Analisis Makna Verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, Dan Shinpo Suru Dalam Kalimat Bahasa Jepang

(1)

ANALISIS MAKNA VERBA HATTEN SURU,

HATTATSU SURU, DAN SHINPO SURU DALAM KALIMAT

BAHASA JEPANG

NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (HATTEN SURU,

HATTATSU SURU, SHINPO SURU) NO IMI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang ilmu Budaya Jepang

Oleh

Nikmagna Rusanty Pulungan 080708038

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(2)

ANALISIS MAKNA VERBA HATTEN SURU,

HATTATSU SURU, DAN SHINPO SURU DALAM KALIMAT

BAHASA JEPANG

NIHONGO NO BUNSHOU NI OKERU (HATTEN SURU,

HATTATSU SURU, SHINPO SURU) NO IMI NO BUNSEKI

SKRIPSI

Skripsi ini diajukan kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan untuk melengkapi salah satu syarat

ujian sarjana dalam bidang ilmu Budaya Jepang

Oleh

Nikmagna Rusanty Pulungan 080708038

Pembimbing I Pembimbing II

Drs. Nandi S

NIP : 19600822 1988 03 1 002 NIP : 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum.

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA


(3)

Disetujui Oleh :

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan

Departemen Sastra Jepang Ketua Departemen,

NIP : 19600919 1988 03 1 001 Drs. Eman Kusdiyana, M. Hum.


(4)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Salawat serta salam kepada Rasulullah SAW, teladan yang terbaik bagi umat manusia.

Skripsi yang berjudul “Analisis Makna Verba Hatten Suru, Hattatsu Suru,

dan Shinpo Suru dalam Kalimat Bahasa Jepang” ini penulis susun sebagai salah satu syarat untuk dapat menyelesaikan program Sarjana pada Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan dan kesalahan, baik dalam susunan kalimatnya maupun proses analisisnya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak demi perbaikan skripsi ini agar dapat menjadi skripsi yang lebih bermanfaat dan lebih sempurna.

Tidak lupa pula pada kesempatan kali ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih, penghargaan dan penghormatan yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. Eman Kusdiyana, M.Hum., selaku Ketua Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan juga sebagai Dosen Pembimbing II yang telah banyak memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyusunan skripsi ini.


(5)

3. Bapak Drs. Nandi S, selaku Dosen Pembimbing I yang telah demikian besar meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk membimbing penulis, dan selalu memberikan nasehat, masukan, dan arahan dengan sabar, sehingga skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik.

4. Bapak/Ibu para dosen pengajar Departemen Sastra Jepang yang telah memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis.

5. Kepada orang tua penulis, Almarhum H. Rustam Effendy Pulungan dan Ibunda tercinta, Hj. Santosa Harahap, yang selalu mendoakan penulis agar selalu sehat, memberikan dukungan moral dan material yang tak terhingga hingga saat ini, yang tidak akan mampu penulis balas sampai kapanpun juga. 6. Kepada saudara-saudariku, Pinta Rahma Rizky Pulungan (kakak), Abdul

Barry Sutan Pulungan (adik), dan Akbar Anggina Pulungan (adik), yang selalu mendukung, menemani, dan menjagaku selama ini.

7. Kepada keluarga besar di Batang Toru dan Huta Lambung, Nenek, Uda, Bou, dan semua saudara-saudara yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih untuk dukungan kalian semua.

8. Kepada teman-teman seperjuanganku di stambuk 08, khususnya temanku yang selalu Jajo-Jajo Sajo : Wilda, Nenk, Winda, Vivin, Dodi, Happy, Daher, dan juga, Eda, Ndit, Surya, Ardi, Debby, Melin, Cae, Rudi, Asking, Milani, dan teman-temanku 08 lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih karena sudah bersamaku selama 4 tahun terakhir ini.

9. Teman-temanku di Sciboo, dan juga rekan guru dan murid di Yayasan Perguruan Tunas Karya, terima kasih karena sudah mau membantu dan memaklumi penulis sampai saat ini.


(6)

10. Semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis dan bagi kita semua yang ingin lebih memahami tentang sinonim dalam bahasa Jepang, khususnya pada verba hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo suru.

Medan, Juli 2012 Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……….iv

DAFTAR ISI………..vii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah………..1

1.2 Perumusan Masalah………...4

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan………...4

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori………...5

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian………...9

1.6 Metodologi Penelitian………...10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG VERBA DAN STUDI SEMANTIK 2.1 Verba……….11

2.1.1 Pengertian Verba……….11

2.1.2 Jenis-Jenis Verba……….12


(8)

2.1.4 Pengertian Verba Hatten Suru, Hattatsu Suru,

dan Shinpo Suru………...19

2.1.4.1 Verba Hatten Suru………...19

2.1.4.2 Verba Hattatsu Suru………...23

2.1.4.3 Verba Shinpo Suru………...27

2.2 Studi Semantik……….29

2.2.1 Defenisi Semantik………...29

2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna Dalam Semantik………32

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik………37

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik………..39

2.2.2 Kesinoniman………40

2.2.3 Pilihan Kata……….42

BAB III ANALISIS MAKNA VERBA HATTEN SURU, HATTATSU SURU, DAN SHINPO SURU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG 3.1 Verba Hatten Suru……….44

3.2 Verba Hattatsu Suru………...51


(9)

3.4 Analisis Perbedaan Nuansa Makna………...61

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan………....67

4.2 Saran………..68

DAFTAR PUSTAKA……….69


(10)

ABSTRAK

Di dalam bahasa Jepang banyak sekali terdapat kata-kata yang memiliki kesamaan makna, baik itu kata kerja, kata sifat, kata benda, bahkan partikel. Dua buah kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama, bisa dikatakan sebagai kata yang bersinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran yang lainnya. Salah satu contoh kata-kata yang bersinonim dalam bahasa Jepang adalah verba hatten suru, hattatsu suru dan shinpo suru. Apabila diamati secara sekilas dari makna leksikalnya, ketiga verba tersebut memiliki makna yang sama yaitu berkembang. Akan tetapi, dalam semantik dua buah ujaran yang bersinonim tidak akan sama persis. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya nuansa makna. Misalnya pada kata hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo suru, karena ada kemiripan makna maka dikatakan bersinonim. Akan tetapi, meskipun bersinonim, hanya pada konteks tertentu saja, karena tidak ada sinonim yang semuanya sama persis, dalam konteks atau situasi tertentu pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil.

Untuk memperoleh gambaran yang jelas mengenai persamaan dan perbedaan dari makna verba hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo suru, perlu dilakukan penelitian yang menggunakan metode deskriptif, dengan cara menganalisis teks-teks berbahasa Jepang yang di dalamnya terdapat kalimat yang mengandung ketiga verba tersebut. Setelah itu barulah dilakukan pembandingan, apakah ketiga verba tersebut dapat saling menggantikan posisinya di dalam kalimat.


(11)

Contoh :

1. その後、17-18世紀になると,娯楽用のロボット、つまり

からくり人形が大発展しました

Sono ato, juunana-juhasseiki ni naru to, gorakuyou no robotto, tsumari karakuri ningyou ga

daihattenshimashita

Setelah itu, ketika masuk abad 17-18, robot hiburan seperti boneka Karakuri

berkembang pesat.

.

2. 長いときを経て,民俗的な競技として発達して

Nagai toki o hete, minzokuteki na kyougi toshite

きた相撲は、歴史と 伝統を持つ、日本の生きた「文化遺産」でもあるのだ。

hattatsushite

Melewati waktu yang panjang, sumo sebagai pertandingan secara adat yang sudah berkembang, memiliki sejarah dan tradisi, juga merupakan kehidupan/nyawa Jepang (warisan budaya).

kita sumou wa, rekishi to dentou o motsu, Nihon no ikita (bunka isan) de mo aru no da.

3. 時代を超えて進歩する

Jidai o koete

機械技術。

shinpo suru

Teknik mesin yang berkembang melewati zaman.

kikai gijutsu.

Dari contoh di atas dapat dikatakan bahwa verba hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo suru memiliki makna yang sama yaitu berkembang, akan tetapi masing-masing kata berbeda penggunaannya di dalam kalimat. Hatten suru adalah berkembang dalam arti lebih meluas, membesar dan populer, dan biasa digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan dendam, cerita, peristiwa pembunuhan, hal yang tak diduga, industri, kota, usaha, pertemuan, lalu lintas, dan bisa digunakan


(12)

untuk hal-hal positif maupun negatif. Hattatsu suru adalah berkembang dalam arti lebih berkualitas, dan biasa digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan dengan jasmani dan rohani, intelegensi, saraf motoris, ilmu pengetahuan, seni, sarana pengangkutan, kota, kebudayaan, peradaban, pendidikan. Sedangkan

shinpo suru adalah berkembang dalam arti lebih maju, dan biasa digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan teknik, ilmu pengetahuan, dan ilmu kedokteran. Dengan demikian, pemakaian dari verba hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo suru harus disesuaikan dengan situasi dan konteks kalimat, serta harus memperhatikan nuansa makna dan ketepatan pilihan kata dari ketiga verba tersebut, agar dapat menerjemahkan ataupun membuat kalimat ke dalam bahasa Jepang dengan baik dan benar. Selain itu, ternyata dalam situasi dan nuansa tertentu, antara verba hatten suru, hattatsu suru, dan shinpo suru, dapat saling menggantikan.


(13)

要旨

日本語の中で、同じ意味を持っている語彙がたくさんある。例えば、 動詞、形容詞、名詞、助詞もそうである。同じ意味を持っている二つとか 三つ以上の語彙は類義語だと言われる。類義語は一つの言葉と他の言葉の

間に意味の同等があるという意味論の関係である。

日本語の中での類義語の例の一つは「発展する」、「発達する」、

「進歩する」の動詞である。辞書的意味からチラリと見ると、その三つの

動詞は同じ意味を持っていて、インドネシア語で「berkembang」だという

意味である。しかし、意味論の中で、二つとか三つの類義語の語彙は絶対

同じじゃないと決まっていえる。このことは色々な原因があるからで、そ の一つの中では意味特徴の原因である。例えば、「発展する」、「発達す る」、「進歩する」の動詞の中で、同じ意味を持っているので、類義語だ

と言われる。しかし、たとえ類義語でも、特別な状況で小さい相違でも必 ずあり、そっくり意味を持っている類義語はないからである。

「発展する」、「発達する」、「進歩する」の動詞の意味の相違と

同等について具体的な説明を得るために、デスクリティブの研究方法を使 うのが必要である。それは日本語のテキストにおけるでその三つの動詞が


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan suatu ide, pikiran, hasrat, dan keinginan kepada orang lain dan berperan dalam perkembangan berbagai macam aspek kehidupan manusia (Sutedi, 2003:2). Sehingga perkembangan yang terjadi dalam aspek-aspek kehidupan manusia mempengaruhi perkembangan suatu bahasa. Dengan demikian, fungsi bahasa adalah sebagai media untuk menyampaikan makna kepada seseorang, baik secara lisan maupun tulisan, serta sebagai media dalam perkembangan berbagai aspek kehidupan manusia.

Berdasarkan fungsinya, bahasa dapat dikaji secara internal maupun secara eksternal. Yang dimaksud kajian secara internal adalah pengkajian itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, yaitu struktur fonologis, morfologis, sintaksis, dan semantik. Selanjutnya, kajian ini akan menghasilkan varian-varian bahasa tanpa berkaitan dengan masalah di luar bahasa. Kajian ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan norma atau prosedur yang telah ada di dalam disiplin linguistik. Sedangkan kajian eksternal adalah pengkajian yang dilakukan terhadap struktur di luar bahasa itu sendiri, misalnya sosiolinguistik, psikolinguistik, neurolinguistik, dan lain-lain.

Seperti yang telah dijelaskan pada penjelasan sebelumnya, dalam kajian internal bahasa, terdapat empat bidang kajian atau cabang linguistik yaitu fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Fonologi (on-inron) merupakan cabang


(15)

linguistik yang mengkaji tentang lambang bunyi bahasa berdasarkan fungsinya. Morfologi (keitairon) adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang kata dan proses pembentukannya. Sintaksis (tougoron) adalah cabang linguistik yang mengkaji tentang struktur dan unsur-unsur pembentuk kalimat. Dan cabang ilmu linguistik internal yang terakhir adalah semantik (imiron).

Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna. Semantik memiliki peranan yang penting, karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tidak lain hanya untuk menyampaikan suatu makna. Ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap jenis penelitian yang berhubungan dengan bahasa, apakah itu struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak akan terlepas dari makna.

Makna suatu kata biasanya akan berkembang, karena dipengaruhi oleh konteks atau situasi dalam kalimatnya. Makna yang sama namun nuansa yang berbeda dalam kalimat berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007:297).

Dua buah kata atau lebih yang mempunyai makna yang sama, bisa dikatakan sebagai kata yang bersinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran yang lainnya (Chaer, 2007:267). Akan tetapi, dalam semantik dua buah ujaran yang bersinonim tidak akan sama persis. Hal ini terjadi karena berbagai faktor, diantaranya nuansa makna. Misalnya pada kata hatten suru dan hattatsu suru,

karena ada kemiripan makna maka dikatakan bersinonim. Akan tetapi, meskipun bersinonim, hanya pada konteks tertentu saja, karena tidak ada sinonim yang


(16)

semuanya sama persis, dalam konteks atau situasi tertentu pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil.

Sinonim dalam bahasa Jepang bisa ditemukan tidak hanya pada verba saja, tetapi juga pada nomina, adjektiva, bahkan pada ungkapan dan partikel pun bisa terjadi. Hal ini banyak sekali ditemukan dalam bahasa Jepang sehingga menjadi salah satu penyebab sulitnya mempelajari bahasa Jepang. Oleh karena itu, penganalisaan terhadap perbedaan dan persamaan makna sinonim dalam bahasa Jepang perlu dilakukan.

Sebagai contoh, pemakaian verba Hatten Suru, Hattatsu Suru dan Shinpo Suru adalah seperti di bawah ini.

Contoh :

1. 小さな事件が戦争に発展した。

Chiisana jiken ga sensou ni hattenshita.

Peristiwa kecil berkembang

(Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar, 1988:290) menjadi perang.

2. 日本は鉄道が発達している。

Nihon wa tetsudoo ga hattatsu shite iru.

Perkeretaapian berkembang

(Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar, 1988:290) maju di Jepang.

3. 医学は大々的進歩を遂げた。

Igaku wa daidaiteki ni shinpo o togeta.

Ilmu kedokteran sudah mengalami perkembangan ( Kamus Jepang-Indonesia, 1994:927)

secara besar-besaran.

Melihat ketiga contoh kalimat tersebut, dapat diketahui bahwa meskipun ketiga verba tersebut memiliki persamaan makna yaitu sama-sama mengandung makna ‘berkembang’, namun nuansa makna ‘berkembang’ yang diberikan tiap-tiap verba di dalam kalimat terasa berbeda.


(17)

Setelah melihat uraian di atas, penulis merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sinonim kata Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru

yang memiliki pengertian yang sama sebagai verba, yaitu ‘berkembang’, yang selanjutnya akan penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul “Analisis Makna Verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru dalam Kalimat Bahasa Jepang”.

1.2 Perumusan Masalah

Penelitian ini mencoba menjelaskan mengenai makna dari verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru yang sama-sama memiliki arti ‘berkembang’, tetapi masing-masing kemungkinan memiliki perbedaan dalam penggunaannya, serta belum tentu dapat saling menggantikan. Hal inilah yang menyebabkan munculnya kesulitan bagi pembelajar bahasa Jepang untuk menggunakan atau menerjemahkan kalimat ke dalam bahasa Jepang dengan tepat, khususnya bagi kalimat yang memiliki unsur sinonim di dalamnya.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis merumuskan masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Apa makna kata Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru?

2. Apa perbedaan nuansa makna verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru dalam kalimat berbahasa Jepang?

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan

Dalam penulisan proposal skripsi ini penulis membatasi ruang lingkup pembahasan mengenai penggunaan kata yang bersinonim yaitu Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru. Pembahasannya lebih difokuskan kepada analisis


(18)

makna dari ketiga kata yang bersinonim tersebut. Untuk masing-masing kata

Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru akan dibahas 5 buah contoh kalimat, yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat pada beberapa majalah atau tabloid bahasa Jepang seperti Nipponia, Nyuusu Ga Wakaru, Jica’s World, dan artikel-artikel berbahasa Jepang lainnya.

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari kesalahan dan kekaburan dalam menginterpretasikan makna dari kata-kata atau istilah yang digunakan dalam penelitian ini, penulis mencoba mendefenisikan beberapa istilah linguistik, khususnya yang berkenaan dengan semantik.

Ilmu linguistik adalah ilmu yang mengkaji tentang bahasa. Ilmu linguistik itu tidak hanya mengkaji sebuah bahasa saja, melainkan juga seluk-beluk bahasa pada umumnya. Salah satu bidang kajian dari linguistik adalah semantik atau kajian makna. Kata semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani yaitu “sema” (kata benda) yang berarti tanda dan lambang. Kata kerjanya adalah

“semaino” yang berarti menandakan atau melambangkan. Makna adalah pengertian suatu konsep yang dimiliki atau terdapat pada tanda linguistik. Tanda linguistik bisa berupa kata atau leksem maupu n morfem. Sutedi (2003:114) berpendapat bahwa dalam bahasa Jepang ada dua istilah tentang makna, yaitu kata

imi (意味) dan igi (意義). Kata imi digunakan untuk menyatakan makna hatsuwa

(tuturan) yang merupakan wujud satuan dari parole, sedangkan igi digunakan untuk menyatakan makna dari bun (kalimat) sebagai wujud satuan dari langue.


(19)

Kosakata (goi) merupakan salah satu aspek kebahasaan yang harus diperhatikan dan dikuasai guna menunjang kelancaran berkomunikasi dalam bahasa Jepang, baik itu ragam lisan maupun tulisan. Goi dapat diklasifikasikan menjadi sepuluh kelas kata yaitu verba (doushi), adjektiva-I (keiyoushi), adjektiva-Na (keiyoudoushi), nomina (meishi), pronomina (rentaishi), adverbial (fukushi), interjeksi (kandoushi), konjugasi (setsuzokushi), verba bantu (jodoushi), dan partikel (joshi), (Sudjianto, 2004:98). Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah termasuk ke dalam golongan verba (doushi).

Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan pengertian verba atau doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan sesuatu. Doushi

dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat. Sedangkan menurut Sutedi (2003:42) verba adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou), dan bisa berdiri sendiri.

Dalam penelitian ini penulis ingin menganalisis makna verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru yang memiliki makna yang hampir sama (mirip) tetapi berbeda cara penggunaannya di dalam kalimat. Hal ini menyangkut tataran bidang linguistik yaitu semantik. Objek kajian semantik antara lain makna kata, relasi makna, makna frase, dan makna kalimat. Lalu objek kajian yang berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas ini adalah relasi makna khususnya sinonim, karena dalam hal ini verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru


(20)

Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007:267). Dua buah ujaran atau lebih yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna. Dalam bahasa Jepang sinonim disebut dengan ruigigo.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan kerangka teori berdasarkan pendapat para pakar. Menurut Koizumi, semantik (imiron) adalah mengungkapkan makna dari sebuah kata. Sedangkan menurut Sutedi (2003:103) semantik adalah salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna. Kata semantik kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan makna atau arti dalam bahasa.

Menurut Ferdinand De Saussure dalam Chaer (2007:287) makna adalah ‘pengertian’ atau ‘konsep’ yang dimiliki atau terdapat pada sebuah tanda linguistik. Makna yang sama namun memiliki nuansa yang berbeda dalam kalimat berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007:297). Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna (redundansi).

Secara etimologi, kata sinonim berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu ‘onama’ yang berarti nama, dan ‘syn’ yang berarti sama. Maka secara harfiah kata


(21)

sinonim berarti ‘nama lain untuk benda atau hal yang sama’. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007:267). Dua buah ujaran atau lebih yang bersinonim maknanya tidak akan persis sama. Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal pemilihan kata. Menurut Websters dalam Bagus (2009:7), diction diuraikan sebagai choice of words esp with regard to correctness, clearness, or effectiveness.

Jadi, diksi membahas penggunaan kata terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan. Sedangkan menurut Keraf (2006:24) pilihan kata atau diksi

adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Oleh karena itu, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan baik sesuai dengan situasi dan konteks kalimatnya.


(22)

Selanjutnya menurut Parera (2004:46) secara umum teori makna dibedakan atas :

1. Teori Referensial atau Korespondensi. 2. Teori Kontekstual

3. Teori Mentalisme 4. Teori Formalitas

Dari beberapa makna yang termasuk dalam kajian semantik di atas, teori makna yang dipergunakan adalah teori kontekstual. Teori makna kontekstual adalah sebuah makna leksem atau kata yang berbeda dalam satu konteks, termasuk juga dapat berkenaan dengan situasinya (Chaer, 1994 : 2001), atau dengan kata lain makna kontekstual adalah makna yang didasarkan atas hubungan antar ujaran dan situasi yang memakai ujaran tersebut. Berdasarkan teori makna kontekstual tersebut, maka penulis akan menginterpretasikan makna verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru sesuai dengan konteks kalimatnya, serta melihat ketepatan pemilihan ketiga kata bersinonim tersebut dalam kalimat.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.5.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah :

1. Untuk mengetahui makna kata Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru. 2. Untuk mengetahui perbedaan nuansa makna verba Hatten Suru, Hattatsu

Suru, dan Shinpo Suru dalam kalimat berbahasa Jepang.

1.5.2 Manfaat Penelitian.


(23)

1. Dapat dijadikan referensi bagi pembelajar bahasa Jepang dalam memahami makna verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru.

2. Dapat dijadikan masukan bagi pembelajar bahasa Jepang untuk memahami penggunaan verba Hatten Suru, Hattatsu Suru, dan Shinpo Suru.

3. Dapat dijadikan sebagai acuan bagi penelitian mengenai kata bersinonim lainnya.

1.6 Metodologi penelitian

Metode penelitian merupakan cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan penelitiannya. Metode penelitian sangat mempengaruhi keberhasilan dari penelitian tersebut. Seorang peneliti harus menentukan metode yang sesuai demi tercapainya keberhasilan.

Sudjana dan Ibrahim (2001:172) mengemukakan bahwa metodologi penelitian menjelaskan bagaimana prosedur penelitian itu dilaksanakan, artinya cara bagaimana memperoleh data empiris untuk menjawab pertanyaan penelitian atau menguji hipotesis.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Isyandi (2003:13) menyatakan bahwa penelitian deskriptif adalah suatu metode penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Data-data yang diperoleh adalah melalui penelitian pustaka (Library Research). Dalam hal ini penulis mengumpulkan dan menganalisis buku-buku dan data-data yang berhubungan dengan tata bahasa, baik itu buku berbahasa Jepang, maupun yang berbahasa Indonesia, khususnya buku-buku yang relevan dengan pembahasan skripsi ini.


(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP VERBA

DAN STUDI SEMANTIK

2.1 Verba

2.1.1 Pengertian Verba

Sebelum menelaah fungsi verba bahasa Jepang secara umum dan pemakaian verba Hatten Suru, Hattatsu Suru dan Shinpo Suru, penulis akan menjelaskan pengertian verba yang diambil dari beberapa sumber.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:1260), disebutkan bahwa verba adalah kata yang menggambarkan proses, perbuatan, atau keadaan yang disebut juga kata kerja.

Dalam bahasa Jepang verba disebut dengan doushi. Makna doushi bila dilihat dari kanjinya yaitu :

動 : ugoku, dou : bergerak

詞 : kotoba, shi : kata

動詞 : doushi : kata yang bermakna bergerak

Doushi adalah kata kerja yang berfungsi sebagai predikat dalam suatu kalimat, mengalami perubahan bentuk (katsuyou) dan bisa berdiri sendiri (Sutedi, 2003:42).

Nomura dalam Dahidi dan Sudjianto (2004:149) menyebutkan pengertian verba atau doushi adalah salah satu kelas kata dalam bahasa Jepang, kelas kata ini dipakai untuk menyatakan aktifitas, keberadaan, atau keadaan


(25)

sesuatu. Doushi dapat mengalami perubahan, dan dengan sendirinya dapat menjadi predikat.

Dari beberapa defenisi yang telah dikemukakan di atas, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa verba (doushi) adalah salah satu kelas kata yang menyatakan aktifitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou), dapat berdiri sendiri dan bisa menjadi predikat dalam suatu kalimat.

2.1.2 Jenis-Jenis Verba

Menurut Sutedi (2003:47), verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan bentuk konjugasinya.

1. Kelompok I

Kelompok ini disebut dengan 五 段 動 詞 (godan-doushi), karena

kelompok ini mengalami perubahan dalam lima deretan bunyi bahasa Jepang, yaitu (あ, い, う, え, お, ‘a-i-u-e-o’). Ciri-cirinya yaitu verba yang berakhiran (う, つ, る, ぶ, ぬ, む, く, ぐ, す, ‘u-tsu-ru-bu-nu-mu-ku-gu-su’).

Contoh :

a. 会う a-u (bertemu)

b. 待つ ma-tsu (menunggu)

c. 帰る kae-ru (pulang)


(26)

e. 死ぬ shi-nu (mati)

f. 飲む no-mu (minum)

g. 書く ka-ku (menulis)

h. 急ぐ iso-gu (bergegas)

i. 話す hana-su (berbicara)

2. Kelompok II

Kelompok ini disebut dengan 一 段 動 詞 (ichidan-doushi), karena

perubahannya hanya pada satu deretan bunyi saja. Ciri utama dari verba ini adalah verba yang berakhiran (え-る ‘e-ru’) yang disebut kami ichidan-doushi, dan verba

yang berakhiran (い-る ‘i-ru’) yang disebut shimo ichidan-doushi.

Contoh :

a. 出る d-eru (keluar)

食べる tab-eru (makan)

b. 見る m-iru (melihat)


(27)

3. Kelompok III

Verba kelompok ini merupakan verba yang perubahannya tidak beraturan, sehingga disebut 変格 動詞 (henkaku-doushi) dan hanya terdiri dari

dua verba berikut.

a. カ変動詞 (kahendoushi)

Contoh : 来る kuru (datang)

b. サ変動詞 (sahendoushi)

Contoh : するsuru (melakukan)

Verba kelompok ini juga merupakan verba yang terbentuk dari kata benda + verba suru, 「名詞 ‘meishi’」+「する ‘suru’」, namun meishi yang

dapat ditambahkan dengan verba suru disini hanyalah terbatas pada kata-kata yang bermakna gerak atau terdapat gerakan di dalamnya.

Contoh :

a. 勉強する benkyou suru (belajar)

b. 食事する shokuji suru (makan)

c. 買い物する kaimono suru (belanja)

Sementara Shimizu dalam Sudjianto (2004:150) mengklasifikasikan jenis doushi sebagai berikut :


(28)

1. Jidoushi (自動詞 ‘verba intransitif’)

Jidoushi merupakan verba yang tidak disertai dengan objek penderita. Jika dilihat dari huruf kanjinya, maka jidoushi dapat bermakna ‘kata yang bergerak sendiri’.

Contoh :

a. 起きる okiru (bangun)

b. 閉まる shimaru (tertutup)

c. 出る deru (keluar)

2. Tadoushi (他動詞 ‘verba transitif’)

Tadoushi merupakan verba yang memiliki objek penderita. Verba tadoushi

merupakan kelompok doushi yang menyatakan arti mempengaruhi pihak lain, atau dengan kata lain ada gerakan dari subjek.

Contoh :

a. 起こす okosu (membangunkan)

b. 閉める shimeru (menutup)


(29)

3. Shodoushi (所動詞)

Karena verba shodoushi merupakan kelompok doushi yang memasukkan pertimbangan pembicara, maka verba ini tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif dan kausatif.

Contoh :

a. 見える mieru (terlihat)

b. 聞こえる kikoeru (terdengar)

Namun selain jenis-jenis doushi seperti di atas, Terada Takanao dalam Sudjianto (2004:150) menambahkan fukugou doushi, haseigo toshite no doushi

dan hojo doushi sebagai jenis-jenis doushi.

1. Fukugou doushi (複合動詞)

Fukugou doushi adalah doushi yang terbentuk dari gabungan dua buah kata atau lebih. Gabungan kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.

Contoh :

a. 話し合う berunding (doushi + doushi)

b. 調査する menyelidiki (meishi + doushi)


(30)

2. Haseigo toshite no doushi (派生語としての動詞)

Haseigo toshite no doushi merupakan verba yang memakai prefiks atau doushi

yang terbentuk dari kelas kata lain dengan cara menambahkan sufiks. Kata-kata tersebut secara keseluruhan dianggap sebagai satu kata.

Contoh :

a. さ迷う samayou (mondar-mandir)

b. ぶん殴る bunnaguru (melayangkan tinju)

c. 寒がる samugaru (merasa kedinginan)

3. Hojo doushi (補助動詞)

Hojo doushi adalah doushi yang menjadi bunsetsu tambahan. Verba ini menunjukkan keberadaan. Biasanya verba ini tidak muncul bersama dengan verba bantu –iru.

Contoh :

a. ある aru (ada ‘benda mati’)

b. いる iru (ada ‘makhluk hidup’)

c. もらう morau (menerima)


(31)

2.1.3 Fungsi Verba

Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab sebelumnya (sub bab 2.1.1 ‘Pengertian Verba’), pada umumnya verba bahasa Jepang berfungsi sebagai predikat dalam sebuah kalimat, dan terletak di akhir kalimat.

Contoh :

1. 私はご飯を食べる。

Watashi wa gohan o

Saya makan nasi.

taberu.

2. 友達と一緒に公園を散歩する。

Tomodachi to isshoni kouen o

Saya berjalan-jalan bersama teman di taman.

sanposuru.

Verba berfungsi untuk membantu verba-verba yang ada pada bagian sebelumnya dan menjadi bagian dari predikat sebagaimana halnya fuzokugo

(Sudjianto, 2004:151).

Contoh :

1. 先生に日本語を教えてもらう

Sensei ni nihongo o

Saya belajar bahasa Jepang dari guru.

oshiete morau.


(32)

Karendaa ni konshuu no sukejuuru ga

Di kalender tertulis rencana minggu ini.

kaite aru.

Verba berfungsi sebagai keterangan bagi kelas kata lainnya pada sebuah kalimat (Sudjianto, 2004:149).

Contoh :

1. 私はチーズがある

Watashi wa chiizu ga

ケーキが大好きだ。

aru

Saya paling suka kue yang ada kejunya.

keeki ga daisuki da.

2. これは母が作った

Kore wa haha ga

料理だ。

tsukutta

Ini adalah masakan buatan ibu.

ryouri da.

2.1.4 Pengertian Verba Hatten Suru, Hattatsu Suru dan Shinpo Suru

2.1.4.1 Verba Hatten Suru

Verba Hatten Suru adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok III atau サ変動詞 (sahendoushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang

pengertian atau makna dari verba Hatten Suru.

a. Nomoto Kikuo (1988:290) menyebutkan bahwa Hatten Suru adalah keadaan menjadi lebih maju dan makmur, hal yang berkembang ke tingkat yang lebih besar dan luas.


(33)

Contoh :

小さな事件が戦争に発展した

Chiisana jiken ga sensou ni

hattenshita

Persoalan kecil berkembang menjadi perang.

.

b. Izuhara Shoji (1993:176) mengemukakan bahwa :

「発展する」は「恨み・話・殺人事件・思わぬ方」・「工業・都 市・事業・会・交通」など、事件・悪い話などはマイナスの方向

に進むが, 物事の範囲が量的に拡大し、量が質に転換して、よ

り進んだプラスの段階に入ること。

Hatten suru wa (urami, hanashi, sastsujin jiken, omowanukata), (kougyou, toshi, jigyou, kai, koutsuu) nado, jiken, warui hanashi nado wa mainasu no houkou ni susumuga, monogoto no hani ga ryouteki ni kakudaishi, ryou ga shitsu ni tenkanshite, yori susunda purasu no dankai ni hairu koto.

Hatten Suru adalah (dendam, cerita, peristiwa pembunuhan, hal yang tak diduga, industri, kota, usaha, pertemuan, lalu lintas), peristiwa, cerita buruk dan sebagainya yang terkadang maju ke arah negatif, akan tetapi ruang lingkup membesar secara kuantitas, kuantitas berubah menjadi kualitas, dan lebih cenderung maju ke tingkat yang positif.


(34)

Contoh :

恨みに発展する

Urami ni

hattenshita

Berkembang menjadi dendam.

.

c. Sakata Yukiko (1995:780)menyebutkan bahwa :

「発展する」はものごとの勢いが盛んになって、のびひろがる

こと。

Hatten suru wa monogoto no ikioi ga sakan ni natte, nobihirogaru koto.

Hatten Suru adalah perkembangan sesuatu yang menjadi populer dan meluas.

Contoh :

会社の事業を発展させる

Kaisha no jigyou wo

ために、海外に支店を出す。

hattensaseru

Agar usaha perusahaan dapat berkembang, membuka kantor cabang di luar negeri.

tame ni, kaigai ni shiten wo dasu.

d. Kindaichi Harugao (1978:1577) menyebutkan bahwa :

「発展する」は:

-(勢いなどが)のびひろがっていくこと。さかえていくこと。


(35)

-(俗)手広く活躍すること。

Hatten suru wa :

- (ikioi nado ga) nobihirogatte iku koto. Sakaete iku koto.

- tsugi no (takai) dankai e utsutte iku koto.

- (zoku) tebiroku katsuyou suru koto.

Hatten Suru adalah perkembangan yang meluas dan berjaya, perpindahan ke tingkat selanjutnya yang lebih tinggi, hal duniawi yang bergerak meluas.

Contoh :

町が発展する

Machi ga

hattensuru

Kota sedang berkembang. .

e. Ogiwara Chikako (2006:168) menyebutkan bahwa :

「発展する」:あるものがもっと大きくなったり広がったり盛ん になったりする。

Hatten suru : arumono ga motto ookiku nattari hirogattari sakan ni nattari suru

Hatten Suru adalah sesuatu yang menjadi lebih besar, luas, dan populer.

Contoh :


(36)

Wadai ga hattensuru

Pembicaraan menjadi berkembang.

.

2.1.4.2 Verba Hattatsu Suru

Verba Hattatsu Suru adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok III atau サ変動詞 (sahendoushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang

pengertian atau makna dari verba Hattatsu Suru.

a. Nomoto Kikuo (1988:290) menyebutkan bahwa Hattatsu Suru adalah berkembang menurut proses tertentu, meningkat dan meninggi dalam segi mutu, tumbuh membesar atau lebih berfungsi untuk organ makhluk hidup dan organisasi.

Contoh :

スポーツ選手は筋肉が発達している

Supootsu senshu wa kinniku ga

hattatsu shiteiru

Olahragawan ototnya berkembang dengan baik.

.

b. Izuhara Shoji (1993:176)mengemukakan bahwa :

「発達する」は「心身・知能・運動神経・学問・科学・芸術・交 通機関・都市・文化・文明・教育」など、物事の成長段階を示す一 定の基準や標準に従って、質的な変化を遂げていくこと。

Hattatsu suru wa (shinshin, chinou, undou shinkei, gakumon, kagaku, geijutsu, koutsuu kikan, toshi, bunka, bunmei, kyouiku) nado, monogoto no


(37)

seichou dankai o shimesu ittei no kijun ya hyojun ni shitagatte, shitsuteki na henka o togete iku koto.

Hattatsu Suru adalah menunjukkan tingkat pertumbuhan sesuatu menurut patokan dan standar tertentu, dan mengalami perubahan secara kualitas untuk hal-hal yang berkaitan dengan jasmani dan rohani, intelegensi, saraf motoris, ilmu pengetahuan, seni, sarana pengangkutan, kota, kebudayaan, peradaban, pendidikan dan lain sebagainya.

Contoh :

発達した

筋肉。

Hattatsushita

Otot yang sudah berkembang.

kinniku.

c. Sakata Yukiko (1995:780)menyebutkan bahwa :

「発達する」は:

- 物事や人の心、体が完全な形に近づくように変化していく

こと。

- 勢いよく、大きくなっていくこと。

Hattatsu suru wa :

- monogoto ya hito no kokoro, karada ga kanzen na katachi ni chikazuku you ni henkashite iku koto.


(38)

- ikioi yoku, ookiku natte iku koto.

Hattatsu Suru adalah perubahan mendekati bentuk sempurna untuk tubuh, jiwa seseorang dan berbagai hal, serta sesuatu yang membesar dengan penuh semangat.

Contoh :

交通が発達して

Koutsuu ga

便利になる。

hattatsushite

Lalu lintas berkembang menjadi lebih praktis.

benri ni naru.

d. Kindaichi Harugao (1978:1576)menyebutkan bahwa :

「発達する」は:

- 規模が大きくなり、内容が十分にととのった段階に達する

こと。

- 身体・精神が成長した状態や物事が進展した状態などに言う。

Hattatsu suru wa :

- kibo ga ookiku nari, naiyou ga juubun ni totonatta dankai ni tassuru koto.

- shintai, seishin ga seichoushita joutai ya monogoto ga shintenshita joutai nado ni iu.


(39)

Hattatsu Suru adalah skala yang membesar, isi yang cukup mencapai tingkat yang teratur, dan juga digunakan untuk menunjukkan keadaan jasmani dan rohani yang telah tumbuh.

Contoh :

骨格が発達する

Kokkaku ga

hattatsusuru

Kerangka tubuh berkembang.

.

e. Ogiwara Chikako (2006:52) menyebutkan bahwa :

「発達する」:心や体が成長していく。物事や能力が大きくなっ たり先に進んだりする。

Hattatsu suru : kokoro ya karada ga sichoushite iku. Monogoto ya nouryoku ga ookiku nattari saki ni susundari suru.

Hattatsu Suru adalah tumbuh kembang jiwa dan raga, sesuatu hal dan kemampuan yang tumbuh membesar dan maju.

Contoh :

心身が発達する

Shinshin ga

hattatsusuru

Jiwa dan raga berkembang.


(40)

2.1.4.3 Verba Shinpo Suru

Verba Shinpo Suru adalah verba yang termasuk ke dalam verba kelompok III atau サ変動詞 (sahendoushi). Berikut ini akan dijelaskan tentang

pengertian atau makna dari verba Shinpo Suru.

a. Nomoto Kikuo (1988:1028) menyebutkan bahwa Shinpo Suru adalah berkembang atau mengalami kemajuan,.

Contoh :

20世紀に入って宇宙科学は長足の進歩

Nijusseiki ni haitte uchuu kagaku wa chousoku no

を遂げた。

shinpo

Ilmu pengetahuan alam semesta mencapai kemajuan/perkembangan yang sangat pesat sesudah menginjak abad 20.

o togeta.

b. Izuhara Shoji (1993:176) mengemukakan bahwa :

「進歩する」は「退歩する」に対応し、「技術・医学・科学」物 事がよりよい・望ましい方向へ次第に進んでいくこと。

Shinpo suru wa (taiho suru) ni taioushi, (gijutsu, igaku, kagaku) monogoto ga yori yoi, nozomashii houkou e shidai ni susunde iku koto.

Shinpo Suru adalah lawan kata dari taihosuru (kemunduran), yaitu segala hal yang menjadi lebih baik, dan semakin maju ke arah yang diharapkan, khususnya dibidang teknik, ilmu kedokteran dan ilmu pengetahuan.


(41)

Contoh :

世界は日々進歩する

Sekai wa hibi

shinposuru

Hari-hari dunia berkembang.

.

c. Sakata Yukiko (1995:464)menyebutkan bahwa :

「進歩する」は物事がいい方向に進んでいくこと。

Shinpo suru wa monogoto ga ii houkou ni susunde iku koto.

Shinpo Suru adalah segalanya menjadi maju ke arah yang baik.

Contoh :

科学技術が

Kagaku gijutsu ga

進歩する。

shinposuru

Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang.

.

d. Kindaichi Harugao (1978:998)menyebutkan bahwa :

「進歩する」は物事がだんだんよくなること。

Shinpo suru wa monogoto ga dandan yoku naru koto.


(42)

Contoh :

科学の進歩

Kagaku no

shinpo

Perkembangan ilmu pengetahuan.

.

2.2 Studi Semantik 2.2.1 Defenisi Semantik

Semantik (imiron) merupakan salah satu cabang linguistik yang mengkaji tentang makna. Semantik memiliki peranan yang penting, karena bahasa yang digunakan dalam komunikasi tidak lain hanya untuk menyampaikan suatu makna. Ada pendapat yang menyatakan bahwa setiap jenis penelitian yang berhubungan dengan bahasa, apakah itu struktur kalimat, kosakata, ataupun bunyi-bunyi bahasa, pada hakikatnya tidak akan terlepas dari makna.

Sutedi (2003:103) menyebutkan bahwa objek kajian semantik antara lain adalah makna kata satu per satu (go no imi), relasi makna (go no imi kankei) antar satu kata dengan kata yang lainnya, makna frase dalam satu idiom (ku no imi) dan makna kalimat (bun ni imi).

1. Makna kata satu per satu (go no imi)

Makna setiap kata merupakan salah satu objek kajian semantik, karena komunikasi dengan menggunakan suatu bahasa yang sama seperti bahasa Jepang, baru akan berjalan lancar jika setiap kata yang digunakan oleh pembicara dalam


(43)

komunikasi tersebut makna atau maksudnya sama dengan yang digunakan oleh lawan bicaranya.

Dalam bahasa Jepang, banyak sekali terdapat sinonim (ruigigo) yang sangat sulit untuk bisa dipadankan ke dalam bahasa Indonesia satu per satu. Ditambah masih minimnya buku-buku atau kamus yang bertuliskan bahasa Indonesia yang membahas secara rinci dan jelas tentang persamaan dan perbedaan dari setiap sinonim tersebut.

2. Relasi makna antar satu kata dengan kata yang lainnya (go no imi kankei)

Relasi makna adalah hubungan antara dua kata atau lebih sehubungan dengan penyusunan kelompok kata (goi) berdasarkan kategori tertentu. Misalnya, pada verba 「話す ‘hanasu’」(berbicara),「言う ‘iu’」(berkata),「しゃべる

shaberu’」(ngomong), dan「食べる ‘taberu’」(makan), dapat dikelompokkan

ke dalam 「 言 葉 を 発 す る ‘kotoba o hassuru’」(bertutur) untuk tiga verba

pertama, sedangkan taberu tidak termasuk ke dalamnya. Contoh lainnya, misalnya hubungan makna antara kata 「話す ‘hanasu’」dan「言う ‘iu’」,「高い ‘takai’」

(tinggi) dan「低い ‘hikui’」(rendah),「動物 ‘doubutsu’」(binatang) dan「犬

inu’」(anjing) akan berlainan dan perlu diperjelas. Pasangan pertama merupakan

sinonim (hanasu dan iu), pasangan kedua merupakan antonim (takai dan hikui), sedangkan pasangan terakhir merupakan hubungan superordinat (doubutsu dan


(44)

3. Makna frase dalam satu idiom (ku no imi)

Makna frase merupakan makna yang terkandung dalam sebuah rangkaian kata-kata yang disebut dengan ungkapan. Contohnya dalam bahasa Jepang ungkapan 「本を読む ‘hon o yomu’」(membaca buku),「靴を買う

kutsu o kau’」(membeli sepatu), dan「腹が立つ ‘hara ga tatsu’」(perut berdiri

= marah) merupakan suatu frase. Frase ‘hon o yomu’ dan ‘kutsu o kau’ dapat dipahami cukup dengan menhetahui makna kata hon, kutsu, kau, dan o, ditambah dengan pemahaman tentang struktur kalimat bahwa ‘nomina + o + verba’. Jadi, frase tersebut bisa dipahami secara leksikalnya (mojidouri no imi). Tetapi, untuk frase ‘hara ga tatsu’, meskipun seseorang mengetahui makna setiap kata dan strukturnya, belum tentu bisa memahami makna frase tersebut, jika tidak mengetahui makna frase secara idiomatikalnya (kanyokuteki imi).

Lain halnya dengan frase「足を洗う ‘ashi o arau’」, ada dua makna,

yaitu secara leksikal (mojidouri no imi), yaitu mencuci kaki, dan juga secara idiomatikal (kanyokuteki imi), yaitu berhenti berbuat jahat. Jadi, dalam bahasa Jepang ada frase yang hanya bermakna secara leksikal saja, ada frase yang bermakna secara idiomatikal saja, dan ada juga frase yang bermakna keduanya.

4. Makna kalimat (bun ni imi)

Makna kalimat ditentukan oleh makna setiap kata dan strukturnya. Misalnya, pada kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni megane o ageru’ (Saya memberi kacamata pada Yamada) dan kalimat ‘Watashi wa Yamada san ni tokei o ageru’ (Saya memberi jam pada Yamada). Jika dilihat dari strukturnya, kalimat tersebut adalah sama, yaitu ‘A wa B ni C o ageru’, tetapi maknanya berbeda. Oleh


(45)

karena itu, makna kalimat ditentukan oeh kata yang menjadi unsur kalimat tersebut.

Lain halnya dengan kalimat ‘Watashi wa Yamada san to Tanaka san o matte iru’, terdapat dua makna yang terkandung di dalamnya, yaitu [Watashi wa] [Yamada san to Tanaka san o] [matte iru] yang berarti (Saya menunggu Yamada dan Tanaka) dan [Watashi wa] [Yamada san to] [Tanaka san o matte iru] yang berarti (Saya bersama Yamada menunggu Tanaka). Dari sini bisa diketahui bahwa dalam suatu kalimat bisa menimbulkan makna ganda yang berbeda.

2.2.1.1 Jenis-Jenis Makna Dalam Semantik

Menurut Chaer (2002:59), sesungguhnya jenis atau tipe makna itu memang dapat dibedakan berdasarkan beberapa kriteria dan sudut pandang, antara lain sebagai berikut.

a. Berdasarkan jenis semantiknya, dapat dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal.

b. Berdasarkan ada tidaknya referen pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna referensial dan makna nonreferensial.

c. Berdasarkan ada tidaknya nilai rasa pada sebuah kata/leksem, dapat dibedakan menjadi makna denotatif dan makna konotatif.

d. Berdasarkan ketepatan maknanya, dapat dibedakan menjadi makna umum dan makna khusus.


(46)

e. Berdasarkan kriteria atau sudut pandang lain, dapat dibedakan menjadi makna konseptual, asosiatif, idiomatik, dan sebagainya.

Berikut akan dibahas pengertian makna-makna tersebut satu per satu.

1. Makna Leksikal dan Makna Gramatikal

Menurut Chaer (2002:60) makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indera, atau makna yang sungguh-sungguh nyata dalam kehidupan kita. Sedangkan menurut Sutedi (2003:106), makna leksikal adalah makna kata yang sesungguhnya sesuai dengan referensinya sebagai hasil pengamatan indera dan terlepas dari unsur gramatikalnya, atau bisa juga dikatakan sebagai makna asli suatu kata. Makna leksikal dalam bahasa Jepang disebut dengan 「辞書的意味 ‘jishoteki imi’」atau

「語彙的意味 ‘goiteki imi’ 」. Dalam bahasa Jepang misalnya kata「猫 ‘neko’」

dan「学校 ‘gakkou’」. Makna leksikal dari kata kucing adalah hewan berkaki

empat, berkumis, dan suka mencuri ikan. Sedangkan makna leksikal dari kata sekolah adalah bangunan tempat para siswa belajar.

Makna gramatikal menurut Chaer (2002:63) adalah makna yang muncul sebagai akibat berfungsinya sebuah kata dalam kalimat. Sedangkan menurut Sutedi (2003:107) makna gramatikal yaitu makna yang muncul akibat proses gramatikalnya, dan dalam bahasa Jepang disebut 「文 法 的 意 味 ‘bunpouteki

imi’」. Dalam bahasa Jepang,「助詞 ‘joshi’」(partikel) dan「助動詞 ‘jodoushi’」

(kopula) tidak memiliki makna leksikal, tetapi memiliki makna gramatikal, sebab baru akan jelas maknanya jika digunakan dalam kalimat. Verba dan adjektiva


(47)

memiliki kedua jenis makna tersebut, misalnya pada kata 「忙しい ‘isogashii’」

dan「食べる ‘taberu’」. Bagian gokan : (isogashi) dan (tabe) memiliki makna

leksikal yaitu ‘sibuk’ dan ‘makan’, sedangkan gobi-nya, yaitu{い/ i}dan{る/

ru}sebagai makna gramatikal, karena akan berubah sesuai dengan konteks gramatikalnya. Begitu juga dengan partikel「に ‘ni’」, yang secara leksikal tidak

jelas maknanya, akan tetapi baru jelas maknanya ketika digunakan dalam kalimat seperti : 「 メ ダ ン に 住 ん で い る ‘Medan ni sunde iru’」yang bermakna

‘tinggal di

2. Makna Referensial dan Makna Nonreferensial

Medan’.

Menurut Chaer (2002:63), perbedaan makna referensial dan makna nonreferensial adalah berdasarkan ada tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut kata bermakna referensial. Namun jika kata-kata itu tidak mempunyai referen, maka kata tersebut merupakan kata bermakna nonreferensial. Kata meja dan kursi termasuk kata yang bermakna referensial karena keduanya mempunyai referen, yaitu sejenis perabot rumah tangga yang disebut ‘meja’ dan ‘kursi’. Sebaliknya kata karena dan tetapi tidak mempunyai referen, jadi kedua kata tersebut termasuk ke dalam kelompok kata yang bermakna nonreferensial.

3. Makna Denotatif dan Makna Konotatif

Chaer (2002:65) menyebutkan pengertian makna denotatif adalah pada dasarnya sama dengan makna leksikal dan referensial, sebab makna denotatif ini


(48)

lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut penglihatan, penciuman, pendengaran, perasaan, atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif, dan sering disebut dengan istilah ‘makna sebenarnya’. Sedangkan menurut Sutedi (2003:107), makna denotatif adalah makna yang berkaitan dengan dunia luar bahasa seperti suatu objek atau gagasan dan bisa dijelaskan dengan analisis komponen makna. Makna denotatif dalam bahasa Jepang disebut dengan

「明示的意味 ‘meijiteki imi’」atau「外延 ‘gaien’」.

Sedangkan makna konotatif menurut Chaer (2002:67) adalah makna tambahan yang sifatnya memberi nilai rasa, baik positif maupun negatif. Selanjutnya menurut Sutedi (2003:107), makna konotatif disebut「暗示的意味 ‘anjiteki imi’」atau「内包 ‘naihou’」, yaitu makna yang ditimbulkan karena

perasaan atau pikiran pembicara dan lawan bicaranya. Misalnya pada kata「父 ‘chichi’」dan「 親 父 ‘oyaji’」kedua-duanya memiliki makna denotatif yang

sama, yaitu ayah, akan tetapi memiliki nilai rasa yang berbeda. Kata ‘chichi’ terkesan lebih formal dan lebih halus, sedangkan kata ‘oyaji’ terkesan lebih dekat dan akrab. Contoh lainnya adalah kata「化粧室 ‘keshou-shitsu’」dan「便所

benjo’」. Kedua kata tersebut juga merujuk pada hal yang sama, yaitu kamar

kecil, tetapi kesan dan nilai rasanya berbeda. ‘Keshou-shitsu’ terkesan bersih, sedangkan ‘benjo’ terkesan kotor dan bau.


(49)

4. Makna Umum dan Makna Khusus

Chaer (2002:71) mengemukakan bahwa kata dengan makna umum memiliki pengertian dan pemakaian yang lebih luas, sedangkan kata dengan makna khusus mempunyai pengertian dan pemakaian yang lebih terbatas. Misalnya dalam deretan sinonim besar, agung, akbar, raya, dan kolosal. Kata

besar adalah kata yang bermakna umum dan pemakaiannya lebih luas dibandingkan dengan kata yang lainnya. Kita dapat mengganti kata agung, akbar, raya, dan kolosal dengan kata besar secara bebas. Frase ‘Tuhan yang maha Agung’ dapat diganti dengan ‘Tuhan yang maha Besar’ ; frase ‘rapat akbar’ dapat diganti dengan ‘rapat besar’ ; frase ‘hari raya’ dapat diganti dengan ‘hari besar’ ; dan frase ‘film kolosal’ dapat diganti dengan ‘film besar’. Sebaliknya, frase ‘rumah besar’ tidak dapat diganti dengan ‘rumah agung’, ‘rumah raya’ ataupun ‘rumah kolosal’.

5. Makna Konseptual, Asosiatif, dan Idiomatik

Menurut Chaer (2002:72), makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya, dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna leksikal, referensial, dan makna denotatif. Selanjutnya, makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Misalnya, kata melati berasosiasi dengan makna ‘suci’ atau ‘kesucian’ ; kata

merah berasosiasi dengan makna ‘berani’ ; kata cenderawasih berasosiasi dengan makna ‘indah’.


(50)

Sedangkan makna idiomatic menurut Chaer (2002:75) adalah makna sebuah satuan bahasa (kata, frase, atau kalimat) yang “menyimpang” dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Contohnya adalah pada frase ‘membanting tulang’ dan ‘meja hijau’. ‘Membanting tulang’ adalah sebuah leksem dengan makna ‘bekerja keras’, dan ‘meja hijau’ adalah sebuah leksem dengan makna ‘pengadilan’.

2.2.1.2 Perubahan Makna Dalam Semantik

Perubahan makna suatu kata dapat terjadi karena berbagai faktor, antara lain perkembangan peradaban manusia pemakai bahasa tersebut, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, atau pengaruh bahasa asing. Berikut akan dijelaskan beberapa jenis perubahan makna dalam bahasa Jepang, menurut Sutedi (2003:108).

a. Dari yang konkrit ke abstrak

Kata 「頭 ‘atama’」(kepala),「腕 ‘ude’」(lengan), serta「道 ‘michi’」

(jalan) yang merupakan benda konkrit, berubah menjadi abstrak ketika digunakan seperti berikut ini.

頭がいい atama

腕が上がる

ga ii (kepandaian)

ude

日本語教師への道 nihongo-kyoushi e no

ga agaru (kemampuan)


(51)

b. Dari ruang ke waktu

Kata 「前 ‘mae’」(depan), dan「長い ‘nagai’」(panjang), yang menyatakan

arti ruang, berubah menjadi waktu seperti pada contoh berikut ini.

三年前 sannen mae (yang lalu)

長い時間 nagai

c. Perubahan penggunaan indera

jikan (lama)

Kata 「大きい ‘ookii’」(besar) semula diamati dengan indera penglihatan

(mata), berubah ke indera pendengaran (telinga), seperti pada「大きい声 ‘ookii koe’」(suara keras). Kemudian pada kata「甘い ‘amai’」(manis) dari

indera perasa menjadi karakter seperti dalam「 甘 い 子 ‘amai ko’」(anak

manja).

d. Dari yang khusus ke umum/ generalisasi

Kata 「 着 物 ‘kimono’」yang semula berarti pakaian tradisional Jepang,

digunakan untuk menunjukkan pakaian secara umum「 服 ‘fuku’」dan

sebagainya.

e. Dari yang umum ke khusus/ spesialisasi

Kata 「花 ‘hana’」(bunga secara umum) dan「卵 ‘tamago’」(telur secara

umum) digunakan untuk menunjukkan hal yang lebih khusus seperti dalam penggunaan berikut.


(52)

花見 hana

卵を食べる

-mi (bunga Sakura)

tamago

f. Perubahan nilai positif

o taberu (telur ayam)

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai positif salah satunya adalah kata 「僕 ‘boku’」(saya) yang dulu digunakan untuk budak atau pelayan,

tetapi sekarang sering digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang kurang baik menjadi baik.

g. Perubahan nilai negatif

Contoh dari kata yang mengalami perubahan nilai negatif salah satunya adalah kata 「 貴 様 ‘kisama’ 」 (kamu) yang dulu sering digunakan untuk

menunjukkan kata「 あ な た ‘anata’」(anda) , tetapi sekarang digunakan

hanya kepada orang yang dianggap rendah saja. Hal ini menunjukkan adanya perubahan nilai, dari yang baik menjadi kurang baik.

2.2.1.3 Manfaat Mempelajari Semantik

Manfaat yang dapat kita petik dari studi semantik sangat tergantung dari bidang apa yang kita geluti dalam tugas kita sehari-hari (Chaer, 2002:11). Bagi seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan mengenai semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.


(53)

Bagi mereka yang berkecimpung dalam penelitian bahasa, seperti mereka yang belajar di Fakultas Sastra ataupun Fakultas Ilmu Budaya, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis untuk dapat menganalisis kata atau bahasa-bahasa yang sedang dipelajarinya. Sedangkan bagi seorang guru atau calon guru, pengetahuan mengenai semantik akan memberi manfaat teoritis, karena sebagai seorang guru bahasa haruslah mengerti dengan sungguh-sungguh tentang bahasa yang akan diajarkannya. Sedangkan manfaat praktis yang diperoleh dari mempelajari teori semantik adalah pemahaman yang lebih mendalam mengenai makna dari suatu kata yang makna katanya berdekatan atau memiliki kemiripan arti.

2.2.2 Kesinoniman

Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia maupun bahasa Jepang, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata dengan kata lainnya. Hal ini berkaitan dengan relasi makna. Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa yang lainnya (Chaer, 2007:297). Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat. Relasi makna ini dapat menyatakan kesamaan makna (sinonim), pertentangan makna (antonim), ketercakupan makna (hiponim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), dan kelebihan makna (redundansi).

Apabila suatu kata memiliki makna yang hampir sama (mirip) dengan satu atau lebih kata yang lain, maka dapat dikatakan bahwa kata-kata tersebut memiliki hubungan atau relasi makna yang termasuk ke dalam sinonim. Sinonim adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu


(54)

satuan ujaran dengan satuan ujaran lainnya (Chaer, 2007:267). Akan tetapi meskipun bersinonim, maknanya tidak akan persis sama. Hal ini dikarenakan tidak ada sinonim yang maknanya akan sama persis seratus persen. Dalam konteks tertentu, pasti akan ditemukan suatu perbedaannya meskipun kecil. Ketidaksamaan ini terjadi karena berbagai faktor, antara lain faktor waktu, faktor tempat atau wilayah, faktor keformalan, faktor sosial, faktor bidang kegiatan, dan faktor nuansa makna.

Dalam bahasa Jepang, sinonim dikenal dengan istilah 「 類 義 語 ‘ruigigo’」. Menurut Sutedi (2003:115), perbedaan dari dua kata atau lebih yang

memiliki relasi atau hubungan kesinoniman「類義関係 ‘ruigi-kankei’」dapat

ditemukan dengan cara melakukan analisis terhadap nuansa makna dari setiap kata tersebut. Misalnya pada kata agaru dan noboru yang kedua-duanya berarti ‘naik’, dapat ditemukan perbedaannya sebagai berikut.

のぼる:下から上へ或経路に焦点を合わせて

Noboru : Shita kara ue e wakukeiro ni shouten o awasete idou suru

移動する

Noboru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus jalan yang dilalui

あがる:下から上へ到達点に焦点を合わせて

Agaru : Shita kara ue e toutatsuten ni shouten o awasete idou suru

移動する

Agaru : berpindah dari bawah ke atas dengan fokus tempat tujuan

Jadi, perbedaan verba agaru dan noboru terletak pada fokus 「焦点

shouten’」gerak tersebut. Verba agaru menekankan pada tempat tujuan「到達 点 ‘toutatsuten’」dalam arti tibanya di tempat tujuan tersebut (hasil), sedangkan


(55)

noboru menekankan pada jalan yang dilalui「経路 ‘keiro’」dari gerak tersebut

(proses).

2.2.3 Pilihan Kata

Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat saling menggantikan ada pula yang tidak. Karena itu, kita harus memilihnya secara tepat dan seksama untuk menghindari kerancuan dalam menginterpretasikan maknanya. Hal ini berkaitan dengan pilihan kata atau diksi. Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) yang berarti perihal pemilihan kata. Menurut Websters dalam Bagus (2009:7), diction diuraikan sebagai choice of words esp with regard to correctness, clearness, or effectiveness.

Jadi, diksi membahas penggunaan kata terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan. Sedangkan menurut Keraf (2006:24) pilihan kata atau diksi

adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.

Diksi atau pilihan kata harus berdasarkan tiga tolak ukur, yaitu ketepatan, kebenaran, dan kelaziman. Kata yang tepat adalah kata yang mempunyai makna yang dapat mengungkapkan gagasan secara cermat sesuai dengan gagasan pemakai bahasa. Kata yang benar adalah kata yang diucapkan atau ditulis sesuai dengan bentuk yang benar, yaitu sesuai dengan kaidah kebahasaan. Kata yang lazim berarti bahwa kata yang dipakai adalah dalam bentuk yang sudah dibiasakan dan bukan merupakan bentuk yang dibuat-buat.


(56)

Berdasarkan konsep dari pilhan kata di atas, kata yang maknanya hampir sama atau yang disebut sinonim harus dapat dipilih dengan tepat sesuai dengan situasi dan konteks kalimatnya, agar gagasan yang terkandung di dalam makna kata tersebut dapat tersampaikan dengan baik.


(57)

BAB III

ANALISIS MAKNA VERBA

HATTEN SURU, HATTATSU SURU DAN SHINPO SURU

DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG

Sebelumnya pada Bab II penulis telah memaparkan mengenai verba hatten suru, hattatsu suru dan shinpo suru. Maka pada Bab III ini penulis mencoba menganalisis makna verba hatten suru, hattatsu suru dan shinpo suru yang diambil dari kalimat-kalimat berbahasa Jepang yang terdapat pada beberapa majalah atau tabloid seperti Nipponia, Jica’s World, Nyuusu Ga Wakaru, dan artikel-artikel berbahasa Jepang lainnya, sesuai dengan beberapa pendapat dari beberapa ahli linguistik yang telah dipaparkan sebelumnya.

3.1 Verba Hatten Suru

Cuplikan 1 :

その後、17-18世紀になると,娯楽用のロボット、つまり からくり人形が大発展しました

Sono ato, juunana-juhasseiki ni naru to, gorakuyou no robotto, tsumari karakuri ningyou ga

。(Nipponia No. 12, 2000:10).

daihattenshimashita

Setelah itu, ketika masuk abad 17-18, robot hiburan seperti boneka Karakuri

berkembang pesat.


(58)

Analisis :

Kalimat pada cuplikan 1 di atas diambil dari wacana yang berjudul

“からくり人形の伝統 (Karakuri Ningyou No Dentou)” yang berarti ‘Tradisi

Boneka Karakuri’. Makna verba hatten suru pada cuplikan kalimat tersebut adalah berkembang dengan pesat, dan pemakaiannya sudah tepat. Pada wacana tersebut dijelaskan bahwa tradisi boneka Karakuri sudah mulai dikenal sejak abad 12. Boneka Karakuri adalah robot yang berfungsi untuk mengangkut air di sawah, akan tetapi bukan mengangkut air dalam arti yang sebenarnya. Robot ini hanyalah sebuah boneka hiburan yang bisa bergerak jika mangkok pada boneka tersebut diisi penuh dengan air. Akan tetapi masyarakat Jepang percaya bahwa jika boneka Karakuri terus menerus diisi dengan air, maka perairan di sawah akan semakin lancar. Hal inilah yang menyebabkan boneka Karakuri masih terus diminati hingga abad 17-18, dan boneka ini pun semakin berkembang dalam arti semakin populer di masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ogiwara Chikako dan Sakata Yukiko yang menyebutkan bahwa makna verba hatten suru adalah sesuatu yang menjadi lebih besar, luas dan populer.

Cuplikan 2 :

明治維新を経て、大地震と戦火を乗り越えて、発展して

Meiji ishin o hete, daijishin to senka o norikoete,

きた東京。 (Nipponia No. 33, 2005:6).

hattenshite

Tokyo yang berkembang setelah melewati Restorasi Meiji, mengatasi gempa besar dan api peperangan.


(59)

Analisis :

Kalimat pada cuplikan 2 di atas diambil dari wacana yang berjudul

“地 震 に 備 え る 日本 (Jishin Ni Sonaeru Nihon)” yang berarti ‘Jepang yang

Mempersiapkan Diri terhadap Gempa’ . Makna verba hatten suru pada cuplikan kalimat tersebut adalah berkembang dalam arti lebih maju atau makmur, dan pemakaiannya sudah tepat. Pada wacana tersebut dijelaskan bahwa dulu Jepang dikenal sebagai negara tertutup, dan sering mengalami bencana khususnya gempa. Hal ini membuat masyarakat Jepang kini lebih waspada, dan terus belajar untuk membuat sistem pertahanan gempa yang lebih baik. Sekarang, setelah melewati Restorasi Meiji dan berhasil mengatasi gempa besar, Jepang khususnya kota Tokyo sudah semakin berkembang menjadi lebih maju. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Nomoto Kikuo yang mengemukakan bahwa makna verba hatten suru adalah keadaan menjadi lebih maju dan makmur, serta didukung pula oleh pendapat dari Izuhara Shouji yang menyebutkan bahwa verba hatten suru

khususnya dipakai untuk hal-hal seperti dendam, cerita, peristiwa pembunuhan, hal yang tak diduga, industri, kota, usaha, pertemuan, lalu lintas dan sebagainya, yang dalam hal ini Tokyo merupakan sebuah kota.

Cuplikan 3 :

「瀬戸会場」、を市の南部に置く瀬戸市は、緑豊かな丘陵に囲まれ、 良 質 の 陶 土 に も 恵 ま れ て 、 陶 磁 器 の 町 と し て 発 展 し て き た 。 (Nipponia No. 31, 2004:18).


(60)

(Seto kaijou), o shi no nanbu ni oku setoshi wa, midori yutaka na kyuuryou ni kakomare, ryoushitsu no toudo ni mo megumarete, toujiki no machi toshite hattenshite

Seto Kaijou, kota barang pecah belah yang terletak di bagian selatan kota, dikelilingi bukit yang penuh dedaunan, dan juga dikaruniai tanah liat berkualitas baik, berkembang sebagai kota keramik dan porselen.

kita.

Analisis :

Kalimat pada cuplikan 3 di atas diambil dari wacana yang berjudul

“「 せ と も の 」 の 名 を 全 国 に 広 げ た や き も の の 町 (Setomono No Na O

Zenkoku Ni Hirogeta Yakimono No Machi)” yang berarti ‘Kota Keramik yang Memperluas Nama Setomono di Seluruh Negara’ . Makna verba hatten suru pada cuplikan kalimat tersebut adalah berkembang dalam arti lebih besar dan lebih populer, dan pemakaiannya sudah tepat. Pada wacana tersebut dijelaskan bahwa di Jepang terdapat kota yang disebut Seto Kaijou, yang memproduksi keramik atau barang pecah belah yang dulu disebut Yakimono, dan sekarang lebih dikenal dengan istilah Setomono. Keramik Setomono sangat terkenal di Jepang, sehingga membuat kota tersebut menjadi lebih berkembang dan besar dengan industri keramiknya. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ogiwara Chikako yang mengemukakan bahwa makna verba hatten suru adalah sesuatu yang menjadi lebih besar, luas dan populer, serta didukung pula oleh pendapat dari Izuhara Shouji yang menyebutkan bahwa verba hatten suru khususnya dipakai untuk hal-hal seperti dendam, cerita, peristiwa pembunuhan, hal-hal yang tak diduga, industri, kota, usaha, pertemuan, lalu lintas dan sebagainya, yang dalam hal ini Seto Kaijou


(61)

merupakan sebuah kota, dengan barang pecah belah atau keramik sebagai industrinya.

Cuplikan 4 :

台風の影響が少なく、穏やかな瀬戸内海地域の入り江を中心に、ハ マチやタイ養殖漁業は発展し、

Taifuu no eikyou ga sukunaku, odayaka na seito naikai chiiki no irie o chuushin ni, Hamachi ya Tai youshoku gyogyou wa

四国や九州地方などでも盛んになっ た。(Nipponia No. 21, 2002:16).

hattenshi,

Pengaruh topan menjadi sedikit, memusatkan di daerah Laut Dalam Jepang yang tenang, budidaya ikan Hamachi dan Tai berkembang dan populer,

bahkan sampai ke daerah Shikoku dan Kyuushuu.

Shikoku ya Kyuushuu chihou nado demo sakan ni natta.

Analisis :

Kalimat pada cuplikan 4 di atas diambil dari wacana yang berjudul

“養殖漁業から日本が見える (Youshoku Gyogyou Kara Nihon Ga Mieru)” yang

berarti ‘Jepang Terlihat dari Budidaya Perikanannya’ . Makna verba hatten suru

pada cuplikan kalimat tersebut adalah berkembang dalam arti lebih populer, dan pemakaiannya sudah tepat. Pada wacana tersebut dijelaskan bahwa dulu ikan

Hamachi dan Tai merupakan ikan berkelas tinggi yang jumlahnya masih sedikit sehingga harganya sangat mahal. Akan tetapi karena industri perikanan Jepang yang semakin banyak membudidayakan kedua ikan tersebut , kini ikan Hamachi


(62)

rumah tangga sehari-hari. Hal ini sesuai dengan pendapat dari Ogiwara Chikako yang mengemukakan bahwa makna verba hatten suru adalah sesuatu yang menjadi lebih besar, luas dan populer, serta didukung pula oleh pendapat dari Izuhara Shouji yang menyebutkan bahwa verba hatten suru khususnya dipakai untuk hal-hal seperti dendam, cerita, peristiwa pembunuhan, hal yang tak diduga, industri, kota, usaha, pertemuan, lalu lintas dan sebagainya, yang dalam hal ini

Yousoku Gyogyou merupakan sebuah industri perikanan.

Cuplikan 5 :

そして、昨年はサマン(アチェの伝統踊り〕が世界遺産に認定され、 インドネシアも文化の多様なそして今後も発展する

Soshite, sakunen wa Saman (Aceh no dentou odori) ga sekai isan ni ninteisare, Indonesia mo bunka no tayou na soshite kongo mo

ポテンシャルを

感じる国であることの認識を新たにした次第です。(Kaniren No. 348,

2012:1).

hattensuru

Kemudian, tahun lalu Saman (tarian tradisional Aceh) diakui sebagai warisan dunia, juga merupakan keanekaragaman budaya Indonesia, untuk selanjutnya juga dapat memperbaharui anggapan/pengakuan bahwa Indonesia sebagai negara yang merasakan potensi yang berkembang.

potensharu o kanjiru kuni de aru koto no ninshiki o arata ni shita shidai desu.


(63)

Analisis :

Kalimat pada cuplikan 5 di atas diambil dari sebuah kutipan salam pembuka dari pemimpin redaksi Buletin Kaniren yang berjudul “新年のご挨拶

(Shinnen No Goaisatsu)” yang berarti ‘Salam Tahun Baru’ . Makna verba hatten suru pada cuplikan kalimat tersebut adalah berkembang dalam arti lebih populer, akan tetapi pemakaiannya kurang tepat. Karena pada wacana tersebut dijelaskan bahwa Tuan Sugihara Teijiro selaku pimpinan redaksi Buletin Kaniren, memuji keanekaragaman budaya Indonesia yang sudah terkenal sampai ke Jepang, yang salah satunya adalah Tari Saman. Dalam hal ini, “potensi yang berkembang” yang dimaksud adalah mengenai budaya atau seni, sehingga pemakaian verba hatten suru dirasakan kurang tepat, karena verba hatten suru tidak mencakup hal-hal yang berkaitan dengan seni dan budaya dalam pemakaiannya. Verba yang lebih tepat untuk digunakan pada kalimat di atas adalah verba hattatsu suru, karena sesuai dengan teori dari Izuhara Shouji yang menyebutkan bahwa hattatsu suru

adalah menunjukkan tingkat pertumbuhan sesuatu menurut patokan dan standar tertentu, dan mengalami perubahan secara kualitas untuk hal-hal yang berkaitan dengan jasmani dan rohani, intelegensi, saraf motoris, ilmu pengetahuan, seni, sarana pengangkutan, kota, kebudayaan, peradaban, pendidikan dan lain sebagainya, yang dalam hal ini Tari Saman merupakan sebuah kesenian dan kebudayaan Indonesia.


(64)

3.2 Verba Hattatsu Suru

Cuplikan 1 :

長いときを経て,民俗的な競技として発達して

Nagai toki o hete, minzokuteki na kyougi toshite

きた相撲は、歴史と

伝統を持つ、日本の生きた「文化遺産」でもあるのだ。(Nipponia No.

31, 2004:22).

hattatsushite

Melewati waktu yang panjang, sumo sebagai pertandingan secara adat yang sudah berkembang, memiliki sejarah dan tradisi, juga merupakan kehidupan/nyawa Jepang (warisan budaya).

kita sumou wa, rekishi to dentou o motsu, Nihon no ikita (bunka isan) de mo aru no da.

Analisis :

Kalimat pada cuplikan 1 di atas diambil dari wacana yang berjudul

“大相撲の世界 (Oozumou No Sekai)” yang berarti ‘Dunia Sumo’. Makna verba

hattatsu suru pada cuplikan kalimat tersebut adalah berkembang, dan pemakaiannya sudah tepat. Pada wacana tersebut dijelaskan bahwa Sumo merupakan sebuah olahraga tradisional Jepang yang sudah ada sejak dulu, dan hingga sekarang pun masih terus dilakukan dan dijaga sebagai salah satu warisan budaya Jepang yang terus menerus berkembang. Hal ini sesuai dengan pendapat dari dari Izuhara Shouji yang menyebutkan bahwa hattatsu suru adalah menunjukkan tingkat pertumbuhan sesuatu menurut patokan dan standar tertentu, dan mengalami perubahan secara kualitas untuk hal-hal yang berkaitan dengan jasmani dan rohani, intelegensi, saraf motoris, ilmu pengetahuan, seni, sarana


(65)

pengangkutan, kota, kebudayaan, peradaban, pendidikan dan lain sebagainya, yang dalam hal ini Sumo merupakan kebudayaan Jepang.

Cuplikan 2 :

中でも保存食としてさまざまな漬物が発達したのは、中国や朝鮮半 島、日本などの東アジアでした。そして他の東アジア諸国と日本の 漬物の大きな違いは、日本で特に野菜の漬物が発達して

Nakademo, hozonshoku toshite samazama na tsukemono ga

きたことで

しょう。。(Nipponia No. 2, 1997:16).

hattatsu shita no wa, Chuugoku ya Chousen Hantou, Nihon nado no higashi Ajia deshita. Soshite hokano higashi Ajia shokoku to Nihon no tsukemono no ookina chigai wa, Nihon de toku ni yasai no tsukemono ga hattatsushite

Di antaranya, sebagai makanan yang diawetkan, macam-macam asina yang

berkembang adalah dari Asia Timur seperti Cina, Jazirah Korea, dan Jepang. Lalu perbedaan besar dari asinan Jepang dan negara Asia Timur lainnya, di Jepang yang khususnya berkembang adalah asinan dari sayuran.

kita koto deshou.

Analisis :

Kalimat pada cuplikan 2 di atas diambil dari wacana yang berjudul

“漬物いまむかし (Tsukemono Ima Mukashi)” yang berarti ‘Makanan Asinan,

Dulu dan Sekarang’ . Makna verba hattatsu suru pada cuplikan kalimat tersebut adalah berkembang dalam arti lebih berkualitas, dan pemakaiannya sudah tepat. Pada wacana tersebut dijelaskan bahwa sejak dahulu kebiasaan membuat makanan


(1)

manapun, karena kalimat-kalimat tersebut semuanya berbicara tentang teknik dan ilmu kedokteran, yang nuansa maknanya tidak ada yang sesuai dengan kedua verba lainnya, baik itu hatten suru maupun hattatsu suru.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan pada uraian dari bab-bab sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Verba dalam bahasa Jepang adalah salah satu kelas kata yang menyatakan aktivitas, keberadaan atau keadaan, mengalami perubahan (katsuyou), bisa berdiri sendiri, dan menduduki jabatan predikat dalam suatu kalimat.

2. Verba dalam bahasa Jepang digolongkan ke dalam tiga kelompok berdasarkan pada bentuk konjugasinya, yaitu kelompok I (五段動詞 ‘godan-doushi’), kelompok II (一段動詞 ‘ichidan-‘godan-doushi’), dan kelompok III (変格 動詞 ‘henkaku-doushi’), yang dalam hal ini verba hatten suru, hattatsu suru dan shinpo suru ketiganya termasuk dalam verba kelompok III.

3. Verba hatten suru, hattatsu suru dan shinpo suru ketiganya termasuk dalam kata yang bersinonim karena memiliki makna yang sama yaitu berkembang. Akan tetapi walaupun maknanya sama, pemakaian dari ketiga verba tersebut dalam kalimat berbeda, tergantung pada nuansa makna dan konteks kalimatnya. Sehingga verba hatten suru, hattatsu suru dan shinpo suru belum tentu dapat saling menggantikan kedudukan dalam sebuah kalimat. Artinya ada yang bisa dan ada yang tidak bisa saling menggantikan.

4. Verba hatten suru memiliki makna berkembang dalam arti lebih meluas dan populer, dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat positif maupun negatif,


(3)

dan cenderung digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan cerita, peristiwa buruk, hal yang tidak diduga, industri, usaha, kota, pertemuan, dan lalu lintas.

5. Verba hattatsu suru memiliki makna berkembang dalam arti lebih berkualitas, dan cenderung digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan jasmani dan rohani, intelegensi, ilmu pengetahuan, seni, kota, sarana pengangkutan, peradaban, dan kebudayaan.

6. Verba shinpo suru memiliki makna berkembang dalam arti lebih maju, dan cenderung digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan, kedokteran, dan teknik.

7. Dari ketiga verba tersebut, verba hatten suru lah yang paling sering dipakai dan ditemukan dalam wacana-wacana berbahasa Jepang, karena verba hatten suru mewakili makna berkembang secara umum yaitu lebih meluas dan populer, dan bisa dipakai untuk hal-hal yang bersifat positif maupun negatif. Sedangkan verba hattatsu suru dan shinpo suru hanya bisa dipakai untuk hal-hal yang cenderung membaik.

4.2 Saran

Dengan penulisan skripsi ini, diharapkan para pembelajar bahasa Jepang dapat lebih memahami mengenai makna verba hatten suru, hattatsu suru dan shinpo suru, serta lebih berhati-hati dalam menggunakan ketiga kata tersebut ataupun kata-kata bersinonim lainnya yang memiliki kemiripan makna dalam kalimat, sehingga tidak terjadi kesalahan dalam penginterpretasian maknanya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Hasan dkk. 1991. Bentuk dan Pilihan Kata. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Bagus, Ida. 2009. Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika). Bandung : Refika Aditama

Chaer, Abdul. 1998. Tata Bahasa Praktis Bahasa Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta : Rineka Cipta

____________. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta

____________. 2007. Leksikologi dan Leksikografi Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta

____________. 2007. Linguistik Umum. Jakarta : Rineka Cipta Chikako, Ogiwara. 2006. E De Wakaru Nihongo. Tokyo : Aruku

Dahidi, Ahmad dan Sudjianto. 2004. Pengantar Linguistik Bahasa Jepang. Bekasi : Kesaint Blanc

Depdikbud. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka

Harugao, Kindaichi. 1978. Gakken Kokugo Daijiten. Tokyo : Gakushuu Kenkyuusha


(5)

Kaniren No.348 (Buletin). 2012. Osaka : Kansai Indonesia Yuuko Kyoukai

Keitoo, Bunyabetsu Jouhoushi No.5 (Buku Panduan). 2012. Tokyo : License Academy

Keraf, Gorys. 2006. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Koizumi dkk. 1989. Nihongo Kihon Doushi Youhou Jiten. Tokyo : Daishuukan Shouten

News Ga Wakaru No.11 (Majalah). 2006. Tokyo : Mainichi Shinbun Nipponia No.2 (Majalah). 1997. Tokyo : Nihon Hakken

Nipponia No.8 (Majalah). 1999. Tokyo : Nihon Hakken

Nipponia No.12 (Majalah). 2000. Tokyo : Nihon Hakken Nipponia No.21 (Majalah). 2002. Tokyo : Nihon Hakken

Nipponia No.26 (Majalah). 2003. Tokyo : Nihon Hakken Nipponia No.31 (Majalah). 2004. Tokyo : Nihon Hakken

Nipponia No.33 (Majalah). 2005. Tokyo : Nihon Hakken

Matsuura, Kenji. 1994. Nihongo-Indoneshiago Jiten (Kamus Bahasa Jepang-Indonesia). Jakarta: Gramedia

Nomoto, Kikuo. 1988. Kamus Pemakaian Bahasa Jepang Dasar. Kokuritsu Kokugo Kenkyuusho


(6)

Shouji, Izuhara. 1993. Ruigigo. Tokyo : Kenkyusha

Sutedi, Dedi. 2003. Dasar-Dasar Linguistik Bahasa Jepang. Bandung : Humaniora Utama Press

Ullman, Stephen. 2007. Pengantar Semantik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar