52
9 Jo Daud Dharsono
Direktur Utama 10
Budi Wijana Wakil Direktur Utama
11 Edy Saputra Suradja
Wakil Direktur Utama 12
H. Uminto Direktur
13 DR. Ir. Gianto Widjaja
Direktur 14
Jimmy Pramono Direktur
15 Djanadi Bimo Prakoso
Direktur
Sumber: Data diperoleh dari situs resmi PT. SMART TBK http:ptsmarttbk.commainindex.phpprofilmanajemenstrukturorganisasi
Melihat hasil deskripsi dari profil penelitian yang telah peneliti uraikan bahwa Desa Padang Halaban merupakan masih salah satu desa yang tertinggal
bila dilihat dari segi pendidikan di desa tersebut, masih minimnya pendidikan yang menghambat desa ini untuk maju dan yang menjadi faktor salah satu
ketertinggalan didesa ini yaitu faktor ekonomi. Faktor ekonomi menjadi sumber pertama desa ini masih tertinggal, meskipun masyarakat desa rata-rata bermata
pencaharian sebagai petani, tetapi banyak rakyat desapetani yang masih juga tidak mempunyai lahan mereka sendiri.
Oleh karena itu inilah yang menjadi alasan utama perjuangan tani yang tergabung dalam kelompok masyarakat petani “Serikat Tani Padang Halaban”
untuk merebut kembali tanah milik mereka yang diambil pihak P.T Smart. Dan pada bab selanjutnya peneliti akan uraikan lebih jelas tentang konflik yang terjadi
di Desa Padang Halaban dan melihat pelanggaran HAM apa saja yang dialami oleh para petani di desa tersebut selama berlangsungnya pertikaian ini.
Universitas Sumatera Utara
53
BAB III PENYAJIAN DAN ANALISIS DATA
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab II tentang profil lokasi penelitian, maka pada bab III ini peneliti akan mencoba menjelaskan jawaban dari
rumusan peranyaan yang ada pada bab I yaitu mengenai sebab-sebab terjadinya konflik dan kekerasanyang dialami oleh pihak petani di Desa Padang Halaban,
Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara. Peneliti akan membagi bab III kedalam tiga sub-bab. Sub-bab pertama akan membahas tentang
pesdeskripsian kronologi konflik yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara sesuai berdasarkan data
yang diperoleh oleh peneliti. Sub-bab kedua, akan mencoba memaparkan bagaimana bentuk okupasi lahan yang dilakukan oleh PT. Smart Cooporation,
Tbk, dan pada sub-bab ketiga, peneliti akan menganalisis kasus ini dengan mengunakan teori Konflik oleh Ralf Dahrendof dan menganalisis HAM yang
terjadi di desa itu.
3.1 Asal Muasal Konflik Agraria Serikat Tani Padang Halaban STPHL di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan batu
Utara.
Berdasarkan dari daa yang peneliti peroleh dan dari hasil wawancara atau diskusi yang dilakukan oleh peneliti kepada masyarakat setempat, seperti salah
satunya adalah bapak ngatimin 67 tahun dimana bapak ini merupakan salah satu
54
yang ikut dalam memperjuangkan tanah di desa mereka dan salah satu yang masih hidup pada zaman perjuangan tanah ini, yang mengatakan bahwa:
“Keadaan Desa Padang Halaban di duduki oleh Perkebunan Belanda bernama NV. Sumcana, setelah perkebunan ditutup maka buruh menggarap tanah-
tanah, makan apa kalau gak garap tanah itu. Itulah sejarahnya.Pada tahun 1950- an, saya kurang ingat lagi, saya rasa masyarakat mulai garap tanahnya.”
31
“Setelah kita merdeka, Terjadi Konferensi Meja Bundar KMB pada tahun 1949, di Kopenhagen, Denmark.Beberapa tahun setelah perundingan
tersebut, pengusaha Belanda yang meninggalkan perkebunan setelah diusir oleh Jepang dan Revolusi Agustus 1945, kembali masuk ke areal perkebunan.
Kedatangan mereka bermaksud untuk merencanakan pembangunan perkebunan kembali. Hal ini bisa dibuktikan dengan usaha dari pemilik perusahaan
menanyakan kepada penduduk di Panigoran, Karanganyar dan Sidomulyo tentang kesediaannya kembali bekerja di kebun seperti sebelum pengusaha Belanda pergi
atau jika tidak bisa terlibat dalam pekerjaan kebun kembali bisa mengolah tanah yang sudah diduduki dan dimiliki oleh masyarakat.”
Begitu juga ditambahkan bapak Solan 85 tahun mencoba mendeskripsika n bahwa kronologi konflik yang di Desa Padang Halaman terjadi setelah pengaku
an kedaulatankemerdekaan Republik Indonesia, beliau bercerita bahwa:
32
Awal mula konflik ini terjadi pada tahun tahun 19531954 tanah perkebunan Padang Halaban termasuk tanah konsesi yang dikelola oleh
Perusahaan Belanda bernama NV.Sumcana. Perusahaan perkebunan tersebut menanami sayuran dan buah-buahan, lalu setelah dipanen, tanah tersebut
dipergunakan oleh masyarakat dengan menanami tanaman palawija, padi, jagung,
31
Wawancara dengan bapak ngatimin di Desa Padang Halaban, di rumahnya, yang dilakukan pada 17 januari 2014
32
Wawancara dengan bapak solan di Desa Padang Halaban di Posko KTPH-s, yang dilakukan pada 29 desember 2013
55
rambutan, dan tanaman keras lainnya.Pada tahun 1953, delapan tahun setelah kemerdekaan Republik Indonesia yang pada masa itu masyarakat tergabung enam
kampungdesa yaitu:
1. Tanah di bekas Divisi I yang diduduki rakyat dinamakan Desa Padang
Halaban 2.
Tanah di bekas Divisi Pabrik yang diduduki rakyat dinamakan Desa Karang Anyar
3. Tanah di bekas Divisi II yang diduduki rakyat dinamakan Desa
SidodadiAek Korsik 4.
Tanah di bekas Divisi III yang diduduki rakyat dinamakan Desa PurworejoAek Ledong
5. Tanah di bekas Divisi IV-V yang diduduki rakyat dinamakan Desa
KartosentonoKampung Lalang 6.
Tanah di bekas Divisi VI yang diduduki rakyat dinamakan Desa SukadamePanigoran
Bapak Ngatimin mengaakan tentang Kebun di Padang Halaban bahwa: “Kami sebagai kaum tani sudah lama mengelola tanah ini, bingung kenapa
kebon ini belum tutup, sedangkan di pusat saja sudah merah, tempat lain saja sudah pada tutup kenapa Padang Halaban belum.”
33
Sering terjadinya penangkapan yang dilakukan oleh pihak-pihak militer kepada kaum tani di Padang Halaban, dan karena itu terbitlah Undang-undang Darurat
33
Wawancara dengan Bapak Ngatimin di Desa Padang Halaban di rumahnya, yang dilakukan pada 18 februari 2014
56
No. 8 Tahun 1954 yang salah satunya wujudnya adalah sekitar tahun 1956 diadakan pengadaan pendaftaran tanah oleh Kantor Reorganisasi Pemekaran
Tanah Sumater Timur dan berkesimpulan tanah tersebut termasuk tanah yang dilindungi oleh Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954 dimana member
putusan bahwa untuk menetibkan tanah garapan rakyat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo menetapkan kepada masing-masing penggarap per-KK
diberikan 1 Ha 10.000 m² dan 1000 m² untuk pemukiman dan para penggarap menerima hasil keputusan tersebut. Pada tahun 1962 direalisasikanlah pemberian
tanah tersebut kepada masyarakat Desa Padang Halaban sebanyak 100 KK, namun tanah yang diberikan hanya 5000 m² per-KK sedangkan sisanya seluas
6000 m² dijanjikan akan diberikan pada tahun 1963. Di samping itu masih ada penggarap sekitar 50 KK yang sama sekali belum menerima penampungan.
Hal ini diperkuat oleh Bapak Ngatimin, yang mengatakan bahwa: “Status tanah itu milik petani kalau melihat Undang-undang yang
dikeluarkan oleh pemerintah, bukan rakyat yang ngeluarin Undang-undang itu tapi negara.Jadi, tanah itu menurut Undang-
undang Darurat No. 8 Tahun 1954 milik petani. KRPT yang melaksanakan penggantian itu, tetapi kenyataannya hanya 5000 m²,
padahal pemerintah janji 11.000 m², itupun ada yang gak dapat, kalo Bapak dapat tanahnya. Tapi tanahnya diambil lagi pada zaman
Orde Baru.Kebon ini tetap dibuka cuma bukan N.V Sumcana, tapi kebun Padang Halaban.Kemudian digerakkanlah lagi, kalau tidak
salah ada 3 kali.”
34
Setelah ditunggu beberapa lama namun tidak ada juga realisasi yang diberikan maka pada tahun 1964 lahan tersebut digarap kembali oleh
masyarakat.Inilah yang menjadi sebab awal mula konflik yang terjadi di Desa
34
Wawancara dengan Bapak Ngatimin di Desa Padang Halaban di Rumahnya, yang dilakukan pada 18 Februari 2014
57
Padang Halaban. Dan pertengahan tahun 1964 adanya keinginan untuk menyelesaikan masalah garapan tersebut, dimana pada masa itu ketua kelompok
dari Desa Padang Halaban berupaya menyampaikan surat permohonan yang dijanjikan bahwa sesuai surat Panitia Landreform Daerah Tingka II Labuhan Batu
No. 2KII121968 tanggal 8 Agustus 1968 sehingga discerning nama-nama penggarap yang berhak oleh pihak Kecamatan Aek Kuo, Kepala kepolisian
ditambah dengan para kepala perkampungan setempat. Hal ini diperkuat dengan perkataaan Bapak Suratmin, yang mengatakan bahwa:
“…perundingan demi perundingan sehingga pada tahun 1954 dimunculkanlah Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954 yang
dimana unuk melindungi para petani. Karena ketemunya kesepakatan, maka ditandatanganilah dan disetujuilah surat
keputusan tersebut. Sejak itu masyarakat ditentukan mendapatkan tanah 10.000 m² untuk lahan pertanian 1000 m² untuk tapak
perumahan, jadi jumllah 11.000 m² per-KK dan ini diterima oleh petani. Kemudian pada tahun 1962 tanah ini terealisasi, tetapi
tanah tersebut khususnya daerah Padang Halaban baru diberikan hanya 5000 m² dengan pengakuan Panitia Landreform maka pada
tahun berikutnya akan terealisasi, yaitu tahun 1963. Tetapi faktanya tidak selesai juga.Tetapi keterlambatan penyelesaian
peristiwa ini akhirnya pada tahun 1964 masyarakat sudah didata ulang, yaitu ada screening tahun 1964.”
35
Dilakukannya hal ini namun juga belum mendapat realisasi tanah tersebut. Sehingga pada tahun 1965 garapan tersebut diambil alihdiktator secara paksa
oleh pihak perkebunan kecuali lahan seluas 5000 m²yang sudah diberikan sebelumnya dengan alasan para penggarap dituduh sebagai anggota PKI.
35
Wawancara dengan Bapak Suratmin di Desa Padang Halaban, di Posko “Serikat Petani Padang Halaban”, yang dilakukan pada 22 Desember 2013
58
Seperti ungkapan dari Bapak Solan bahwa: “…tahun 1965 setelah screening, terjadi peristiwa G 30 SPKI,
tanah dan surat-surat kami diambil paksa sama tentara, jika kami tidak menyerahkan surat-surat itu kami dituduh penghianat negara
dan di cap sebagai anggota PKI.”
36
“… tahun 1966-1967 kampung-kampung dan tanah rakyat yang pada waktu itu diterima sebagian dirampas kembali oleh pihak PT.
Smart Cooporation, Tbk.” Pihak perusahaan dan pemerintah ketika itu beralasan bahwa tanah yang
ada sudah diselesaikan kepada penduduk. Bapak Suratmin menjelaskan kembali bahwa:
37
Sehingga penduduk ketika berjumlah 100 KK berdiam diri melihat kondisi tersebut dengan merelakan secara terpaksa tanah yang diambil oleh pihak
perusahaan.Bahkan diantara warga juga menjadi korban pembantaian dan penangkapan oleh aparat keamanan yang bekerjasama dengan komando aksi.
38
36
Wawancara dengan Bapak Solan di Desa Padang Halaban di Rumahnya, yang dilakukan pada 15 Januari 2014
37
Wawancara dengan Bapak Suratmin di Desa Padang Halaban di Posko “Serikat Tani Padang Halaban” yang dilakukan pada 22 Desember 2013
38
Komando aksi adalah gabungan dari organisasi pemuda yang anti terhadap gerakan komunis. Mereka digunakan untuk membantu penangkapan dan pemebunuhan terhadap penduduk yang dituduh sebagai
bagian dari PKI
59
3.2 Bentuk Okupasi Lahan dan Pelanggaran HAM oleh PT. Smart Cooporation, Tbk