Masa Turun Wahyu Konsepsi wahyu dalam ajaran sapta darma

itu ia harus kembali Kepengimanan. Dengan kembalinya Hardjosopoero Kepengimanan berakhirlah tugas belau di Dunia Fana ini. Hardjosopoero meninggal dunia pada Rabu Pahing, 16 Desember 1964 pukul 12:10 di Pare Kediri Jawa Timur. Tugas dan perjuangan beliau diteruskan oleh Ibu Sri Pawenang. 3

B. Masa Turun Wahyu

Di Pandean, Gang koplakan, berdiamlah seorang putra Bangsa Indonesia yang bernama Hardjosopoero selama hidupnya beliau tidak pernah mendalami ajaran agama apapun dan tidak mempercayai cara-cara perdukunan, kecuali hanya percaya penuh kepada adanya Hyang Maha Kuasa yang memberi kehidupan keseluruh umatnya. Pada Kamis Pon, 26 Desember 1952, Hardjosopoero sepanjang hari berada di rumahnya dan tidak bekerja seperti biasanya sebagai tukang cukur. sebab hatinya gelisah, sekalipun tidak ada beban batin maupun pikiran yang menyelimuti dirinya. Sore harinya beliau menghadiri undangan ke rumah kawannya. Di tempat tersebut, sudah banyak orang berkumpul. Akan tetapi, kegelisahan batin yang dialaminya tidak kunjung reda hilang, bahkan semakin malam ia merasakan sangat gelisah. Menjelang pukul 24:00 beliau pamit pulang. setelah sampai di rumah, beliau mengambil tikar yang di gelar di atas dipan untuk dipindahkan ke lantai, 3 Sekertariat Tuntunan Agung, Sejarah Penerimaan Wahyu, h. 9. dengan maksud digunakan untuk berbaring agar dapat meredakan kegelisahannya. Pada saat itu, tepat pukul 01:00 malam ketika beliau sedang berbaring, tiba-tiba badan beliau dibangunkan dan digerakan oleh suatu daya berupa getaran yang kuat di luar kemampuan yang menempatkan dirinya dalam keadaan duduk menghadap ke timur dengan kaki bersiala dan kedua tangan bersidakep. Walaupun demikaian, alam pikiran beliau masih dalam keadaan sadar sehingga ada keinginan untuk melepaskan diri dari gerakan dan getaran yang dialaminya. Namun, beliau tidak mampu untuk melepaskannya. Oleh sebab itu, akhirnya beliau pasrah dan bersedia mati pada saat itu. Akan tetapi, di luar kemauannya sendiri, beliau mengucapkan suatu kalimat dengan suara keras. Kalimat tersebut adalah: “Allah Hyang Maha Agung Allah Hyang Maha Rokhim Allah Hyang Maha Adil”. Dalam keadan masih bergetar dan bergerak, badan beliau merasa bergerak membungkuk dengan sendirinya, sehingga dahi beliau menyentuh tanahtikar, seraya mengucapkan kalimat dengan suara yang keras, yaitu: ”Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa”. Kemudian duduk dan membungkuk kembali, hingga dahi menyentuh tikar dan meneriakkan: “Kesalahan Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa’ Kesalahane Hyang Maha Suci Nyuhun Kapura Hyang Maha Kuwasa’ Keasalahane Hyang Maha Suci Nyuwun Ngapura Maha Kwasa”. Kemudian duduk kembali seperti semula dalam keadaan badan bergetar terus. Setelah itu, beliau tergerak lagi untuk membungkuk yang ketiga kalinya sampai dahi menyentuh lantai dan mengucapkan kalimat dengan suara keras, yaitu: “Hyang Maha Suci Mertoba Hyang Maha Kuwasa Hyang Maha suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa Hayng Maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa”. Menurut Hardjosopoero, gerakan sujud menyembah kepada Hyang Maha Kuasa tersebut dituntun secara langsung oleh Hyang Maha Kuasa pada hari Jumat Wage. Setelah getaran tersebut berhenti, rasa takut pada diri Hardjosopoero pun reda, karena selama hidupnya beliau belum pernah mengalami hal seperti itu. Setelah itu, Hardjosopoero mendatangi teman dekatnya yang bernama Djojodjaimoen untuk menceritakan apa yang sudah dialaminya semalam. Akan tetapi, Djojodjaimoen tidak percaya terhadap apa yang diceritakan oleh Hardjosopoero. Djojodjaimoen baru percaya ketika tiba-tiba tubuhnya tergetar dan bergerak dengan sendirinya seperti halnya yang dialami oleh Hardjosopoero. Keesokan harinya, mereka berdua datang ke rumah teman mereka, Kemi Handini. Mereka segera menceritakan peristiwa yang dialaminya. Ketika di tengah-tengah pembicaraan tersebut, tiba-tiba ketiga orang itu digetarkan dengan sendirinya. Akhirnya, Kemi Handini pun percaya dengan apa yang dialami oleh kedua sahabatnya. Pada hari ketiga sejak peristiwa itu, mereka bertiga bermusyawarah untuk menemui temannya, Somogiman yang mengerti tentang Kebatinan. Setibanya di rumah Somogiman, banyak orang telah berkumpul, lalu Hardjosopoero kembali menceritakan pengalaman mereka bertiga. Namun Somogiman tidak memberi tanggapan yang tidak baik dan seolah-olah tidak percaya terhadap apa yang diceritakan oleh Hardjosopoero, sehingga tiba-tiba Somogiman mengalami apa yang dirasakan oleh ketiga temannya itu, barulah ia percaya. Semenjak hari itu, tersebarlah peristiwa gaib tersebut di Kota Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Tersebarnya peristiwa Gaib itu, terdengar oleh Darmo dan Rekso Kasirin. Mereka berdua ingin membuktikan tentang peristiwa gaib tersebut dan akhirnya mereka berdua mendatangi rumah Somogiman. Ketika mereka berdua sampai di rumah Somogiman, dan Somogiman sendiri belum menceritakan peristiwa tersebut, tiba-tiba mereka berdua mengalami apa yang dialami oleh Hardjosopoero. Pada saat mereka berdua mengalami peristiwa itu, tiba-tiba mereka semua serentak tergerak untuk melakukannya untuk menghadap Allah Hyang Maha Kuasa. Setelah selesai melakuakan gerakan itu, keenam sahabat Hardjosopoero kembali ke rumah masing-masing, kecuali beliau sendiri yang tidak pulang ke rumahnya, karena takut mendapatkan gerakan-gerakan tersebut sendirian di rumah. Dengan begitu, beliau memutuskan untuk tinggal berpindah- pindah ke rumah sahabat-sahabatnya. Kejadian ini terjadi setiap mengunjungi teman-temannya, dan akhirnya terdapat enam orang yang mengalami mu’jizat yang sama. 4 Setelah mendapatkan wahyu yang petama, Hardjosopoero diperintahkan untuk pulang ke rumahnya atas perintah Hyang Maha Kuasa untuk memperoleh wahyu yang kedua. Maka, pada 13 Februari 1953, pukul 10:00 mereka, yang telah mengalami peristiwa tersebut, berkumpul di rumah Hardjosopoero atas perintah wahyu. Secara mendadak Hardjosopoero berkata dengan suara keras dalam bahasa Jawa sebagai berikut: “Kanca-kanca delengan aku arep mati, amat-amat ana aku,” Artinya: ”kawan-kawan lihat aku akan mati, amat-amatilah aku.” Sambil berkata demikian Hardjosopoero lalu berbaring terlentang membujur ke timur sambil memejamkan matanya, serta tangannya bersidakep seperti orang mati. 5 “inilah yang disebut Racut, mati dalam hidup.” Peristiwa ini terjadi selama setengah jam, tiba-tiba Hardjosopoero terbangun dan bersabda kepada sahabat yang setia menunggunya: Kemudian Hardjosopoero menceritakan selama melaksanakan tugas untuk mati Racut. Hardjosopoero merasa rohnya keluar dari wadagnya tubuh dan naik ke atas melalui alam yang enak, atau alam langgeng. Hardjosopoero 4 Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002 , cet ke- 9, h. 22. 5 Pengurus Pusat Persatuan Warga Sapta Darma, Pemaparan Budaya Spritual Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga-Surokarsan, 2010, h. 33. bertemu dengan orang yang bersinar laksana Maha Raja, lalu ia melaksanakan sujud menyembah Hyang Maha Kuasa. 6 Setelah melaksanakan sujud, Hardjosopoero dibawa oleh orang bersinar untuk melihat dua sumur yang bernama Gumuling dan Jalatunda. Setelah itu, ia diberi dua buah keris pusaka, keris pusaka itu bernama Nogososro dan Segono. Untuk meyakinkan kebenaran Ajaran Racut yang diterimanya, Hardjosopoero meminta pada sahabtnya untuk melakukan Racut . Setelah menerima Wahyu Racut, semua sahabatnya selalu berkumpul untuk melaksanakan sujud dan latihan Racut, sehingga apapun yang dikerjakan oleh Hardjosopoero merupakan suatu petunjuk yang benar dari Allah Hyang Maha Kuasa. 7 Selama berkumpul, Hardjosopoero sering bertemu dengan Sang Maha Raja. Aktifitas demikian itu kemudian dijadikan salah satu upacara ibadah Sapta Darma yang dinamakan Racut. 8 Secara berturut-turut di antara turunnya wahyu-wahyu itu adalah Wahyu Simbol Pribadi Manusia, Wahyu Wewarah Tujuh, dan Wahyu Sesanti. Pada 12 Juli 1954, turun Wahyu Pribadi Manusia berupa gambar yang secara tiba-tiba muncul di rumaha Hardjosopoero. Peristiwa turunnya Wahyu Wewarah Tujuh sama dengan turunnya Wahyu Simbol Pribadi Manusia. perbedaannya terletak pada bentuknya saja. Wahyu Wewarah Tujuh berupa tulisan yang terlihat, terukir, dalam bentuk kalimat-kalimat pada dinding, lantai, serta ada juga yang 6 Sekertariat Tuntunan Agung, Sejarah Penerimaan Wahyu, h. 16. 7 Pengurus Pusat, Pemaparan Budaya Spritual, h.35. 8 Romdon, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996, cet ke-1, h. 139. terlukis pada dada Hardjosopoero. Ini merupakan tulisan tanpa papan atau Sastra Jendra Hayuningrat. Adapun Wahyu Wewarah Tujuh tersebut selengkapnya, dalam bahasa Jawa, sebagai berikut: 1. Setija tuhu marang anane Pantjasila 2. Kanthi djudjur lan sutjining ati kudu setia anindakake angger- anggering nagarane 3. Melu tjawe-tjawe atjantju tali wada andjaga adeging Nusa lan Bangsane 4. Tetulung malang sapa bae jen perlu, kanthi ora nduweni pamrih apa bae kadjabamung rasa wales lan asih 5. Wani urip kanthi kapitajan saka kekuwatane Dewa 6. Tanduke marang warga bebrajan kudu susila kanthi alusing budi pakarti tansah agawe pepedang lan mareming lijan 7. Jakin jen kahanan donja iku ora langgeng tansah kanthi alusing owah gingsir hanjakra manggilingan 9 Artinya: 1 Setia tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung 2 Dengan jujur dan suci hati harus setia menjalankan perundang- undangannegaranya. 3 Turut serta menyingsingkan lengan baju menegakkan berdirinya Nusa dan Bangsa 4 Menolong kepada siap saja bila perlu tanpa mengharapkan suatu balasan, melainkan rasa cinta kasih 5 Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri 6 Sikapnya dalam hidup bermasyarakat kekeluargaan, harus susila disertai halusnya budi pekerti, selalu merupakan petunjuk jalan yang mengandung jasa serta memusakan 7 Yakin bahwa keadaan dunia tidak abadi melainkan selalu berubah-ubah. Setelah menerima Wahyu simbol Pribadi Manusia dan Wewarah Tujuh, pada hari itu juga beliau masih mendapatkan Wahyu Sesanti yang berbunyi sebagai berikut: 9 Sekertariat Tuntunan Agung, Sejarah Penerimaan Wahyu, h.18. “Ing ngendi bae, marang sapa bae Warga Sapta Darma kudu sumunar pindha baskara.” Artinya: “Dimana saja dan kapan saja warga Sapta Darma harus bersinar seperti matahari.” 10 Dengan diterimanya wahyu tersebut, penerimaan ajaran ini semakin terang benderang, bagaikan suasana di waktu pagi terkena sinar surya yang baru terbit di sebelah timur. Sejak hari itu, dapat diketahui bahwa sujud yang dilakukan oleh Hardjosopoero dan para sahabatnya adalah prilaku pendekatan Pribadi Manusia dengan Allah Hyang Maha Kuasa. Keyakinan semakinn mendalam bagi Hardjosopoero dan sahabat-sahabatnya setelah diterimanya Wahyu ajaran Sapta Darma secara lengkap. 11 Ada beberapa wahyu pelengkap yang diterima oleh Hardjosopoero di antaranya adalah: Dengan ajaran Sapta Darma yang telah dikuasai dan diyakini, mendorong pribadi mereka masing-masing selalu berkumpul di rumah Hardjosopoero. a. Wahyu istilah Tuntunan dan Wahyu istilah Sanggar yang diterima pada 15 Oktober 1954. Kata Tuntunan diartikan oleh para penganut ajaran Sapta Darma adalah seseorang yang membawakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa untuk menuntuni sujud calon Warga Sapta Darma, sedangkan kata Sanggar adalah tempat persujudan bersama. 10 Romdon, Ajaran Ontologi, h. 138. 11 Pengurus Pusat, Pemaparan Budaya Spritual, h. 36. b. Pada 27 Desember 1954 Hardjosopoero menerima Wahyu Saudara Dua Belas, isi wahyu tersebut dijelaskan sebagai berikut: “Hyang Maha Suci, Premana, Jatingarang, Gandarwaraja, Brama, Endra, Bayu, Mayangkara, sukmarasa, sukamakencana, Nagatahun dan bagindakilir.” 12 c. Selanjutnya pada 13 Februari 1955 turunlah Wahyu Tali Rasa dan Wahyu Wasiat Tiga Puluh Tiga. Tali Rasa dalam jararan Sapta Darma dapat diartikan sebagai kehidupan manusia. karena manusia memiliki Tali Rasa hidup, yang memiliki 20 sentral Tali Rasa yang dijelaskan dalam abjad huruf Jawa, sebagai berikut: “Ha –Na- Ca- Ra- Ka- Da- Ta- Sa- Wa- La- Pa- Dha- Ja- Ya- Nya- Ma- Ga- Ba- Tha- Nga.” Wasiat Tiga Puluh tiga adalah sebagai pelengkap adanya Ajaran Sapta Darma yang diterima oleh Hardjosopoero. Bagi penganut ajaran Sapta Darma wasiat ini cukup dimengerti saja untuk kewaspadaan serta keampuhan sabda yang telah dapat dicapai oleh penganut Ajaran Sapta Darma. d. Pada tahun yang sama juga diterima Wahyu Wejengan Dua Belas pada 12 Juli 1955 oleh Hardjosopoero yang isinya sebagai berikut: 1. Telu-telne atunggal diwejang Hyang Widhi 12 Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2002 ,cet, ke- 9, h. 31. Lima-limane atunggal diwejang Hyang Widhi Pitu-pitune Atunggal diwejang Hyang widhi Sanga-sangane Atunggal diwejang Hyang Widhi Rolas-rolase Atunggal diwejang Hayang Widhi 2. Wejangan mengenai Wasiat tiga puluh tiga 3. Untuk mengetahu saudaranya sendiri, dari telu-telune Atunggal sampai dengan rolas-rolase Atunggal duduk sejajar 4. Untuk mengetahu saudaranya sendiri, dari telu-telune Atunggal sampai dengan rolas-rolase Atunggal numapak jajar Serambi Hyang Widhi 5. Mengetahui adanya perbintangan dari Hyang Widhi 6. Untuk mengetahui sejati tesing dumadi pertama hingga menjadi bayi 7. Untuk mengetahui adanya simpul saraf tali Rasayang tedapat dalam tubuh manusia 8. Untuk mengetahui adanya saudara dua belas kelihatan berjajar sama 9. Untuk menhetahui keadaan orang mati 10. Untuk melihat orang mati yang rusak terlebih dahulu bagian tubuh yang mana dan darah nya kemana 11. Untuk mengetahui keadaan seseorang sejak mati hingga rohnya sampai dialam langgeng 12. Untuk mencapai jejer Satria Utama. Kemudian apabila seluruh wejangan ini sudah dapat dimengerti, dirasakan, dihayati dan dilaksanakan, 13 maka telah dapat dicapai Satria Utama. 14 e. Pada 27 Desember 1955 Hardjosopoero menerima wahyu lagi, yaitu Wahyu Nama Sri Gutama dan Wahyu Agama Sapta Darma. Sejak diterimanya Wahyu pertama tentang sujud. menyembah kepada Hyang Maha Kuasa sampai dengan diterimanya Wahyu Nama Sri Gutama, sudah lengkaplah penerimaan Wahyu Ajaran Sapta Darma yang diterima 13 Sekertariat Tuntunan Agung Kerohania Sapta Darma, Sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga- Surokarsan, 2010, cet .ke-1, h.186. 14 Satria Utama adalah menjadi orang atau manusia yang berbudi pakarti yang luhur Hardjosopoero, dan semua wahyu-wahyu yang dijelaskan di atas dikumpulkan dalam kitab suci yang bernama kitab suci Wewarah Sapta Darma.

C. Berdirinya Ajaran Sapta Darma