Dasar Pengenan dan Cara Perhitungan Pajak a. Dasar Pengenaan Pajak

12 Keputusan Menteri Keuangan Nomor 87KMK.032002 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 13 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-21PJ1997 tentang Petunjuk Pelaksanan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan dan Bentuk serta Fungsi Surat Setoran BPHTB SSB. 14 Keputusan Direktur Jeneral Pajak Nomor Kep-22PJ1997 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 15 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-24PJ2000 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar SKP-LB dan Perhitungan Kelebihan Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. 16 Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-221PJ2002 tentang Tata Cara Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan.

2. Dasar Pengenan dan Cara Perhitungan Pajak a. Dasar Pengenaan Pajak

Sesuai dengan Pasal 6 ayat 1 UU BPHTB, yang menjadi dasar pengenaan pajak pada BPHTB adalah Nilai Perolehan Pbjek Pajak NPOP. Karena pada dasarnya ada lima belas jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan yang menjadi objek pajak, setiap jenis peralihan hak tersebut harus ditentukan Nilai Perolehan Universitas Sumatera Utara Pbjek Pajaknya. Pasal 6 ayat 2 menentukan yang menjadi NPOP sebagai dasar pengenaan pajak pada masing-masing jenis perolehan hak, adalah: 53 a. Pada perolehan hak karena jual beli, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi. b. Pada perolehan hak karena tukar-menukar, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. c. Pada perolehan hak karena hibah, yang menjadi NPOP adala nilai pasar. d. Pada perolehan hak karena hibah wasiat, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. e. Pada perolehan hak karena waris, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. f. Pada perolehan hak karena pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. g. Pada perolehan hak karena pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar h. Pada perolehan hak karena peralihan hak sebagai pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar i. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar j. Pada perolehan hak karena pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. k. Pada perolehan hak karena penggabungan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. l. Pada perolehan hak karena peleburan usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. m. Pada perolehan hak karena pemekaran usaha, yang menjadi NPOP adalah nilai pasar. n. Pada perolehan hak karena hadiah, yang menjadi NPP adalah nilai pasar. o. Pada perolehan hak karena penunjuk pembeli dalam lelang, yang menjadi NPOP adalah harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang. Walaupun ada lima belas jenis perolehan hak yang mempunyai NPOP tersendiri, tetapi pada dasarnya hanya ada tiga jenis harga atau nilai yang menjadi NPOP, yaitu harga transaksi, nilai pasar, dan harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang, sebagaimana dijelaskan berikut ini: 54 53 Ibid., hal. 164-165. 54 Ibid., hal. 165-166. Universitas Sumatera Utara 1. Harga transaksi adalah harga yang terjadi dan telah disepakati oleh pihak- pihak yang bersangkutan penjual dan pembeli. 55 Harga transaksi menunjukkan besarnya uang yang diserahkan oleh pembeli untuk memperoleh tanah dan bangunan yang dibelinya keapda penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan. Pengertian yang sangat penting pada hara trsanksi adalah bahwa harga transaksi merupakan harga riil objek jual beli yang disepakati oleh kedua belah pihak penjual dan pembeli, tanpa harus berpatokan pada nilai pasar objek yang diperjualbelikan. Penjual dan pembeli bebas untuk melakukan kesepakatan harga yang sesuai bagi kedua belah pihak, bisa sama, lebih rendah, atau lebih tinggi dari harga pasar objek tersebut. 2. Nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan. 56 Nilai pasar mencerminkan jumlah uang yang seharusnya diterima oleh penjual sebagai pemilik tanah dan bangunan dan yang seharusnya diserahkan oleh pembeli sebagai pihak yang menerima hak atas tanah dan bangunan yang diperjualbelikan. Nilai pasar biasanya ditentukan oleh penilai independen yang terlepas dari berbagai kepentingan atas objek atau properti yang dinilai. Dengan demikian nilai yang dihasilkan oleh penilai independen akan dapat mencerminkan nilai pasar properti yang sebenarnya. 3. Harga transaksi yang tercantum dalam risalah lelang adalah harga riil yang ditentukan oleh pejabat lelang atas tawaran harga tertinggi yang diajukan oleh peserta lelang. 57 Harga lelang umumnya berada di bawah nilai pasar dari objek yang dilelang mengingat pada lelang peserta lelang umumnya akan memberikan harga penawaran yang menurut perkiraannya berada di bawah harga pasar objek yang dilelang. Terkait dengan ketiga nilai NPOP di atas yang merupakan tugas NotarisPPAT hanya merujuk pada nilai transaksi dan nilai pasar, kecuali NotarisPPAT tersebut dalam kaitan pelaksanaan lelang. Sebagai pajak yang dikenakan pada perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, BPHTB menghendaki bahwa BPHTB dihitung dari dasar pengenaan pajak 55 Penjelasan Pasal 6 ayat 6 huruf a UU BPHTB. 56 Penjelasan Pasal 6 ayat 2 huruf b. 57 Pasal 1 angka 21 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150PMK.062007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 40PMK.072006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang. Universitas Sumatera Utara yang riil yang sebenarnya sebagai cerminan nilai dari properti yang dialihkan. Hal ini menghendaki bahwa harga transaksi jual beli yang dilaporkan adalah mendekati nilai pasar wajar properti tersebut. Hal ini kadang sulit diterapkan mengingat besarnya harga transaksi akan mempengaruhi biaya-biaya yang berkaitan dengan transaksi tersebut, seperti biaya PPAT, Pajak Penghasilan, biaya pengurusan sertifikat, dan biaya lain yang berkaitan. Oleh karena itu pihak penjual dan pembeli memiliki kecenderungan untuk tidak mencantumkan harga transaksi yang sesungguhnya pada akta jual beli yang dibuat dengan maksud untuk mengurangi biaya yang harus ditanggung oleh penjual dan pembeli. Nilai pasar secara umum ditetapkan menjadi dasar pengenaan pajak pada perolehan hak selain karena jual beli dan lelang. Hal ini menghendaki untuk setiap tanah dan bangunan diketahui berapa nilai pasarnya. Selanjutnya menentukan dasar pengertian pajak dibutuhkan suatu unsur sebagai penyangga manakala atas suatu transaksi jual beli harga transaksi yang disepakati penjual dan pembeli serta dituangkan dalam akta jual beli bukan merupakan harga transaksi yang sebenarnya, dan apabila nilai pasar objek perolehan hak tidak diketahui berapa besarnya. Untuk itu UU BPHTB menetapkan Nilai Jual Objek Pajak NJOP sebagai penyangga dari dua keadaan yang telah dikemukakan di atas. Hal ini dilakukan dengan cara membandingkan harga transaksi dan nilai pasar dengan NJOP tanah dan bangunan yang menjadi objek perolehan hak, dengan ketentuan mana yang nilainya paling tinggi itulah yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak. Pada lelang dipandang tidak diperlukan penyangga harga riil yang Universitas Sumatera Utara terjadi dari perolehan hak atas properti yang dilelang, sehingga tidak perlu dilakukan perbandingan harga trsanksi dalam lelang dengan NJOP.

b. NPOP DPP

Pengenaan pajak peralihan hak atas tanah yang menjadi NPOP penyangga adalah Nilai Jual Objek Pajak NJOP yang digunakan Pajak Bumi dan Bangunan PBB, di mana dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan PBB adalah Undang- Undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994. Nilai Jual Objek Pajak NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau NJOP pengganti. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatanmetode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara membandingkannya dengan objek pajak lain yang sejenis, yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga jualnya. Nilai perolehan baru adalah suatu pendekatanmetode penentuan nilai jual suatu objek pajak dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh objek tersebut pada saat penilaian dilakukan, yang dikurangi dengan penyusutan berdasarkan kondisi fisik objek tertentu. Nilai jual pengganti adalah antara pendekatanmetode penentuan nilai jual suatu objek pajak yang berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut. Universitas Sumatera Utara Objek PBB adalah bumi dan atau bangunan. Yang dimaksud dengan klasifikasi bumi dan bangunan adalah pengelompokkan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. Menentukan klasifikan bumitanah diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Letak tanah b. Peruntukan c. Pemanfaatan d. Kondisi lingkungan dan lain-lain Sedangkan menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor-faktor sebagai berikut: a. Bahan yang digunakan b. Rekayasa c. Letak d. Kondisi lingkungan dan lain-lain. Besarnya NJOP Tidak Kena Pajak NJOPTKP ditetapkan untuk masing- masing KabupatenKota dengan besar setingi-tingginya Rp. 12.000.000,00 dua belas juta rupiah untuk setiap Wajib Pajak. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu Objek Pajak yang nilainya terbesar, sedangkan Objek Pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOPTKP. 58 Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada contoh berikut ini: 58 Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan menetapkan besarnya NJOPTKP dengan mempertimbangan pendapat GubernurBupatiWalikota Pemerintah Daerah setempat. Universitas Sumatera Utara a. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dan bangunan Rp. 4.000.000,- dan besarnya NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp. 6.000.000,-. Karena NJOP berada di bawah batas NJOPTKP Rp. 6.000.000,00, maka objek pajak tersebut tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan. b. Seorang Wajib Pajak mempunyai Objek Pajak berupa bumi dan bangunan di Desa A dan Desa B dengan nilai sebagai berikut: Desa A: NJOP Bumi Rp. 13.000.000,00 NJOP Bangunan Rp. 9.000.000,00 Desa B: NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00 NJOP Bangunan Rp. 10.000.000,00 NJOPTKP untuk objek pajak wilayah tersebut adalah Rp. 10.000.000,00. Dengan data tersebut di atas, maka NJOP untuk perhitungan PBB: Langkah pertama adalah mencari NJOP dari dua desa tersebut yang mempunyai nilai paling besar, yaitu Desa A, maka NJOP untuk perhitungan PBB adalah: NJOP Bumi Rp. 13.000.000,00 NJOP Bangunan 9.000.000,00 NJOP sebagai dasar pengenaan PBB Rp. 22.000.000,00 NJOPTKP 10.000.000,00 NJOP untuk penghitungan PBB Rp. 12.000.000,00 Kemudian untuk desa B: NJOP untuk penghitungan PBB: NJOP Bumi Rp. 8.000.000,00 NJOP Bangunan 10.000.000,00 NJOP sebagai pengenaan PBB Rp. 18.000.000,00 NJOPTKP 0,00 NJOP untuk penghitungan PBB Rp. 18.000.000,00 Wajib Pajak pada contoh poin b di atas mempunyai beberapa objek pajak, yaitu di Desa A dan B maka yang diberikan NJOP Tidak Kena Pajak hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar yaitu di Desa A, sedangkan objek pajak yang berada di Desa B tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi NJOP Tidak Kena Pajak. NJOP Bumi atau NJOP Bangunan sebagaimana disebutkan di atas dihitung sesuai luas bumi tanah dan bangunan dengan harga per meter kubik sesuai kelas Universitas Sumatera Utara masing-masing yang telah ditentukan dalam Lampiran IA dan IIA Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523KMK.041998 tentang pengaturan Klasifikasi, Penggolongan, dan Ketentuan Nilai Jual Permukaan Bumi Tanah dan Bangunan. Sebagai contoh dapat dilihat dari Penghitungan pajak PBB DJP Sumatera Utara Medan I No.SPPT NOP : 12.75.110.002.0150071.0 tanggal 02 Januari 2008,yaitu suatu tanah dan bangunan di Kota Medan, dengan luas tanah 110 M2 kelas A21 dan bangunan luas 72 M2 kelas A13, dengan ketentuan NJOPTKP untuk Kota Medan Rp. 8.000.000,00,- perhitungan NJOP PBB sebagai berikut: Objek Pajak Luas M2 Kelas Harga Per M2 Bumi 110 A21 464,000.00 Bangunan 72 A13 162,000.00 Maka NJOP sebagai dasar pengenaan pajak PBB: NJOP Bumi = 110 x Rp. 464.000,00 = Rp. 51.040.000,00 NJOP Bangunan = 72 x Rp. 162.000,00 = Rp. 11.664.000,00 NJOP sebagai dasar pengenaan pajak PBB = Rp. 62.704.000,00 NJOPTKP untuk Kota Medan = Rp. 8.000.000,00 NJOP untuk penghitungan PBB = Rp. 54.704.000,00 Atas dasar NJOP untuk penghitungan PBB maka dapat dilakukan penghitungan PBB terutang sesuai Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 12 Tahun 1994 tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5 lima persepuluh persen, dari persentase Nilai Jual Kena Pajak NJKP. Sedangkan persentase nilai jual objek pajak ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 sebagai berikut: a. Objek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40 empat puluh persen dari Nilai Jual Objek Pajak. Universitas Sumatera Utara b. Objek pajak lainnya: i. sebesar 40 empat puluh persen dari nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah atau lebih. ii. sebesar 20 dua puluh persen dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya kurang dari Rp. 1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Berdasarkan ketentuan persentase di atas maka besarnya pajak terutang PBB dihitung dengan cara: tarif pajak 0,5 dikalikan dengan nilai jual kena pajak NJKP, sebagai berikut: Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif Pajak x NJKP = 0,5 x Presentase NJKP x NJOP-NJOPTKP. Maka dari penghitungan PBB No.SPPT NOP: 12.75.110.002.0150071.0 tanggal 02 Januari 2008, dengan NJOP untuk penghitungan PBB Rp. 54.704.000,00 sebagaimana telah dikemukakan di atas, PBB terutang adalah: PPB terutang = 0,5 x 20 x 54.704.000,00 = 54.704,00. Selanjutnya, ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan NJOP untuk penghitungan PBB ini sangat terkait dengan perhitungan BPHTB, karena sesuai dengan Pasal 6 ayat 3 UU BPHTB apabila Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP yang digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, yang menjadi dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Dengan membandingkan harga transaksi dan nilai pasar dengan NJOP maka NJOP ditetapkan sebagai penyangga penetapan dasar pengenaan pajak agar dasar pengenaan pajak mencerminkan nilai riil dari tanah dan bangunan yang menjadi objek perolehan hak. Universitas Sumatera Utara Dipilihnya NJOP sebagai penyangga ini dengan alasan bahwa pada Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523KMK.041998 NJOP PBB merupakan cerminan nilai pasar wajar setiap obyek pajak bumi tanah dan bangunan yang ada di Indonesia. Hal ini terlihat dari definisi NJOP, yaitu harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, yang juga merupakan pengertian dari niliai pasar properti. NJOP yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak adalah NJOP yang digunakan dalam pengenaan PBB atas tanah dan bangunan yang menjadi objek BPHTB. Dalam praktik sehari-hari NJOP tersebut dapat dengan mudah dilihat pada Surat Pemberitahuan Pajak Terutang SPPT yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan PBB yang wilayah kerjanya meliputi tempat objek pajak berada. Untuk dapat diterbitkan SPPT, objek pajak bumi tanah dan bangunan dimaksud harus sudah terdaftar pada Kantor Pelayanan PBB setempat. Dengan demikian, dalam pemenuhan kewajiban BPHTB, wajib pajak harus memiliki SPPT atas objek pajak dimaksud, apabila belum diterbitkan SPPT, wajib pajak pemilik tanah dan bangunan harus terlebih dahulu mendaftarkan objek pajak tersebut ke Kantor Pelayanan PBB setempat agar dapat diterbitkan SPPT atas bumi tanah dan bangunan dimaksud. Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat 4 UU BPHTB ditegaskan bahwa apabila NJOP PBB sebagaimana dimaksud sebagai dasar pengenaan pajak belum ditetapkan, besarnya NJOP PBB ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Hal ini sering terjadi pada saat perolehan hak atas tanah dan bangunan dilakukan bulan Januari atau Februari, di mana pada saat itu Kantor Pelayanan PBB belum menerbitkan SPPT kepada wajib pajak berkaitan dengan administrasi perpajakan. Dengan demikian NJOP yang biasanya tercantum pada SPPT belum diketahui oleh wajib pajak maupun pejabat Universitas Sumatera Utara yang berwenang sehubungan dengan BPHTB. Kondisi ini tentunya tidak boleh membuat wajib pajak menunda pemenuhan BPHTB yang berakibat tertundanya perolehan hak atas tanah dan bangunan tersebut Untuk mengatasi hal demikian, Kepala Kantor Pelayanan PBB atas nama Menteri Keuangan akan menetapkan NJOP atas objek perolehan hak dimaksud pada saat tahun terjadinya perolehan hak dengan cara mengeluarkan Surat Keterangan NJOP atas objek pajak dimaksud. Surat Keterangan NJOP memuat nama wajib pajak PBB, luas tanah dan luas bangunan, NJOP tanah dan bangunan per m 2 , serta total NJOP tanah dan bangunan tersebut. Surat Keterangan NJOP ini memiliki kekuatan hukum yang sama dengan SPPT dalam hal penetapan NJOP objek dimaksud pada tahun bersangkutan karena NJOP yang tertera pada Surat Keterangan NJOP adalah sama dengan NJOP yang akan tercantum dalam SPPT. Penghitungan NJOP tanah dan bangunan yang digunakan sebagai perbandingan terhadap harga transaksi atau nilai pasar dapat dilakukan dengan menggunakan data yang tertera pada Surat Keterangan NJOP dimaksud. Dengan demikian wajib pajak tidak terhalangi untuk melakukan pembayaran BPHTB terutang sehingga akta perolehan hak dapat ditandatangani oleh pejabat PPAT yang berwenang.

c. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak NPOPTKP

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak NPOP Tidak Kena Pajak adalah suatu besaran tertentu dari Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP yang tidak dikenakan pajak. Apabila NPOP yang menjadi dasar pengenaan pajak suatu objek BPHTB kurang dari NPOPTKP yang ditetapkan, atas objek tersebut tidak ada BPHTB yang harus dibayar atau tidak terutang BPHTB. Sementara itu, apabila Universitas Sumatera Utara NPOP besarnya lebih dari NPOPTKP yang ditetapkan, besarnya pajak terutang dihitung dari selisih antara NPOP dan NPOPTKP. NPOPTKP ditetapkan berdasarkan ketentuan Pasal 7 UU BPHTB, yang besarnya ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00. Khusus bagi perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pewaris atau pemberi hibah wasiat, termasuk suamiisteri, NPOPTKP ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 300.000.000,00. Ketentuan NPOPTKP diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Sebagai aturan pelaksanaan, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4032 menyebutkan: 59 Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2000, disebutkan bahwa dasar pengenaan pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak. Besarnya pajak terutang dihitung dengan cara menggalikan tarif pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak yang diperoleh dengan cara mengurangkan Nilai Perolehan Objek Pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan ditetapkan secara regional dan dibedakan antara perolehan hak karena waris, dan hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suamiisteri, dengan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dalam hal perolehan hak karena perbuatan dan peristiwa hukum lainnya. Mengingat adanya perbedaan tingkat perekonomian antar daerah, maka penetapan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dapat 59 Atep Adya Barata, Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan BPHTB, Menghitung Objek dan Cara Pengajuan Keberatan Pajak, PT. Elex Media Komputindo, Jakarta, hal. 21-22. Universitas Sumatera Utara dibedakan antara daerah yang satu dengan daerah lainnya sesuai dengan semangat Otonomi Daerah yang lebih memberikan kewenangan kepada pemerintah Daerah KabupatenKota untuk mengatur sendiri rumah tangganya. Untuk lebih memberikan rasa keadilan dan kepastian hukum mengenai hal tersebut, penentuan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tersebut pada pokoknya menentukan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 enam puluh juta rupiah, kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suamiisteri, ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 300.000.000,00 tiga ratus juta rupiah. 60 Dari hasil wawancara diketahui Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak NPOPTKP untuk Kota Medan adalah sebesar Rp. 30.000.000,00,- tiga puluh juta. 61

d. Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak NPOPKP

Nilai Perolehan Objek Kena Pajak NPOPKP adalah besaran tertentu dari NPOP yang boleh dikenakan pajak. Pasal 8 UU BPHTB menetapkan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak diperoleh dengan cara mengurangkan Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak NPOPTKP. Dalam BPHTB, Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak ditetapkan sebagai dasar perhitungan pajak. Dengan demikian NPOPKP merupakan basis pajak pada BPHTB. 60 Pasal 1 Peraturan Pemerintah Nomor 113 Tahun 2000 tentang Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB. 61 Hasil wawancara dengan Bapak Halim, S.H., NotarisPPAT di Kota Medan, tanggal 16 Juli 2008 di Medan. Universitas Sumatera Utara Tarif pajak yang digunakan untuk menghitung besarnya BPHTB terutang adalah tarif tunggal. Pasal 5 UU BPHTB menetapkan bahwa tarif pajak ditetapkan sebsar 5 persen. Dengan demikian besarnya tarif pajak yang digunakan untuk menetapkan BPHTB terutang ditetapkan sebesar 5 persen dari Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak NPOPKP, sebagai berikut: Pajak terutang = Tarif Pajak x Basis Pajak BPHTB terutang = Tarif Pajak x NPOP-NPOPTKP BPHTB terutang = 5 x NPOPKP. Contoh perhitungan BPHTB: 1. Pada tanggal 6 Januari 2001, Tuan “S” membeli tanah yang terletak di Kabupaten “XX” dengan Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP Rp50.000.000,00. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suamiistri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp 60.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan: BPHTB = 5 x Rp 50 juta – Rp 60 juta = 5 x 0 = 0 nihil. 2. Pada tanggal 7 Januari 2001, Nyonya “D” membeli tanah dan bangunan yang terletak di Kabupaten “XX” dengan NPOP Rp100.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak selain karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suamiistri, untuk Kabupaten “XX” ditetapkan sebesar Rp60.000.000,00. Besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak NPOPKP adalah Rp100.000.000,00 dikurangi Rp. 60.000.000,00 sama dengan Rp40.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. BPHTB = 5 x Rp 100 – Rp 60 juta = 5 x Rp 40 juta = Rp 2 juta. Universitas Sumatera Utara 3. Pada tanggal 28 Juli 2001, Tuan“S” mendaftarkan warisan berupa tanah dan bangunan yang terletak di Kota “BB” dengan NPOP Rp400.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena waris untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00. Besarnya NPOPKP adalah Rp400.000.000,00 dikurangi Rp300.000.000,00 sama dengan Rp100.000.000,00, maka perolehan hak tersebut terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan: BPHTB = 5 x Rp 400 – Rp300 juta = 5 x Rp 100 juta = Rp 5 juta. 4. Pada tanggal 7 November 2001, Wajib Pajak orang pribadi “K” mendaftarkan hibah wasiat dari orang tua kandung, sebidang tanah yang terletak di Kota “ BB” dengan NPOP Rp250.000.000,00. NPOPTKP untuk perolehan hak karena hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suamiistri, untuk Kota “BB” ditetapkan sebesar Rp300.000.000,00. Mengingat NPOP lebih kecil dibandingkan NPOPTKP, maka perolehan hak tersebut tidak terutang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan: BPHTB = 5 x Rp 250 – Rp 300 juta = 5 x 0 = 0 nihil. Dengan demikian yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai Perolehan Objek Pajak NPOP yang ditentukan sebesar harga transaksi. Namun apabila nilai NPOP nilai transaksi ternyata lebih rendah dari Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan NJOP PBB, maka yang menjadi dasar pengenaan pajak adalah nilai pada NJOP PBB. Demikian juga halnya dengan perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah, namun dalam perolehan karena hibah dimungkinkan diajukan pengurangan sebesar 50 persen apabila penerima hibah adalah keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan pemberi hibah. Universitas Sumatera Utara

B. Pengurangan BPHTB Atas Perolehan Hak Secara Hibah

Hibah tanah merupakan pemberian seseorang kepada orang lain dengan tidak ada penggantian apa pun dan dilakukan secara suka rela, tanpa ada kontraprestasi dari pihak penerima pemberian, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup. Inilah yang berbeda dengan wasiat, yang mana wasiat diberikan sesudah si pewasiat meninggal dunia. 62 Pengertian hibah dalam Pasal 1666 KUH Perdata, yakni: Hibah adalah suatu perjanjian dengan mana si penghihah, di waktu hidupnya, dengan cuma-cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan sesuatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu. Undang-undang tidak mengakui lain-lain hibah selain hibah-hibah diantara orang-orang yang masih hidup. Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada. Jika hibah itu meliputi benda-benda yang baru akan ada di kemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal. Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda yang termasuk dalam hibah; hibah yang semacam itu, sekadar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal. 63 Namun, diperbolehkan kepada si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan, baik benda- benda bergerak maupun benda-benda tak bergerak atau bahwa ia dapat memberikan kenikmatan atau nikmat hasil tersebut kepada orang lain; dalam hal mana harus 62 Chairuman Pasaribu dan Suhrawardi K. Lubis, Hukum Perjanjian Dalam Islam, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 1996, hal. 113. 63 Pasal 1667 KUH Perdata. Universitas Sumatera Utara diperhatikan ketentuan-ketentuan bab ke sepuluh Buku kedua Kitab Undang- Undang ini. 64 Suatu hibah adalah batal, jika dibuat dengan syarat bahwa si penerima hibah akan melunasi utang-utang atau beban-beban lain, selain yang dinyatakan dengan tegas di dalam akta hibah sendiri atau di dalam suatu daftar yang ditempelkan padanya. 65 Kemudian, si penghibah boleh memperjanjikan bahwa ia akan memakai sejumlah uang dari benda-benda yang dihibahkan. Jika meninggal, maka apa yang dihibahkan tetap untuk seluruhnya pada si penerima hibah. 66 Sebelum lahirnya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah PP No.24 Tahun 2007 tentang Pendaftaran Tanah, bagi mereka yang tunduk kepada KUH Perdata, surat hibah wasiat harus dibuat dalam bentuk tertulis dari Notaris. 67 Surat hibah wasiat yang tidak dibuat oleh Notaris tidak memiliki kekuatan hukum. Mereka yang tunduk pada hukum adat dapat membuatnya di bawah tangan, tetapi proses di kantor Pertanahan harus dibuat dengan akta PPAT. 68 Setelah lahirnya PP No. 24 Tahun 1997, setiap pemberian hibah tanah harus dilakukan dengan akta PPAT. Perolehan tanah secara hibah seyogianya didaftarkan peralihan haknya itu di Kantor Pertanahan setempat sebagai bentuk pengamanan hibah tanah. 64 Pasal 1668 KUH Perdata, selanjutnya Pasal 756 sd 760 KUH Perdata. 65 Pasal 1670 KUH Perdata. 66 Pasal 1671 KUH Perdata. 67 Pasal 1005 KUH Perdata, berbunyi, seorang yang mewariskan diperbolehkan, baik dalm suatu wasiat, maupun dalam suatu akta di bawah tangan seperti yang tersebut dalam Pasal 935, maupun pula dalam suatu akta notaris khusus, mengangkat seorang atau beberapa orang pelaksana wasiat. Ia dapat pula mengangkat berbagai orang, supaya jika yanga satu berhalangan, digantikan oleh yang lainnya. 68 Efendi Perangin, Mencegah Sengketa Tanah, Cetakan Kedua, Rajawali, Jakarta, 1999, hal. 46. Universitas Sumatera Utara Kekuatan hukum akta hibah terletak pada fungsi akta otentik itu sendiri yakni sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang Pasal 1682, 1867 dan Pasal 1868 KUH Perdata, 69 sehingga hal ini merupakan akibat langsung yang merupakan keharusan dari ketentuan perundang-undangan, bahwa harus ada akta-akta otentik sebagai alat pembuktian. Kemudian dalam Pasal 1689 KUH Perdata, suatu hibah tidak dapat ditarik kembali maupun dihapuskan karenanya, melainkan dalam hal-hal berikut: a. Karena tidak dipenuhi syarat-syarat dengan mana penghibahan telah dilakukan. b. Jika si penerima hibah telah bersalah mclakukan atau membantu melaku- kan kejahatan yang bertujuan mengambil jiwa si penghibah atau suatu hambatan lain terhadap si penghibah. c. Jika ia menolak memberikan tunjangan nafkah kepada si penghibah, setelah orang ini jatuh dalam kemiskinan. Namun demikian, tidak diatur dengan jelas batasan jumlah hartabendabarang yang dapat dihibahkan sehingga juga perlu melihat bagian kedua KUH Perdata, khususnya pasal-pasal yang memuat ketentuan tentang batasan legitime portie, yakni Pasal 913, 949 dan 920 KUH Perdata, 70 serta peraturan perundang-undangan lainnya seperti 69 Pasal 1867 KUH Perdata, berbunyi: Pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan. Pasal 1862, berbunyi: Suatu Perdamaian yang diadakan atas dasar surat-surat yang kemudian dinyatakan palsu, adalah sama sekali batal. Pasal 1868, berbunyi: Suat akta otentik ialah suatu akta yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh udnang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat di mana akta dibuatnya. 70 Pasal 913 KUH Perdata, berbunyi: Bagian mutlak atau legitime portie, adalah suatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris dalam garis lurus menurut undang-undang, terhadap bagian mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Pasal 949 berbunyi: Segala suatu wasiat yang dibuat menurut tiga pasal yan lalu, harus ditandatangani oleh si yang mewariskan, oleh mereka di hadapan siapa surat itu dibuat dan oleh sekurang- kurangnya salah seorang saksi. Pasal 920, berbunyi: Terhadap segala pemberian atau penghibahan, baik antara yang masih hidup, maupun dengan surat wasiat yang mengakibatkan menjadi kurangnya bagian mutlak dalam sesutu warisan, bolehlah kelak dilakukan pengurangan, bilamana warisan itu jatuh meluang, akan tetapi hanyalah atas tuntutan para waris mutlak dan ahli waris atau pengganti mereka. Universitas Sumatera Utara Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain itu, adanya unsur perbuatan melawan hukum dalam hal penghibahan dapat pula membatalkan akta hibah. 71 Agar menjadi alat bukti yang sah, akta hibah harus dibuat dan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang serta para pihak yang terkait di dalamnya. Selain itu, dalam pembuatan akta hibah, perlu diperhatikan objek yang akan dihibahkan, karena dalam Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah ditentukan bahwa untuk objek hibah tanah harus dibuat akta hibah oleh Peiabat Pembuat Akta Tanah PPAT. Akan tetapi, apabila objek tersebut selain dari itu objek hibah benda bergerak, maka ketentuan dalam BW tersebut tetap digunakan sebagai dasar pembuatan akta hibah, yakni dibuat dan ditandatangani Notaris. 72 Dalam hibah hak kepemilikan atas tanah dan bangunan, orang yang mempunyai hak atas tanah dan bangunan menyerahkan hak kepemilikan atas tanah dan bangunannya untuk selama-lamanya kepada seseorang dan sejak itu hak atas tanah dan bangunan tersebut telah berpindah kepada yang menerima hibah tersebut, sama halnya dengan jual beli dan tukar menukar, 73 yang harus dilakukan dengan akta PPAT, sehingga pemberian hibah merupakan objek pajak BPHTB. Pada perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah dimungkinkan diajukan pengurangan sebesar 50 persen apabila penerima hibah adalah keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dengan 71 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hal. 100. 72 Ibid., hal. 101. 73 Wantjik Saleh R., op. cit., hal. 35. Universitas Sumatera Utara pemberi hibah. Apabila ternyata penerima hibah dan pemberi hibah tidak memenuhi ketentuan di atas, BPHTB terutama dihitung secara penuh dan penerima hibah tidak memiliki hak untuk mengajukan pengurangan BPHTB sebesar 50 persen. 74 Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 20 BPHTB, bahwa atas permohonan Wajib Pajak, pengurangan pajak yang terutang dapat diberikan oleh Menteri karena: a. kondisi tertentu Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan Objek Pajak, atau b. kondisi Wajib Pajak yang ada hubungannya dengan sebab-sebab tertentu, atau c. tanah dan atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau pendidikan yang semata-mata tidak untuk mencari keuntungan. Ketentuan mengenai pemberian pengurangan pajak yang terutang sebagairnana dimaksud di atas diatur dengan Keputusan Menteri. Perhitungan BPHTB untuk perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah tersebut dapat dilihat contoh berikut ini: 75 Drs. Mustadla menghibahkan sebuah rumah tinggal dengan luas tanah 400 m 2 dan luas bangunan 100 m 2 kepada Ir. Juanda, adik kandungnya. Akta hibah dibuat oleh NotarisPPAT pada tanggal 15 Maret 2001. Adapun nilai pasar adalah, Rp. 125.000.000,00. Diketahui NJOP tanah per m 2 adalah = Rp. 285.000,00 dan NJOP bangunan adalah Rp. 310.000,00 per m 2 , serta NPOPTKP selain karena waris dan hibah wasiat tahun 2001 pada kabupaten objek pajak berada ditetapkan Rp. 40.000.000,00. Pertanyaan : Berapa BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Ir. Juanda pada saat penandatanganan akta hibah tersebut? Penyelesaian: Nilai pasar Rp. 125.000.000,00 NPOPTKP tahun 2001 Rp. 40.000.000,00 74 Marihot P. Siahaan, op. cit, hal. 305. 75 Ibid., hal. 305-309. Universitas Sumatera Utara Drs. Murtadla menghibahkan rumah tinggal miliknya kepada Ir. Juanda, adik kandungnya, pada tanggal 15 Maret 2001. Perhitungan NJOP: NJOP bumitanah: 400 m 2 x Rp 285.000,00m 2 = Rp.114.000.000,00 NJOP Bangunan 100 m 2 x Rp 310.000,00 m 2 = Rp. 31.000.000,00 + NJOP bumi dan bangunan = Rp145.000.000,00 Karena NJOP lebih besar daripada nilai pasar, yang menjadi NPOP adalah NJOP NPOP= Rp 145.000.000,00. BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Ir. Juanda, adik kandung Drs. Murtadla, pada saat penandatanganan akta hibah oleh notaris tanggal 15 Maret 2001 : NPOP : Rp145.000.000,00 Dikurangi NPOPTKP : Rp 40.000.000;00 - NPOPKP : Rp105.000.000,00 BPHTB terutang = 5 x Rp105.000.000,00 = Rp. 5.250.000,00 Pada perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah kepada adik kandung pada kasus di atas, maka bagi si penerima hak penerima hibah tidak diberikan pengurangan atas pajak BPHTB yang terutang sehingga perhitungan BPHTB terutang adalah sama seperti pada transaksi jual beli. Pengurangan pajak terutang sebesar 50 persen dari BPHTB yang terutang hanya diberikan pada perolehan hak karena hibah kepada keturunan sedarah dalam garis lurus satu derajat ke atas atau ke bawah dari orang tua kepada anak kandung atau dari anak kepada orang tua kandung, sebagaimana contoh berikut ini: Melihat keadaan anaknya yang belum memiliki usaha tetap, Tuan Mahmud bermaksud menghibahkan sebuah ruko pada kawasan perdagangan di Kota Kalianda, kepada Tuan Ahmed, anak kandungnya, sebagai modal usaha. Adapun ruko yang dihibahkan adalah sebuah ruko dua lantai dengan luas bangunan 100 m 2 dan luas tanah = 100 m 2 dengan nilai pasar wajar Rp. 60.000.000,00. Atas ruko tersebut telah terbit SPPT tahun 2001 dengan NJOP dengan luas bangunan sebagai dasar pengenaan pajak = Rp 70.000.000,00 dan diketahui bahwa NPOPTKP Kabupaten Lampung Selatan Tahun 2001 adalah sebesar Rp15.000.000,00. Akta hibah dilakukan di hadapan notaris pada tanggal 25 Mei 2001. Tuan Ahmed mendengar Universitas Sumatera Utara informasi bahwa atas perolehan hak karena hibah diberikan pengurangan atas BPHTB yang terutang dan bermaksud memanfaatkan fasilitas pengurangan tersebut dalam pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB-nya. Pertanyaan: Berapakah BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Tuan Ahmed atas perolehan hak atas ruko yang diperolehnya sebagai hibah dari orang tua kandungnya pada saat penandatanganan akta hibah ? Penyelesaian : Nilai pasar : Rp60.000.000,00 NJOP tahun 2001 : Rp70.000.000,00 NPOPTKP tahun 2001 : Rp15.000.000,00 Tuan Mahmud menghibahkan ruko miliknya kepada Tuan Ahmed, anak kandungnya, dan akta hibah ditandatangani . oleh notaris pada tanggal 25 Mei 2001. Karena NJOP Ichih besar daripada nilai pasar, maka yang mcnjadi NPOP adalah NJOP NPOP= Rp70.000.000,00. BPHTB terutang yang harus dibayar oleh Tuan Ahmed, anak kandung Tuan Mahmud, saat akta hibah ditandatangani pada tanggal 25 Mei 2001 adalah: NPOP : Rp. 70.000.000,00 Dikurangi NPOPTKP : Rp. 15.000.000,00 - NPOPKI : Rp. 55.000.000,00 BPHTB Tennang = 5 x Rp55.000.000,00 = Rp. 2.750.000,00 Karena perolehan hak atas tanah dan bangunan merupakan hibah dari orang tua kepada anak kandung, maka Tuan Ahmed dapat mengajukan pengurangan BPHTB terutang sebesar 50 persen. Sesuai dengan ketentuan Kepala KP PBB setempat atas nama Menteri Keuangan akan menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Pengurangan BPHTB dengan perhitungan perhitungan sebagai berikut: BPHTB yang seharusnya terutang = Rp 2.750.000,00 Pengurangan 50 x Rp 2.750.000,00 = Rp 1.375.000,00 - BPHTB yang harus dibayar = Rp l.375.000,00 Dengan demikian, atas perolehan hak atas ruko dua lantai yang diperolehnya dari orang tua kandungnya, Tuan Ahmed akan membayar BPHTB terutang sebesar Universitas Sumatera Utara Rp l.375.000,00. Dalam praktik sehari-hari pada saat penandatanganan akta hibah Tuan Ahmed dapat membayar melunasi BPHTB terutang sebesar Rp. l.375.000,00 sesuai perhitungan BPHTB terutang setelah dikurangi pengurangan pajak sebesar 50 persen. Namun, Tuan Ahmed harus segera mengajukan permohonan pengurangan BPHTB sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

C. Saat dan Tempat Pajak Terutang

Pada setiap ketentuan pengenaan atau pemungutan pajak, satu hal yang sangat menentukan untuk dapat dilakukan pemungutan pajak atas suatu objek pajak adalah saat pajak terutang. Setiap undang-undang pajak harus menentukan kapan saat pajak terutang dengan jelas agar tidak menimbulkan sengketa antara wajib pajak dengan fiskus. Undang-Undang BPHTB mengatur dengan jelas penentuan saat terutang pajak yang harus diikuti pada setiap jenis perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pada BPHTB penentuan saat terutang pajak berguna untuk menentukan beberapa hal di bawah ini: 76 1. apakah suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan terutang pajak atau tidak. 2. Ketentuan pengenaan pajak dan fasilitas pajak yang mana yang akan diberlakukan. Adanya perubahan peraturan di bidang BPHTB, baik di tingkat undang-undang peraturan pemerintah, maupun keputusan Menteri Keuangan pada suatu waktu tertentu misalnya perubahan ketentuan pemberian pengurangan BPHTB dan besarnya presentase pengurangan akan berpengaruh pada perlakuan terhadap objek pajak yang pada akhirnya akan berpengaruh pada besarnya BPHTB terutang yang akan dibayar. Hal ini sangat terkait dengan saat terutangnya pajak yang menjadi dasar kewajiban pembayaran pajak terutang oleh wajib pajak. 76 Ibid., 205-206. Universitas Sumatera Utara 3. Penentuan besarnya denda administrasi bila sekiranya berdasarkan pemeriksaan fiskus haru ditertibkan STB, SKB, KB an SKBKBT. 4. Penentuan batas akhir hak wajib pajak untuk mengajukan keberatan dan pengurangan pajak. Pada transaksi hibah atas perolehan hak atas tanah dan bangunan terjadi pada saat ditandatangani akta pemberian hibah oleh penjual dan pemberi, saksi, dan atau PPAT yang berwenang yang dilanjutkan dengan pendaftaran pemberian hibah atas tanah dan bangunan ke kantor pertanahan setempat. Bila seandainya sebelumnya telah dilakukan penyerahan tanah dan bangunan secara fisik menjadi atas penguasaan calon penerima hibah tetapi akta hibah otentik belum dibuat, sebenarnya belum ada perolehan hak karena hibah tersebut, sehingga tidak ada BPHTB yang terutang. Begitu juga sekiranya pemberian hibah tersebut telah dilakukan dengan akta hibah di bawah tangan biasanya di atas kertas segel atau kertas yang diberi materai, sebenarnya tidak ada perolehan hak baru karena hibah yang terjadi sehingga pada saat penandatangan akta di bawah tangan tersebut oleh penjual, pembeli, dan para saksi biasanya diketahui pula oleh lurah atau kepala desa tidak ada BPHTB terutang yang harus dibayar oleh pembeli. 77 Pasal 9 UU BPHTB memberikan ketentuan dengan tegas waktu yang menjadi saat yang menentukan pajak terutang. Secara umum, ada lima saatwaktu yang ditentukan menjadi saat pajak terutang, yaitu: 1. tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta 2. tanggal penunjukan pemegang lelang. 3. tanggal didaftarkannya perolehan hak ke kantor pertanahan 4. tanggal putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan 5. tanggal ditandatangani dan diterbitkannya surat keputusan pemberian hak. 77 Ibid., hal. 206-207. Universitas Sumatera Utara Saat yang paling banyak digunakan sebagai saat pajak terutang adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta. Hal ini dapat dimengerti karena sebagian besar perolehan hak yang terjadi berkaitan atau dibuktikan dengan aadanya akta otentik. Yang dimaksud sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta adalah tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta pemindahan hak di hadapan PPAT. Hal yang sangat penting dari suatu akta otentik sebagai alat pembuktian adalah kapan akta otentik dibuat. Saat atau tanggal akta otentik dibuat berarti tanggal diresmikannya akta otentik tersebut. Tanggal yang tertera pada akta merupakan tanggal diresmikannya akta, yaitu tanggal dibuatnya akta, dibacakannya akta oleh pejabat umum, serta ditandatanganinya akta oleh para penghadap pihak yang berkepentingan, para saksi, dan pejabat yang berwenang. Oleh karena itu, tanggal yang dicantumkan oleh PPAT pada akta tidak boleh berlainan dengan tanggal diresmikannya akta tersebut. Kepastian tentang tanggal akta besar sekali artianya, misalnya untuk suatu perjanjian di mana diikatkan suatu jangka waktu tertentu, terutama apabila jangka waktu itu dihitung mulai dari tanggal akta yang bersangkutan. 78 Saat yang menentukan pajak terutang sesuai dengan jenis perolehan hak yang terjadi. Dalam hal perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta. Perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah terjadi pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta hibah oleh PPAT. 78 R. Soegondo Notodisoerjo, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu Penjelasan, Rajawali Pers, Jakarta, 1993, hal. 61. Universitas Sumatera Utara Jadi, saat pajak terutang adalah sejak tanggal dibuat dan ditandatanganinya akta hibah otentik. Sistem pemungutan pajak BPHTB adalah self assestment, yaitu wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan SSB, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak. 79 Dengan demikian, wajib pajak harus melunasi pajak yang terutang pada saat terjadinya perolehan hak karena hibah tersebut. Wajib pajak diwajibkan untuk membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat keterangan pajak yang dikeluarkan oleh fiskus. Dalam praktek sehari-hari, khususnya pada awal penerapan BPHTB terdapat kesulitan untuk menerangkan ketentuan pemenuhan pajak ini berkaitan dengan ketentuan UU BPHTB sendiri. Dari Pasal 9 ayat 1 UU BPHTB dinyatakan bahwa BPHTB terutang pada saat dibuat dan ditandatanganinya akta oleh pejabat yang berwenang seperti PPAT, dan dilakukan pendaftaran hak oleh Kepala Kantor Pertanahan. Selanjutnya ayat 2 mengatur bahwa pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak tanpa mendasarkannya pada surat ketetapan pajak. Hal ini berarti wajib pajak harus membayar BPHTB terutang pada saat terjadinya perolehan hak. 80 79 Penjelasan Pasal 10 ayat 1 UU BPHTB. 80 Marihot P. Siahaan, op. cit., hal. 216-217. Universitas Sumatera Utara Sementara itu, di sisi lain Pasal 24 UU BPHTB mengatur tentang ketentuan bagi pejabat yang berwenang dalam penandatanganan akta, risalah lelang, maupun pendaftaran hak dan surat keputusan pemberian hak baru setelah wajib pajak memperlihatkan bukti pembayaran pajak. Dengan kata lain, pejabat yang berwenang tidak boleh melakukan kewenangannya masing-masing sebelum wajib pajak melunasi BPHTB terutang. Tampak bahwa dua pasal tersebut saling bertentangan, pajak terutang pada saat akta ditandatangani, sementara akta dapat ditandatangani oleh pejabat berwenang apabila pajak terutang telah dibayar. Adanya akta otentik merupakan satu persyaratan mutlak tentang terjadinya perolehan hak atas tanah dan bangunan. Tanpa adanya akta otentik, secara hukum tidak ada perolehan hak sehingga tidak ada pajak yang berutang dan tidak ada wajib pajak yang harus membayar pajak tersebut. Di sisi lain, untuk dapat ditandatangani oleh pejabat yang berwenang sehingga menjadi akta yang bersifat otentik, pajak harus terlebih dahulu dibayar oleh wajib pajak. Dengan demikian timbul pertanyaan mana yang lebih dahulu ada atau diakui; pembayaran pajak atau pembuatan akta. Hal ini merupakan masalah yang bagaikan lingkaran, tidak ada ujung dan tidak ada pangkalnya. 81 Selanjutnya, sebagai pajak yang terutang, BPHTB harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak. Tempat terutangnya adalah di wilayah Kabupaten, Kota atau Propinsi yang meliputi letak tanah dan atau bangunan yang diperoleh. 81 Ibid.,hal. 217-218. Universitas Sumatera Utara Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang dengan tidak mendasarkan pada adanya surat ketetapan pajak. Hal ini dilaksanakan demikian karena sistem pemungutan BHPTB adalah self assessment, dimana Wajib Pajak diberi kepercayaan untuk menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang dengan menggunakan Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan SSB, dan melaporkannya tanpa mendasarkan diterbitkannya surat ketetapan pajak. Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri dengan menggunakan Surat Setoran BPHTB SSB. Dalam pelaksanaannya, tata cara pembayaran pajak diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri, yaitu dalam Keputusan Menteri Keuangan R.I No. 517KMK.042000 tentang Penunjukkan Tempat dan Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Tempat pembayaran BPHTB adalah Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pembayaran atau penyetoran BPHTB dan Wajib Pajak dan memindahbukukan saldo penerimaan BPHTB ke Bank Operasional V Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Bank Operasional V Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah Bank Badan Usaha Milik Negara atau Bank Badan Usaha Milik daerah yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan untuk menerima pemindahbukuan saldo penerimaan BPHTB dan Tempat Pembayaran BPHTB, serta melaksanakan pembagian dan memindahbukukan saldo penerimaan BPHTB ke rekening kas negara dan rekening kas daerah yang berhak. Universitas Sumatera Utara

D. Kepatuhan PPAT Dalam Pembuatan Akta Hibah Atas Tanah Dan

Bangunan Berdasarkan UU BHPTB Pelaksanaan pemungutan pajak memerlukan suatu sistem yang telah disetujui masyarakat melalui perwakilannya di dewan perwakilan, dengan menghasilkan suatu peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pelaksanaan perpajakan bagi fiskus maupun bagi wajib pajak. Sistem pemungutan pajak yang berlaku di Indonesia menuntut wajib pajak untuk turut aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya. Sistem pemungutan yang berlaku adalah self assesment system, di mana segala pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan sepenuhnya oleh wajib pajak, fiskus hanya melakukan pengawasan melalui prosedur pemeriksaan. 82 Kondisi perpajakan yang menuntut keikutsertaan aktif wajib pajak dalam menyelenggarakan perpajakannya membutuhkan kepatuhan wajib pajak yang tinggi. Yaitu, kepatuhan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan yang sesuai dengan kebenarannya. Karena sebagian besar pekerjaan dalam pemenuhan kewajiban perpajakan itu dilakukan oleh wajib pajak dilakukan sendiri atau dibantu tenaga ahli misalnya praktisi perpajakan profesionaltax agent, bukan fiskus selaku pemungut pajak. Sehingga kepatuhan diperlukan dalam self assesment system, dengan tujuan pada penerimaan pajak yang optimal. Kepatuhan memenuhi kewajiban perpajakan secara sukarela voluntary of compliance merupakan tulang punggung sistem self assessment, di mana wajib pajak bertanggung jawab menetapkan sendiri kewajiban perpajakan dan kemudian secara akurat dan tepat waktu membayar dan melaporkan pajaknya tersebut. 83 82 Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, Perpajakan Konsep, Teori dan Isu, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 109. 83 Machfud Siddik, dalam Ibid., hal. 110. Universitas Sumatera Utara Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, istilah kepatuhan berarti tunduk atau patuh pada ajaran atau aturan. Dalam perpajakan di Indonesia dapat memberi pengertian bahwa kepatuhan perpajakan merupakan ketaatan, tunduk, dan patuh serta melaksanakan ketentuan perpajakan. Jadi, wajib pajak yang patuh adalah wajib pajak yang taat dan memenuhi serta melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. 84 Kepatuhan wajib pajak dikemukakan oleh Norman D. Nowak dalam Moh. Zain sebagai suatu iklim kepatuhan dan kesadaran pemenuhan kewajban perpajakan, tercermin dalam situasi di mana: 85 a. Wajib pajak paham atau berusaha untuk memahami semua ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. b. Mengisi formulir pajak dengan lengkap dan jelas. c. Menghitung jumlah pajak yang terutang dengan benar. d. Membayar pajak yang terutang tepat pada waktunya. Safri Nurmantu mengatakan bahwa kepatuhan perpajakan dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. 86 Ada dua macam kepatuhan, yaitu kepatuhan formal dan kepatuhan material: 87 1. Kepatuhan formal adalah suatu keadaan di mana wajib pajak memenuhi kewajiban secara formal sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perpajakan. 84 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1995, hal. 1013. 85 Norman D. Nowak dalam Machfud Siddik, op. cit., hal. 110. 86 Safri Nurmanto, dalam Ibid., hal. 110. 87 Ibid., hal. 110. Universitas Sumatera Utara 2. Kepatuhan material adalah suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantif atau hakikatnya memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat juga meliputi kepatuhan formal. Misalnya, ketentuan batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan SPT PPh Tahunan tanggal 31 Maret. Apabila wajib pajak telah melaporkan Surat Pemberitahuan Pajak Penghasilan SPT PPh Tahunan sebelum atau pada tanggal 31 Maret, maka wajib pajak telah memenuhi ketentuan formal, namun isinya belum tentu memenuhi ketentuan material, yaitu suatu keadaan di mana wajib pajak secara substantif memenuhi semua ketentuan material perpajakan, yakni sesuai isi dan jiwa Undang-Undang Perpajakan. Kepatuhan material dapat meliputi kepatuhan formal. Wajib pajak yang memenuhi kepatuhan material adalah wajib pajak yang mengisi dengan jujur, lengkap, dan benar surat pemberitahuan sesuai ketentuan dan menyampaikannya ke Kantor Pelayanan Pajak sebelum batas waktu berakhir. Menurut Chaizi Nasucha, kepatuhan wajib pajak dapat diidentifikasi dari: 88 1. Kepatuhan wajib pajak dalam mendaftarkan diri; 2. Kepatuhan untuk menyetorkan kembali surat pemberitahuan; 3. Kepatuhan dalam penghitungan dan pembayaran pajak terutang; dan 4. Kepatuhan dalam pembayaran tunggakan. Erard dan Eeinstin menggunakan teori psikologi dalam kepatuhan wajib pajak, yaitu rasa bersalah dan rasa malu, persepsi wajib pajak atas kewajaran dan 88 Chaizi Nasucha, dalam Ibid., hal. 111. Universitas Sumatera Utara keadilan beban pajak yang mereka tanggung, dan pengaruh kepuasan terhadap pelayanan pemerintah. 89 Demikian juga halnya dalam pembayaran BPHTB atas peralihan hak atas tanah dan bangunan secara hibah yang dilakukan para pihak maka PPAT mempunyai kewajiban untuk memenuhi syarat formal dan syarat materil yang telah diatur dalam UU BPHTB. UU BPHTB menentukan PPAT yang berwenang dalam pembuatan akta hibah, hanya dapat menandatangani akta tersebut pada saat wajib pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak. Menurut ketentuan Pasal 10 UU BPHTB jo Keputusan Menteri Keuangan No.517KMK.042000 tentang Tata Cara Pembayaran Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, disebutkan tata cara pembayaran pajak adalah: a. Pemenuhan kewajiban membayar BPHTB berdasarkan sistem self assesment, yaitu Wajib Pajak menghitung dan membayar sendiri pajak yang terutang tanpa menunggu terbitnya Surat Ketatapan Pajak; b. Pajak yang terutang dibayar ke kas negara melalui Kantor Pos atau Bank BUMN atau Bank BUMD atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan Surat Setoran BPHTB SBB yang dibuat rangkap 5: 1 Lembar ke-1 untuk wajib pajak; 2 Lembar ke-2 untuk KP PBB melalui BankKantor Pos Operasional V; 3 Lembar ke-3 untuk KP PBB disampaikan wajib pajak; 4 Lembar ke-4 untuk BankKantor Pos Persepsi; 5 Lembar ke-5 untuk PPAT yang bersangkutan disampaikan oleh Wajib Pajak. 89 Ibid., hal. 111. Universitas Sumatera Utara Dalam hal BPHTB yang seharusnya terutang nihil, maka wajib pajak tetap harus mengisi SSB dengan keterangan nihil yang diketahui oleh PPAT yang bersangkutan. Lembar ke-2, 3 dan 4 SSB Nihil disampaikan oleh wajib pajak ke KP PBB sekarang KPP Pratama. c. SSB harus diisi dengan benar, jelas dan lengkap serta ditandatangani oleh wajib pajak dan petugas BankKantor Pos Persepsi yang menerima pembayaran serta dibubuhi cap disampaikan oleh wajib pajak ke KP PBB KPP Pratama dalam jangka waktu paling lambat 7 tujuh hari sejak tanggal pembayaran dengan melampirkan fotocopi SPPT PBB tahun perolehan hak dan tahun-tahun sebelumnya yang belum kadaluarsa; d. SSB tersebut sekaligus digunakan untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, juga berfungsi sebagai Surat Pemberitahuan Objek Pajak SPOP PBB; e. Apabila wajib pajak mengalami kesulitan dalam mengisi SSB, tidak mengetahui Nomor Objek Pajak NOP PBB, tidak mengetahui Nilai Jual Objek Pajak NJOP PBB tahun terjadinya perolehan hak, hendaklah maka dapat menghubungi KP PBB KPP Pratama yang wilayah kerjanya meliputi letak tanah dan atau bangunan; f. Formulir SSB dapat diperoleh di Kantor PPAT yang bersangkutan atau Kantor Lelang, Kantor Pertanahan KabupatenKota. KP PBB, BankKantor Pos Persepsi. Pembayaran pajak akibat perbuatan hukum perolehan hak secara hibah atas tanah dan atau bangunan biasanya dilakukan oleh PPAT atau para pihak sendiri ke bank yang ditunjuk atau kantor Pos dan Giro dengan hanya memperlihatkan surat Universitas Sumatera Utara bukti pembayaran pajaknya atau Surat Setoran BPHTB SSB. Surat bukti inilah yang merupakan dasar bagi PPAT untuk menandatangani akta perolehan hak atas tanah dan bangunan yang dilakukan itu. Dalam prakteknya penyetoran pembayaran BPHTB ini sering dilakukan oleh PPAT dalam tahun 2008, sebagaimana terlihat dari pernyataan PPAT yang dijadikan responden pada tabel berikut ini: Tabel 2. Pembayaran BPHTB Wajib Pajak dalam Pembuatan Akta Hibah n = 6 No. Jawaban Responden n 1. PPAT melakukan penyetoran pembayaran BPHTB Wajib Pajak 6 100,00 2. Wajib Pajak melakukan penyetoran sendiri - 0,00 Jumlah 6 100,00 Dari tabel di atas terlihat PPAT yang dijadikan responden yaitu sebanyak 6 PPAT 100 menyatakan, walaupun pembayaran pajak tersebut merupakan kewajiban penghadap atau Wajib Pajak atau bukan kewajiban PPAT, tetapi PPAT selalu membantu para pihak dalam pembayaran pajak tersebut. Selanjutnya dari hasil wawancara lebih lanjut kepada responden dijelaskan bahwa penghadapwajib pajak menitipkan sejumlah uang pajak terhutang BPHTB yang harus dibayarkan kepada PPAT agar PPAT membantunya dalam prosedur pembayaran ke bank yang ditunjuk atau kantor posgiro dengan SSB. Surat bukti inilah yang merupakan dasar bagi PPAT untuk menandatangani akta hibah yang dilakukan itu. 90 90 Hasil wawancara dengan Bapak T. Deddy Iskandar, S.H., NotarisPPAT di Kota Medan, tanggal 15 Juli 2008 di Medan. Universitas Sumatera Utara UU BPHTB mengharuskan PPAT hanya boleh menandatangani akta hibah setelah adanya bukti setoran tetapi dalam prakteknya masih terdapat PPAT yang menandatangani akta hibah sebelum dilakukan adanya bukti setoran pembayaran BPHTB dalam tahun 2008, sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 3. Penandatangan Akta Hibah dan Penyetoran BPHTB Sebelum Adanya Bukti Setoran BPHTB SSB n = 6 No. Jawaban Responden n 1. PPAT menandatangani akta hibah sebelum adanya bukti setoran BPHTB SSB 1 16,67 2. PPAT tidak menandatangani akta hibah sebelum adanya bukti setoran BPHTB SSB 5 83,33 Jumlah 6 100,00 Dari tabel di atas terlihat PPAT yang dijadikan responden rata-rata telah mengikuti ketentuan UU BPHTB dalam pembuatan akta hibah yaitu sebanyak 5 atau 83,33 PPAT itu hanya akan menandatangani akta setelah adanya bukti setoran SSB pajak dari wajib pajak, namun demikian masih terdapat sebanyak 1 atau 16,67 PPAT yang pernah menandatangani akta walaupun belum ada bukti setoran SSB tersebut. Hal ini dilakukan PPAT tersebut karena transaksi dilakukan sudah lewat jam setor pajak, jadi ditunda penyetoran sampai esok hari.Bila dihubungkan dengan tabel 2 didepan menunjukkan bahwa PPAT yang dijadikan responden mematuhi secara jelas pembayaran dahulu uang BPHTB terhutang yang dititipkan penghadap dengan bukti SSB,barulah membuat dan memberikan penandatanganan akta hibah kepada penghadap untuk mematuhi syarat-syarat pembuatan akta sesuai dengan yang diatur UU BPHTB. Universitas Sumatera Utara Di samping itu, menurut keterangan PPAT yang dijadikan responden, dalam hal terjadinya perolehan hak secara hibah nilai pasar atau NJOP tidak melebihi NPOPTKP sehingga pajak BPHTB terutang adalah nol nihil, maka dapat saja PPAT yang bersangkutan langsung membuat akta hibah tanpa harus meminta bukti setoran pajak BPHTB terlebih dahulu dari wajib pajak, sebagaimana tabel berikut ini: Tabel 4. Pelaporan Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan Melalui Hibah yang NPOP dibawah NPOPTKP n = 6 No. Jawaban Responden n 1. PPAT Tetap Mematuhi 5 83,33 2. PPAT Tidak Mematuhi 1 16,67 Jumlah 6 100,00 Dari tabel di atas terlihat PPAT yang dijadikan responden, yaitu sebanyak 5 atau 83,33 PPAT tetap mematuhi ketentuan UU BPHTB walaupun pajak terutang adalah nihil yaitu hanya akan menandatangani akta hibah tersebut setelah adanya bukti SSB dari wajib pajak. Akan tetapi masih terdapat sebanyak 1 atau 16,67 tidak mematuhi ketentuan UU BPHTB karena memang pajak terutang adalah nihil. Penyampaian SSB sebagai pelaporan pajak dilakukan oleh wajib pajak dalam jangka waktu paling lama 7 hari sejak tanggal pembayaran pajak atau perolehan hak atas tanah danatau bangunan. Atas pengembalian SSB tersebut maka petugas pajak akan memberikan tanda terima penyampaian SSB dari wajib pajak. Tanda terima ini penting bagi wajib pajak sebagai bukti bahwa wajib pajak telah melaporkan pembayaran pajak tersebut. Universitas Sumatera Utara Selain sarana pelaporan pajak, SSB tidak hanya berfungsi untuk melaporkan pembayaran pajak yang dilakukan oleh wajib pajak sebagai syarat formal dalam pembayaran pajak tersebut, tetapi juga untuk memenuhi syarat materil yaitu melaporkan data-data diri wajib pajak yang memperoleh baik, data letak dan luas tanah dan bangunan objek pajak, besarnya perhitungan pajak dan besarnya BPHTB terutang yang dibayar. Wajib pajak diminta untuk melaporkan data-data perolehan hak dengan mengisi SSB secara lengkap dan benar sesuai dengan perolehan hak atas hibah yang terjadi. Data-data yang telah dilaporkan oleh wajib pajak akan diteliti oleh petugas dan menjadi dasar untuk menerbitkan surat ketetapan pajak berupa Surat Tagihan Pajak STP , Surat Ketetapan BPHTB Kurang Bayar SKPKB, Surat Ketetapan Pajak BPHTB Kurang Bayar Tambahan SKPKBT, Surat Ketetapan BPHTB Lebih Bayar SKPLB, maupun Surat Ketetapan BPHTB Nihil SKPN. Sebagai alat untuk melakukan pemeriksaan silang cross check fiskus akan meneliti SSB yang disampaikan oleh tempat pembayaran ke Kantor Pelayanan Pratama kantor pelayanan pajak. Data yang ada pada SSB lembar-3 yang disampaikan wajib pajak harus sama dengan SSB lembar ke-2 yang disampaikan oleh bank dan fotocopy SSB lembar ke-5 yang disampaikan oleh pejabat yang berwenang ke KPP Pratama setempat. Apabila terdapat kesalahan maka fiskus akan melakukan penelitian lebih dalam untuk kemudian menerbitkan surat ketetapan pajak sesuai dengan data perolehan hak yang sebenarnya. Universitas Sumatera Utara Nilai Jual Objek Pajak NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagai salah satu dasar perhitungan BPHTB untuk perolehan hak atas hibah. Dasar penghitungan dalam perolehan hak secara hibah berbeda dengan penghitungan secara jual beli. Jika dalam jual beli yang menjadi dasar penghitungan pajak adalah nilai transaksi, apabila harga transaksi lebih tinggi dari nilai NJOP, maka yang menjadi Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP adalah nilai transaksi, sedangkan sebaliknya dalam hal nilai transaksi lebih rendah dari nilai NJOP, maka yang digunakan sebagai Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP adalah nilai NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Sedangkan dalam perolehan hak karena hibah sesuai dengan Pasal 6 ayat 2 huruf c yang menjadi Nilai Perolehan Objek Pajak adalah nilai pasar. Berdasarkan data dari Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan KP PBB Medan II sekarang KPP Pratama Medan diperoleh keterangan tentang nilai perolehan hak atas tanah dan atau bangunan berdasarkan nilai NJOP pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2007 adalah sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 5. Penerimaan BPHTB Berdasarkan NPOP pada KP PBB Medan II KPP Pratama Tahun 2005 sd 2007 No Tahun Sesuai NJOP Di bawah NJOP Di atas NJOP 1 2005 65.245.113.000 - 7.515.357.000 2 2006 81.165.998.000 - 9.112.758.000 3 2007 107.139.117.360 - 12.856.694.083 Sumber data: KPP Pratama Medan Tahun 2008 diolah. Jika dibandingkan total perolehan penerimaan BPHTB pada tabel di atas, yang dasar penghitungan BPHTB mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak NJOP dengan Universitas Sumatera Utara penghitungan BPHTB yang mengacu harga transaksi di atas NJOP maka persentasenya sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 6. Penerimaan BPHTB Diatas NJOP pada KP PBB Medan II KPP Pratama Tahun 2005 sd 2007 No. Tahun Total Penerimaan BPHTB BPHTB diatas NJOP Persentase 1 2005 72.760.470.000 7.515.357.000 10 2 2006 90.278.756.000 9.112.758.000 10 3 2007 119.995.811.443 12.,856.694.083 11 Sumber data: KPP Pratama Medan Tahun 2008. Dari tabel di atas, terlihat penerimaan BPHTB atas dasar nilai transaksi di atas nilai NJOP pada KP PBB Medan II KPP Pratama di tahun 2005 sd tahun 2007 adalah senilai 7.515.357.000 atau 10 di tahun 2005, senilai 9.112.758.000 atau 10 di tahun 2006, dan 12.856.694.083 atau 11 di tahun 2007. Dengan demikian hanya berkisar 10 persen penerimaan BPHTB dari perolehan hak atas tanah dan bangunan yang mengacu pada nilai di atas NJOP. Jadi pada umumnya nilai yang digunakan para pihak dalam pembuatan akta perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang dilakukan di hadapan PPAT tersebut adalah mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Demikian juga dari keterangan PPAT yang dijadikan responden menyatakan NJOP sebagai dasar perhitungan pajak dalam pembuatan akta hibah dalam tahun 2008 tersebut, sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Universitas Sumatera Utara Tabel 7. Dasar Perhitungan BPHTB dalam Pembuatan Akta Hibah n = 6 No. Jawaban Responden n 1. PPAT Mengacu Pada NJOP 6 100,00 2. PPAT Tidak Mengacu Pada NJOP - 0,00 Jumlah 6 100,00 Pendekatan perbandingan atau pendekatan data pasar, yaitu pendekatan yang digunakan untuk menenukan nilai suatu property berdasarkan perbandingan antara property yang dinilai dengan property lain yang sejenis atau mirip, yang telah dijualdisewa terjadi transaksi di sekitar letak, property yang dinilai dengan kata lain telah diketahui harga jual atau harga sewanya. 91 Dari tabel 7 di atas, terlihat PPAT yang dijadikan responden, yaitu sebanyak 6 atau 100 PPAT melakukan pembuatan akta hibah tersebut maka yang dijadikan dasar perhitungan pajaknya adalah NJOP dari objek pajak yang dihibahkan tersebut. Ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan 6 responden tersebut yang menyatakan sulit untuk menentukan harganya harga pasar sebagaimana diharuskan oleh Pasal 6 ayat 2 huruf c UU BPHTB harus sesuai dengan harga pasar. Dalam penerapan harga pasar ini, tidak hanya dialami oleh PPAT tetapi juga kesulitan dalam menentukan harga transaksi juga dialami pihak KPP Pratama untuk membuktikan harga transaksi property yang wajar yang berarti pihak wajib pajak telah melaporkan utang pajaknya secara jujur. Kesulitan ini bukan hanya terkait dengan masalah adanya peluang yang diberikan oleh UU karena membolehkan perhitungan pajak berdasarkan NJOP, juga berkaitan dengan ketidakmampuan dari pihak PPAT dan Pihak Perpajakan untuk lebih jauh melakukan pemeriksaan. Pihak PPAT sesuai wewenang yang ada tidak dapat memaksakan para pihak untuk 91 Marihot P. Siahaan, op. cit., hal. 275. Universitas Sumatera Utara menetapkan nilai pajak yang sebenarnya dan dilain pihak petugas perpajakan juga tidak dapat meminta begitu saja akta otentik yang telah dibuat PPAT untuk memeriksa utang pajak yang sebenarnya karena terkait dengan sumpah jabatan PPAT. Oleh karena itu faktor kesadaran pihak wajib pajak yang sangat diharapkan. Dengan demikian dari pembahasan di atas diketahui bahwa PPAT yang dijadikan responden di Kota Medan rata-rata 83,33 telah mematuhi secara formal ketentuan UU BPHTB dalam pembuatan akta hibah, yaitu PPAT hanya akan menandatangani akta hibah setelah adanya bukti setoran pajak BPHTB SSB dari wajib pajak. Akan tetapi, masih terdapat PPAT yang tidak mematuhi ketentuan formal tersebut 16,67 yang tetap melakukan penandatanganan akta hibah walaupun belum adanya bukti setoran pajak, karena pada saat transaksi dilakukan sudah lewat jam penyetoran pajak atau karena pajaknya adalah nihil. Kemudian juga dalam hal kepatuhan PPAT yang dijadikan responden dalam memenuhi syarat material seperti ketentuan besarnya pajak BPHTB yang harus dikenakan dalam pembuatan akta hibah itu yaitu semua 100 PPAT mengacu pada Nilai Jual Objek Pajak NJOP. Jadi apabila melihat ketentuan Pasal 6 ayat 2 huruf c bahwa dasar perhitungan perolehan hak secara hibah adalah nilai pasar, maka terlihat ketidakpatuhan PPAT yang dijadikan responden terhadap UU BPHTB. Akan tetapi memang sulit mengetahui harga pasar yang dimaksud dalam UU BPHTB tersebut, sehingga yang menjadi acuan harga perolehan atas hibah tersebut adalah berdasarkan NJOP, dan lagipula PPAT mempunyai keterbatasan untuk mengetahui harga transaksi dari para pihak tersebut. Universitas Sumatera Utara Kemudian jika dikaitkan ketentuan Pasal 24 UU BPHTB yang menentukan PPAT dalam penandatanganan akta setelah wajib pajak memperlihatkan bukti pembayaran pajak, dengan ketentuan Pasal 9 ayat 1 bahwa pajak yang terutang harus dilunasi pada saat terjadinya perolehan hak tanpa mendasarkannya pada surat ketetapan pajak. Maka sebenarnya PPAT telah mematuhi UU BPHTB walaupun menandatangani akta sebelum ada bukti setoran pajak, selama penyetoran pajak tersebut dilakukan dalam tanggal yang sama dengan tanggal penandatanganan akta tersebut. Universitas Sumatera Utara

BAB III FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEPATUHAN DAN KETIDAKPATUHAN

PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA HIBAH ATAS TANAH DAN BANGUNAN BERDASARKAN UU BPHTB

A. Pengetahuan Masyarakat Tentang Pajak BPHTB Atas Hibah

Proses pemungutan BPHTB secara umum dapat dikatakan berbeda dengan proses penerimaan atas pajak-pajak lainnya, misalnya PPh, PPNPPnBM dan PBB. Bukan hanya dari sudut ketentuan hukum dan tarifnya tetapi jauh dari itu proses ini sangat terkait dengan peranan berbagai pihak di antaranya yakni, wajib pajak masyarakat, PPAT dan Kantor Pelayanan Pajak. Sesuai dengan sistem self assesment yang dianut maka faktor kesadaran masyarakat akan bertoleransi dengan peningkatan BPHTB. Perbedaan pemahaman kewajiban misalnya antara PBB dan BPHTB yang terjadi di tengah masyarakat selain faktor pengenaan waktu pembayaran pajak yang berbeda, yakni PBB dibayar tiap tahun sedangkan BPHTB hanya dibayar jika ada transaksi, seperti perolehan hak karena hibah. Juga berkaitan dengan pengenaan sumber daya manusia yang berbeda. Misalnya, pada pembayaran PBB seluruh aparat pemerintah mulai dari tingkat tertinggi sampai dengan lurahkepala desa ikut aktif melakukan pemungutan PBB bahkan mendapatkan intensif jika mendapatkan PBB melebihi target maka pada pemungutan BPHTB sangat tergantung dari kemauan pihak yang melakukan transaksi seperti perolehan hak secara hibah, PPAT dan Kantor Pelayanan Pajak. Artinya ketiga pihak itu harus saling mendukung satu sama lain. Maka dalam proses sebelum pembayaran BPHTB peranan PPAT sangat penting, hal ini terkait dengan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada PPAT tersebut. Universitas Sumatera Utara Artinya untuk membuktikan adanya perbuatan hukum perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah haruslah dibuat akta otentik. Akta otentik adalah akta yang diresmikan dalam bentuk menurut hukum oleh atau di hadapan pejabat-pejabat umum yang berwenang untuk berbuat demikian itu di tempat di mana akta tersebut dibuat. Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian yang mutlak, apalagi akta itu memuat perjanjian yang mengikat kedua belah yang membuat perjanjian sehingga apabila terjadi sengketa, diantara mereka, maka apa yang tersebut di dalam akta otentik itu merupakan bukti yang sempurna sehingga tidak perlu dibuktikan dengan alat-alat pembuktian yang lain. 92 Di sinilah letak arti penting akta otentik yang dalam praktek hukum sehari- hari memudahkan pembuktian dan memberikan kepastian hukum yang kuat. Karena menyangkut tentang kepastian hukum pemilikan atas tanah dan bangunan, maka setiap perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum penghibahan tanah dan atau bangunan harus dibuat dengan akta otentik. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan karena hibah tersebut sehingga sebagai penerima hibah dapat mempertahankan haknya tersebut dari gugatan pihak manapun. Untuk melindungi kepentingan pihak yang memperoleh hak maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak karena hibah dilakukan merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum pemberian hibah dimaksud kepada pihak yang dinyatakan menerima hak hibah tersebut. Hal inilah 92 Pasal 1868 KUH Perdata, menyatakan: ”Suatu akta autentik adalah suatu akta yang dalam bentuk ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pejabat umum yang berkuasa untuk itu di tempat akta itu dibuat” Universitas Sumatera Utara yang dimaksud Pasal 24 UU BPHTB, bahwa keontentikan perbuatan hukum perolehan hak atas tanah dan bangunan karena hibah tersebut harus terlebih dahulu dilakukan pembayaran pajak BPHTB, baru dapat dilakukan penandatanganan akta hibah oleh para pihak dan PPAT yang bersangkutan. Penyerahan bukti pembayaran pajak dilakukan dengan menyerahkan fotocopi pembayaran pajak Surat Setoran BPHTB dan menunjukkan aslinya. Ketentuan penandatangan akta ini mengharuskan PPAT ikut serta dalam pengawasan pemenuhan kewajiban pembayaran BPHTB terutang oleh wajib pajak. Dalam pelaksanaannya masyarakat yang menghadap PPAT tidak mengetahui adanya kewajiban pajak BPHTB yang timbul akibat perbuatan hukum perolehan hak seperti hibah tersebut, sehingga sebagai PPAT sebelum penandatanganan akta hibah maka terlebih dahulu memberikan penjelasan kepada para pihak akan kewajiban pembayaran pajak BPHTB, sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini: Tabel 8. Pengetahuan Masyarakat Para Penghadap Tentang Adanya BPHTB Atas Perolehan Hak Secara Hibah n = 6 No. Jawaban Responden n 1. Masyarakat Para Penghadap Mengetahui Pajak BPHTB - 0,00 2. Masyarakat Tidak Mengetahui Pajak BPHTB 6 100,00 Jumlah 6 100,00 Dari tabel di atas terlihat bahwa dari keterangan PPAT yang dijadikan responden, yaitu sebanyak 6 atau 100 PPAT menyatakan masyarakat para penghadap tidak mengetahui adanya pajak BPHTB karena perolehan hak secara hibah tersebut. Universitas Sumatera Utara PPAT harus terlebih dahulu memberikan informasi serta himbauan tentang pembayaran pajak, besarnya pajak yang harus dibayarkan demikian pula terhadap pengisian SSP dan SSB. Jadi, PPAT yang banyak membantu para pihak terhadap keberatan terhadap kewajiban-kewajiban pajak tersebut. Kemudian, juga yang dilakukan PPAT dalam mengatasi kekurangan informasi mengenai BPHTB tersebut tidak hanya sebatas memberikan himbauan kepada para pihak yang akan mengadakan transaksi, tetapi PPAT juga membantu para pihak untuk menyetorkan kewajiban pajak yang ditimbulkan dari perolehan hak atas tanah dan atau bangunan karena hibah tersebut. 93 Perbuatan pembayaran BPHTB ini memang dapat dilakukan PPAT, karena dalam hal pembayaran pajak BPHTB yang disetorkan kepada bank persepsi dapat dilakukan oleh pihak mana saja, yang terpenting adalah para pihak memegang surat bukti tanda bayar pajak. Kemudian, hal ini demi terlaksana kewajiban yang ditentukan dalam UU BPHTB bahwa seorang PPAT hanya dapat melakukan penandatanganan akta setelah adanya bukti Surat Setoran BPHTB SSB tersebut. Di samping ketidaktahuan masyarakat tentang timbul pajak atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan tersebut, juga permasalahan yang dirasakan dari sisi masyarakat sebagai wajib pajak yaitu penetapan Nilai Jual Objek Pajak NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sebagai salah satu dasar perhitungan BPHTB atau harga pasar untuk perolehan hak secara hibah. Apabila dalam perolehan hak secara hibah itu harga pasar lebih tinggi dari nilai NJOP, maka yang menjadi Nilai Perolehan 93 Hasil wawancara dengan Bapak T. Deddy Iskandar, S.H., NotarisPPAT di Kota Medan, tanggal 15 Juli 2008 di Medan. Universitas Sumatera Utara Objek Pajak NPOP adalah nilai pasar, sedangkan sebaliknya dalam hal nilai pasar lebih rendah dari nilai NJOP, maka yang digunakan sebagai Nilai Perolehan Objek Pajak NPOP adalah nilai NJOP Pajak Bumi dan Bangunan. Jadi, dasar penghitungan BPHTB adalah berdasarkan nilai tertinggi. Kemudian juga dalam hal perolehan hak karena hibah, adanya anggapan di masyarakat pemberian secara hibah biaya pajaknya lebih kecil, sehingga sering masyarakatpara pihak yang masih dalam hubungan keluarga melakukan transaksi pemindahan hak atas tanah secara hibah atas dasar pengurangan biaya tersebut. Padahal sebenarnya dalam hal perolehan hak karena hibah juga tidak semua hubungan keluarga atau sedarah yang dapat diberikan pengurangan pajak 50, tetapi harus dilihat hubungan keluarga sedarah yang bagaimana, karena yang dapat diberikan pengurangan pajak dalam pemberian hibah tersebut hanya hubungan anak dan orang tua atau sebaliknya. 94 Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang adanya kewajiban pajak BPHTB atas terjadinya pemberian hibah atas tanah dan atau bangunan tersebut juga dibenarkan informan dari KPP Pratama Medan yang menyatakan, bahwa kurangnya pengetahuan masyarakat tentang pajak BPHTB atas peralihan atau hibah tanah tersebut. Hal ini tentunya tidak terlepas karena belum maksimalnya sosialisasi tentang pajak BPHTB dari Kantor Pajak kepada masyarakat selama ini. 95 94 Hasil wawancara dengan Bapak Halim, S.H., NotarisPPAT di Kota Medan, tanggal 16 Juli 2008 di Medan. 95 Hasil wawancara dengan Bapak Imado S, SST, Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Medan II KPP Pratama Medan Petisah, di Medan tanggal 21 Juli 2008. Universitas Sumatera Utara

B. Faktor-Faktor Penyebab Kepatuhan PPAT Dalam Pembuatan Akta Hibah

Atas Tanah dan Bangunan Berdasarkan UU BPHTB Sebagaimana telah dikemukakan tentang teori kepatuhan hukum, menurut R. Bierstedt sebagaimana dikutip oleh Soerjono Soekanto, bahwa dasar-dasar kepatuhan hukum adalah: 96 a. Indoctrination Sebab pertama mengapa warga masyarakat mematuhi kaedah-kaedah adalah karena dia diindoktrinir untuk berbuat demikian. Sejak kecil manusia telah dididik agar mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam masyarakat. Sebagaimana halnya dengan unsur-unsur kebudayaan lainnya, maka kaedah-kaedah telah ada waktu seseorang dilahirkan, dan semula manusia menerimanya secara tidak sadar. Melalui proses sosiolisasi manusia dididik untuk mengenal mengetahui serta mematuhi kaedah-kaedah tersebut. b. Habituation Oleh karena sejak kecil mengalami proses sosialisasi, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku. Memang pada mulanya adalah sukar sekali untuk mematuhi kaedah-kaedah tadi yang seolah-olah mengekang kebebasan. Akan tetapi, apabila hal itu setiap hari ditemui, maka lama kelamaan menjadi suatu kebiasaan untuk mematuhinya terutama apabila manusia sudah mulai mengulangi perbuatan-perbuatan. c. Utility Pada dasarnya manusia mempunyai kecenderungan untuk hidup pantas dan teratur. Akan tetapi apa yang pantas dan teratur untuk seseorang, belum tentu pantas dan teratur bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu patokan tentang kepantasan dan keteraturan tersebut; patokan- patokan tadi merupakan pedoman-pedoman atau takaran-takaran tentang tingkah laku dan dinamakan kaedah. Dengan demikian, maka salah satu faktor yang menyebabkan orang taat pada kaedah adalah karena kegunaan dari pada kaedah tersebut. Manusia menyadari, bahwa kalau dia hendak hidup pantas dan teratur maka diperlukan kaedah-kaedah. d. Group identification Salah satu sebab mengapa seseorang patuh pada kaedah, adalah karena kepatuhan tersebut merupakan salah satu sarana untuk mengadakan identifikasi dengan kelompok. Seseorang mematuhi kaedah-kaedah yang berlaku dalam kelompoknya bukan karena dia menganggap kelompoknya 96 Soerjono Soekanto, Op. Cit., hal. 225-226. Universitas Sumatera Utara lebih dominan dari kelompok-kelompok lainnya, akan tetapi justru karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompoknya tadi. Bahkan kadang- kadang seseorang mematuhi kaedah-kaedah kelompok lain, karena ingin mengadakan identifikasi dengan kelompok lain tersebut. Masalah kepatuhan hukum sebetulnya menyangkut proses internalisasi dari hukum tersebut. Proses internalisasi dimulai pada saat seseorang dihadapkan pada pola perikelakuan baru sebagaimana diharapkan oleh hukum, pada suatu situasi tertentu. Awal daripada proses inilah yang biasanya disebut sebagai proses belajar, dimana terjadi suatu perubahan pada pendirian seseorang. Yang esensial pada proses ini adalah adanya penguatan terhadap respons-respons terdahulu karena tidak adanya penguatan atau mungkin oleh adanya sanksi yang negatif terhadap perikelakuan demikian. Jadi hanya respons-respons yang dipelajari yang memperoleh imbalan secara berulang-ulang, sedangkan respons-respons yang kehilangan kekuatan penunjangnya lama kelamaan hilang. Kerangka kognitif yang terbentuk dalam pikiran warga-warga masyarakat didasarkan pada pengalaman-pengalamannya dalam proses interaksi sosial yang dinamis. Kerangka tersebut merupakan sistem nilai-nilai yang merupakan bagian daripada suatu etos kebudayaan, sifat nasional ataupun struktur kepribadian. Sistem nilai-nilai tersebut merupakan dasar untuk merumuskan kebutuhan-kebutuhan utama masyarakat dan merupakan suatu kriteria untuk mematuhi kaedah-kaedah hukum tertentu. 97 Pada internalisasi seseorang mematuhi kaedah-kaedah hukum oleh karena secara intrinsik kepatuhan tadi mempunyai imbalan. Isi kaedah-kaedah tersebut adalah sesuai dengan nilai-nilainya sejak semula pengaruh terjadi, atau oleh karena 97 Ibid., hal. 227, 228 Universitas Sumatera Utara dia merubah nilai-nilai yang semula dianutnya. Hasil dari proses tersebut adalah suatu konformitas yang didasarkan pada motivasi secara intrinsic. Pusat kekuatan proses ini adalah kepercayaan orang tadi terhadap tujuan dari kaedah-kaedah bersangkutan, terlepas dari perasaan atau nilai-nilainya terhadap kelompok atau pemegang kekuasaan maupun pengawasannya. Selanjutnya ada bermacam-macam derajat kepatuhan hukum sebagai berikut: 98 1. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya halmana sesuai dengan sistem nilai-nilai dari mereka yang berwenang. 2. Seseorang berperikelakuan sebagaimana diharapkan oleh hukum dan menyetujuinya, akan tetapi dia tidak setuju dengan penilaian yang diberikan oleh yang berwenang terhadap hukum yang bersangkutan. 3. Seseorang mematuhi hukum, akan tetapi dia tidak setuju dengan kaedah- kaedah tersebut maupun pada nilai-nilai dari penguasa. 4. Seseorang tidak patuh pada hukum, akan tetapi dia menyetujui hukum tersebut dan nilai-nilai daripada mereka yang mempunyai wewenang. 5. Seseorang sama sekali tidak menyetujui kesemuanya dan diapun tidak patuh pada hukum melakukan protes. Kepatuhan hukum senantiasa tergantung pada kesadaran hukum. Bagaimana seorang dapat mematuhi hukum, kesanggupan untuk memahami hukum secara logis diikuti oleh kemampuan untuk menilainya. Di sinilah letak hubungan kesadaran hukum dengan kepatuhan hukum terlepas dari adil tidaknya hukum tersebut. 99 Dengan demikian kepatuhan hukum seseorang terhadap hukum harus didahului oleh penerimaan secara sadar hukum. Kesadaran hukum merupakan suatu penilaian hukum yang berlaku dalam kenyataan, yang dicita-citakan semua orang. Karena penilaian seseorang terhadap hukum sangat bepengaruh dalam membentuk kepatuhan terhadap hukum. Demikian juga halnya dengan Pejabat Pembuat Akta 98 Ibid., hal. 234. 99 Roni Hanitijo, Op. Cit., hal. 19. Universitas Sumatera Utara Tanah PPAT sebagai pejabat yang diberi wewenang untuk membuat akta pemberian hibah atas tanah dan atau bangunan, yang sangat terkait dengan adanya kewajiban bagi pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan melalui pemberian hibah untuk membayar pajak BPHTB. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 24 UU BPHTB, PPAT punya kewajiban untuk tidak menandatangani akta pemberian hibah hak atas tanah dan atau bangunan yang belum dilunasi kewajiban pajaknya atau belum ada bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran BPHTB SSB dari para pihak. Jadi setiap PPAT wajib mematuhi penandatanganan akta hibah setelah adanya bukti pembayaran pajak BPHTB tersebut karena telah ditentukan oleh undang- undang. Berdasarkan keterangan dari PPAT yang dijadikan responden tentang pengetahuan PPAT adanya ketentuan BPHTB dalam pembuatan akta hibah sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 9. Pengetahuan PPAT Terhadap Ketentuan BPHTB Atas Hibah n = 6 No. Jawaban Responden n 1. Mengetahui Adanya Ketentuan BPHTB 6 100,00 2. Tidak Mengetahui Adanya Ketentuan BPHTB - 0,00 Jumlah 6 100,00 Dari tabel di atas, terlihat bahwa PPAT yang dijadikan responden, yaitu sebanyak 6 atau 100 PPAT mengetahui adanya BPHTB atas terjadi transaksi perolehan hak karena hibah. Dengan mengetahui adanya ketentuan UU BPHTB ini, maka PPAT mematuhi ketentuan penandatanganan akta hibah setelah adanya bukti setoran BPHTB SSB dari wajib pajak. Sesuai ketentuan Pasal 26 ayat 1 maka PPAT yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat 1 dan ayat 2, Universitas Sumatera Utara dikenakan sanksi administrasi dan denda sebesar Rp 7.500.000,00 tujuh juta lima ratus ribu rupiah untuk setiap pelanggaran. Namun demikian, dalam pelaksanaanya masih ditemukan adanya ketidakpatuhan PPAT atas ketentuan Pasal 24 UU BPHTB. Adapun faktor-faktor penyebab kepatuhan ataupun ketidakpatuhan dari PPAT yang dijadikan responden dalam pembuatan akta hibah terkait dengan pembayaran BPHTB yang menjadi kewajiban dari penghadap wajib pajak dari pembahasan pada bab sebelumnya, yang ditinjau dari kepatuhan penandantangan akta setelah adanya bukti setoran BPHTB, pelaporan pajak nihil dan juga dasar penghitungan BPHTB, sebagaimana dijelaskan berikut ini:

1. Kepatuhan penandatanganan Akta Hibah setelah adanya bukti setoran SSB dari wajib pajak

Dokumen yang terkait

Akibat Hukum Dari Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Bersertifikat Yang Tidak Sesuai Dengan Tata Cara Pembuatan Akta PPAT (Studi Pada PPAT di Kabupaten Langkat)

4 111 131

Pemeriksaan Sertipikat Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT Pada Kantor Pertahanan Kota Medan Berkaitan Dengan Pembuatan Akta (Studi Di Kota Medan)

0 27 140

FUNGSI PPAT DALAM PELAKSANAAN UU NO 20 TAHUN 2000 TENTANG BPHTB DALAM JUAL BELI HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN DI KOTA SURAKARTA

0 4 72

TANGGUNG JAWAB PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH SEMENTARA (PPAT SEMENTARA) DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH BESERTA AKIBAT HUKUMNYA

11 68 87

PELAKSANAAN PEMENUHAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Pelaksanaan Pemenuhan Tanggung Jawab PPAT Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya (Studi di Kantor PPAT Wilayah Kabupaten Sukoharjo).

0 2 14

PELAKSANAAN PEMENUHAN TANGGUNG JAWAB PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH Pelaksanaan Pemenuhan Tanggung Jawab PPAT Dalam Pembuatan Akta Jual Beli Tanah Beserta Akibat Hukumnya (Studi di Kantor PPAT Wilayah Kabupaten Sukoharjo).

0 2 28

PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM PELAKSANAAN PEMBUATAN AKTA HIBAH TANAH DI KOTA PADANG.

0 0 7

TANGGUNG JAWAN PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA JUAL BELI TANAH DAN PENDAFTARANNYA DI KOTA SURAKARTA.

0 0 13

PERANAN PEJABAT PEMBUAT AKTA TANAH (PPAT) DALAM INTENSIFIKASI PEMUNGUTAN BPHTB DI KABUPATEN PATI - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

0 0 129

TANGGUNGJAWAB ETIK PPAT DALAM PEMBUATAN AKTA DI KABUPATEN BOYOLALI TESIS

0 0 12