Konsepsi wahyu dalam ajaran sapta darma

(1)

Skripsi

Disusun Oleh: ABAS SAMBAS NIM. 106032101067

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul KONSEPSI WAHYU DALAM AJARAN SAPTA

DARMA telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan telah dinyatakan lulus pada 14 Maret 2011 di hadapan dewan penguji. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata 1 (S1) pada Jurusan Perbandingan Agama.

Jakarta, 14 Maret 2011

Panitia Ujian Munaqasyah Ketua

Drs. M. Nuh Hasan, MA NIP. 19610312 198903 1 003

Sekretaris

Maulana, MA NIP. 19650207 199903 001

Anggota Penguji I

Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Al-Fakih NIP. 19621006 1990031 1 002

Penguji II

Drs. M. Nuh Hasan, MA NIP. 19610312 198903 1 003

Di bawah bimbingan

Dr. Hamid Nasuhi, MA NIP: 19630908 199001 100


(3)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I)

Oleh

NIM: 106032101067 Abas Sambas

Pembimbing,

NIP: 19630908 199001 1001 Dr. Hamid Nasuhi, MA

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1432 H./2011 M.


(4)

i

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa syukur atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia untuk mengikuti petunjuk dengan risalahnya yakni Agama Islam, yang akan menyelamatkan dan menghantarkan pemeluknya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Penulis sadari bahwa tidak ada manusia di bumi ini dapat melakukan sesuatu tanpa bantuan manusia lainnya termasuk penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses penulisan skripsi ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang sedalam- dalamnya penulis sampaikan kepada pihak-pihak tersebut, terutama kepada :

1. Bpk Dr Hamid Nasuhi, M.A . Sebagai pembimbing dalam penulisan skripsi ini yang telah banyak meluangkan waktu dan tenaganya serta kesabaran memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sehingga membuka cakrawala berpikir dan nuansa keilmuan yang baru.

2. Bpk. Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Fakih, MA. Selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.

3. Bpk. Drs. M. Nuh Hasan, MA. Dan Bpk. Drs. Maulana, MA. Selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Agama, serta seluruh civitas akademika Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Kepada seluruh dosen Ushuluddin dan Filsafat khususnya dosen-dosen jurusan


(5)

ii

5. Kedua orang tua ananda, Zainal Arifin dan ibunda Sharifah yang penulis cintai dan hormati sepanjang hidup, yang dengan rasa cinta dan kasih sayangnya secara tulus telah mengurus, membesarkan dan mendidik penulis hingga sekarang ini. Munajat doanya di setiap waktu telah memberikan kekuatan lahir dan batin dalam mengarungi bahtera kehidupan. Yang telah memberikan motivasi yang begitu kuat sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

6. Kak Husen bersama istri dan si kecil, Raihan dan Raifan, serta adik-adik ku tercinta yang tak pernah henti-hentinya memberikan semangat dan motivasi sehingga skripsi ini dapat terselesaikan

7. Pimpinan Perpustakaan Utama dan FUF UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang dalam penulisan skripsi ini memberikan andil dalam hal penyediaan bahan pustaka dan sumber-sumber bacaan untuk kelancaran penulisan skripsi ini. 8. Bpk Saekoen Partowijono sebagai Tuntuna Agung kerokhanian Sapta Darma,

beserta Staf Tuntuna Agung, yang telah memberikan banyak sumber utama skripsi ini serta meluangkan waktunya kepada penulis untuk dapat berdiskusi secara langsung, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

9. Keluarga besar kerohanian Sapta Darma, yang telah membantu penulis untuk berbagi pendapat dan tenaganya berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

10.Teman-teman mahasiswa Juruasan PA angkatan 2006 (Adi sofyan, Fajri Akromani, Subhi, Iskandar Hidayat, Muhammad Syahid Juli Ashari, Dwiki Aribowo, Samsul Anwar, yudha Bakti, Iqbal Kaubudin, Shumi Sri wahyuni, Ay sumyati, Enung Sholihah, Thari Maya Ratu,) kalian semua adalah teman-teman terbaik ku, yang telah memberikan motivasi dalam penyelisan skripsi ini.


(6)

iii

Akhirnya penulis hanya bisa berdoa semoga dukungan, bimbingan, perhatian, dan motivasi dari semua pihak kepada penulis selama perkuliahan sampai selesainya skripsi ini menjadi amal ibadah dan bisa memberikan manfaat pada penulis khususnya dan para pembaca karya ini pada umumnya. Amin.

Jakarta, Februari 2009 M Rabi’ul Awal 1432 H


(7)

iv

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II SEKILAS TENTANG ALIRAN SAPTA DARMA A. Riwayat Hidup Pendiri Aliran Sapta Darma ... 10

B. Masa Turunnya Wahyu ... 12

C. Berdirinya Aliarn Sapta Darma ... 22

BAB III POKOK-POKOK AJARAN SAPTA DARMA A. Ajarn Tentang Tuhan ... 27

B. Ajaran Tentang Simbol-Simbol ... 29

C. Ajaran Tentang Manusia ... 33

BAB IV KONSEPSI WAHYU MENURUT AJARAN SAPTA DARMA A. Pengertian Wahyu ... 38

B. Sebab-Sebab Turunnya Wahyu ... 39

C. Orang Yang Berhak Menerima Wahyu ... 40


(8)

v

1. Wewarah Tujuh ... 41

2. Sujud ... 44

3. Racut ... 50

4. Ening atau Samadi ... 51

E. Nama dan Isi Kandungan Wahyu ... 52

F. Manfaatnya Bagi Masyarakat ... 52

G.Ciri-Ciri Orang Yang Mendapatkan Wahyu ... 53

BAB V KESIMPULAN ... 55

DAFTAR PUSTAKA ... 57


(9)

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan ... 7

E. Sistematika Penulisan ... 8

BAB II SEKILAS TENTANG ALIRAN SAPTA DARMA A. Riwayat Hidup Pendiri Aliran Sapta Darma ... 10

B. Masa Turunnya Wahyu ... 12

C. Berdirinya Aliarn Sapta Darma ... 22

BAB III POKOK-POKOK AJARAN SAPTA DARMA A. Ajarn Tentang Tuhan ... 26

B. Ajaran Tentang Simbol-Simbol ... 28

C. Ajaran Tentang Manusia ... 32

BAB IV KONSEPSI WAHYU MENURUT AJARAN SAPTA DARMA A. Pengertian Wahyu ... 36

B. Sebab-Sebab Turunnya Wahyu ... 37

C. Orang Yang Berhak Menerima Wahyu ... 38

D.Jalannya Untuk Mendapatkan Wahyu ... 39

1. Wewarah Tujuh ... 39


(10)

3. Racut ... 48

4. Ening atau Samadi ... 49

E. Nama dan Isi Kandungan Wahyu ... 50

F. Manfaat Bagi Masyarakat ... 51

G.Ciri Orang Yang Mendapatkan Wahyu ... 51

BAB V KESIMPULAN ... 53

DAFTAR PUSTAKA ... 55


(11)

Informan: Pada waktu Bapak Hardjosopoero tiba-tiba batinnya gelisah sekali, walaupun dalam Batin beliau tidak ada beban hidup sama sekali, untuk memghilangkan kegelisannya itu, Hardosopoero menghadiri acara hajatan temennya, tapi kegelisahan batinnya itu tidak kunjung reda malah bertambah Gelisah, akhirnya Bapak Hardosopoero pamit buat pulang, setibanya di rumah Hardjosopoero mengambil tikir bermaksud buat tiduran, tapi tiba-tiba hardjosopoero mendapat getaran yang begitu kuat, Hardjo sopoero berusaha melepaskan getaran itu tapi dia tidak mampu untuk melepaskan getaran tersebut. Akhirnya Hardjosopoero pasrah, dan pada saat itu juga Hardjosopoero Sujud untuk menghadap Allah Hyang Maha Kuas, ini lah yang dinamakan Wahyu sujud yang pertama diterima oleh Hardjosopoero.

(P): Apakah turunnya Wahyu Wewarah tujuh ini bertahap atau sekaligus?

(I): Turunnya Wahyu Wewarah tujuh ini secara bertahap, yaitu pada 27 Desember 1952 sampi 27 Desember 1955, yaitu selama 3 Tahun turunnya Wahyu Wewarah kerohanian Sapta Darma.

(P): apakah Wahyu Wewarah ini bisa disamakan dengan Wahyu Quran Atau

Al-kitab?

(I): bisa, karni Wahyu ini menjadi pedoman atau tuntunan bagi para penganutnya.

(P): Apakah para penganut Ajaran Sapta Darma Bisa mendapatkan Wahyu?

(I): Bisa asalkan para penganut ajaran Sapta Darma melaksanakan Sujud dengan benardan dan menjalankan Wewarah Tujuh dengan sungguh-sungguh.


(12)

(P): apakah ada sebab-sebabnya turunnya Wahyu tersebut?

(I): ada, karna pada waktu itu batin Hardjosopoero merasakan kegelisahan yang

sangat kuat, dan dikarnakan Hardosopoero melihat masyarakt pada waktu itu sudah begitu rusak moral masyarakt yang ada dilingkungannya.

(P): kenapa para penganut ajaran Sapta Darma kalu mau mendapatkan wahyu harus

melaksanakan Wewarah tujuh?

(I): karna Wewarah memagari diri kita di dalam tingkahlaku kita harus selalu di

dalam kolidor wewarah.

(P): apa manfaat turunnya Wahyu Wewarah bagi orang yang menerimanya?

(I): Akan tercapai ketena ketenangan, ketentraman, kesehatan, akan selalu memberi

kebahagian kepada orang banyak, dan dalam dirinya akan tercermin sifat-sifat yang mulia.

(P): Siapakah yang berhak menerima Wahyu Wewarah tersebut?

(I): yang berhak menerima Wahyu Wewarah itu ialah orang-orang yang menjadi

pilhan Allah Nyang Maha Kuasa.

(P): apa yang dirasakan oleh orang yang sudah menerima Wahyu?

(I): orang tersebut akan merasakan ketenangan batinnya, karna sudah mendapat

petunjuk dari Allah hyang Maha Kuasa.


(13)

1

A. Latar Belakang Masalah

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sebagai budaya spiritual yang merupakan Warisan Bangsa Indonesia, sebagai kebudayaan Rohaniah, Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa telah lama dihayati oleh nenek moyang bangsa Indonesia. Religi yang menjadi ciri utama dari kebudayaan spiritual itu telah berakar, jauh sebelum Agama-agama yang ada dan diakui di Indonesia.

Konsep kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah keyakinan dan pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa itu sendiri. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah menjadi dasar bagi prilaku para penghayat dalam mendekatkan diri kepadaNya dan dalam kehidupan sehari-hari.

Aliran kebatinan atau kepercayaan masyarakat, keberadaannya sudah diakui semenjak lama ada di Indonesia. Dicantumkan dalam GBHN tahun 1978, yanag diwadahi dalam sayap kata “Kepercayaan tehadap Tuhan yang Maha Esa” kita yakin bahwa aliran kepercayaan dan kebatinan bukan sebuah Agama dan mungkin tidak akan menjadi Agama baru, tetapi dapat menjadi daerah pelarian

dari Agama yang dirasakan lebih aman.1

Kebatinan merupakan hasil pemikiran dari angan-angan manusia yang menimbulkan suatu Aliran kepercayaan bagi penganutnya dengan melakukan ritual-ritual tertentu, mereka berusaha untuk mencapai derajat tertinggi, di mana

1


(14)

2

ketenangan batin, dan kesempurnaan hidup akan tercapai. Maka mereka berusaha untuk mencapai derajat yang lebih tinggi, bagi mereka yang melakukan ritual-ritual khusus untuk mencari Tuhan, dan sampai mendapatkan petunjuk dari Tuhan, yang mereka sebut dengan Wahyu

Wahyu adalah pemberitahuan secara tersembunyi dan cepat. Yang khusus

diberikan kepada orang yang diberi tahu tanpa diketahui oleh orang lain2

Skripsi ini akan mencoba memaparkan bagaimana Wahyu menurut aliran kebatinan Sapta Darma, karena banyak aliran-aliran kebatinan yang menganggap dan menyatakan bahwa aliran kebatinana datang berdasarkan pemberitaan dari Tuhan, atau yang disebut dengan Wahyu. Dalam hal ini penulis akan membahas tentang Wahyu menurut aliran Sapta Darma, namun terlebih dahulu penulis akan menjelaskan mengenai penegrtian dari kebatinan itu sendiri.

. Wahyu dapat dikatakan juga sebagai pemberitaan dari Allah kepada Nabi atau Rosul-nya untuk disampaikana kepada umat Manusia, yaitu berupa Hidayah maupaun pengetahuan-pengetahuan, Hukum-hukumnya, berita-berita, yang disampaikan secara rahasia, dan tidak terjadi pada manusaia biasa.

Hasil kongres kebatinan Indonesia (BKKI) mendefinisikan kebatinan adalah; sumber azaz sila Ketuhanan yang maha Esa untuk mencapai budi yang

luhur, guna kesempurnaan hidup3

2

Manna’ Kholil al-Qottan, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran (Bogor: P.T. Pustaka Litera Antar Nusa, 2000 ), cet. ke-5, h. 36.

, atau bisa dikatakan juga hasil pikiran dan

3

M. Suf’at, Beberapa Pembahasan Tentang Kebatinan (Yogyakarta: Kota Kembang, 1985), h. 9.


(15)

angan-angan manusia yang menimbulkan suatu aliran kepercayaan dalam dada penganutnya

Jadi kebatinan hasil pikiran dan angan-angan manusia dengan membawakan ritus-ritus tertentu, bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang gaib, bahkan untuk mencapai persekutuan dengan suatu yang dianggap Tuhan secara perenungan batin, sehingga dapat mencapi budi luhur untuk kesempurnaan hidup kini dan akan datang sesuai dengan konsep sendiri.

Dalam kebatinan inti setiap manusia sebenarnya adalah penciptaan Tuhan, atau bahkan Tuhan itu sendiri. Oleh sebab itu apabila manusia berusaha dengan sungguh-sungguh maka manusia biasa mengadakan kontak dengan Tuhan. Ini berarti bahwa setiap manusia biasa menerima Wahyu, dan kalu orang yang menerima Wahyu disebut Nabi atau Rasul, maka hal itu berarti setiap orang mempunyai kemungkinan untuk menjadi Nabi atau Rasul dan setiap manusia

biasa mendirikan Agama4

Sapta Darma adalah salah satu aliran kepercayaan terbesar yang ada di Indonesia dan aliran termuda, yang didirikan pada tanggal 27 Desember 1955 di

Pare, oleh Hardjosaputro yang mendapat gelar Resi Brahmono yang ditetapkan

menjadi Sri Gotama, Pada tanggal 27 Agustus 1956, gelar itu di perluas oleh ilahi

. Wahyu dalam kebatinan itu sendiri pada dasarnya adalah untuk menunjukan jalan bagaimana manusia bisa bersatu dengan Tuhan

atau Manunggaling Kawula Gusti. Karena melaui bersatu dengan Tuhan manusia

bisa memperoleh kebahagian yang sejati.

4


(16)

4

dengan sebutan Panutan Agung, sehingga sebutan lengkapnya Panutan Agung

Sri Brahmomo5

. Nama Sapta Darma diambil dari bahasa Jawa; Sapta artinya tujuh dan Darma artinya kewajiban suci. Jadi Sapta Darma artinya tujuh kewajiban suci, yang didirikan oleh Hardjosapuro dari Pare Kediri

6

. Tujuh Kewajiban suci bagi setiap kehidupan Warga secara individu yang harus dilaksanakan, dan realitasnya

tidak boleh bertentangan satu dengan yang lainnya.7

Ajaran Sapta Darma diwahyukan kepada pendirinya pada, tanggal 27 Desember 1952, pukul satu malam. Pada waktu itu dengan sekoyang-koyang Hardjosapuro digerakkan seluruh tubuhnya dengan gerak yang sekarang dijadikan pedoman bagi persujudan Sapta Darma, sambil mengucapkan segala kalimat, yang sekarang juga dipergunakan pada upacara persujudan itu. Gerak sujud yang datangnya mendadak itu berlangsung hingga pukul lima pagi. Kejadian itu terjadi tiap kali Hardjosapuro mengunjungi teman-temannya, sehingga akhirnya ada

enam orang yang mengalami Mu’jizat yang sama8

Pada tanggal 13 Februari 1953, ketika keenam orang itu sedang berkumpul di rumah Hardjosapuro atas perintah suatu Wahyu, secara mendadak hardjosapuro

melakukan apa yang kemudian disebut Racut. Yaitu memgalami mati dalam hidup

.

5

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil ( Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2002 ), cet ke-9, h. 23.

6

Hadiwijono, Kegatinan dan Injil, h. 22. 7

Soeryono Naen, Gema Sesanti, Media komunikasi Antar Warga Kerohanian Sapta Darma , 1(Juni, 2010), h. 18.

8


(17)

ia meninggalkan badan wadagnya (jasmaninya) ke atas masuk kedalam masjid, lalu ia melakukan sujud dipengimaman.

Menurut Sri Pawenang, istilah yang dipergunakan Sapta Darma adalah asli

karena didapatkan dari wahyu.9

Wahyu dalam penganut Sapta Darma disebut juga, kitab suci Wewarah yang disusun oleh pendirinya, kitab suci ini sebagai pedoman dan pegangan untuk tuntunan penganut Sapta Darma, Kitab suci ini diwahyukan oleh Allah yang mempunyai sifat Pancasila Allah

Tujuan ajaran sapta Darma adalah

“mangayu-ngayu bagya bawana” yang artinya hendak berusaha agar hidup manusia bahagia

didunia dan akherat.

10

Dari uraian di atas, pembahasan akan dititik beratkan pada aliran-aliran yang menyatakan bahwa alirannya itu didirikan pemberitahuan dari Tuhan atau Wahyu. Yang secara tegas menyatakan bahwa alirannya berdasarkan Wahyu adalah aliran Sapta Darma. Aliran ini menarik perhatian penulis untuk dibahas

dalam skripsi ini. Maka dari itu penulis mengambil judul “Konsepsi Wahyu

dalam Ajaran Sapta Darma”

. Wahyu Sapta Darma dikumpulkan juga

dalam buku kecil yang disebut Wewarah agama Sapta Darma.

9

Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 23. 10


(18)

6

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Berdasarkan judul di “KONSEPSI WAHYU DALAM AJARAN SAPTA DARMA”, maka dari itu penulis membatasi masalahnya hanya fokus pada konsepsi Wahyu Dalam Ajaran Sapta Darma. Oleh karena itu, agar pembahasan kita bisa terfokus oleh judul yang penulis rumuskan dan tidak melebar dalam wilayah yang lainnya, penulis berusaha mengarahkan pembahasannya pada kajian tentang konspsi Wahyu menurut ajaran Sapta Darma, dan jalan atau cara mendapatkan Wahyu.

Untuk menggali lebih dalam tentang konsepsi Wahyu menurut ajaran Sapta Darma, penulis merumuskan dalam pertanyaan-pertanyaan yang ada kaitannya dengan Wahyu, diantaranya sebagai berikut:

1. Bagaimana konsepsi Wahyu dalam ajaran Sapta Darma?

2. Apa saja jalan untuk mendapatkan Wahyu tersebut?

3. Bagaimanakah perasaan orang yang telah mendapatkan Wahyu?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penulisan penelitian dalam penelitian yang akan dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Dapat dijadikan sebagai bahan tambahan untuk peneliti atau kajian

secra lebih jauh dan spesifik, serta untuk di jadikan perbandingan, manakala meneliti aliran kepercayaan yang memiliki ajaran berbeda-beda antara satu dan yang lainya.


(19)

2. Penulisan skripsi ini ditunjukan untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dalam menyelesaikan studi untuk mendapatkan gelar sarjana stara satu (S1) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

D. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Untuk menguraikan pokok permasalahan ini, Penulis menekankan pada pendekatan deskriptif analitik, dengan maksud menggambarkan secara tepat bagaimana Wahyu.

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam pencarian data adalah pertama, penelitian kepustakan (Library research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data yang ada kaitannya dengan masalah yang sedang diteliti, serta menuliskan data-data dari buku-buku yang ada relefansinya untuk memperoleh data-data kepustakaan11

Adapun Buku-buku pokok yang diambil oleh penulis diantaranya: Wewarah kerohanian Sapta Darma, Sejarah penerimaan Wahyu, Pemaparan Budaya Spritual, Aliran-aliran Kepercayaan, Kebatinan dan Injil. Dengan cara mencari, membaca dan memahami data-data yang didapatkan kemudian diuraikan dan dianalisa kembali dengan menggunakan bahasa sendiri.

.

Kedua, penelitian lapangan (Field Research), artinya Penulis mendatangi dan mengumpulkan data di lapangan. Kegiatan pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan cara wawancara. Adapun wawncara terdiri dari dua bagian pertama, wawancara mendalam dengan ketua Tuntunan Agung dan staf aliran Sapta Darma , kedua, wawancara dengan para penganut aliran Sapta Darma. Dengan maksud untuk memperkuat Data yang dipergunakan

11

. Dadan Hermanto, “Pendekatan Wilfred Canwell Smith terhadap Studi Agama,” (Skripsi SI Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta), h. 9.


(20)

8

Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta" yang diterbitkan CeQDA (Center For Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1427 H./2007 M.

E.Sistematika Penulisan

Untuk keserasian pembahasan dan mempermudah analisis materi dalam penulisan skripsi ini, maka berikut ini penulis jelaskan dalam sistematika penulisan.

Secara garis besar skripsi ini terdiri dari lima bab, tiap bab dibagi menjadi sub bab, dan dari setiap sub bab mempunyai pembahasan masing-masing yang mana antara satu dan lainnya saling berkaitan. Adapun lima bab yang dimaksud adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan. Dalam pembahasan ini berisikan Latar Belakang Masalah, Pembahasan dan Perumusan Masalah, Metodologi Pembahasan dan Sistematika Penulisan.

BAB II : Sekilas Tentang Ajaran Sapta Darma, dalam bab ini akan dijelaskan mengenai riwayat hidup pendiri Sapta Darma Hardjosapuro dari masa kecil sampai dewasa sampai memperoleh Wahyu. Kemudia dipaparkan mengenai sejarah berdirinya aliran Sapta Darma.

BAB III : Pokok-pokok ajaran Sapta Darma, dalam bab ini membahas mengenai ajaran tetang Tuhan, ajaran tentang tujuh ajaran suci,


(21)

ajaran tentang sujud, ajaran tentang Ruh, ajaran tentang sinbol-simbol dan ajaran tentang panca sifat manusia.

BAB IV : Konsepsi Wahyu dalam Ajaran Sapta Darma, dalam bab ini menjelaskan tentang Pengertian Wahyu, sebab-sebab turunnya Wahyu, orang yang menerima Wahyu dalam Sapta Darma, jalan mendapatkan Wahyu dan ciri-ciri orang yang menerima Wahyu. BAB V : Penutup, pada bab ini berisikan kesimpulan dari pembahasan

bab-bab sebelumnya, di samping itu penulis mencoba memberi saran-saran yang berkaitan dengan masalah-masalah yang telah dibahas.


(22)

10

BAB II

SEKILAS TENTANG ALIRAN SAPTA DARMA

A. Riwayat Hidup Pendiri Ajaran Sapta Darma

Hardjosopoero yang bergelar Sri Gautama dilahirkan di Desa Pare, Kecamatan Pare, Kabupaten Kediri, Propinsi Jawa Timur pada 27 Desember 1914. Hardjosopoero merupakan anak pertama dari pasangan suami istri Soehardjo dan Soelijah, dan mempunyai adik kandung yang bernama Jatimah. Ayahnya adalah mantan pegawai Kantor Pos dan Telepon, Kawedaan Pare. Hardjosopoero bekerja sebagai tukang cukur, disamping itu ia memiliki usaha lain di bidang perdagangan.

Hardjosopoero selaku Panutan Agung Sapta Darma, dalam melaksanakan tugas Peruatan dan penyebaran ajaran Sapta Darma, membangun

Sangkar (tempat Ibadah) yang diberi nama Sanggar Candi Sapta Darma di

Surokarsan Yogyakarta.1

Sri Gautama adalah julukan untuk Panuntun Agung Ajaran Sapta

Darma. Sapuro, nama kecil Hardjosopoero, sejak usia satu tahun sudah

ditinggalkan oleh orang tuanya. Ia hidup dengan Ibunya yang bernama Soleijah dan diasuh oleh nenek dan kakenya yang bernama Kartodinomo.

Pada Tahun 1920 Sapuro mulai mengenyam pendidikan dasar dan lulus pada 1925. Setelah lulus Sekoalah Dasar, Sapuro tidak dapat melanjutkan

1

Pengurus Pusat Persatuan Warga Sapta Darma, Pemaparan Budaya Spritual Sapta Darma (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga-Surokarsan,2010), h. 27.


(23)

sekolahnya, dikarenakan kakeknya meninggal. Ia berusaha membantu ibu dan neneknya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya sehari-hari.

Pada 1939 tepatnya pada usia 25 tahun, Hardjosopoero melaksanakan pernikahan dengan Nona Sarijem. Setelah menikah nama Sapuro di ganti menjadi Hardjosopoero, dan ia dikaruniai tujuh orang anak. Untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, Hardjosopoero bekerja sebagai tukang cukur, di samping itu ia menjadi pedagang kecil, jual beli emas berlian. Hardjosopoero merupakan orang yang suka bekerja keras, sedangkan ibu Sarijem membantu usaha suaminya untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dengan berjualan Bunga.

Setelah melalui perjuangan hidup yang cukup berat, akhirnya pada 27 Desember 1952 Hardjosopoero menerima Wahyu Ajaran Sapta Darma, dan Wahyu Nama Sri Gautama sebagai Panuntun Agung Ajaran Sapta Darma serta Wahyu Penyebaran ajaran Sapta Darma, maka Panuntun Agung Sri Gautama sepenuhnya melaksanakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa.

Dengan begitu, ia tidak dapat lagi bekerja sebagai tukang cukur dan pedagang kecil. Hartdjosapuro harus “melaksanakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa”, yaitu untuk menerima Wahyu Ajaran Sapta Darma secara lengkap

dan menyebarkannya.2

Hardjosopoero atau Panuntun Agung Sri Gautama telah digariskan oleh Allah Hyang Maha kuasa bahwa masa tugas beliau adalah 12 tahun, dan setelah Oleh karena itu, sejak 27 Desember 1952 ibu Sarijem berusaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan keluarganya sampai akhir hayatnya.

2

Sekertariat Tuntunan Agung Kerohania Sapta Darma, Sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga- Surokarsan), cet.ke-1, h. 8.


(24)

12

itu ia harus kembali Kepengimanan. Dengan kembalinya Hardjosopoero

Kepengimanan berakhirlah tugas belau di Dunia Fana ini.

Hardjosopoero meninggal dunia pada Rabu Pahing, 16 Desember 1964

pukul 12:10 di Pare Kediri Jawa Timur. Tugas dan perjuangan beliau diteruskan

oleh Ibu Sri Pawenang.3

B. Masa Turun Wahyu

Di Pandean, Gang koplakan, berdiamlah seorang putra Bangsa Indonesia yang bernama Hardjosopoero selama hidupnya beliau tidak pernah mendalami ajaran agama apapun dan tidak mempercayai cara-cara perdukunan, kecuali hanya percaya penuh kepada adanya Hyang Maha Kuasa yang memberi kehidupan keseluruh umatnya.

Pada Kamis Pon, 26 Desember 1952, Hardjosopoero sepanjang hari

berada di rumahnya dan tidak bekerja seperti biasanya sebagai tukang cukur. sebab hatinya gelisah, sekalipun tidak ada beban batin maupun pikiran yang menyelimuti dirinya.

Sore harinya beliau menghadiri undangan ke rumah kawannya. Di tempat tersebut, sudah banyak orang berkumpul. Akan tetapi, kegelisahan batin yang dialaminya tidak kunjung reda (hilang), bahkan semakin malam ia merasakan sangat gelisah.

Menjelang pukul 24:00 beliau pamit pulang. setelah sampai di rumah, beliau mengambil tikar yang di gelar di atas dipan untuk dipindahkan ke lantai,

3


(25)

dengan maksud digunakan untuk berbaring agar dapat meredakan kegelisahannya. Pada saat itu, tepat pukul 01:00 malam ketika beliau sedang berbaring, tiba-tiba badan beliau dibangunkan dan digerakan oleh suatu daya berupa getaran yang kuat di luar kemampuan yang menempatkan dirinya dalam keadaan duduk menghadap ke timur dengan kaki bersiala dan kedua tangan bersidakep.

Walaupun demikaian, alam pikiran beliau masih dalam keadaan sadar sehingga ada keinginan untuk melepaskan diri dari gerakan dan getaran yang dialaminya. Namun, beliau tidak mampu untuk melepaskannya. Oleh sebab itu, akhirnya beliau pasrah dan bersedia mati pada saat itu. Akan tetapi, di luar kemauannya sendiri, beliau mengucapkan suatu kalimat dengan suara keras. Kalimat tersebut adalah:

“Allah Hyang Maha Agung Allah Hyang Maha Rokhim

Allah Hyang Maha Adil”.

Dalam keadan masih bergetar dan bergerak, badan beliau merasa bergerak membungkuk dengan sendirinya, sehingga dahi beliau menyentuh tanah/tikar, seraya mengucapkan kalimat dengan suara yang keras, yaitu:

”Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa

Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa”.

Kemudian duduk dan membungkuk kembali, hingga dahi menyentuh tikar dan meneriakkan:

“Kesalahan Hyang Maha Suci

Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuwasa’ Kesalahane Hyang Maha Suci

Nyuhun Kapura Hyang Maha Kuwasa’ Keasalahane Hyang Maha Suci


(26)

14

Kemudian duduk kembali seperti semula dalam keadaan badan bergetar terus. Setelah itu, beliau tergerak lagi untuk membungkuk yang ketiga kalinya sampai dahi menyentuh lantai dan mengucapkan kalimat dengan suara keras, yaitu:

“Hyang Maha Suci Mertoba Hyang Maha Kuwasa Hyang Maha suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa

Hayng Maha Suci Mertobat Hyang Maha Kuwasa”.

Menurut Hardjosopoero, gerakan sujud menyembah kepada Hyang Maha Kuasa tersebut dituntun secara langsung oleh Hyang Maha Kuasa pada hari

Jumat Wage.

Setelah getaran tersebut berhenti, rasa takut pada diri Hardjosopoero pun reda, karena selama hidupnya beliau belum pernah mengalami hal seperti itu. Setelah itu, Hardjosopoero mendatangi teman dekatnya yang bernama Djojodjaimoen untuk menceritakan apa yang sudah dialaminya semalam. Akan tetapi, Djojodjaimoen tidak percaya terhadap apa yang diceritakan oleh Hardjosopoero. Djojodjaimoen baru percaya ketika tiba-tiba tubuhnya tergetar dan bergerak dengan sendirinya seperti halnya yang dialami oleh Hardjosopoero.

Keesokan harinya, mereka berdua datang ke rumah teman mereka, Kemi Handini. Mereka segera menceritakan peristiwa yang dialaminya. Ketika di tengah-tengah pembicaraan tersebut, tiba-tiba ketiga orang itu digetarkan dengan sendirinya. Akhirnya, Kemi Handini pun percaya dengan apa yang dialami oleh kedua sahabatnya.

Pada hari ketiga sejak peristiwa itu, mereka bertiga bermusyawarah untuk menemui temannya, Somogiman yang mengerti tentang Kebatinan.


(27)

Setibanya di rumah Somogiman, banyak orang telah berkumpul, lalu Hardjosopoero kembali menceritakan pengalaman mereka bertiga. Namun Somogiman tidak memberi tanggapan yang tidak baik dan seolah-olah tidak percaya terhadap apa yang diceritakan oleh Hardjosopoero, sehingga tiba-tiba Somogiman mengalami apa yang dirasakan oleh ketiga temannya itu, barulah ia percaya.

Semenjak hari itu, tersebarlah peristiwa gaib tersebut di Kota Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Tersebarnya peristiwa Gaib itu, terdengar oleh Darmo dan Rekso Kasirin. Mereka berdua ingin membuktikan tentang peristiwa gaib tersebut dan akhirnya mereka berdua mendatangi rumah Somogiman. Ketika mereka berdua sampai di rumah Somogiman, dan Somogiman sendiri belum menceritakan peristiwa tersebut, tiba-tiba mereka berdua mengalami apa yang dialami oleh Hardjosopoero.

Pada saat mereka berdua mengalami peristiwa itu, tiba-tiba mereka semua serentak tergerak untuk melakukannya untuk menghadap Allah Hyang Maha Kuasa. Setelah selesai melakuakan gerakan itu, keenam sahabat Hardjosopoero kembali ke rumah masing-masing, kecuali beliau sendiri yang tidak pulang ke rumahnya, karena takut mendapatkan gerakan-gerakan tersebut sendirian di rumah. Dengan begitu, beliau memutuskan untuk tinggal berpindah-pindah ke rumah sahabat-sahabatnya. Kejadian ini terjadi setiap mengunjungi


(28)

16

teman-temannya, dan akhirnya terdapat enam orang yang mengalami mu’jizat

yang sama.4

Setelah mendapatkan wahyu yang petama, Hardjosopoero

diperintahkan untuk pulang ke rumahnya atas perintah Hyang Maha Kuasa untuk memperoleh wahyu yang kedua. Maka, pada 13 Februari 1953, pukul 10:00 mereka, yang telah mengalami peristiwa tersebut, berkumpul di rumah Hardjosopoero atas perintah wahyu. Secara mendadak Hardjosopoero berkata dengan suara keras dalam bahasa Jawa sebagai berikut:

“Kanca-kanca delengan aku arep mati, amat-amat ana aku,”

Artinya:

”kawan-kawan lihat aku akan mati, amat-amatilah aku.”

Sambil berkata demikian Hardjosopoero lalu berbaring terlentang membujur ke timur sambil memejamkan matanya, serta tangannya bersidakep

seperti orang mati.5

“inilah yang disebut Racut, mati dalam hidup.”

Peristiwa ini terjadi selama setengah jam, tiba-tiba Hardjosopoero terbangun dan bersabda kepada sahabat yang setia menunggunya:

Kemudian Hardjosopoero menceritakan selama melaksanakan tugas

untuk mati (Racut). Hardjosopoero merasa rohnya keluar dari wadagnya (tubuh)

dan naik ke atas melalui alam yang enak, atau alam langgeng. Hardjosopoero

4

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002 ), cet ke- 9, h. 22.

5

Pengurus Pusat Persatuan Warga Sapta Darma, Pemaparan Budaya Spritual


(29)

bertemu dengan orang yang bersinar laksana Maha Raja, lalu ia melaksanakan

sujud menyembah Hyang Maha Kuasa.6

Setelah melaksanakan sujud, Hardjosopoero dibawa oleh orang bersinar

untuk melihat dua sumur yang bernama Gumuling dan Jalatunda. Setelah itu, ia

diberi dua buah keris pusaka, keris pusaka itu bernama Nogososro dan Segono.

Untuk meyakinkan kebenaran Ajaran Racut yang diterimanya, Hardjosopoero

meminta pada sahabtnya untuk melakukan Racut .

Setelah menerima Wahyu Racut, semua sahabatnya selalu berkumpul

untuk melaksanakan sujud dan latihan Racut, sehingga apapun yang dikerjakan

oleh Hardjosopoero merupakan suatu petunjuk yang benar dari Allah Hyang

Maha Kuasa.7 Selama berkumpul, Hardjosopoero sering bertemu dengan Sang

Maha Raja. Aktifitas demikian itu kemudian dijadikan salah satu upacara ibadah

Sapta Darma yang dinamakan Racut.8

Secara berturut-turut di antara turunnya wahyu-wahyu itu adalah

Wahyu Simbol Pribadi Manusia, Wahyu Wewarah Tujuh, dan Wahyu Sesanti.

Pada 12 Juli 1954, turun Wahyu Pribadi Manusia berupa gambar yang secara

tiba-tiba muncul di rumaha Hardjosopoero. Peristiwa turunnya Wahyu Wewarah

Tujuh sama dengan turunnya Wahyu Simbol Pribadi Manusia. perbedaannya

terletak pada bentuknya saja. Wahyu Wewarah Tujuh berupa tulisan yang terlihat,

terukir, dalam bentuk kalimat-kalimat pada dinding, lantai, serta ada juga yang

6

Sekertariat Tuntunan Agung, Sejarah Penerimaan Wahyu, h. 16. 7

Pengurus Pusat, Pemaparan Budaya Spritual, h.35. 8

Romdon, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), cet ke-1, h. 139.


(30)

18

terlukis pada dada Hardjosopoero. Ini merupakan tulisan tanpa papan atau Sastra

Jendra Hayuningrat.

Adapun Wahyu Wewarah Tujuh tersebut selengkapnya, dalam bahasa

Jawa, sebagai berikut:

1. Setija tuhu marang anane Pantjasila

2. Kanthi djudjur lan sutjining ati kudu setia anindakake

angger-anggering nagarane

3. Melu tjawe-tjawe atjantju tali wada andjaga adeging Nusa lan

Bangsane

4. Tetulung malang sapa bae jen perlu, kanthi ora nduweni pamrih

apa bae kadjabamung rasa wales lan asih

5. Wani urip kanthi kapitajan saka kekuwatane Dewa

6. Tanduke marang warga bebrajan kudu susila kanthi alusing budi

pakarti tansah agawe pepedang lan mareming lijan

7. Jakin jen kahanan donja iku ora langgeng tansah kanthi alusing

owah gingsir (hanjakra manggilingan)9

Artinya:

1 Setia tuhu kepada Allah Hyang Maha Agung

2 Dengan jujur dan suci hati harus setia menjalankan perundang-

undangannegaranya.

3 Turut serta menyingsingkan lengan baju menegakkan berdirinya

Nusa dan Bangsa

4 Menolong kepada siap saja bila perlu tanpa mengharapkan suatu

balasan, melainkan rasa cinta kasih

5 Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri

6 Sikapnya dalam hidup bermasyarakat kekeluargaan, harus susila

disertai halusnya budi pekerti, selalu merupakan petunjuk jalan yang mengandung jasa serta memusakan

7 Yakin bahwa keadaan dunia tidak abadi melainkan selalu

berubah-ubah.

Setelah menerima Wahyu simbol Pribadi Manusia dan Wewarah

Tujuh, pada hari itu juga beliau masih mendapatkan Wahyu Sesanti yang berbunyi sebagai berikut:

9


(31)

“Ing ngendi bae, marang sapa bae Warga Sapta Darma kudu sumunar pindha baskara.”

Artinya:

“Dimana saja dan kapan saja warga Sapta Darma harus bersinar seperti matahari.”10

Dengan diterimanya wahyu tersebut, penerimaan ajaran ini semakin terang benderang, bagaikan suasana di waktu pagi terkena sinar surya yang baru terbit di sebelah timur.

Sejak hari itu, dapat diketahui bahwa sujud yang dilakukan oleh

Hardjosopoero dan para sahabatnya adalah prilaku pendekatan Pribadi Manusia

dengan Allah Hyang Maha Kuasa. Keyakinan semakinn mendalam bagi

Hardjosopoero dan sahabat-sahabatnya setelah diterimanya Wahyu ajaran Sapta

Darma secara lengkap.11

Ada beberapa wahyu pelengkap yang diterima oleh Hardjosopoero di antaranya adalah:

Dengan ajaran Sapta Darma yang telah dikuasai dan diyakini, mendorong pribadi mereka masing-masing selalu berkumpul di rumah Hardjosopoero.

a. Wahyu istilah Tuntunan dan Wahyu istilah Sanggar yang diterima

pada 15 Oktober 1954. Kata Tuntunan diartikan oleh para penganut ajaran Sapta

Darma adalah seseorang yang membawakan tugas dari Allah Hyang Maha Kuasa

untuk menuntuni sujud calon Warga Sapta Darma, sedangkan kata Sanggar

adalah tempat persujudan bersama.

10

Romdon, Ajaran Ontologi, h. 138. 11


(32)

20

b. Pada 27 Desember 1954 Hardjosopoero menerima Wahyu Saudara

Dua Belas, isi wahyu tersebut dijelaskan sebagai berikut:

“Hyang Maha Suci, Premana, Jatingarang, Gandarwaraja, Brama, Endra, Bayu, Mayangkara, sukmarasa, sukamakencana, Nagatahun dan bagindakilir.”12

c. Selanjutnya pada 13 Februari 1955 turunlah Wahyu Tali Rasa dan

Wahyu Wasiat Tiga Puluh Tiga. Tali Rasa dalam jararan Sapta Darma dapat

diartikan sebagai kehidupan manusia. karena manusia memiliki Tali Rasa hidup,

yang memiliki 20 sentral Tali Rasa yang dijelaskan dalam abjad huruf Jawa,

sebagai berikut:

“Ha –Na- Ca- Ra- Ka- Da- Ta- Sa- Wa- La- Pa- Dha- Ja- Ya- Nya- Ma- Ga- Ba- Tha- Nga.”

Wasiat Tiga Puluh tiga adalah sebagai pelengkap adanya Ajaran Sapta

Darma yang diterima oleh Hardjosopoero. Bagi penganut ajaran Sapta Darma wasiat ini cukup dimengerti saja untuk kewaspadaan serta keampuhan sabda yang telah dapat dicapai oleh penganut Ajaran Sapta Darma.

d. Pada tahun yang sama juga diterima Wahyu Wejengan Dua Belas

pada 12 Juli 1955 oleh Hardjosopoero yang isinya sebagai berikut:

1. Telu-telne atunggal diwejang Hyang Widhi

12

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil ( Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2002 ),cet, ke- 9, h. 31.


(33)

Lima-limane atunggal diwejang Hyang Widhi Pitu-pitune Atunggal diwejang Hyang widhi Sanga-sangane Atunggal diwejang Hyang Widhi Rolas-rolase Atunggal diwejang Hayang Widhi

2. Wejangan mengenai Wasiat tiga puluh tiga

3. Untuk mengetahu saudaranya sendiri, dari telu-telune Atunggal

sampai dengan rolas-rolase Atunggal duduk sejajar

4. Untuk mengetahu saudaranya sendiri, dari telu-telune Atunggal

sampai dengan rolas-rolase Atunggal numapak jajar Serambi Hyang Widhi

5. Mengetahui adanya perbintangan dari Hyang Widhi

6. Untuk mengetahui sejati tesing dumadi pertama hingga menjadi bayi

7. Untuk mengetahui adanya simpul saraf (tali Rasa)yang tedapat

dalam tubuh manusia

8. Untuk mengetahui adanya saudara dua belas kelihatan berjajar

sama

9. Untuk menhetahui keadaan orang mati

10.Untuk melihat orang mati yang rusak terlebih dahulu bagian tubuh yang mana dan darah nya kemana

11.Untuk mengetahui keadaan seseorang sejak mati hingga rohnya

sampai dialam langgeng

12.Untuk mencapai jejer Satria Utama.

Kemudian apabila seluruh wejangan ini sudah dapat dimengerti,

dirasakan, dihayati dan dilaksanakan,13 maka telah dapat dicapai Satria Utama.14

e. Pada 27 Desember 1955 Hardjosopoero menerima wahyu lagi,

yaitu Wahyu Nama Sri Gutama dan Wahyu Agama Sapta Darma.

Sejak diterimanya Wahyu pertama tentang sujud. menyembah kepada

Hyang Maha Kuasa sampai dengan diterimanya Wahyu Nama Sri Gutama, sudah

lengkaplah penerimaan Wahyu Ajaran Sapta Darma yang diterima

13

Sekertariat Tuntunan Agung Kerohania Sapta Darma, Sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga- Surokarsan, 2010), cet .ke-1, h.186.

14


(34)

22

Hardjosopoero, dan semua wahyu-wahyu yang dijelaskan di atas dikumpulkan

dalam kitab suci yang bernama kitab suci Wewarah Sapta Darma.

C. Berdirinya Ajaran Sapta Darma

Sebelum penulis membahas sejarah lahirnya Sapta Darma, terlebih dahulu akan dibahas tentang pengertian dari Sapta Darma. Dinamakan Sapta

Darma karena mengandung tujuh macam Wewarah Suci yang merupakan

kewajiban bagi penganut ajaran Sapta Darma yang tidak boleh ditinggalkan.15

Sapta Darma diartikan sebagai tujuh kewajiban, atau tujuh amal suci. Kamil Kartapradja mengartikan Sapta Darma adalah tujuh tuntunan atau pedoman.

Jadi, Sapta Darma adalah aliran yang menganut tujuh kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan oleh para peganutnya karena hal itu merupakan pokok dari ajaran Sapta Darma. Jika, para penganut ajaran Sapta Darma mengamalkan

Wewarah, pasti akan mendapatkan kesempurnaan pribadi serta kebahagiaan hidup

di dunia dan alam langgeng.

Pada saat penerimaan Wahyu, nama lengkap ajran kerohanian atau aliran kepercayaan Sapta Darma adalah “Agama Sapta Darma.” Hardjosapoero menjelaskan istilah Agama bagi Sapta Darma mempunyai pengertian yang khusus, yaitu:

A : Asal Mula Manusia.

GA : Gama atau Kama (Air suci).

15

As’ad El Hafidi, Aliran-aliran Kepercayaan dan Kebatinan di indonesia (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), cet, ke- 2, h. 35.


(35)

MA : Maya atau sinar Cahaya Allah.

Jadi, definisi agama menurut ajaran Sapta Darma adalah asal mula manusia dari kama dan maya.

Akan tetapi, sejak keluarnya PANPRES no.1/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan pedomana agama, nama “Agama Sapta Darma” disesuaikan

menjadi “Kerohanian/atau Aliran Kepercayaan Sapta Darma.”16

Hardjosapoero merupakan tokoh utama yang tidak dapat dipisahkan dari sejarah kelahiran dan perkembangan aliran Sapta Darma. Walaupun menurut namanya Sapta Darma adalah nama yang berdiri sendiri dan sama sekali tidak mengandung unsur-unsur dari nama Hadjosapoero. Akan tetapi, Hardjosapoero dapat dikatakan sebagai pendiri aliran Sapta Darma, sebab aliran Sapta Darma didirikan atas dasar sabda yang diterima atas perantara Hardjosapoero, dan disaksikan oleh enam penganutnya yang kemudian bertindak sebagai pengurus Tuntunan Agung Sapta Darma. Adapun kedudukan Hardjosapoero dalam Sapta

Darma sebagai Puntunan Agung Sri Gutama.17

Sebagai suatu organisai Sapta Darma didirikan pada 27 Desember 1952 atas perintah Allah Hyang Maha Kuasa, kemudian terbentuklah susun

tuntunan agung yang terdiri dari, Tuntunan Agung (Hardjosopoero, sebagai

panuntun Agung Sri Gutama), Juru bicara Tuntunan Agung (Ibu Sri Pawenang

16

. Sekertariat Tuntunan Agung Kerohania Sapta Darma, Sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga- Surokarsan), cet ke-1, h. 4.

17

. Sekertariat Tuntunan Agung Kerohania Sapta Darma, Sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga- Surokarsan, 2010),cet ke-1, h.159.


(36)

24

sekaligus sebagai Tuntunan Wanita, yang berwenang menyiarkan memberikan keterangan mengenai ajaran Sapta Darma), dan staf Tuntunan Agung (Soedomo Poerwodihardjo dan R. Soepangat Yoesman. Staf Panuntun Agung Sri Gutama selaku pembantu beliau yang diharapkan dapat membantu Panuntun Agung sri Gutama atau juru bicara dalam melaksanakan tugasnya.

Dasar-dasar tugas Tuntunan Agung adalah dasar-dasar pokok tugas Tuntunan Agung yang bersumber pada fatwa Panuntun Agung Sri Gutama, baik

secara tertulis maupun yang tidak tertulis18

1 Tungas tuntuna berat sekali, mampu tidaknya melaksanakan

tugasnya tergantung pada kemauan, keinsyafan dan keikhlasannnya.

sebagai berikut:

2 Menjadi tuntunan berarti mengabdi pada warganya, untuk

memenuhi dan mengajar serta membingbing para warganya untuk berdarma dalam hidupnya, demi tercapainya cita-cita

luhur Satria Utama.

3 Usahakan tugas tuntunan harus dilaksanakan.

4 Para tuntunan dapat berdarma sesuai kemampuan dari nafsu,

budi dan pakartinya.

5 Tuntunan harus mengadakan penyelidikan dan penelitian

terhadap pengolahan dan pelaksanaan ajaran kerohanian Sapta Darma.

6 Fatwa yang tertulis adalah yang dilaksanakn pada tanggal 1 s/d

8 pebruari 1964 dalam rangka mengembangkan dan menentukan sujud penggalian intisari kerohanian Sapta Darma.

Pada saat itu juga Panuntun Agung Sri Gutama berpesan kepada para stafnya. Pesan tersebut sebagai berikut:

18Pedoman tuntunan kerohanian Sapta Darmma, keputusan Saresehan Agung Tuntunan

nomor:03/sat/xII2009 (Yogyakarta: sekertariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, 2006), h, 6


(37)

1. Bapak Panuntun Agung Sri Gutama telah mengangkat juru bicara, yaitu Ibu Sri Pawenang yang bertugas menerbitkan sistematika ajaran Sapta Darma baik kepada pemerintah maupun masyarakat.

2. Bapak panuntun Agung Sri Gutama telah mensejajarkan staf beliau

yang bertugas mewakili Sri Pawenang untuk menghadap pemerintah apabila dibutuhkan.

3. Materi Sujud Penggalian belum selesai, akan diteruskan kemudian

hari.

4. Galilah rasa yang meliputi seluruh tubuh (kepribadian yang asli).

Adapun inti sari dan tujuan ajaran Sapta Darma yang yang tercantum dalam kitab suci aliran Sapta Darma sebagai berikut:

1. Menanam tebalnya kepercayaan, dengan menunjukan bukti-bukti

dan persaksian, bahwa sesungguhnya Allah Hyang Maha Kuasa itu ada dan Tunggal/Esa.

2. Melatih kesempurnaan sujud, yaitu dengan sujudnya manusia

kepada Hyang Maha Kuasa untuk mencapai budi luhur.

3. Mendidik manusia bertindak suci dan jujur, berusaha mencapai

nafsu, budi dan pakarti yang menuju keluhuran dan kekuatan, guna bekal hidup di dunia dan alam langgeng.

4. Mengajar warganya untuk mengatur hidup.

5. Menjalankan Wewarah Tujuh dan melatih kesempurnaan sujud.

6. Memberantas kepercayaan akan takhayul dalam segala bentuk dan


(38)

26

Perlu diketahui bahwa Tuntunan Agung19

Jadi, aliran kepercayaan Sapta Darma adalah aliran yang berbeda dari aliran-aliran kebatinan yang lainnya, karena ajaran Sapta Darma merupakan sebuah organisasi yang bergerak di bidang kerohanian dan pengolahan jiwa untuk mencapai ketenangan jiwa.

beserta stafnya berkewajiban melaksanakan tugasnya yang tidak terbatas, arinya seumur hidup, dan wajib

melaksanakan Saresehan Tuntunan Agung setiap lima tahun sekali untuk

menyampaikan laporan pertanggungjawaban.

19

Tuntunan Agung adalah, lembaga tertinggi di lingkunggan aliran kepercayaan Sapta Darma dalam hal pembinaan penghayatan ajaran,, yang dilaksanakan oleh tuntunan agung.


(39)

27

BAB III

POKOK-POKOK AJARAN SAPTA DARMA

A. Ajaran Tentang Tuhan

Menurut ajaran Sapta Darma bahwa manusia hidup karena, diberi hidup oleh Hyang Maha kuasa, berupa Sinar Cahaya Hyang Maha Kuasa yang menjadi getaran-getaran yang meliputi pribadi manusia. Segala sesuatu yang hidup diberi Sinar Hyang

Maha Kuasa dan tidak memakai pelantara siapa saja.1

Dengan demikian, atas dasar itulah warga Sapta Darma langsung menyembah Hyang Maha Kuasa. Serta dapat berhubungan langsung tanpa pelantara siapa saja. Panuntun Agung Sri Gutama hanyalah petunjuk jalan saja, yang menerima ajaran-ajarannya. Bagai mana manusia dapat berhubungan dan menyembah lanhsung kepada Hyang Maha Kuasa.

Dengan demikian sinar cahaya tersebut merupakan getaran-getaran yang putih, (suci) yang menjadi utusan Hyang Maha Kuasa, yang ada hubungannya dengan manusia.

2

Karna Aliran Sapta Darma termasuk aliran yang sederhana, oleh sebab itu ajarag tentang Tuhan juga singkat sekali. Dalam ajaran Sapta Darma meyakini bahwa Tuhan adalah Zat yang mutlak pangkal segala sesuatu, serta pencipta segala yang terjadi di muka bumi, jika mengingat akan sebuah Zat yang Mutlak, pangkal dari segala sesuatu bisa mendapatkan kesan bahwa Tuhan adalah yang Mutlak. Dalam arti Falsafah. Ia adalah Zat yang bebas dari segala hubungan, nisbah serta sebab-sebab.

3 Kemudian dalam ajaran Sapta Darma, pembinaan untuk berbakti kepada Tuhan dilakukan dengan cara menanamka tebalnya kepercayaan dengan menunjukan

1

Djoko Dwiyanti, Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Yogyakarta: Pararaton Gruf Elmatera, 2010), h. 135.

2

Pengurus Pusat Persatuan Warga Sapta Darma, Pemaparan Budaya Spritual (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga-Surokarsan, 2010), h. 1.

3

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), cet ke- 9, h. 23.


(40)

28

bukti-bukti serta persaksian, bahwa sesungguhnya Tuhan itu ada dan tunggal, (Esa)

serta memiliki lima Sifat, atau sikap perwujudan kehendak yang mutlak,4

1. Sifat Maha Agung

yaitu:

2. Maha Rokhim

3. Maha Adil

4. Maha Wasesa (Maha Kuasa)

5. Maha Langgeng (Maha Kekal)

Sifat Maha Agung adalah sifat yang melebihi segala Mahluknya, tidak ada

yang menyamai Tuhan dalam kelurusan hati-Nya.

Maha Rokhim berarti bahwa tidak ada yang menyamai-Nya dalam belas

Kasih-Nya

Maha adil berarti bahwa Tuhan tidak ada yang menyamai-Nya dalam

Keadilan-Nya

Maha wasesa berarti Tuhan Maha Kuasa menciptakan segala sesuatu

Maha Langgeng berarti bahwa Tuhan adalah Kekal dalam arti yang Mutlak,

tidak ada yang menyamai-Nya (tidak ada taranya)5

kelima Sifat Tuhan ini disebut Panca Sila Tuhan .

6

Oleh karena itu dikatakan hakekat Manusia yang di adakan, dan di hidupi serta di ciptakan sebagai Makhluk yang tertinggi hendaknya memiliki Panca Sifat seperti Tuhan, di antaranya sebagai berikut:

.Dalam ajaran Sapta Darma Tuhan disebut dengan Allah atau Sang Hyang Maha Kuasa, Yang mempunyai lima Sifat, seperti yang di jelaskan di atas.

1. Sifat-Sifat berbudi luhur terhadap sesama manusia yang lainnya

2. Sifat-Sifat belas Kasihan terhadap sesama Umat

4

Sri Pawenang, Wewarah Kerohanian Sapta Darma, (Yogyakarta: Surokarsan, 1962), h. 8. 5

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), cet ke- 9, h. 25.

6

Panca Sila Tuhan ialah istilah terhadap lima Sifat yang dimiliki oleh Tuhan, karna Ajaran Sapta Darma meyakini yang ada di diri Tuhan lima sifat, lihat Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama, h. 175.


(41)

3. Berperasaan serta bertindak adil dan tidak membeda-bedakan sesama umat manusia

4. Kesadaran bahwa manusia dalam Purba Wasesa Tuhan

5. Kesadaran bahwa hanya rohani manusia yang berasal dari sinar Cahaya

Yang Maha Kuasa yang bersifat Abadi

B. Ajaran Tentang Simbol-Simbol Manusia

Ajaran Sapta Darma menjelaskan tentang simbnol manusia, dengan mempergunakan Simbol Sapta Darma yang diterima pada tanggal 12 Juli 1954, ini merupakan media (sarana) untuk mengenal pribadi manusia untuk dimengerti dan dipahami agar manusia senantiasa mawas diri. Simbol kerohanian Sapta Darma

menggambarkan asal, sifat dan pribadi manusia7

Berbeda dengan Aliran-aliran lainnya yang tidak senang denagn menggunakan Simbol-simbol, bagi ajaran kepercayaan Sapta Darma simbol sangat lah sakral, karna menurut Ajaran kepercayaan Sapta Darma bisa melambangkan asal mula Manusia, dan sifat-sifatnya, serta pengaruhnya yang terjadi pada Manusia itu sendiri (nafsu, budi pakarti).

.

Simbol diartikan oleh penganut Sapta Darma sebagai gambaran atau lambang terjadinya manusia. Penjelasannya sebagai berikut

1. Bentuk segi empat belah ketupat memiliki empat sudut: satu di atas, satu

di bawah, dan dua disebelah kiri dan kanan, sudut yang di atas menggambarka Sinar

Cahaya Allah, sudut yang di bawah menggambarkan Sari Bumi, sedangkan sudut

pada kedua sisi, kiri dan kanan, memggamabarkan Pelantaraan Terjadinya Manusia,

7

. Djoko Dwiyanti, Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Yogyakarta: Pararaton Gruf Elmatera, 2010), h. 137.


(42)

30

yaitu Adam dan Hawa atau Bapak dan Ibu.8

2. Belah ketupat bertepi warna hijau tua, yang menggambarkan Badan

Jasmani atau Wadag (Raga) Manusia.

Dalam buku Wewarah dikatan bentuk segi empat belah ketupat menggambarkan asal mula terjadinya manusia.

3. Yang menjadi dasar warna Hijau Muda (Maya) yang menggambarkan

Sinar Cahaya Tuhan yaitu Hawa atau getaran. Hal ini berarti bahwa di dalam Badan

Jasmani tersebar Sinar Cahaya Allah, di dalam Manusia di sebut Rasa.9

4. Segi tiga sama sisi yang berwarna Putih dengan tepi Kuning emas

menunjukan asal Tes Dumadi manusia dari Tri Tunggal ialah:

atau Roh

a. Sudut atas : Sinar Cahaya Allah (Nur Cahaya)

b. Sudut kanan : Air Sarinya Bapak (Nur Rasa)

c. Sudut kiri : Air Sarinya Ibu (Nur Buat)

5. Segi tiga sama sisi yang berwarna putih dengan tepi kuning emas ditutup

oleh lingkaran dan membentuk tiga, segi tiga sama dan sambung masing-masing memiliki tiga sudut, sehingga jumlah sudut ada 9 (Sembilan) menunjukan manusia

memiliki Babahan Hawa Sanga, ialah: Mata 2 (dua), Hidung 2 (dua), Teling 2 (dua),

Mulut 1 (satu), Kemaluan 1 (satu), Pelepasantu 1(satu).

Warna putih menunjukan bahwa asal terjadinya manusia dari bahan atau Barang yang Suci dan bersih biak luar maupun dalam, garis kuning emas segi tiga mempunyai arti bahwa ketiga asal terjadinya manusia tersebut mengandung Cahaya

Allah10

8

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), cet ke- 9, h. 26.

.

9

Rasa disini bukan “rasa yang dalam” seperti yang diartikan oleh Paguyuban Sumarah, melainkan Roh, yang menyebabkan Manusia merasa, lihat Kebatinan dan Injil, h. 26

10

Sekertariat Tuntunan Agung Kerohanian Sapta Darma, Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama, (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga- Surokarsan), cet ke- 1, h.172.


(43)

6. Lingkaran menggambarkan keadaan, yang seanatiasa berubah-ubah, manusai akan kembali ke asalnya apabila selama hidup di dunia ini berjalan di jalan Tuhan. Rohaninya akan kembali kepada ke alam abadi, dan jasmaninya akan kembali ke bumi, di antaranya sebagai berikut:

a. Lingkaran berwarna hitam, menggambarkan bahwa manusia memiliki

hawa hitam11

b. Lingkaran berwarna merah, bahwa manusia memiliki nafsu merah atau

amarah, nafsu ini timbul akibat rangsangan suara yang tidak enak di dengar oleh telinga.

atau nafsu angkara.

c. Lingkarang berwarna kuning, menunjukan asal nafsu keinginana yang

timbul karen indra penglihatan akibat rangsangan sesuatu yang di lihat. Apa bila nafsu ini tidak terkendalikan dapat berakibat negatif.

d. Lingkaran warna putih, menggambarka nafsu Suci yang menimbulkan

sifat dan sikap yang Suci atau baik. Ini di akibatkan oleh indra hidung.

e. Besar kecilnya lingkran menunjukan besar kecilnya sifat yang dimiliki

oleh manusia.

7. Lingkaran putih yang berada di tengah, tertutup oleh gambar Semar,

menunjukan lubang ubun-ubun manusia, warna putih mengagmbarkan Nur Cahaya atau Nur Putih, ialah Hawa Suci (Hyang Maha Suci) yang dapat berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa.

8. Gambar Semar, mengkiaskan Budi luhur dan juga Nur Cahaya.12

11

Asal hawa hitam karena pengaruh getaran hawa yang membeku, cara menghilangkannya harus rajin Sujud sesuai Wewarah, lihat Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panu tun Agung Sri Gutama, h.172.

Semar menunjuk dengan jari telunjuk tangan kanan, hal ini memberi petunjuk


(44)

32

kepada manusia bahwa hanya ada satu yang wajib disembah, yaitu Allah Hyang Maha Kuasa, dengan tangan kiri menggenggam menggambarkan

bahwa telah memiliki keluhuran, atau memiliki Rasa yang mulia (Roh)13

Semar memakai Klinting.14 Maksudnya, apabila kita sebagai

Tuntunan Warga Sapta Darma haruslah kita selalu memberikan peneranagan tentang budi pekerti yang luhur kepada siapa saja yang membutuhkan, agar mereka mengerti akan kewajiban dan tujuan hidup

yang luhur.15

Semar memiliki Pusaka yang berarti bahwa ia memiliki sabda

yang kuwasa, yang berada pada kata-kata yang di ucapaka dengan suci, lipatan lima kain menunjukan bahwa Semar telah memiliki lima Sifat

Allah atau ia telah memnjalankan Panca Sila Allah.

9. Tulisan yang ada di samping kiri, kanan dan bawah yang berada di dasar

hijau maya menunjukan bahwa manusia memiliki nafsu, budi dan pakarti, dan tulisan jawa yang berada di atas dan di bawah yang berada di dasar hijau maya menunjukan bahwa manusia harus menjalankan Wewarah tujuh.

12

Maksudnya: warga Sapta Darma supaya berusaha memiliki keluhuran Budi seperti semar, meskipun jelek rupanya tetapi luhur Budi Pekartinya maka Semar di pribahasakan Dewa yang menjelma, lihat Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panu tun Agung Sri Gutama, h. 173.

13

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, ( Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2002 ), cet ke- 9, h. 28.

14Klingting

adalah: suatu benda yang merupakan sumber bunyi yang dapat mengeluwarkan suara, suara Klingting di gunakan sebagai suatu tanda agar orang-orang sekitar mendengar apabila Klinting di bunyikan. Lihat Sejarah Penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panu tun Agung Sri Gutama, h. 174.

15

Sekertariat Tuntunan Agung Kerohania Sapta Darma, Sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan perjalanan panuntun Agung Sri Gutama, (Yogyakarta: Sanggar Candi Sapta Rengga- Surokarsan, 2010), cet. ke- 1, h. 174.


(45)

Jadi simbol menurut ajaran Sapta Darma adalah Gambaran atau lambang yang sanagat sakral, karena merupakan media (sarana) mengenal pribadi yang di gambarkan dengan simbol pribadi manusia, untuk di mengerti dan di pahami agar manusia senantiasa mawas diri. Dan Simbol-simbol itu juga menggambar asal mula terjadinya, sifat serta pribadi manusia. Disamping itu juga mengandung petunjuk bagaimana harus berdarma (berbuat) dan kemana tujuan hidup manusia dalam ajaran Sapta Darma, yang sesuai dengan Wewarah kerohanian Sapta Darma.

C. Ajaran Tentang Manusia

Sebagai mana yang sudah di jelaskan di poin B tentang simbol. Maka penulis mempunyai gambaran tentang manusia dalam Ajaran Sapta Darma yang akan di jelaskan sebagai berikut:

Manusia dalam ajaran Sapta Darma di pandang sebagai suatu kombinasi dari Roh dan benda, roh yaitu jiwa manusia yang berasal dari Allah Hyang Maha Kuasa, Roh itu adalah Sinar Cahaya Allah yang dipandang sama dengan Hawa murni yang ada di sekitar, dan didalam manusia yang memberiakan hidup kepada manusia, Roh juga bisa diartikan sebagai Hyang Maha Kuasa atau Roh

Suci yang dapat berhubungan langsung dengan Allah Hayang Maha Kuasa.16

Badan di artikan sebagai tubuh manusia yang terdiri dari Sari Bumi, kombinasi Roh dan benda ini terjadi dengan pelantara Adam dan Hawa, atau Bapak dan Ibu, sehingga manusia menuraut ajaran Sapta Darma adalah ke Tritunggalan. Yang dimaksud Tritunggal dalam ajran Sapta Darma ialah Sinar Cahaya Allah dari Sari Bapak dan Ibu, atau bisa di ungkapkan sebagai kesatuan

16

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, ( Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2002 ), cet ke- 9, h. 28


(46)

34

Nur Cahaya, Nur Rasa (Sinar Roh) dan Nur Buat dari sari bapak dan ibu yang berasal dari bumi.

Hidup manusia adalah Sinar Cahaya Maha Kusa, yang menjadi getaran hawa murni yang meliputi manusia. Karna setiap manusia yang hidup diberi

kehidupan oleh Allah17

Manusia mendapatkan tiga macam getaran, yaitu getaran dari Sinar Cahaya Allah atau getaran dari hawa murni di sekitar dan di dalam manusia, yang memberikan hidup dan menjadikan manusia yang dapat menyembah Allah Hyang Maha Kuasa, selanjutnya manusai juga mendapatkan getaran dari binatang dan tumbuh-tumbuhan karena manusia makan daging dan sayur-sayuran.

. Tetapi ada perbedaannya antara manusia dan makhluk lainnya, mausia diberi hidup yang sempurna, sehingga manusia memiliki nafsu budi dan pikiran. Maka manusia adalah makhluk yang tertinggi dan ia berkewajiban sujud kepada Hyang Maha Kuasa.

18

Di dalam tubuh manusia juga ada yang di sebut dengan Radar, seandainya radar ini dipelihara dengan baik dapat memberikan kewaspadaan perasaan, dikatakan bahwa radar ini terdiri dari tiga belah ketupat yang berada dalam dada, satu di atas satu ditengah dan satu lagi di bawah. Pada tiap belah ketupat terdapat getaran yang berwarna, yang menunjukan sifat Khas yang disebut dengan saudar 12 (dua belas) di dalam diri manusia, hal ini semuanya aspek rohani manusia adapun aspek jasmaninya terjadi dari sari-sari buni,

19

17

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 29.

Adapaun penjelasan saudara 12 (dua belas) ialah:

18

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, h. 29 19

Random, M.A, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinan (Jakarta: Raja Garapindo Persada, 1996), cet ke- 1, h. 142


(47)

a. Hyang Maha Suci, berpusat di ubun-ubun, Hyang Maha Suci ini bisa berhubungan dengan Hyang Maha Kuasa.

b. Premana, bertempat di dahi di antara dua kening, dia mempunyai

kemampuan melihat hal-hal yang tidak terlihat oleh mata biasa.20

c. Jatingarang,21

d. Gandarwaraja,

atau dinamakan Sukmajati bertempat di bahu kiri. 22

e. Bromo,

bertempat di bahu kanan dan mempunyai sifat kejam. 23

f. Bayu, bertempat di susu kanan dan bersifat teguh dan konsekuen.

bertempat di tengah-tenagh dada dan bersifat pemarah.

g. Endra, bertempat di susu kiri dan mempunyai sifat pemalas. h. Mayangkara, bertempat di pusar mempunyai sifat keras.

i. Sukmarasa, bertempat di pinggang kiri dan kanan serta mempunyai sifat halus perasaan .

j. Sukma kencana, bertempat di tulang tungging, sumber kebirahiaan.

k. Nagatahun, di sebut juga sukma naga bertempat di tulang belakangia

mempunyai sifat seperti ulat.

l. Bagindakilir, atau di sebut Nur Rasa, bertempat di ujung jari, sifatnya bergerak dan dapat untuk menyembuhkan penyakit.

Dari sifat-siafat tersebut dapat di kelompokan menjadi empat nafsu,

yaitu nafsu Mutma’innah, Sufiah, Lawwamah dan nafsu Amarah. Kalau dalam simbol

Sapta Darma di gambarkan dengan Warna hitam, merah, kuning dan putih.

20

Artinya orang bisa meliahat kejadian yang terjadi di waktu dan tempat berlaiana, lihat ,

Kebatinan dan Injil, h. 30. 21

Jatingarang adalah sebutan mengenai cara perhitungan untuk menemuka waktu yang tepet, guna perpindahan, penyembuhan dan sebagainya, lihat , Kebatinan dan Injil, h. 30.

22

Gandarwaraja dalam Pewayangngan disebut Rasa raksasa, lihat , Kebatinan dan Injil , h. 30.

23

Bromo ialah Dewa yang mukanya berwarna Merah atau seperti Api, lihat , Kebatinan dan Injil, h. 31.


(48)

36

1. Mutma’innah, tercipta dari unsur suasana, benda panas. Wataknya terang ,suci dan belas kasihan.

2. Sufiah, tercipta dari unsuarr air, kasarnya berada dalam tulang sumsum, adapun halisnya sufiah menjadi kehendak. Sufiah adalah nafsu yang menyebabkan keinginan atau kebirahiyan.

3. Lawwamah, tercipta dari unsurr bumi yang berada dalam daging manusia.

Wataknya sifat Lawwamah, jahat, males tamak, loba, tidak tahu soal kebaikan kepada sesama manuis, tetapi kalu sudah mau tunduk dan patuh, akan menjadi dasar perdamaian.

4. Amarah, tercipta dari unsur api, berada dalam darah yang mengalir di

dalam tubuh manusia, adapun wataknya; mudah gugup, beringas, murka. Amarah menjadaikan jalan saudara-saudaranya yang lain, bisa berbuat jahat atau baik, semua itu lewat jalan amarah. Jadi yang dimaksud mendatangkan saudara-saudaranya yang laian, adalah amarah. Sebab tidak ada maksud yang dapat terlaksana tampa amarah. Maka amarah menjadi baku yang bisa terpengaruh menguatkan saudaranya yang lain agar sampai tujuan.

Dari masing-masing dua belas saudara itu jika dikembangkan hingga puncak perkembangannya atau di tingkatkan mutunya. Hanya saja yang harus dikembangkan

menurut ajaran Sapta Darma ialah sifat Hyang Maha Suci,24 karena Hyang Maha

sucilah yang mempunyai inti dari manusia yang berasal dari Sinar Cahaya Tuhan. Seandainya manusia di kuasai oleh dua belas saudara atau salah satunya dari sifat itu

maka orang tersebut akan sering kelihatan sebagai orang gila (motah).25

24

Random, M.A, Ajaran Ontologi Aliran Kebatinana, (Jakarta: Raja Garapindo Persada, 1996), cet ke- 1, h. 144.

Dengan

25

As’ad El Hafidy, Aliran-aliran Kepercayaaan dan Kebatinan di Indonesia, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), cet ke- 2, h. 41.


(49)

demikian dalam Ajaran Sapta Darma di adakan semacam Semedi yang khusus buat menghilangkan semua itu, yang dilakuakan setelah Sujud Dasar, atau sujud Wajib.

Sebagai mana pangestu, Sapta Darma juga mengakui adanya unsur ke Tuhanan di dalam diri manusia, tetapi bukan aspek sebagai mana pangestu, menurut ajaran Sapta Darma, unsur ke Tuhanan dalam diri manusia itu menjadi jiwa manusia yang bernama Hyang Maha Suci, atau Nur Cahyo yang berasal dari Sinar Cahaya Tuhan. Sianar ini menyebar ke seluruh tubuh manusia.

Adapun badan atau Wadag yang bersaudara dua belas itu adalah badan Rohani, yang dipelantarai oleh Adam dan Hawa serta sari Ibu dan Bapak, serta sari

Bumi yang di diperlengkapi dengan lubang 10 (sepulah) dan 20 (dua puluh) Tali

Rasa. Dikatakan bahwa manfaat mengetahui nama dan letak, dua puluh tali rasa adalah, untuk mengobati penyakit yang berhubungan dengan Syaraf.

Dengan demikian manusia menurut ajaran Sapta Darma dapat dikatak sebagai berikut; manusia dengan makanan dari binatang dan tumbuh-tumbuhan, timbullah getaran makanan di dalam diri manusia, yang menyebabkan adanya getaran jahat. Sedangkan cita-cita manusia ialah untuk melaksananakan sifat Allah dalam hidupnya. Ber ararti dalam hal ini manusia harus bisa melukan sifat Allah dalam hidupnya. Ajaran Sapta Darma juga, mengajarkan bahwa manusia di dalam hidupnya

sehari-hari jangan menjadi permainana hawa nafsunya sendiri.26

26

Harun Hadiwijono, Kebatinan dan Injil, ( Jakarta: BPK Gunung Mulya, 2002 ), cet ke- 9, h. 32.


(50)

38

BAB IV

KONSPSI WAHYU DALAM AJARAN SAPTA DARMA

A. Pengertian Wahyu

Sapta Darma berpendapat bahwa wahyu wewarah tujuh dapat disamakan

denagan wahyu Kristus dalam agama Kristen atau Wahyu Illahi dalam Islam,

karena dapat digambarkan sebagai suatu hal yang diturunkan oleh Tuhan Hyang Maha Kuasa kepada manusia terpilih setelah melampaui ujian-ujian yang sangat

berat. Dalam buku Sabda Khusus dikatakan bahwa wahyu lazimnya dipakai

untuk anugrah yang bertalian dengan derajat kejiwaan atau kedudukan yang tingggi.1

Menurut Sapta Darma wahyu Wewarah Sapta Darma diartikan sebagai

pepadang

2

Perlu diketahui Wahyu wewarah Sapta Darma tidak berwujud, tidak pula

sebagai surat keputusaan Wahyu Wewarah Sapta Darma tidak berupa cahaya yang

dapat ditangkapp oleh indera penglihatan, dan tidak pula dapat di tangkap oleh panca indera lainnya.

atau tuntunan hidup bagi orang Sapta Darma, tetapi berbeda dengan

pepadang yang ada dalam ajaran Pangestu. Sedangkan menurut istilah wahyu

Wewarah Sapta Darma merupakan suatu hal yang diterima oleh manusia yang

terpilih dari Tuhan Yang Maha Esa setelah melalui ujian-ujian yang sangat berat, atau petunjuk Allah untuk mengatur umat supaya dapat hidup bahagia mulai di dunia sampai di alam langgeng.

1

R. Soemantri Hardjoprakoso, Wahyu Sasangka Jat, (Jakarta: Proyek Penerbit dan Perpustakaan Pangestu, 1977), h. 7.

2

Pepadang maksudnya adalah terletak dan berada pada penghayatan dan pengamalan ajaran Wahyu Alllah Hyang Maha Kuasa, yang berwujud Simbol Sapta Darma dan Wewarah Tujuh. Lih

Sejarah penerimaan Wahyu Wewarah Sapta Darma dan Perjalanan Panuntun Agung Sri Gutama


(51)

B. Sebab-sebab Turunnya Wahyu

Sebab turunnya Wahyu dalam ajaran Sapta Darma dapat digolongkan dalam dua bagian, di antaranya:

1. Sebab Langsung.

Sebab langsung merupakan turunya wahyu yang diterima secara langsung oleh Hardjosopoero dikarenakan pada waktu itu batin Hardjosopoero gelisah, walaupun tidak ada beban dalam batinnya. Sebagaiman yang sudah di jelaskan di di bab sebelumnya.

2. Sebab Tidak Langsungg.

Sebab yang tidak langsung mengingat fakta sejarah yang ada pada masa turunnya wahyu , di antaranya sebagai berikut:

a. Menurut Sri Pawenang bukanlah hal yang kebetulan saja bahwa ajaran

Sapta Darma di wahyukan pada 1952, yaitu pada tingkatan survital

revolusi Indonesia pada 1950-1955. Karena pada masa itu Bangsa

Indonesia mengalami suatu krisis moral dan sedang mencari jalan keluar, dalam bentuk konsepsi hidup baru, untuk mendekatkan manusia kembali kepada Tuhan dalam rangka pembentukan manusia kembali ke jalan Tuhan. Hal ini disebabkan menurut Sapata Darma, bahwa Tuhan dengan perantara Sapta Darma Bangsa Indonesia akan mendapat kebahagian

hidup, jasmani dan rohani.3

b. Sebab yang lainnya disebabkan oleh sejaran Bangsa Indonesia sebagai

bangsa yang dibanjiri oleh berbagai macam aliran kepercayaan dan agama (plural).

3


(52)

40

C. Orang Yang Berhak Menerima Wahyu

Sebagaimana disebutkan di poin A, bahwa orang yang berhak menerima wahyu adalah orang-orang pilihan Tuhan Yang Maha Esa yang sanggup melaksanakan berbagai cobaan yang sangat berat, kemudian bagi orang yang menerimanya diharuskan untuk menyampaikan kepada seluruh umat manusia apapun resikonya.

Dalam memperoleh Wahyu Wewarah Sapta Darma tidak disebutkan

terlebih dahulu mengenai siap saja yang dapat menerima wahyu tersebut. Namun yang ditemukan ialah syarat-syarat untuk mencapainya. Syarat-syarat ini merupakan jalan yang harus ditempuh oleh para penganut Ajaran Sapta Darma

untuk mendapatka Wahyu Wewarah Sapta Darma. Yang berhak menentukan

siapa saja yang akan mendapatka Wahyu Wewarah Sapta Dama adalah Allah

Hyang Maha Kuasa, karena Allah Hyang Maha Kuasa adalah Maha Adil Maha Kuasa, maka tidak ada pilihan kasih sayang dalam menentukan siapakah yang berhak meneriam wahyu tersebut.

Syarat-syarat yang harus ditempuh untuk mendapatkan Wahyu Wewarah

sapta Darma banyak tinggkatan dan rintangannya. Sekalipun banyak yang gagal

dalam mengatasi syarat-syaratnya itu, tetapi tetap saja ada manusia yang dapat

melampauinya. Dialalah yang pants menerima Wahyu Wewarah Sapta Darma,

Wahhyu Wewarah Sapta Darma tidak diperoleh atas dasar keturunan, warisan

atau hadiah yang diberikan begitu saja. Wahyu Wewarah Sapta Darma hanya

diberikan kepada manusia yang benar-benar menjadi piliah Allah Hyang Maha Kuasa.


(53)

D. Jalannya Untuk Mendapatkan Wahyu

Wahyu Wewarah Sapta Darma diperoleh dengan jalan setapak demi

setapak artinya tidak langsung diturunkan sekaligus, tetapi secara bertahap dalam jangka waktu yang panjang. jalan untuk mencapai ke sana sangatlah berat, banyak rintangan dan ujin yang harus dijalani, dan hanya dapat diperoleh dengan hasil yang baik oleh manusia yang kuat menjalani semua ujian. Dengan diperolehnya

Wahyu Wewarah Sapta Darma berarti orang yang bersangkutan telah menjadi

sempurna dan dialah satu-satunya manusia yang sejati.

Kemudian dalam buku Sabda Khusus karangan R. Sunarto disebutkan

bahwa jalan untuk mendapatkan wahyu sangatlah banyak, dan jalan yang paling mudah untuk mendapatkan wahyu adalah dengan cara melaksanakan perintah dan

larangan Tuhan. Adapun tuntunan untuk mendapatkan Wahyu Wewarah Sapta

Darma semuanya terangkum dalam Kitab Suci Wewarah Sapta Darma sebagai

mana akan dijelaskan di bawah ini:

1. Wewarah Tujuh.

Isi kandungan Wewarah Tujuh yang dijelasannya sebagai berikut:

a. Setia tuhu kepada adanya panca sifat Allah, yaitu Allah hyang Maha Agung, Maha Rokhim, Maha Adil, Maha wasesa, dan Maha Langgeng. Artinya sifat-sifat Tuhan ialah:

a) Allah Maha Agung, artinya sifat keagungan Allah tidak ada yang

menyamai.

b) Allah Maha Rokhim, artinya sifat belas kasihan Allah tidak ada

yang menyamai.

c) Allah Maha Adil, artinya tidak ada yang menyamain akan


(54)

42

d) Allah Maha Wasesa, artinya kekuasaan Allah tidak ada yang

menyamain-Nya, dan bahwa Allah Hyang Maha Wasesa

(menguasai) Alam semesta serta segala isinya.4

e) Allah Hyang Maha Langgeng, artinya sifat keabadian Allah tidak

ada yang menyamai.

b. Dengan jujur dan suci hati harus setia menjalankan

perundang-undangan negaranya.

Tiap orang pada umumnya menjadi warga negara, maka menjadi kewajiban bagi warga Sapta Darma untuk menjunjung tinggi, melaksanakan perundang-undangan dengan jujur dan suci hati serta penuh keikhlasan.

c. Turut serta menyingsikan lengan baju menegakkan berdirinya nusa

dan bangsa.

Dalam rangka membina dan berjuang demi tercapainya keadilan dan kemakmuran, warga Sapta Darma tidak boleh absen atau ingkar dari tanggung jawab, melainkan harus ikut serta, terlebih dalam rangka membina watak dan pembentukan jiwa manusia, warga Sapta Darma telah mempunyai cara-cara yang

praktis dan berhasil baik.5

d. Menolong kepada siapa saja bila perlu tanpa mengharapkan suatu

balasan, melainkan harus berdasarkan rasa cinta kasih.

Bagi warga Sapta Darma bentuk pertolongan ialah dengan

Sabda Usaha, yaitu pertolongan guna menyembuhkan orang sakit. Dalam memberikan pertolongan menurut Sapta Darma harus

4

Sri Pawenang, Wewarah Kerohanian Sapta Darma, (Yogyakarta: Sekertariat Tuntunan Agung-Surokarsan), h. 12.

5


(55)

dengan rasa cinta dan kasih saying terhadap sesama manusia. Karena dalam hal ini, manusia hanya sebagai perantara akan ke-Rokhima Allah Hyang Maha kuasa. Oleh sebab itu, menurut aliran

Sapta Darma yang melanggar wewarah akan mendapat hukuman

dari Allah Hyang Maha Kuasa.

e. Berani hidup berdasarkan kepercayaan atas kekuatan diri sendiri.

Oleh Hyang Maha Kuasa manusia telah diberi akal budi dan

pakartiserta peralatan ragawi yang cukup lengkap guna untuk

berjuang memenuhi kebutuhan hidupnya, baik kebutuhan jasmanin

maupun rohaniah.6

Berjuang secara jujur dan tidak boleh menginginkan orang lain, orang Sapta Darma harus penuh kepercayaan bahwa dengan bekerja secara jujur dengan penuh kesungguhan akan memenuhi kebutuhannya. Terlebih kalau dalam kehidupan rohani warga Sapta Darma harus bertanggung jawab pada diri sendiri sampai akhirnya dipanggil oleh Allah Hyang Maha Esa.

Warga Sapta Darma harus berusaha bekerja atas kepercayaan diri sendiri, tidak boleh bergantung terhadap pertolongan orang lain.

7

f. Dalam hidup bermasyarakat bersikap kekeluargaan, harus susila

beserta halusnya budi pekerti, selalu menjadi petunjuk jalan yang mengandung jasa serta memuas.

Warga Sapta Darma harus dapat bergaul dengan siapa saja tanpa memandang jenis kelamin, umur, maupun kedudukan dalam artian hidup harus susiala, sopa santun dan tidak boleh sombong.

6

Sekertariat Tuntunan Agung, Sejarah penerimaan Wahyu, h. 177. 7


(56)

44

g. Yakin bahwa keadaan dunia ini tidak abadi, melainkan selalu

berubah-ubah.

Perubahan keadaan dunia ini laksana perputaran roda, karena warga Sapta Darma harus memahami hal ini. Oleh karena itu, warga Sapta Darma tidak boleh bersifat statis dan dogmatis, tetapi harus penuh dinamika. Warga Sapta Darma harus pandai menyesuaikan diri dengan mengingat waktu dan tempat.

Wewarah tujuh yang d jelaskan di pon A merupakan suatu kesatuan yang bulat, satu sama lain bersangku-paut tidak bisa dipisahhkan. Jadi warga Sapta Darma harus betul-betul dapat menjalankan Wewarah tujuh..

2. Sujud

Sujud Dalam ajaran Sapta Darma dapat di bagi menjadi dalam dua bagia diantaranya:

a. Sujud wajib

Bagi Warga Sapta Darma diwajibkan sujud dalam sehari semalam (24 jam) sedikitnya satu kali. Lebih dari sekali lebih baik, dengan pengertian bahwa yang penting bukan banyaknya melakukan sujud, tetapi dilihat dari

kesungguhan sujudnya. Lebih baik sujudnya dilakukan di sanggar,8

Dalam melaksanakan sujud yang benar dan supaya bisa menyatu dengan Allah Hyang Maha Kuasa warga sapta Darma harus menjalankan bebrapa jalan diantaranya:

dan dalam melaksanakan sujud waktunya harus ditentukan dan bisa melaksanakan sujud dengan bersama-sama.

8

Kata sanggar bagi Warga Sapta Darma adalah tempat atau bangunan yang di pergunakan untuk sujud kepada Allah Hyang Maha Kuasa dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berkaitan dengan penghayatan dan pendalaman, atau suatu tempat yang dihormati dan disucikan untuk menyembah kepada Allah Hyang Maha Kuasa.


(57)

Duduk tegak menghadap timur.9 Bagi pria duduk bersila, dapat dilakukan

dengan sila tumpaang artinya kaki kiri dibawah kaki kanan di atas. Bagi wanita

duduk bertimpuh.10

Selanjutnya merasakan getaran yang kedua, yaitu getaran halus yang artinya getaran air suci atau air putih yang berasal dari tulang ekor naik sedik demi sedikit melalui ruas-ruas tulang punggung atau tulang punggung itu sendiri. Dengan naiknya getran yang halus mendorong tubuh membugkuk dengan sendirinya mengikuti getaran air suci sampai ke otak kecil, kemudian ke otak besar sehingga dahi menyentuh tikar, selanjutnya menghela napas panjang dan halus, sehinggan lidah terasa bergetar, keluar air liur yang kemudian ditelan, terus dalam batin

mengucapkan, “Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa” tiga kali.

Setelah itu tangan sidakep dan menenangkan badan dan pikiran, mata melihat ke depan ke suatu titik. Bila sudah tenang dan tentram terasa ada getaran dalam tubuh yang merambat berjalan dari bawah ke atas dan diikuti sampai ke kepala maka pertandanya kepala terasa berat kemudian getaran menutupi mata. Setelah mata tertutup akibat turunnya getaran, maka getara tersebut menurun lagi sampai ke mulut, selanjurnya ada tanda-tanda lidah terasa dingin seperti kena angin

dan keluar air liur, lalu air liur ditelan lalu mengucap dalam batinnya ”Allah Hyang

Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah Hyang Maha Adil.”

11

Selesai mengucapkan sujud, kepala diangkat perlahan-lahan sehinggan badan dalam sikap duduk dan tegak seperti semula, dalam sikap duduk itulah semua getaran

9

Menghadap ke timur diartikan sebagai berikut: timur berasal dari kata Wetan, sedangkan

Wetan berasal dari kata Kawitan atau Wiwitan, berarti permulaan. Jadi, apabila orang bersujud kepada Tuhan, ia harus ingat bahwa ia berasal dari barang yang suci, dan harus benar-benar suci luar dan dalam, artinya satu dalam perbuatan. Lihat Harun Hadiwijono, kebatinana dan injil ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002 ), hal. 33.

10

Bertimpuh artinya ibu jari kaki kiri ditimpuh ibu jari kaki kanan, namun kalau tidak mungkin melakukan sikap duduk seperti itu, karena kondisi fisik dan yang laiannya diperkenankan mengambil sikap duduk sesuai dengan kemampuannya asal tidak meninggalkan kesusilaan dan tidak mengganggu jalannya getaran atau rasa. Lihat Sekertariat Tuntunan Agung, Sejarah penerimaan Wahyu, h. 165.

11


(58)

46

di kepala yang telah kontak dengan Sinar Cahaya Hyang Maha Kuasa akan turun merata keseluruh tubuh.

Pada saat turunnya getaran tersebut perlu sekai dirasakan saluran-saluran mana yang dilalui oleh getaran tersebut. Kemudia merasakan naiknya kembali getaran halus seperti yang di atas, yang kemudia mendorong untuk membungkuk

yang kedua kalinya, kemudia di dalam hati mengucapkan, “Kesalahane Hyang Maha

Suci Nyuwun Ngapura Hyang Maha Kuas” sebanyak tiga kali. Artinya,

Kesalahannya Hyang Maha Kuasa Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa”.

Kemudian duduk kembali dengan tegak dan membungkuk kembali untuk

melakukan sejud yang ketiga kalinya, lalu mengucapkan dalam batin, “Hyang Maha

Suci Bertobat Hyang Maha Suci ” sebanyak tiga kali. Akhirnya duduk tegak dengan merasakan turunnya getaran yang ketiga kalinya lewat bagian depan, dari kepala, dada, perut sampai tulang kemaluan, dan keseluruh tubuh sehingga tenang dan

tentram, kemudian sujud diakhiri dengan membuka mata, tangan dan sebagainya.12

Untuk menyakini seluruh Warga Sapta Darma, yang diucapkan dalam sujud dapat di jelaskan sebagai berikut:

a. Ucapan, Allah Hyang Maha Agung, Allah Hyang Maha Rokhim, Allah

Hyang Maha Adil, maksudnya untuk mengingat dan menghormati sifat

mutlak keluhuran Allah Hyang Maha Kuasa dan mengagungkan serta

meluhurkan Asma-Nya.13

Ucapan Asma tiga tersebut tidak hanya di ucapkan pada saat sujud saja, tetapi apabila Warga Sapta Darma akan memulai suatu perbuaatan darma yang didahului dengan semedi atau eling dengan ucapan meluhurkan Asma Allah tersebut.

12

Sekertariat Tuntunan Agung, Sejarah Penerimaan Wahyu,h. 167. 13


(59)

b. Ucapan, Hyang Maha Suci Sujud Hyang Maha Kuasa maksudnya ialah Hyang Maha Suci merupakan sebutan bagi roh suci seseorang manusia yang berasal dari sinar cahaya Allah, atau kesucian yang meliputi pribadi manusia sujud kepada Allah Hyang Maha Kuasa. Hyang Maha Kuasa adalah sebutan Allah yang menguasai alam semesta dengan segala isinya termasuk manusia baik rohani maupun jasmani. Sujud berarti penyerahan diri bulat-bulat atau menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah Hyang Maha Kuasa.

c. Kesalahannya Hyang Maha Kuasa Mohon Ampun Hyang Maha Kuasa,

maksudnya ialah, setelah meneliti dan menyadari kesalahan-kesalahan setiap hari, maka roh suci manusia mohon ampun kepada Hyang Maha Kuasa akan dosa-dosanya tersebut.

d. Hyang Maha Suci Bertobat Hyang Maha Suci maksudnya ialah,bertobat

untuk tidak berbuat kesalahan. Warga Sapta Darma diharapkan melatih diri dengan sungguh-sungguh untuk mencapai kesempurnaan sujudnya

yang sesuai dengan Wewarah.14

Sujud yang diilakukan dengan penuh kesungguhan mempunyai arti dan kegunaan yang besar sekali. Sujud Sapta Darma tidak boleh dilakukan secara tergesah-gesah. Diharpkan melaksanankan sujud memilih waktu yang tepat.

Sebenarnya sujud menurut Wewarah bila didalami dan diteliti secara

sungguh-sungguh, akan membimbing jalannya getaran air suci yang tersaring berulang kali serta membimbing jalannya sinar cahaya Allah yang meliputi seluruh tubuh,

kemudian diedarkan merata ke sel-sel tubuh.15

Getaran atau sinar cahaya Allah adalah cahaya yang digambarkan berwarna hijau muda yang berada di dalam seluruh pribadi manusia. Bersatunya getaran sinar

14

Sri Pawenang wewarah kerohanian Sapta Darma, h. 35. 15


(1)

Foto Panuntun Agung Sri Gutama sewaktu menjejerkan Sri pawenang menjadi Panuntun Wanita

Awal meret, 1957

Panuntun Agung Sri Gutam sedang melakukan sujud di atas dasar pondasi Sanggar Candi Sapta Rengga


(2)

Foto Panuntun Wanita, Ibu Sri Pawenang


(3)

Cara melaksanakan olah Rasa


(4)

Tatacara pelaksanaan sujud


(5)

Para Warga Sapta Darma sedang melaksanakan Sujud Bersama Di rumah salah satu warganya

Foto bersama dengan Staf tuntunan Agung Sapta Darma, sesudah melaksanakan wawancara


(6)

Foto bersama dengan Tuntunan Agung Sapta Darma, setelah melaksanakan Wawancar langsung

Foto bersama Tuntunan Agung Sapta Darma dan Staf Tuntunan Agung Sapta Darmas setelah selesai penelitian