan publik, hal ini tidak saja terlihat dari besarnya porsi penganggaran untuk kepentingan publik, tetapi pada besarnya partisipasi masyarakat dalam perencanaan pelaksanaan dan pengawasan keuangan daerah; b. Kejelasan tentang misi pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah pada khususnya; c. Desentralisasi pengelolaan keuangan dan kejelasan peran serta partisipasi yang terkait dengan pengelolaan anggaran seperti DPRD, Kepala Daerah, Sekretariat Daerah dan Perangkat Daerah Lainnya; d. Kerangka hukum dan administrasi bagi pembiayaan, investasi dan pengelolaan uang daerah berdasarkan kaidah mekanisme pasar; e. Kejelasan aturan tentang pengeluaran operasional lain-lain yang tidak jelas akuntabilitas; f. Prinsip anggaran dan kejelasan larangan pengaturan alokasi anggaran diluar yang ditetapkan dalam strategi dan prioritas APBD; MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 B. Public Financing Reform Hadirnya otonomi daerah yang dimulai dengan hadirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentunya membawa konsekuensi terhadap pembiayaan daerah. Sebelum era otonomi daerah, hampir sebagian besar pemerintahan provinsi, Kabupaten dan Kota se-Indonesia memperoleh sumber-sumber pendapatan yang berasal dari bagi hasil Pemerintahan Pusat. Dengan otonomi terdapat dua aspek kinerja keuangan yang dituntut agar lebih baik dibanding dengan era sebelum otonomi daerah. Aspek pertama adalah bahwa daerah diberi kewenangan mengurus pembiayaan daerah dengan kekuatan utama pada kemampuan Pendapatan Asli Daerah PAD. Kehadiran UU Nomor 34 Tahun 2000 tentang Pendapatan Pajak dan Retribusi Daerah serta peraturan pelaksanaannya adalah momentum dimulainya pengelolaan sumber-sumber pendapatan daerah secara penuh desentralisasi fiskal. Aspek kedua yaitu disisi manajemen pengeluaran daerah, sesuai azas otonomi daerah bahwa pengelolaan keuangan daerah harus lebih akuntabel dan transparan tentunya menuntut daerah agar lebih efisien dan efektif dalam pengeluaran daerah. Kedua aspek tersebut dapat disebut sebagai Reformasi Pembiayaan Mardiasmo, 2002 Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman, karena perubahan ini tidak hanya perubahan paradigma, namun juga perubahan manajemen. Model manajemen yang cukup populer MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 misalnya adalah New Public Management yang mulai dikenal tahun 1980-an dan populer tahun 1990-an yang mengalami beberapa bentuk konsep “manageralism”, “market based public administrator”, dan lain sebagainya. Manajemen sektor publik berorientasi kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan yang membawa konsekuensi pada perubahan pendekatan anggaran yang selama ini dikenal dengan pendekatan anggaran tradisional traditional budget menjadi penganggaran berbasis kinerja performance budget, tuntutan melakukan efisiensi, optimalisasi pendapatan, pemangkasan biaya cost cutting dan kompetisi tender compulsory competitive tendering contract C. Struktur Keuangan Daerah Dimulai sejak Tahun Anggaran 2001 sampai saat ini, Pendapatan dan Belanja Daerah di Indonesia disusun menurut tahun anggaran yang dimulai pada tanggal 1 Januari dan berakhir 31 Desember. Bentuk dan susunan APBD yang ada berbeda dengan susunan APBD dalam era sebelum otonomi daerah. Akan tetapi perubahan komposisi dan struktur APBD tidak merubah maksud dari unsur APBD itu sama sekali. Di bidang Penerimaan Daerah, menurut UU Nomor 25 Tahun 1999 dan UU Nomor 34 Tahun 2000, sumber penerimaan daerah yaitu: a. Pendapatan Asli Daerah yang terdiri dari beberapa pos pendapatan yaitu pajak daerah, retribusi daerah, bagian laba usaha daerah dan lain-lain pendapatan yang sah; MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 b. Dana perimbangan antara Pemerintahan Pusat dan Daerah yang mencakup Pendapatan Bagi Hasil Pajak Bukan Pajak, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus; c. Pinjaman Daerah dan Bagian Sisa Perhitungan APBD Tahun Lalu yang dahulu merupakan bagian komponen Penerimaan Daerah maka dalam regulasi di era otonom hal tersebut bukan merupakan bagian Penerimaan Daerah melainkan bagian dari Pembiayaan Daerah; d. Lain-lain penerimaan yang sah; e. Besarnya Dana Perimbangan sangat ditentukan dari potensi sumber daya alam hasil pertambangan dan hasil hutan lainnya; f. Pendapatan Asli Daerah berupa pajak pemanfaatan air permukaan dan air bawah tanah yang semula merupakan penerimaan daerah tingkat II maka setelah otonomi daerah, pajak ini diserahkan kembali kepada tingkat I. Disisi pengeluaran daerah, pengaturan belanja diatur melalui Peraturan Pemerintahan Nomor 105 s.d PP Nomor 110 Tahun 2000 yang mengatur tentang tata cara penyusunan, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah termasuk kedudukan keuangan Kepala Daerah dan DPRD. Beberapa karakteristik pengelolaan belanja daerah di era setelah otonomi daerah dengan alat pengatur berupa regulasi tersebut di atas, dapat dikemukakan sebagai berikut: MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 1. Pengeluaran rutin terdiri dari belanja administrasi umum, dan belanja operasi pemeliharaan. 2. Belanja pembangunan merupakan belanja yang dialokasikan untuk membiayai pekerjaan fisik dan disebut sebagai bahan modal; 3. Selain belanja dimaksud terdapat belanja bagi hasil dan bantuan keuangan yang terbentuk dari pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan bantuan keuangan sebelum otonomi daerah serta pengeluaran tidak tersangka dengan istilah dan maksud yang sama seperti sebelum otonomi daerah. 4. Pembiayaan belanja rutin didanai dari kemampuan PAD, dan belanja pembangunan didanai dari Dana PerimbanganBagi hasil pajak dan bukan pajak. 1.4. Regulasi Keuangan Daerah dan Kaitan terhadap Kinerja Penerimaan Daerah Dalam pembahasan ini, lingkup dari regulasi pengelolaan penerimaan daerah mencakup UU Nomor 34 Tahun 2000 sebagai pengganti UU No 18 Tahun 1997 dan Peraturan Pelaksana berupa PP No 65 dan 66 Tahun 2001 serta UU No 25 Tahun 1999. Secara umum, maksud regulasi tersebut disusunditetapkan dan dilaksanakan adalah: 1. Agar terjadi peningkatan penerimaan daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan. Permintaan adanya MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 pembagian Sumber Daya Alam yang lebih adil sesuai potensi daerah dan mengurangi upaya monopoli pusat terhadap pembagian sumber daya alam daerah menyebabkan lahirnya UU 22 Tahun 1999 yang diikuti dengan UU No 25 Tahun 1999; 2. Jumlah pendapatan yang dianggarkan dalam APBD merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan. Penerimaan daerah adalah semua komponen pendapatan menurut struktur APBD yang terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain penerimaan daerah yang sah. Bahwa besarnya target yang akan dicapai merupakan hasil analisa dan kajian yang mendalam dari setiap potensi pajak dan retribusi dengan memperhatikan tingkat kemampuan pembiayaan dalam pengelolaan pendapatan dimaksud serta kesiapan perangkat daerah yang mengelola pendapatan upaya fiskal; 3. Desentralisasi fiskal sebagai wujud dari hadirnya regulasi tadi nantinya diharapkan akan lebih menumbuhkembangkan penerimaan daerah; 4. UU Nomor 34 Tahun 2000 sebagai pengganti UU No 18 Tahun 1997 tentang pajak dan retribusi daerah, menghendaki pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya dan dijabarkan dalam konteks kemampuan untuk menggali, mengelola dan mengalokasikan serta mempertanggungjawabkan secara sungguh-sungguh semua sumber daya daerah khususnya dana publik; MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 5. Penyerahan kembali beberapa jenis pajak yang pernah menjadi komponen pendapatan kabupatenkota saat UU No 18 Tahun 1997 berlaku dan belum diganti dengan UU No 34 Tahun 2000, akan mendorong Pemerintahan KabupatenKota untuk menggali Potensi Pendapatan Asli Daerah menutupi penyerahan beberapa pajak daerah yang diserahkan ke Provinsi. Di samping itu, hadirnya regulasi tadi akan berimplikasi terutama terhadap kinerja di bidang keuangan daerah. Berikut diuraikan beberapa pengaturan dalam otonomi daerah yang terkait dengan peningkatan kinerja keuangan dan dapat dilihat pada tabel 1. Parameter Kinerja: 1.5. Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah Kinerja Performance dapat diartikan sebagai aktivitas terukur dari suatu entitas selama periode tertentu sebagai bagian dari ukuran keberhasilan pekerjaan. Performance Measurement atau pengukuran kinerja menurut kamus yang sama diartikan sebagai suatu indikator keuangan atau non keuangan dari suatu pekerjaan yang dilaksanakan atau hasil yang dicapai dari suatu aktivitas, suatu proses atau suatu unit organisasi. MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 Tabel 2.1. Parameter Kinerja No Parameter kinerja Pokok-pokok aturan keuangan daerah setelah otonomi daerah 1 Desentrali sasi fiscal a. Pengaturan adanya tambahan penerimaan daerah dari PPh orang pribadi kepada Daerah lebih memperbesar peluang bertambahnya penerimaan daerah; b. Adanya kenaikan persentase dan penetapan batasan terendah atas Penerimaan Bagi Hasil Pajak yang merupakan hak KabupatenKota yang dikelola Provinsi; c. Besarnya Dana Alokasi Umum sebagai bagian dari Dana Perimbangan yang diterima daerah ditentukan dengan memperhatikan potensi daerah seperti PAD, PBB, dan BPHTB. 2 Upaya Fiskal Ketegasan cakupan wilayah objek pajak yang dapat membantu pemda dalam menentukan potensi riil penerimaan pajak dan menghindari sengketa objek pajak dengan pemda lainnya. 3 Kemampu an Pembiaya an a. Undang-undang 34 Tahun 2000 mendukung eksitensi Pendapatan Asli Daerah sebagai sumber pendapatan daerah yang bersumber dari wilayah daerah sendiri dan dipungut di daerah sendiri; b. Pengertian wajib pajak badan dalam UU ini lebih luas dari sekedar yang diatur sebelumnya termasuk organisasi massa dan organisasi sosial politik akan memperbesar penggalian potensi penerimaan pajak bagi pemerintahan daerah; c. Peralihan sebagian jenis parkir dari retribusi menjadi pajak sehingga penetapan lebih jelas; d. Jasa dalam retribusi daerah merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi; e. Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber pendapatan Daerah yang potensial; f. Perizinan dalam retribusi termasuk kewenangan yang diserahkan kepada Daerah dalam rangka asas desentralisasi. 4 Efisiensi Pengguna an Anggaran a. Jumlah belanja daerah yang dianggarkan dalam APBD merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. b. Daerah dapat membentuk dana cadangan dari penerimaan daerah, kecuali dana alokasi khusus dan pinjaman daerah. c. Pemda dapat menempatkan dana dalam bentuk deposito sepanjang tidak mengganggu likuiditas pengeluaran daerah. MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 Dalam penelitian ini, istilah yang penulis maksudkan tentang Kinerja Keuangan Pemerintahan Daerah adalah tingkat pencapaian dari suatu hasil kerja di bidang keuangan daerah yang meliputi penerimaan dan belanja daerah dengan menggunakan indikator keuangan yang ditetapkan melalui suatu kebijakan atau ketentuan perundang-undangan selama satu periode anggaran. Bentuk dari pengukuran kinerja tersebut berupa rasio keuangan yang terbentuk dari unsur laporan pertanggungjawaban Kepala Daerah berupa perhitungan APBD. Pengukuran kinerja yang digunakan secara umum oleh perusahaan yang berorientasi pada pencapaian laba antara lain melalui penetapan rasio keuangan. Rasio yang dimaksud dalam laporan keuangan adalah suatu angka yang menunjukkan hubungan antara suatu unsur dengan unsur lainnya. Suatu rasio tersebut diperbandingkan dengan rasio perusahaan lainnya yang sejenis, sehingga adanya perbandingan ini maka perusahaan tersebut dapat mengevaluasi situasi perusahaan dan kinerjanya. Helfert 1991 memahami rasio keuangan sebagai instrumen analisis prestasi perusahaan yang menjelaskan berbagai hubungan dan indikator keuangan yang ditujukan untuk menunjukkan perubahan dalam kondisi keuangan atau prestasi operasi di masa lalu dan membantu menggambarkan trend pola perubahan tersebut untuk menunjukkan risiko dan peluang yang melekat pada perusahaan yang bersangkutan. Hal ini menunjukkan bahwa MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 analisis rasio keuangan meskipun didasarkan pada data dan kondisi masa lalu tetapi dimaksudkan untuk menilai risiko dan peluang dimasa yang akan datang. Rasio keuangan digunakan analis kredit untuk menilai kemampuan perusahaan perusahaan dalam melunasi utang-utangnya, sedangkan analis manajemen menggunakannya untuk mengukur tingkat profitabilitasnya. Laporan keuangan merupakan pertanggungjawaban manajemen atas sumber daya yang dipercayakan kepadanya kepada para pemilik perusahaan atas kinerja yang telah dicapainya serta merupakan laporan akuntansi utama yang mengkomunikasikan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam membuat analisa ekonomi dan peramalan untuk masa yang akan datang. Pihak yang memerlukan informasi keuangan perusahaan bukan hanya manajer keuangan saja. Disamping manajer keuangan pihak intern perusahaan, beberapa perusahaan juga perlu mengetahui kondisi keuangan perusahaan. Pihak-pihak tersebut diantaranya adalah para calon pemodal, dan kreditur. Kepentingan mereka mungkin berbeda-beda, mereka mengharapkan untuk memperoleh informasi dari laporan keuangan perusahaan. Menurut Henderson, Dale. A and W Chase, Bruce Performance Measure for NPOs Not for Profit Organizations dalam Journal of Accounting Januari, 2002 mengemukakan terdapat indikator pengukuran kinerja organisasi non profit antara lain: a. Customer focused b. Balanced MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 c. Timely d. Cost Effective e. Compatible and Comparable Indikator kinerja juga dikemukakan oleh Mardiasmo, 2002, bahwa sekurang-kurangnya ada empat tolok ukur penilaian kinerja keuangan pemerintahan daerah yaitu: a. Penyimpangan antara realisasi anggaran dengan target yang ditetapkan dalam APBD. b. Efisiensi biaya c. Efektivitas program d. Pemerataan dan keadilan. Selain menggunakan parameter rasio keuangan pemerintahan daerah dari hasil penelitian terdahulu, analisis Kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam penelitian ini juga memakai analisa kinerja keuangan yang telah dikembangkan dan dibangun oleh Musgrave, Richard A dan B. Musgrave, Peggy dalam bukunya “Public Finance in Theory and Practise”. Hadiprojo, Ekonomi Publik hal. 155 Namun dalam penerapannya, parameter disesuaikan dengan komponen dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yaitu: 1. Derajat desentralisasi fiskal antara pemerintahan pusat dan daerah yang diukur dengan menggunakan dua rasio keuangan sebagai berikut: Total Pendapatan Asli Daerah PAD Total Penerimaan Daerah TPD MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 Pendapatan Asli Daerah merupakan penerimaan yang berasal dari hasil pajak daerah, retribusi daerah, perusahaan milik daerah dan pengelolaan kekayaan milik daerah serta lain-lain pendapatan yang sah. Total Penerimaan Daerah merupakan jumlah dari seluruh penerimaan dalam satu tahun anggaran adalah: Bagi Hasil PajakBukan Pajak BPHPB Total Penerimaan Daerah TPD Bagi Hasil Pajak merupakan pajak yang dialokasikan oleh Pemerintahan Pusat untuk kemudian didistribusikan antara pusat dan daerah otonomi. 2. Upaya fiskal antara lain adalah: Total Anggaran Pendapatan Asli Daerah merupakan target besarnya pajak daerah yang ingin dicapai dalam satu tahun anggaran dan ditetapkan berdasarkan kemampuan rasional yang dapat dicapai. 3. Kemandiriankemampuan pembiayaan antara lain adalah: Total Pendapatan Asli Daerah PAD PAD Total Belanja Rutin Non Belanja Pegawai BRNP Belanja Rutin Non Belanja Pegawai merupakan pengeluaran daerah dalam rangka pelaksnaan tugas pokok pelayanan masyarakat yang terdiri dari belanja barang, pemeliharaan, perjalanan dinas, pengeluaran tidak termasuk bagian lain dan pengeluaran tidak tersangka serta belanja lain- lain. MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 Total Pajak Derah TPjD TPjD Total Pendapatan Asli Daerah PAD Pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan orang pribadi, atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku dan digunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. 4. Efisiensi penggunaan anggaran kinerja pengeluaran adalah: Total Sisa Anggaran TSA Total Belanja Daerah TBD Sisa anggaran Sisa Perhitugan Anggaran merupakan selisih lebih antara penerimaan daerah atas belanja yang dikeluarkan dalam satu tahun anggarn ditambah selisih lebih transaksi pembiayaan penerimaan dan pengeluaran, yaitu: Total Pengeluaran Lainnya TPL Total Belanja Daerah TBD Pengeluaran lainnya merupakan pengeluaran yang berasal dari pengeluaran tidak termasuk bagian lain ditambah dengan pengeluaran tidak tersangka yang direalisasikan dalam satu tahun anggaran. Total belanja daerah merupakan jumlah keseluruhan pengeluaran daerah dalam satu tahun anggaran yang membebani anggaran daerah. MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 2. Tinjauan Peneliti Terdahulu Terkait dengan bidang penelitian yang akan dilakukan, penulis bertitik tolak dari beberapa penelitian terdahulu khususnya penelitian yang berkenaan dengan kinerja keuangan pemerintahan daerah di Indonesia, diantaranya: Tabel 2.2. Daftar Peneliti Terdahulu No Judul Penelitian dan Nama Peneliti Variabel yang digunakan Hasil Penelitian 1 Analisis deskriptif pengaruh pajak daerah pada APBD pemerintahan daerah kabupatenkota di Jawa Tengah Oleh Abdul Halim 1. Pajak Daerah Independent Variabel 2. APBD Dependent Variabel Hasil analisis menunjukkkan bahwa kemampuan penggalian pajak daerah benar-benar mempengaruhi APBD daerah tersebut. Ini dapat dibuktikan dari adanya beberapa pergeseran kenaikan atau penurunan dari komponen penerimaan dan pengeluaran APBD. Sebagai dampak dari ketidakpastian anggaran pendapatan karena fiscal stress tekanan keuangan maka tingkat kesiapan pemerintahan 2 Pengaruh tingkat kemandirian pembiayaan daerah pada Kabupaten Kutai Propinsi Kalimantan Timur Oleh Izzah Marfhuah 1. Tingkat Kemandirian Pembiayaan Independent Variabel 2. APBD Dependent Variabel Hasil penelitian dari kabupaten tersebut menjelaskan bahwa tingkat kemandirian pembiayaan daerah pemerintahan pusat relatif tinggi. 3 analisis pengaruh fiscal stress terhadap kinerja keuangan daerah Oleh Bambang Haryadi 1. Fiscal Stress Independent Variabel 2. Kinerja Keuangan Dependent Variabel terdapat hubungan antara fiscal stress dengan kinerja keuangan pemerintah. Fiscal stress tekanan keuangan yang ditandai dengan hadirnya UU No18 Tahun 1997 akan mempengaruhi kesiapan pemerintahan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 3. Kerangka Konseptual Sebelum Otonomi Setelah Otonomi Beda Variabel Kinerja Keuangan : 1. Desentralisasi Fiskal 2. Upaya Fiskal 3. Kemampuan Pembiayaan 4. Efisiensi Penggunaan Anggaran Variabel Kinerja Keuangan : 1. Desentralisasi Fiskal 2. Upaya Fiskal 3. Kemampuan Pembiayaan 4. Efisiensi Penggunaan Anggaran Gambar 2.2. Kerangka konseptual 4. Hipotesis Penelitian Hipotesis dalam penelitian kuantitatif dikembangkan dari telaahan teoritis sebagai jawaban sementara dari masalah atau pertanyaan yang memerlukan pengujian secara empiris. Hipotesis yang dikembangkan dalam penelitian ini, adalah: 1 Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam bentuk desentralisasi fiskal sebelum dan setelah otonomi daerah. 2 Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam bentuk upaya fiskal sebelum dan setelah otonomi daerah. 3 Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam bentuk kemampuan pembiayaan sebelum dan setelah otonomi daerah. MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008 4 Terdapat perbedaan antara kinerja keuangan pemerintahan daerah dalam bentuk efisiensi penggunaan anggaran sebelum dan setelah otonomi daerah. MHD Karya Satya Azhar: Analisis Kerja Keuangan Pemerintah Daerah KabupatenKota Sebelum Dan Setelah Otonomi Daerah, 2008. USU e-Repository © 2008

BAB III METODE PENELITIAN