Bentuk Okupasi Lahan dan Pelanggaran HAM oleh PT. Smart Cooporation, Tbk

59

3.2 Bentuk Okupasi Lahan dan Pelanggaran HAM oleh PT. Smart Cooporation, Tbk

Berangkat dari kasus konflik agraria yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dimana pihak-pihak yang berkonflik yaitu kelompok tani dengan pihak PT. Smart Cooporation, Tbk bahwa dengan penjelasan dari kronologi yang jelas peneliti paparkan di atas bahwa kita dapat melihat dimana adanya pemerintah yang abai terhadap keberlangsungan hidup masyarakatnya terutama keberlangsungan hidup petani di Desa Padang Halaban. Sebelum masuk kepada konflik agraria di Desa Padang Halaban, maka peneliti akan mencoba menjabarkan bagaimana konflik agraria menurut beberapa responden yang telah peneliti wawancarai. Seperti yang diungkapkan oleh Saudara Herdensi mengenai konflik agraria, yaitu : “Konflik agraria dilihat dari sisi perjalanannya, seperi secara historis dari pra kolonial sebelum Belanda, Jepang, dll sudah muncul konflik agraria tetapi ruang lingkupnya ada di tataran desa, jadi masyarakat desa kemudian berkonflik dengan elit desa terutama kaum-kaum feudal yang memilikimenguasai tanah. Tetapi pada masa colonial dan pasca colonial, semenjak adanya Undang-undang Agraria Agrarische Wet tahun 1870 yang dibuat oleh Belanda pada saat itu maka konflik agraria tidak lagi menjadi konflik internal desa yaitu terjadi antara masyarakat desa dengan komunias desa itu. Tetapi sudah menjadi konflik antara desa dengan komunitas luar, seperti Belanda yang memberikan konsesiyang begitu mudah 60 kepada pengusaha untuk mengakses tanah, dari sini secara mau tidak mau menegasikan hak petani atas tanah karena dalam Agrarische Wet 1870 ini menyatakan bahwa “setiap tanah yang hak kepemilikan nya tidak ada, maka tanah tersebut akan menjadi milik negara.”Inilah celah yang digunakan Belanda untuk memberikan tanah secara de jure kepada para pengusaha-pengusaha, oleh karena pada masa , Jawa dan Sumatera merupakan daerah penghasil devisa terbesar bagi Belanda karena ada begitu banyak perkebunan yang muncul, seperti perkebunan tembakau, kelapa sawit, dll. Dan ternyata Agrarische Wet ini diubah oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1960, Inilah yang dikenal dengan nama Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, dan sangat disayangkan Undang-undang ini “tidak berlaku lama”, Undang-undang ini hanya berlaku pada 1960-1965 ini dikarenakan adanya pergantian regim kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru, dimana regim Orde Lama yang pro kepada rakyat dan regim Orde Baru pro kepada Investasi. Seperti pada tahun 1967 muncul Undang-undang tentang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri, dimana inilah yang menjadi cikal bakal dari penegasian Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, ketika adanya Undang-undang Penanaman Modal Asing dan Penanaman Modal Dalam Negeri ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945. Dari sinilah konflik agrarian mulai memgemuka secara massif.” 39 “Perspekif konflik agraria dengan perjuangan Serikat Petani Indonesia adalah dimana petani sudah tidak lagi menjadi orang yang berkuasa di lahannya sendiri, baik itu bercocok tanam, mengolah lahan, sampai pada membentuk pemasarannya sendiri karena pada prinsipnya secara Begitu juga yang diungkapkan Saudara Jean Ari Hasibuan selaku sekjend dari lembaga Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara mengungkapkan tentang konflik agraria, yaitu: 39 Wawancara dengan Saudara Herdensi di Sekretariat KONTRAS SU, yang dilakukan pada 2 Februari 2013 61 budaya muncul namanya “ agriculuture “ jadi budi daya pertanian sudah bergeser nilai dan muatannya. Petani tidak lagi berdiri sendiri untuk bias menguasai alat produksinya yaitu tanah. Namun disela-sela pemasaran terkait dengan sengketa agrarian, ternyata kondisi lebih parah lagi akibat dari perspektif pembangunan sejak zaman orde baru sampai revolusi hijau. Pembangunan pertanian di Indonesia ini berkibla terhadap spekulasi pasar atau pemenuhan- pemenuhan kebutuhan pasar dimana dalam artian tujuan- tujuan bertani itu yaitu karena adanya permintaan pasar sehingga mendorong proses produksi harus berjumlah besar dan satu sisi juga hal ini membuat kondisi sengketa atau konflik agraria semakin banyak bermunculan, seperti perusahaan-perusahaan perkebunan, baik itu pihak swasta maupun milik negara sehingga ada tuntutan besar untuk dapa menguasai lahan yaitu “harus” mengenyampingkan para petani khususnya yang ada di Sumatera Utara untuk keluar dari lahannya dan jika imgin terlibat dalam proses pertanian selanjutnya mereka tidak bias membentuk sistem pertanian sesuai dengan apa mau mereka sehingga bias beralih fungsi seperti buruh tani. Ini dikarenakan, akibat dari kekuatan untuk mendorong perkebunan swasta maupun milik negara itu memakai kekuatan negara sehingga petani dipaksa untuk keluar dari lahannya sendiri, dipaksa untuk meninggalkan ala produksi seperti tanah mereka yang sudah sejak dulu mulai dari kakek nenek mereka yang bertempat tinggal dan menjadikan daerah tersebut dengan bercocok tanam untuk menjamin pemenuhan kebutuhan kehidupan mereka sehari-hari mereka. Jadi, dalam satu sisi sudah berbeda, dimana dalam perspektif pemerintah pembangunan itu mendorong proses peningkatan produksi yang sesuai dengan permintaan pasar sedangkan agriculture yang dari dulu menjadi identitas para petani.” 40 Jika dilihat konflik agraria yang terjadi di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dalam perpektif HAM, meliha konflik yang terjadi ini sebenarnya sangat bertentangan dengan nilai-nilai 40 Wawancara dengan Saudara Jean Ari Hasibuan di Sekretariat Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara, yang dilakukan pada 9 Februari 2014 62 hak manusia, Saudara Herdensi menjelaskan bagaimana konflik agraria dilihat dalam perpektif HAM yang seharusnya: a Setiap individu berhak untuk mendapatkan kepastian hukum b Setiap individu berhak untuk mendapatkan kesetaraan di depan hukum c Setiap individu berhak atas hidup d Setiap individu berhak untuk mendapatkan kehidupan yang layak 41 Jika peneliti melihat yang terjadi dalam konflik agraria pada kasus di Desa Padang Halaban menciderai hak itu semua terhadap petani tak terkecuali hak atas hidup.Pertama, dalam hal kepasian hukum, di Indonesia hanya ada dua model penyelesaian yang dilakukan dalam konflik agraria, yaitu model mediasi yang dilakukan oleh BPN. Ini dikarenakan kebanyakan apa yang dialami dalamkonflik agraria ini kebanyakan besar oleh kesalahan BPN, ini dikarebakan BPN tidak dapat menjelaskan secara jelas mana wilayah HGU milik PT. SMART, kedua BPN menerbitkan HGU diatas tanah rakyattanah adat. Jelas bahwa konflik yang terjadi di desa ini akibat dari tidak direalisasikannya tanah pada zaman dulu dan penerbitan HGU ditas tanah rakyat yang sudah lama diusahai oleh petani desa tersebut. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Syahnal dari pihak PT. SMART bahwa masyarakat petani di desa ini tidak terinformasi dengan baik dengan adanya HGU yang dikeluarkan oleh BPN kepada pihak PT. SMART. Melihat adanya masyarakat yang tidak terinfomasi ini, peneliti merasa ada kejanggalan dibalik tidak terinformasinya petani Desa Padang Halaban, jelas bahwa HGU yang PT. SMART miliki sebenarnya tidak bisa didudukkan di Desa tersebut karena keluarnya HGU yang resmi seharusnya ada pada BPN Pusat bukan pada 41 Wawancara dengan Saudara Herdensi di Sekretariat KONTRAS SU, yang dilakukan pada 2 Februari 2013 63 BPN Tingkat II. Inilah yang semakin membuat kejanggalan peneliti terutama peneliti ingin melihat HGU itu sebenarnya bagaimana, tetapi pihak PT. SMART melarang peneliti dengan menggunakan beberapa alasan dan berdalih bahwa peneliti tidak mempunyai kepentingan melihat sertifikat HGU 92Padang Halaban2001. Kemudian, model proses pengadilan dalam menyelesaikan konflik agraria disini adalah model pengadilan umum yang seharusnya model pengadilan untuk menyelesaikan konflik agraria ini adalah model pengadilan agraria. Seperti yang kita keahui sendiri bahwa dalam model pengadilan umum sangat merugikan rakyat, yaitu dalam hal waktu yang sangat memakan waktu yang bsangat lama bisa sampai 5-10 tahun, seperti yang diungkapkan Saudara Herdensi dari lembaga Kontras mengatakan bahwa meskipun ketika masalah atau konflik yang terjadi sudah selesai ketika mau dieksekusi maka pengadilan tidak akan didukung oleh perangkat-perangkat yang ada seperti pihak kepolisian yang tidak mau mengeksekusi tanah milik PT. SMART, dari sini dapat dilihat hak dalam mendapatkan kepastian hukum ini idak ada, dimana rakyat sudah mengadu ke Komnas HAM, pihak kepolisisanm dll tetapi pada akhirnya konflik ini tidak akan selesai-selesai. Seperti kenyataannya pada kasus di Desa Padang Halaban bahwa benar adanya meskipun begitu banyaknya Surat Keputusan SK yang dikeluarkan kepada pihak petani yang menyatakan bahwa tanah tersebut milik dari petani, tetapi tetap saja lahan yang dikatakan milik petani tersebut tidak juga diberikan kepada petani dan masih diusahai oleh pihak perkebunan. Kedua, soal kesetaraan di depan hukum dimana HAM itu berazaskan equal setara. Tetapi dalam permasalahan konflik agraria di desa ini azas ini tak berlaku, selalu saja ketika petani ditangkap, polisi menanyakan alas hak mereka 64 dalam mempertahankan tanah sehingga selalu saja petani yang disalahkan, tetapi ketika PT. SMART melakukan okupasi, polisi tidak pernah menanyakan keberadaan HGU milik PT. SMART sehingga equal dihadapan hukum ini tidak ada. Inilah yang menyebabkan tidak adanya kesetaraaan antara petani dan pihak PT. SMART di depan hukum. Petani selalu dipandang sebelah mata dan tidak mempunyai legitimasi dalam hukum dan kerap dijadikan korban dari atas konflik yang terjadi, seperti penangkapan 3 orang petani di Desa Padang Halaban dengan indak kekerasan lainnya yang dialami petani. Ketika peneliti mencoba bertanya tanggapan PT. SMART mengenai penangkapan petani yang dilakukan oleh pihak kepolisian, PT. SMART mengatakan itu bagus dan mendukung polisi dan pihak PT. SMART mengatakan sudah dari dulu seharusnya pihak petani ditangkap. Dari perkataan PT. SMART seakan-akan menyudutkan pihak petani dan seakan-akan petani dalang dari semua ini. Hukum jelas tidak seimbang kepada pihak petani, hukum selalu berpihak kepada PT. SMART, seperti yang sudah peneliti paparkan bahwa pihak PT. SMART lah yang melakukan pengokupasian, tetapi pada faktanya pihak PT. SMART tidak diperiksa oleh kepolisian, bahkan tidak ada penangkapan kepada pihak PT. SMART. Ketiga, Hak atas pekerjaan. Pada kenyataannya bahwa pasal 27 ayat 2 yang terdapat dalam Undang-undang Dasar “ Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian ” dan juga pada pasal 38 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Azasi Manusia pada Hak atas Kesejahteraan bahwa yang menjadi permasalahannya adalah petani tidak pernah dianggap menjadi bagian dalam pekerjaan, oleh karena itu negara tidak pernah melakukanperlindungan kepada petani, baik akses mereka terhadap tanah maupun 65 terhadap pasar. Petani merupakan produsen yang paling dirugikan di Indonesia. Harga beras seharusnya dientukan oleh petani, karena mereka yang bekerja,tetapi pada kenyataannya harga beras tidak lah ditentukan oleh petani, oleh karena itu proteksi negara kepada petani itu tidak ada. Dan ini juga termasuk salah satu menciderai hak asasi manusia. Oleh sebab itu, hak atas pekerjaan yang terdapat dalam Undang-undang Dasar 1945 negara yang menjamin warga negara untuk mendapatkan pekerjaan maka negara harus menjamin lapangan pekerjaaan itu berupa tanah untuk rakyat, khususnya untuk petani di Desa Padang Halaban. Keempat, Hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dalam pasal 40 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yaitu “ Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal serta berkehidupan yang layak” seperti yang diungkapkan Saudara Herdensi bahwa: “petani tidak layak dikatakan masuk dalam kategori hidup layak jika petani hanya memiliki anah 0,06 Ha, tetapi disisi lain PT. SMART kurang lebih 3000 Ha lahan yang mereka kelola. Belum lagi kekerasan yang dilakukan kepada petani yang melanggar HAM sehingga petani tidak mendapatkan hidup yang layak seperti seharusnya yang dijamin oleh Undang-undang Dasar 1945.” 42 Melihat ini juga cukup menjelaskan bahwa masyarakat di Desa Padang Halaban secara otomatis tidak mendapatkan hidup yang layak jika tanah mereka diambil 42 Wawancara dengan Saudara Herdensi di Sekretariat KONTRAS SU, yang dilakukan pada 2 Februari 2013 66 oleh perkebunan dan mereka sendiri tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kelima, Hak atas hidup seperti yang terdapat dalam pasal 9 dalam Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tenang Hak Asasi Manusia. Jelas bahwa ketika negara melalui PT. SMART mengambil alih tanah sebagai alat produksi untuk pemenuhan kebutuhan pasar membuat para petani, khususnya petani di Desa Padang Halaban tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan subsistensi mereka. Mereka idak lagi dapat dikategorikan mendapatkan hak atas hidup ketika hak mereka, yaitu tanah sebagai alat utama produksi dirampas dan petani tidak lagi diberi akses untuk mengelola tanah yang pada dahulu kalanya sudah mereka usahai sebelum Belanda dating dan menduduki wilayah Indonesia dan mereka di cap sebagai PKI ketika mereka melawan regim pemerintahan pada masa itu. Para petani di Desa Padang Halaban juga berhak hidup tentram, aman, bahagia, sejahtera lahir dan batin oleh karena itu bentuk tindak okupasi yang dilakukan oleh PT. SMART sudah mengganggu masyarakat petani mendapakan hidup yang tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin sebab akibat dari okupasi yang terjadi bahwa masyarakat petani menjadi trauma dan takut akan situasi yang terus mereka alami, pihak-pihak PT. SMART yang mengokupasi lahan mereka dengan dibantu oleh aparat kepolisian sehingga posisi dari rakyat sangat jauh dari rasa aman itu sendiri, seperti juga yang erdapat dalam pasal 30 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tentram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbua sesuatu” dimana yang seharusnya polisi membantu menegakkan keamanan tetapi 67 pada kenyataannya polisi membantu pihak PT. SMART dalam konflik di Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara. Saudara Jean Ari mengungkapkan Konflik Agraria dalam perspektif HAM, yang mengatakan bahwa: “Konflik Agraria masuk ke dalam level yang lebih akut karena pelanggaran-pelanggaran hak petani dimulai dari lahan mereka dijadikan lahan-lahan perkebunan secara luas untuk pembangunan industry secara besar sehingga lahan-lahan pertaanian yang aada sejak dahulu kala yang sudah dikuasai oleh petani itu diambil secara paksa oleh pihak perkebunan dengan memakai kuasa negara untuk dijadikan lahan peranian yang mendorong terhadap kebutuhan pasar tanpa memikirkan petani hidup dari lahannya. Kemudian hal yang paling besar sekupnya adalah posisi negara dalam sector pertanian itu, yaitu petani tidak menerima pendapatan yang layak dari hasil produksinya karena mereka tidak berdaulat untuk menentukan tanamanvarietas local yang bias mereka anam dan itu bisa menjamin kebersinambungan kebutuhan pangan rumah tangga mereka namun juga nilai lebih dari hasil pertanian itu bias mereka jual, tetapi mereka tidak bisa menentukan harga jual tanaman tersebut ketika masuk kedalam pasar luas, mereka harus mengikuti sistem mekanisme pasar. Petani tidak bias mengontrol itu diluar dari proses pemenuhan kebutuhan mereka yang sudah mereka penuhi kebutuhan rumah dalam waktu 6 bulan seperti produksi beras menjelang masa tanam lagi nilai lebihnya adalah mereka harus sisihkan itu dan hasil yang lebih tadi mereka jual mereka jual dan ketika mereka jual petani juga tidak berdaulat untuk menentukan harga dari hasil yang mereka hasilkan sendiri. Ini merupakan sebagai salah sattu hal yang sudah bertolak belakang dengan perspektif Hak Asasi Manusia karena petani tidak menerima pendapatan yang layak dari hasil produksi pertaniannya.” 43 Saudara Herdensi mengatakan Undang-undang yang mengatur tentang pelanggaran HAM terkait konflik agraria adalah: 43 Wawancara dengan Saudara Jean Ari Hasibuan di Sekretariat Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara, yang dilakukan pada 9 Februari 2014 68 1. Undang-undang Dasar 1945 2. Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 3. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Soal Hak Asasi Manusia 4. Undang-undang No. 11 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. 5. Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik. 44 Begitu juga Saudara Jean Ari dari Lembaga Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara mencoba menjelaskan tentang undang-undang terkait dengan konflik agraria itu, yaitu: “Berbicara dengan kebijakan, dimana Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 merupakan kabar baik bagi Indonesia pada masa itu, tetapi jika dirunut dari masa-masa lalu, Indonesia sudah masuk ke dalam masa-masa yang sulit dalam hal pertanahan itulah masa budaya-budaya feudal yang membentuk patron clientyang memposisikan petani kembali menjadi buruh tani dan sistem stuktur sosial petani menjadi orang yang selalu terindas dan selalu diposisikan tidak beruntung karena mereka selalu diperhadapkan dengan penguasaan lahan dari tuan-uan tanah, sehingga kedaulatan mereka untuk bertahan di lahan mereka sendiri tak kunjung muncul karena lahan mereka dikuasai golongan bangsawan di zaman feudal. Dan di zaman sesudah kemerdekaan, kondisi yang serupa etapi berbeda bentuk, kluarnya Undang- undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 sebenarnya menjadi satu hal yang bias menyelesaikan dan menjawabmasalah peranian secara detail,baik itu penguasaan akan lahan pertanian, mendorong peningkatan kesejahteraan, dll. Dan setelah Undang-undang Pokok Agraria keluar pada tahun 1960 dan secara politik sudah menjadi senja nya pemerintahan Soekarno pada saat itu, karena pada tahun 44 Wawancara dengan Saudara Herdensi di Sekretariat KONTRAS SU, yang dilakukan pada 2 Februari 2013 69 1960-1965 waktu yang tinggal sedikit lagi dan ini pun menjadi sebuah konroversi pertentangan undang-undang ini secara konflik politik pada saat itu. Namun setelah jatuhnya Soekarno, pengangkangan nilai-nilai kerakyatan yang termakhtub dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 semakin terliha jelas, itulah paradigma pembangunan pertanian dari zamannya orde baru. Dimana bahwasanya untuk mendorong penguatan sistem pertanian di Indonesia yang penting harus dilakukan adalah mengubah bentuk atau mengubah fungsi lahan pertanian untuk bias memproduksi hasil peranian dalam skala besar dan satu sisi tanaman-tanaman yang digunakan bersifat monokultur tanaman sau jenis yang didorong demi kepentingan modal pemenuhan kebutuhan pasar sehingga konsekuensinya adalah lahan tersebut ketika ditanami secara monokultur akan mengurangi potensi kesuburan tanah. Disatu sisi yaitu lahan tersebut tadi dipaksa untuk dirubah bentuk fungsinya dimana yang sebelumnya lahan hanya diusahakan orang per orang atau per komunitas dalam wilayah pedesaan dan pada masa pemerintahan Soeharto itu tidak.Pertanian pada masa Soeharto bentuk model dan caranya sudah mengarah kepada pasar.Produksinya banyak bisa di ekspor dan feedbackkeuntungan diambil oleh negara.Tetapi setelah masa pemerintahan Soeharto jatuh, keuntungan-keuntungan yang dirasakan itu bukan lagi keuntungan kepada negara tetapi keuntungan kepada perusahaan-perusahaan transnasional. Konsekuensi dari konflik agrarian di lapangan yaitu adanya ketegangan struktural yang terjadi yaitu ketegangan masyarakat kaum tani dimana mereka menganggap lahan tersebut harus mereka perjuangankan dan mereka harus diperhadapkan dengan kekuatan negara seperti TNI, POLRI dan juga lembaga peradilan, karena pada prinsipnya dalam konflik agrarian penguasaan atas lahan menjadi satu hal yang sangat pentingvital, efeknya ketika proses mempertahankan hak nya dan ketika masyarakat petani dihadapkan dengan itu, maka kriminalisasi akan kerap terjadi, kekerasan di lapangan juga terjadi. Khusus SPI sendiri dalam hal konflik agraria sudah menjadi permasalahan mendasar di anggotanya, seperti di Langkat, Mekar Jaya, Salah Haji, Deli serdang dan Labuhan Batu Utara.Dimana konflik ini, petani juga berhadapan langsung dengan pihak perkebunan.” 45 45 Wawancara dengan Saudara Jean Ari Hasibuan di Sekretariat Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara, yang dilakukan pada 9 Februari 2014 70 Adanya undang-undang yang menjamin Hak Asasi Manusia di Indonesia seperti Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Undang-undang No. 39 Tahun 1999, maupun itu Ratifikasi Kovenan Internasional yang terdapat dalam Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik dan Undang-undang N0. 11 Tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Jika melihat ketimpangan struktur agraria yang terjadi di Desa Padang Halaban, yaiu bagaimana PT. Smart Cooporation, Tbk melakukan okupasi di desa tersebut, tetapi dengan jelas bahwa masyarakat petani di Desa Padang Halaban mempunyai alas hak dalam perjuangan mereka, yaitu Undang-undang Darurat No. 8 Tahun 1954 yang dengan jelas bahwa tanah di Desa Padang Halaban adalah tanah yang dilindungi oleh Undang-undang tersebut dan upaya screening yang dilakukan berdasarkan surat Panitia Landreform Daerah Tingkat II Labuhan Batu 2KII121968 tanggal 6 April 1968 bahwa surat-surat keputusan tersebut telah dinyatakan tanah Desa Padang Halaban telah diberikan teapi pada faktanya surat keputusan tersebut hanya sebatas surat karena fakta lapangan tanah ersebut idak terealisasikan juga. Bahkan adanya juga tudingan-tudingan kepada masyarakat petani di Desa Padang Halaban sebaga PKI. Hal ini diperkuat dengan pernyataan Saudara Jean Ari, bahwa: “Secara historis sebenarnya lahan itu milik kakek nenek mereka yang sengaja diusahakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, jadi seharusnya orang-orang di desa yang mengelola lahan seharusnya jauh dari namanya kemiskinan dan kelaparan. Tetapi pada faktanya sekarang, kelaparan dan kemiskinan banyak ditemui di pedesaan, ini dikarenakan petani tidak berdaulat diatas lahan mereka sendiri, mereka tidak mengusahai lahan mereka sendiri, dan mereka menjadi buruh tani karena lahan yang dulunya mereka 71 miliki itu diambil secara paksa oleh perusahaan dengan berbagai macam, baik itu penggusuran, pengambilan surat-surat penguasaan lahan yang dulunya melalui tangan-tangan pemerintah, seperti kepala desa, camat, dan lainnya dan jika seandainya mereka tidak mau bekerja sama maka mereka akan dicap dan diangggap sebagai PKI. Inilah hal yang paling nyata dan konkrit terjadi seperti penggusuran atau pengusiran petani secara paksa dari lahannya.” 46 “Bentuk pewacanaan bahwasanya petani tidak mau bekerja sama dengan pemerintahan, yaitu dikatakan sebagai PKI, penghianat dan petani menjadi objek kekerasan. Yang menjadi pilihan dari petani yaitu mau atau tidak mau, jika tidak mau bekerja sama dengan orang-orang baru yang hadir di tengah-tengah mereka, mereka harus menerima konsekuensinya, baik itu dicap sebagai PKI, mereka tidak bisa menguasainya mereka tidak memiliki alasan lain lagi jika masuk kasus tersebut ingin ditindak secara hukumperadilan sementara secara pengelolaan faktanya mereka tidak mengolah lahan lagi dan secara hukumnya mereka tidak memiliki surat-surat lagi, jadi jika masuk kedalam level apapun petani sudah salah dan dikondisikan untuk kalah. Dan hal inilah yang umum berlaku dilakukan secara paksa penggusuran lahan tersebut terkait dengan konflik agrarian antara petani dengan pihak perkebunan khususnya terjadi di daerah Sumatera Utara. HGU juga sering salah tafsir dan disengaja sehingga masalah dokumentasi dan surat menyurat oleh negara tidak pernah kita tahu sampai sejauh mana secara konkrit bats-batas sebenarnya HGU di lapangan yang sesungguhnya tersebut dan hal inilah yang menyebabkan banyak kasus terjadi, terutama pada anggota SPI di mana Perkebunan atau peusahaan mengklaim tanah atau lahan petani dimana secara surat-menyurat sebenarnya lahan itu tidak termasuk dalam pengelolaan perkebunan atau perusahaan. Dan ketika masyarakat mengklaim bahwa tanah itu miliknya, maka masyarakat harus berhadapan dengan tindakan kekerasan dan berhadapan dengan kekuatan negara.” Kemudian, Saudara Jean Ari melanjutkan kembali, bahwa: 47 46 Wawancara dengan Saudara Jean Ari Hasibuan di Sekretariat Serikat Petani Indonesia Sumatera Utara, yang dilakukan pada 9 Februari 2014 47 Ibid 72 Dengan adanya untutan rakyat ini negara justru mengeluarkan Hak Guna Usaha HGU sehingga ujung dari konflik ini negara lebih memilih jalan-jalan kekerasan yang merupakan benruk pelanggaran terhadap petani seperti hak atas hidup, hak atas pekerjaan, hak untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan hak untuk mendapatkan kepastian hukum dan setara dihadapan hukum. Beberapa peristiwa pada kronologi okupasi yang telah peneliti paparkan sebelumnya bahwa semacam adanya penggusuran terhadap petani maka negara melalui aparat keamanan tidak mengantisipasi saat okupasi terjadi, aparat keamanan malah membiarkan okupasi itu terjadi seperti kejadian pada tanggal 2 Juni 2013 lalu yang menerangkan bahwa pihak kepolisian gagal bernegoisasi dengan pihak PT. Smart Cooporaion,Tbk untuk melerai mereka agar tidak melakukan okupasi dan penyerangan terhadap masyarakat. Arti dalam kata bernegoisasi yang dilakukan oleh PT. Smart Cooporation,Tbk dengan pihak kepolisian seempat bahwa polisi sudah mengetahui pihak PT. Smart Cooporation,Tbk sudah merencanakan akan mengadakan okupasi di area lahan Desa Padang Halaban, seharusnya dengan mengetahui hal ini polisi sebagai pihak keamanan dapat mencegah agar kejadian ini tidak terjadi tetapi faktanya di lapangan polisi melakukan pembiaran konflik ini terjadi sehingga berujung pada korban luka dan korban penangkapan kepada pihak petani. Akibat kejadian ini pihak petani yang menanggung segala akibatnya sedangkan pihak PT. Smart Cooporation, Tbk yang memulai okupasi ini tidak mendapatkan hukuman apapun dari pihak kepolisian. Sehingga bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia kepada pihak petani untuk mendapatkan hak setara di depan hukum itu tidak ada dan 73 bentuk pelanggaran terhadap rasa aman yang seharusnya diciptakan oleh pihak kepolisian kepada kedua belah pihak yang terjadi hanya pihak kepolisian hanya memihak kepada satu sisi yaitu pihak PT. Smart Cooporation, Tbk. Paska dari bentrok pada 2 Juni 2012 lalu bahwa proses penangkapan polisi yang diindikasikan melalui tindakan pelanggaran Hak Asasi Manusia terhadap petani Padang Halaban diman pihak kepolisian melakukan penagkapan idak sesuai dengan procedural penangkapan. Pihak kepolisian tidak mempunyai surat penangkapan sesuai dengan prosedur penangkapan sehingga membuat masyarakat di Desa Padang Halaban merasa cemas dan tidak mendapat perlindungan hukum. Seharusnya aparat melindungi masyarakat teapi faktanya tidak. Adanya kontroversi ini bahwa PT. Smart Cooporation,Tbk yang melakukan okupasi berujung pada penyerangan dan penangkapan petani. Tentu terjadinya penangkapan ini merupakan upaya-upaya penegakan hukum yang tidak setara pada prakteknya sehingga diindikasikan tidak adanya Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintah rights of legal equality. Begitu juga dalam Hak Asasi Manusia untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan procedural rights, seperti peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan dan sebagainya. Para petani tidak mendapatkan hak ini, ini dikarenakan proses-proses penangkapan yang tidak menggunakan surat penangkapan, proses penggeledahan rumah petani yang tidak memiliki surat resmi untuk melakukan penggeledahan sehingga penggeledahan secara paksa dan tindak kekerasan mengakibatkan trauma yang cukup mendalam yang dialamioleh pihak petani Padang Hlaban, mereka seakan- 74 akan diibaratkan teroris yang sudah melakukan pelanggaran berat tetapi pada faktanya bukan petani yang memulai okupasi ini malah pihak PT. Smart Cooporation, Tbk. Begitu juga dengan tindak pemukulan yang dilakukan oleh pihak kepolisian kepada para petani dan pemaksaan untuk mengakui bahwa pihak petani melakukan dan memulai konflik ini terjadi. Saudara Herdensi dari lembaga yang salah satunya mengusung Hak Asasi Manusia , yaitu KONTRAS mengatakan bahwa konflik agraria iu muncul akibat dari kesalahan pemerintah, yaitu: 1. Kesalahan pemerintah dalam mengatur administrasi pertanahan Indonesia masalah Hak Guna Usaha. 2. Pemerintah tidak sesegera mungkin mencari alternatif dalam penyelesaian konflik agrarian, oleh karena itu berkonflik agraria akan terus muncul dengan eskalasi yang terus meningkat. Pemerintah tidak memberikan solusi yang berarti kepada petani, sehingga pelanggaran HAM ini ada muncul menjadi 2 level, yaitu pemerintah yang melakukan dan pemerintah yang membiarkan. Dalam konflik agraria pemerintah melakukan dua hal ini, mereka secara langsung melakukan tindak pelanggaran HAM, dan pemerintah membiarkan hak mereka diciderai oleh adanya pihak keiga, yaitu pengusaha. 48 48 Wawancara dengan Saudara Herdensi di Sekretariat KONTRAS SU, yang dilakukan pada 2 Februari 2013 75 Jelas bahwa kesalahan pemerintah dalam meletakkan Hak Guna Usaha disini sanga semrawut dan membiarkan masyarakat tidak terinformasi dengan baik dan adanya perampasan yang dilakukan dang anti rugi yang tidak terselesaikan dengan baik ini akan terus menjadi permasalahan antara petani dan pihak perkebunan tanpa adanya penyelesaian yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah tidak berusaha untuk membantu dan mencari alternative lain dalam meminimalisir konflik agraria terutama konflik agraria di Desa Padang Halaban, sehingga petani yang menjadi korban atas segala yang terjadi atas konflik yang terjadi dan pihak petanilah yang selalu disalahkan juga, tidak diberikannya alat produksi kepada petani dan tindak kekerasan merupakan bentuk pelanggaran HAM kepada pihak petani yang sangat merugikan petani sendiri karena kita tahu sendiri bahwa Indonesia merupakan negara agraris dan mayoritas penduduk bermata pencaharian sebagai peani sehingga petani sendiri harus dianggap sebagai pekerjaan utama di Indonesia dan bukan sebagai pekerjaan sampingan, terlebih lagi tindak kekerasan yang dialami oleh petani dan pengokupasian yang dilakukan oleh pihak perkebunan kepada masyarakat petani di Desa Padang Halaban namun tidak ada itikad baik dari pemerintah sendiri untuk mentyelesaikan ini meskipun sudah ada Undang-undang yang mengatur dalam tindak pelanggaran Hak Asasi Manusia tetapi tetap saja petani diabaikan baik itu dalam memperoleh hak di bidang ekonomi, sosial, budaya maupun sipil dan politik seperti terdapat dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya dan Undang-undang No. 12 Tahun 2005 Rtifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik sebagai salah satu instrument HAM Internasional yang paling penting dan merupakan induk dari 76 seluruh instrument lainnya. Dimana jelas bahwa Undang-undang ini tidak dijalankan dengan baik oleh pemerintah sendiri sebab jika Undang-undangini dijalankan dengan baik oleh pemerintah sendiri maka pemerintah harus melakukan yang bertentangan dengan Undang-undang ini yaitu: a Mencabut Undang-undang yang bertentangan dengan Kovenan Interbasional tentang Hak- hak Ekonomi, Sosial, Budaya, seperti Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman modal baik iu Penanaman Modal Asing maupun Penanaan Modal Dalam Negeri yang kini telah diubah menjadi Undang-undang No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, Undang-undang No. 18 Tahun 2004 Tentang Perkebunan. Karena jelas bahwa jika masih adanya Undang-undang seperti itu merupakan awal dari bentuk kapitalistik yang masuk sehingga Undang-undang Pokok Agraria sebagai Undang-undang yang memerdekakan petani tidaklah lagi berlaku di Indonesia seiring perubahan regim kekuasaan pemerintahan dan undang-undang turunan dari Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 pun tidak ada. b Pemerintah seharusnya selain mencabut UU yang bertentangan terhadap hak ekonomi, sosial,budaya maupun sipil dan politik tersebut pemerinah juga seharusnya melakukan kajian secara komprehensif tentang bagaimana melakukan penyelesaian konflik agraria. Dalam lingkup pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pemerintah soal konflik agraria HAM dalam undang-undang No. 12 Tahun 2005 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik maka jelas petani tidak dianggap sama di depan hukum, petani sering dihukum tidak sesuai dengan apa yang mereka lakukan dan dalam undang-undang No. 11 Tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, Budaya 77 membuktikan bahwa akses tani terhadap tanah yang notabene sebagai alat produksi itu ditutup. Dimana okupasi lahan yang dilakukan oleh Perkebunan PT. Smart Cooporation sebanyak tiga kali dan berujung pada tindakan kekerasan, kriminalisasi dan 60 orang masyarakat petani di Desa Padang Halaban. Berikut akan dijelaskan kronologi okupasi yang dilakukan oleh pihak PT. Smart Cooporation berdasarkan hasil dari wawancara yang peneliti lakukan kepada bapak Suratmin selaku ketua dari kelompok masyarakat petani “Serikat Tani Padang Halaban” yang mengatakan bahwa: “Pada tahun 1997-1998 dengan adanya masuk ke areal lapangan yang waktu itu ada pemberitahuan dari pemerinahan sampai ke pusat saat itu.Sebetulnya masyarakat pada waktu itu karena adanya reformasi juga mengambil lahan kembali karena hak-hak kita diambil juga dulu secara paksa.” 49 49 Wawancara dengan bapak Suratmin selaku Ketua ” Serikat Tani Padang Halaban” di Posko STPHL, yang dilakukan pada 21 januari 2014 Dengan adanya gelombang reformasi pada masa itu maka masyarakat petani di Desa Padang Halaban melanjutkan perjuangan atas penguasaan lahan karena pada masa rezim sebelumnya lahan petani sudah diambil secara paksa oleh pemerintah dan perusahaan sehingga adanya tekad yang bulat pada rakyat untuk mengambil lahan iu kembali dengan melakukan reklaming seluas 83 Ha lahan perkebunan sawit dan melakukan penanaman jagung, padi, cabai, dan tumbuhan jenis lainnya. 78 Tetapi pihak PT. Smart Cooporaion. Tbk, yaitu Bapak Syahnal selaku Humas mengatakan bahwa: “Sejarah awal mulanya konflik bahwa ahun 1999 sebelum berakhirnya seluruhnya Hak Guna Usaha HGU PT. Smart Cooporation, dimana kami dari PT. Smart Cooporation memohon kepada gubernur pada saat itu untuk memperpanjang areal HGU PT. Smart Cooporation, Tbk di Kabupaten Labuhan Batu. Di karenakan adanya permohonan tersebut, gubernur membentuk tim D Plus ini dikarenakan HGU PT. Smart Cooporation berakhir pada tahun 1997 dan 1998, dimana tugas dari tim D plus ini adalah meneliti,mengidentifikasi, menginvertarisasi, seluruh persoalan pertanahan. Seiring dengan berjalannya waktu, ternyata hasil yang diterima oleh gubernur hanya merekomendasikan tanah untuk perpanjangan HGU seluas ± 3.000 Ha. Surat gubernur tadi dituangkanlah kedalam SK No. 42, 43, 44HGUBPN2002 pada sekitar bualan februari 2002 yang menerangkan ada Diktum 3 dan 4 bahwa menjadi milik negara yang pendistribusiannya, pemanfaatannya, dsb dilakukan oleh gubernur Sumatera Utara setelah memperoleh izin dari kementerian yang berwenang. PT. Smart Cooporation pada saat itu mengganggapS kementerian yang berwenang adalah kementerian BUMN pada saat itu dictum 3 dan 4 berlaku untuk tanah sektar 3.000 Ha. 50 “Saat itu terjadi tidak ada pelarangan dari pihak pemerintah provinsi maupun pemerintah daerah karena adanya instruksi dari presiden akibat masa perekonomian yang kurang baik sehingga Oleh kerena itu tahun 1997-1998 tidak ada pelarangan dari pihak pemerintah terhadap pihak P.T Smart Cooporation karena adanya instruksi dari presiden akibat masa perekonomian yang kurang baik sehingga diperbolehkan unuk menguasai lahan tersebut dan dikeluarkannya sura pada saat itu oleh gubernur mengatakan bahwa dilarang melakukan okupasi pada daerah tersebut. Berikut ditambahkan oleh bapak Suratmin bahwa: 50 Wawancara dengan Bapak Syahnal pada bagian HUMAS Di Kantor PT. Smart Cooporation yang dilakukan pada 23 Januari 2014 79 diperbolehkan untuk menguasai lahan dan dikeluarkannya surat pada saat itu oleh gubernur, saya lupa suratnya nomor berapa, yang mana itu isinya bahwa dilarang melakukan okupasi pada daerah tersebut. Tetapi menjelang pada akhir tahun 2000 terjadilah okupasi besar-besaran oleh pihak P.T Smart Cooporation memasuki areal pertanian karena kedatangan sekitar 1000 orang karyawan P.T Smart Cooporation dengan menggunakan 50 unit truk untuk pengokupasian ditambah 50 orang anggota brimob yang tidak menggunakan seragam brimob hanya menggunakan kaos Brimob tidak beserta nama dan pangka jabatan. Sehingga terjadilah bentrokfisik pada saat itu dimana kami para petani bertahan dengan 200 orang dan berhadapan langsung dengan pasukan Brimob bukan dengan Karyawan P.T Smart Cooporation, sehingga mengakibatkan 6 orang masyarakat tertembak dan padi, jagung, dan tanaman palawija yang sudah ditanami dirusak dan dihancurkan oleh karyawan P.T Smar Cooporation sehingga kami belum sempat memanen hasil panen tanaman yang kami tanam . 51 Tetapi menjelang akhir ahun 2000 terjadilah okupasi besar-besaran oleh pihak P.T Smart Cooporaion dan memasuki areal lahan Desa Padang Halaban dan tindakan itu diperkuat dengan kedatangan karyawan P.T Smart Cooporation dengan alasan untuk mengamankan aset negara. Namun ironinya pada masa itu tidak ada pemberitahuan sebelumnya kepada pihak petani yang ada hanya sebuah surat yang ditunjukkan bahwa akan dilakukan pembersihan areal untuk dan anggota brimob untuk melakukan pembersihan areal untuk mengamankan aset negara, sehingga P.T Smart Cooporation mendatang sekitar 1000 orang karyawan dengan menggunakan 50 unit truk untuk pengokupasian yang dibantu 50 orang anggota Brimob yang tidak menggunakan seragam Brimob hanya menggunakan kaos Brimob tidak beserta nama dan jabatan. Melihat kondisi tersebut pihak kepolisianBrimob tidak melakukan upaya untuk menghindarkan agar tidak terjadi 51 Wawancara dengan Bapak Suratmin selaku Ketua Kelompok Masyarakat Petani “Serikat Tani Padang Halaban” di rumahnya, yang dilakukan 21 Januari 2014 80 benrok. Alhasil, terjadilah bentrok fisik pada saat itu dimana kaum tani bertahan dengan 200 orang bahkan Brimob ikut sera melakukan tindakan kekerasan kepada petani sehingga mengakibatkan 6 orang masyarakat petani tertembak. Tanaman yang ditanam petani seperti padi, jagung, dan palawija dirusak dan dihancurkan oleh karyawan P.T Smart Cooporation sehingga masyarakat petani belum sempat memanen hasil panen tanaman yang mereka tanam tersebut. Dimana Bapak Suratmin selaku ketua kelompok dari masyarakat petani “Serikat Tani Padang Halaban” berhadapan langsung di depan untuk melawan pihak P.T Smart Cooporation. Dengan adanya penembakan kepada 6 orang masyarakat petani, maka mereka mencoba melaporkan kepada pihak kepolisisan, tetapi pihak polisi hanya menanggapipihakpetani dengan mengatakan hal ini wajar dalam perjuangan, oleh karena tidak merasa ada dukungan dari pihak kepolisian pihak petani juga menganggap itu selesai. P.T Smart Cooporation melalui Bapak Syahnal menambahkan kembali: “…kemudian terbit SK No. 42, 43, 44HGUBPN2002 pada sekitar bulan februari 2002 yang menerangkan ada Diktum 3 dan 4 bahwa menjadi milik negara yang pendistribusiannya, pemanfaatannya, dsb dilakukan oleh gubernur Sumatera Utara setelah memperoleh izin dari kementerian yang berwenang. Dari areal-areal tersebut yang tidak diperpanjang, P.T Smart Cooporation mesertifikasi HGU nya, terkhusus areal yang ada di daerah desa Padang Halaban adalah 100 diberi HGU oleh BPN Sumatera Utara kepada P.T Smart Cooporartion. Luas lahan P.T Smart menjadi 3000 Ha dengan sertifikasi HGU 92Padang Halaban2001.Berdasarkan penguasaan ini pihak P.T Smart Cooporation melakukan penanaman kelapa sawit, tetapi kelompok ini tidak terinformasi. Selain itu amat disayangkan tindakan dari petani yang melakukan peracunan terhadap pohon-pohon sawit yang sudah siap 81 panen,dan berdirinya bangunan-bangunan liar di tengah- tengah perkebunann sawit yang notabene masih termasuk lahan P.T Smart Cooporation”. 52 “Kami tidak bias menunjukkan HGU itu kepada saudara karena sertifikat HGU ini disimpan jauh dan butuh waktu lama dan perlu koodinasi dengan bagian lainnya untuk mengambil HGU ini lagian mempunyai kepentingan untuk melihat Surat Hak Guna Usaha tersebut.” Adanya Hak Guna Usaha No.92Padang Halaban 2001 peneliti mencoba meminta untuk melihatt HGU yang bernomor 92Padang Halaban2001 tersebut. Tetapi pihak P.T Smart Cooporation tidak memperbolehkan peneliti untuk melihat itu dengan alasan sebagai berikut yang diungkapkan Bapak Syahnal saat wawancara: 53 “Sertifikatt HGU Padang Halaban No.922001 itu sifanya membodoh-bodohi rakyat.Kan gak ada wewenang BPN tingkat II mengeluarkan Hak Guna Usaha. HGU iu harus dikeluarkan BPN Pusat, bukan BPN Tingkat II. Itu semua rekayasa karena perlu diketahui bahwa saat itu ada surat dari KAKANWIL Badan Pertanahan Nasional BPN Tingkat II Sumatera Utara yang isinya menyatakan bahwa instruksi pelarangan pengukuran kepada Kepala Kantor BPN Kabupaten dan Kota, dan ada lagi surat yang terbit menyatakan kalau tidak dibenarkan membuatmengeluarkan sertifikat HGU di atas tanah seluas 10 Ha kea atas, tapi kok malah terbit HGU No. 922001 ini, kan ini sudah melanggar isi surat itu. Karena itulah pada waktu itu kami membuat surat permohonan agar HGU No. 922001 ini ditindaklanjuti kebenaran dari HGU Akibat dari alasan P.T Smart Cooporation kepada peneliti, maka peneliti mencoba menanyakan soal HGU ini kepada pihak petani dan ternyata, Bapak Suratmin mengatakan dalam wawancara bahwa: 52 Wawancara dengan Bapak Syahnal pada bagian HUMAS, dikantor PT. Smart Cooporattion, yang dilakukan pada 23 Januari 2014 53 Ibid 82 No. 922001 ini. Sertifikat ini memang sah dan asli tapi apa ada hukumnya mengeluarkan surat itu? Sementara KAKANWIL bilang tidak boleh ngukur di atas 10 Ha, tapi dia kok ngukurnya sampai 3000 Ha.Kan sudah jelas itu ada yang tidak benar dalam pengurusan HGU ini. Kepala Kantor BPN Kabupaten Labura seharusnya sudah tahu ini kok malah dikeluarkan HGU ini, Kan dia tidak ada hak nya mengukur tanah itu. Lagipula saya lihat Sertifikat HGU No. 922001 itu, berdasarkan kapan diukur dan saksinya kan tidak ada.” 54 “Persis pada tanggal 12 April 2013 kami menanam pisang dan membuat gubuk sebgai posko, ditanamlah pisang, dan kemudian pada sekitar siang hari datanglah pihak P.T Smart mau menebangimengokupasi lahan yang sudah ditanam.” Berdasarkan pernyataan dari bapak Solan sebagai anggota dari Kelompok Tani “Serikat Tani Padang Halaban” yang mengatakan bahwa: 55 “Pada tanggal 12 April petani kembali bentrok dengan pihak P.T Smart. Dimana kami pada tanggal 11 April 2013 di sore hari mulai menanami pisang di areal lahan tanpa merusak tanaman kelapa sawit yang P.T Smart tanam. Sehubungan dengan info yang diterima petani dari surat pemberitahuan perintah setempat yaitu kecamatan Aek kuo dan pada tanggal 12 April 2013 kami tetap melanjutkan kembali penanaman di areal lahan dan tepat pada siang hari pihak P.T Smart memasuki areal lahan garapan dengan 3 unit mobil kenderaan dan massa sebanyak 10 orang dan terjadilah ledakan senjata di daerah tersebut.” Hal ini diperkuat Bapak Ngatimin sebagai anggota dari Kelompok Tani “Serikat Tani Padang Halaban” menjelaskan: 56 54 Wawancara dengan Bapak Suratmin selaku Ketua Kelompok Masyarakat Petani “Serikat Tani Padang Halaban” di Posko STPHL, yang dilakukan pada 21 Januari 2014 55 Wawancara dengan Bapak Solan sebagai anggota dari Kelompok Tani “Serikat Tani Padang Halaban” di Posko STPHL, yang dilakukan pada 21 Januari 2014 56 Wawancara dengan Bapak Ngatimin sebagai anggota dari kelompok “Serikat Tani Padang Halaban” di Posko STPHL, yang dilakukan pada 21 Januari 2014 83 Bapak Ngatimin salah satu anggota masyaraka petani segera melihat kejadian tersebut dan ternyata pisang-pisang yang petani tanam dihancurkan oleh pihak P.T Smart, beliau mengatakan sebagai berikut: “Saya lihat tanaman yang sudah kami tanam itu dihancurkan sama P.T Smart. Kami geram, tapi kami tidak melawan P.T Smart.Tetapi situasi terbalik, P.T Smart yang merasa tidak digubris akan kedatangannya dan menantang kami supaya mau berhadapan dengan mereka.” 57 57 Ibid Melihat perlakuan oleh pihak P.T Smart, masyarakat geram dan segera berdatangan ke lokasi dan berusaha untuk mengusir pihak P.T Smart, tetapi dengan melihat petani yang bermunculan, pihak P.T Smart mengancam petani untuk melawan mereka, tetapi dengan adanya Koramil dan Babinsa kecamatan Aek Kuo yang menyuruh agar pihak PT. Smart untuk mundur tetapi pihak PT. Smart tidak mengindahkan peringaan itu dan tetap tidak mundur juga sehingga pada saat itu juga terjadi pelemparan batu yang dilakukan pihak petani mengakibakan kaca pada 3 unit mobil tersebut pecah akibat dari kejadian ini barulah pihak PT.Smart pergi meninggalkan tempa kejadian, alat dan barang bukti disita oleh petugas Aek Kuo. Tetapi selang beberapa hari kemudian, pihak PT. Smart melakukan penyerangan kepada pihak perorangan anggota petani. Puncak dari bentrok yang selama ini terjadi dan yang tidak memiliki benang merah, yaitu pada tanggal 2 Juni 2012. Bapak Syahnal menambahkan lagi: 84 “ Kami tidak merasa kalau kami berseteru dengan petani, tutur bapak Syahnal, tetapi pihak kelompok tani yang menyerobot tanah ini dikarenakan masyarakat yang tidak terinformasi missed information dengan baik dan benar. Masyarakat etap merasa tanah ini eks HGU dan kelompok tani yang yang berhak. Areal tersebut merupakan areal PT. Smart yang diberikan perpanjangan HGU oleh BPN SU sehingga erjadilah gesekan-gesekan anara masyarakat petani di desa tersebut dengan PT. Smart, dan gesekan ini berpuncak pada tanggal 2 Juni 2012 lalu yang dimana beberapa truk dibakar, karyawan masuk rumah sakit, bisa dikatakan bahwa pemerintah yang diharapkan sebagai mediator tidak ada, pihak PT.Smart merasa tidak ingin dipihaki tetapi melihat kondisi saat itu kami ingin membersihkan areal kami, tetapi pihak koramil menyuruh kami untuk mundur dari areal kami. 58 “Pihak PT. Smart mengumpulkan sebanyak 4 peleton atau sekitar 200personil, berdasarkan pengamatan polisi yang datang ke lokasi merupakan gabungan polisi dari Polres Labuhan Batu, Polsek Aek Natas, Polsek Merbau, Polsek Kota Batu dan Brimob Tanjung Balai. Untuk Brimob yang masuk ke lahan sengketa mendapatkan perintah langsung dari Bupati Labura Kharudinsyah Sitorus atau Haji Buyung. Aparat polisi datang membawa senjata laras panjang dan senjata tajam berupa Samurai.untuk ikut serta melakukan okupasi dan memaksa masuk ke lahan sengketa.Dan mereka tanpa mengindahkan keberadaan puluhan warga di lahan. Sementara itu kebanyakan kami sedang berada di lading masing-masing dan pada saat itu juga petani melihat banyak mobil kepolisian berlalu lalang di areal perladangan. Tiba-tiba mobil kepolisian tersebut melintangi badan jalan dan beberapa saat kemudian mobil tersebut berbalik arah ke perladangan petani dan menyebabkan para petani heran akan sikap kepolisian sehingga kami Tanya kepada pihak kepolisian mengapa mereka berbalik arah lagi dan polisi menjawab bahwa pihak kepolisian gagal bernegosiasi dengan pihak ” Berdasarkan dari wawancara dengan Bapak Suratmin selaku ketua kelompok tani “ Serikat Petani Padang Halaban” mengatakan bahwa: 58 Wawancara dengan Bapak Syahnal pada bagian HUMAS di kantor PT. Smart Cooporation, yang dilakukan pada 23 Januari 2014 85 PT.SMART untuk melerai PT. SMART agar tidak melakukan okupasi dan penyerangan terhadap masyarakat.” 59 “Dengan adanya kejadian pada tanggal 2 juni 2012 lalu bahwa pihak kepolisian mengamankan karyawan PT. SMART yang mencangkul dan membawa alat-alat untuk membersihkan lahan tersebut, dan polisi melucuti senjata PT. SMART dan polisi ikut mundur dengan PT. Smart. Kami hanya berjumlah 100 orang dan kalah dengan pihak kelompok tani yang hanya berjumlah sekitar 80 orang. Kami dating dengan tangan kosong tetapi pihak kelompok tani membawa senjata ke wilyah okupasi, mereka tahu bahwa PT. SMART akan datang.” Namun berbeda pernyataan yang disampaikan oleh pihak PT.SMART yang mengatakan bahwa: 60 oleh puluhan pertani. Kedatangan ribuan massa yang dilengkapi dengan senjata tajam membuat puluhan dari petani yang tinggal disekitar lahan sengketa melakukan penghadangan. Sebelumnya antara rombongan truk keamanan kebun dan petani dihadang oleh ratusan polisi, namun tiba-tiba rombongan massa dari perkebunan merangsek maju, sementara pihak kepolisian malah mundur ke belakang barisan massa dari pihak perkebunan dengan sengaja dibiarkan oleh polisi yang sudah ada dilokasi kejadian. Puluhan petani yang melihat situasi Ternyata sebelum rmasyarakat sempat terlebih dahulu ke tempat lokasi pihak kepolisian sudah berada di tempat lokasi perladangan. Pihak PT. SMART berencana untuk melakukan okupasi di atas lahan yng sudah di tanami dan dijaga 59 Wawancara dengan Bapak Suratmin selaku Ketua Kelompok Masyarakat Petani “Serikat Tani Padang Halaban” di Posko STPHL, yang dilakukan pada 21 Januari 2014 60 Wawancara dengan Bapak Syahnal pada bagian HUMAS di kantor PT. Smart Cooporation, yang dilakukan pada 23 Januari 2014 86 tersebut urut merangsek maju melakukan penghadangan agar rombongan truk yang membawa massa dari perkebunan tidak melakukan pengrusakan terhadap tanaman petani. Akibat dari bentrokan tersebut, 5 orang pihak masyarakat terluka dan 3 mobil truk pihak PT. SMART terbakar.Setelah terjadinya bentrokan tersebut barulah pihak kepolisian melepaskan tembakan untuk menyuruh mundur antara kedua belah pihak. Kemudian pada 3 Juni 2012 berselang satu hari kejadian tersebut, menurut pengakuan Bapak Suratmin mengatakan bahwa : “ Pihak kepolisian melakukan penangkapan terhadap 6 orang pihak petani, dengan alasan untuk mendapatkan pengarahan, tapi kok kami dikawal polisi sampai banyak mobil yang ngawal dibelakang kami waktu perjalanan piker saya gitu. Semacam udah anek gerak- gerak polisi ini.Kok udah macam teroris kami dibuat. Sampai disana setelah kami dimintai keterangan, dan dimintai pertanggungjawaban atas kejadian yang lalu tersebut, trus kami disuruh tanda tangani surat penahanan, kami bingung dan gak tahu lagi harus gimana ya sudah kami tanda tangani surat itu.” 61 1. Bapak Adi Suma Tetapi sesampai di sana,pihak petani dimintai keterangan. Dari sinilah pihak petani merasa ditipu dan dipaksa menandatangani surat penahanan mereka. Oleh dari itu, Bapak Suratmin langsung dibawa ke polres Rantau Prapat. Selain itu pihak kepolisian juga menahan dua orang anggota petani, yaitu: 2. Bapak Rambe Dimana proses penangkapan ketiga petani ini digunakan dengan menggunakan kekerasan. Rumah dari ketiga anggota tani tersebut digeledah, dan 61 Wawancara dengan Bapak Suratmin selaku Ketua Kelompok Masyarakat Petani “Serikat Tani Padang Halaban” di Posko STPHL, yang dilakukan pada 21 Januari 2014 87 dibongkar dengan paksa dan kasar untuk menemukan barang bukti dari kejadian pada tanggal 2 Juni 2012.Kejadian ini mengakibatkan trauma yang mendalam bagi anggota keluarga masing-masing seakan-akan anggota keluarga mereka diibarakan teroris dengan kedatangan polisi yang berjumlah banyak ke rumah mereka dan membongkar paksa rumah mereka. Setelah pembongkaran rumah, dibawalah ketiga anggota tani ke Polres Rantau Prapat guna untuk dimintai keterangan, selama berada di Polres Rantau Prapat berdasarkan keterangan Bapak Suratmin mengatakan bahwa: “Selama penangkapan dan dibawa ke polres Rantau Prapat kami dipukul sama polisi yang disana, kami disuruh makan, tapi saat makan kaki kami dipukul-pukul dengan senjata aparat, sampai wajah Bapak Adi Suma diludahi sama polisi-polisi itu. Sebelum kami kesini juga rumah kami digeledah dengan sembarangan, banyak polisi yang dating mengepung rumah kami, macam teroris kami dibuat.Anak saya nangis-nangis karena ini dan ini membuat keluarga kami tidak tahu harusberbuat apa-apa, mental kami jatuh dibuat para polisi-polisi ini.Kami juga dipaksa mengakui kami dalang dari okupasi kemarin itu dan sampai memaksa menandatangani surat penahanan.” 62 62 Wawancara dengan Bapak Suratmin selaku Ketua Kelompok Masyarakat Petani “Serikat Tani Padang Halaban” di Posko STPHL, yang dilakukan pada 21 Januari 2014 Para petani yang ditangkap ini mendapat tindak kekerasan, seperti dipukul, dianiaya dan dipaksa mengakui bahwa mereka penyebab dari bentrokan atau keributan yang terjadi pada 2 Juni 2012 lalu.Mereka diperlakukan bukan seperti manusia. Peneliti juga meminta tanggapan dari pihak PT. SMART terkait para petani yang ditangkap dan PT. SMART mengatakan sebagai berikut: 88 “Tentang berujungnya penangkapan inim pemerintah seharusnya sudah saatnya ikut campur tangan dalam menyelesaikan masalah ini dan untuk menghindari nanti akan menjadi bom waktu di tengah-tengah masyarakat. Dan pada saat ini Gubernur Sumatera Utara, yaitu Bapak Gatot Pujo Nugroho sedang membentuk tim rekonstruksi, dan menurut PT. SMART ini mungkin salah satu jalan keluar untuk mendudukkan mana HGU dan eks HGU yang beranggotakan seluruh kelompok tani, PT. SMART, Kanwil BPN, dan PemprovSU, untuk melakukan rekonsruksi areal. Mereka hanya mengidentifikasi dan tidak memutuskan kepada siapa areal tersebut berpihak. PT.SMART mengatakan bahwa dalam berujungnya penangkapan kepada masyarakat petani memang sudah sewajarnya polisi menankap petani, karena PT. SMART sebagai korban, selain itu PT. SMART merasa mempunyai hak atas tanah tersebut. Kalau tadi posisi antara petani dan PT. SMART sama-sama memasuki areal eks HGU, mungkin polisi mengatakan untuk melakukan konseling antara kedua belah pihak ini. Tetapi pada kenyataannya tidak dilakukan konseling, yang dilakukan adalah penangkapan kepada petani karena PT. SMART yang sah terhadap tanah yang ada di Padang Halaban dan pihak PT. SMART mengatakan bahwa penangkapan ini seharusnya sudah sejak lama dilakukan, yaitu sejak dilaporkan adanya pihak penggarap yang memasuki areal PT. SMART, tetapi terlambat baru sekarang dilakukan walaupun begitu diberilah apresiasi kepada polisi.” 63 “Bentuk usaha yang dilakukan PT. SMART untuk menangani konflik ini seperti : a surat menyurat, b peringatan-peringaan, c dilakukan konseling di DPRD, d konseling di polisi, dan e pada ujungnya ke pengadilan untuk membuat laporan-laporan, tetapi apa yang diharapkan oleh PT. SMART tidak tercapai sehingga persoalan tanggal 2 Juni 2012 menjadi puncak dari usaha yang tidak mendapat titik temu. Begitu banyak konflik yang bertikai dengan mengarahkan solusinya kepada hukum, ini dikarenakan pihak PT. SMART sudah ada merasakan tindak Dalam menangani untuk penyelesaian konflik ini pihak PT. SMART mengatakan sudah melakukan yang terbaik, begini ungkapan Bapak Syahnal : 63 Wawancara dengan Bapak Syahnal pada bagian HUMAS di kantor PT. Smart Cooporation, yang dilakukan pada 23 Januari 2014 89 hukum yang pada tanggal 2 Juni 2012 lalu. Petani akan tetap miskin tetapi dibalik itu semua mereka ada investor besar dibelakangnya agar mereka bias bergerak. Oleh karena itu petani akan selalu tetap termarginalkan. Dan siklus ini akan terus begitu terus.” 64 “ Jalan administrasi sudah kami tempuh, surat-menyurat sudah kami lakukan, bahkan kami sudah melakukan aksi turun ke jalan. Kami tidak pernah menyerang PT. SMART, tapi kami yang terus dihantam, dirusak tanaman yang sudah kami tanam, kami dipenjara.Saya rela dipenjara demi memperjuangkan tanah ini. Polisi sudah mencoba untuk melakukan agar duduk sama untuk menyelesaikan masalah ini, tapi toh kami PT. SMART yang tidak hadir. Gimana masalah ini bias selesai.Tidak ada orang dibalik perjuangan kami ini.Kalau ada orang dibalik ini ngapain saya dan kawan-kawan sampai segitunya berjuang. Lagipula kalau kita melihat dalam surat keputusan Gubernur saat itu No. 225, kan udah jelas dinyatakan, tapi yah realisasi tanahnya ini yang gak ada, selain itu Alas Hak kami berjuang jelas ada. Kami sudah menempuh jalan terbaik agar suara kami didengar, agar hak kami diberikan sebagaimana seharusnyalah.” Begitu juga harapan petani dalam penyelesaian permasalahan konflik ini, Bapak Suratmin selaku ketua dari Kelompok Tani “ Serikat Tani Padang Halaban” mengatakan bahwa: 65 Dalam menangani penyelesaian konflik ini kedua belah pihak sudah menempuh jalan yang terbaik, baik itu pihak PT. Smart Cooporation, Tbk yang sudah menempuh cara-cara seperti surat-menyurat, peringatan-peringatan bahkan melakukan konseling dengan polisi, tetapi yang pada akhirnya pihak PT. SMART menyerah dalam menyelesaikan kasus kepada jalur hukum. Sedangkan pada pihak masyarakat petani Padang Halaban juga melakukan yang terbaik dan semampu 64 Wawancara dengan Bapak Syahnal pada bagian HUMAS di kantor PT. Smart Cooporation, yang dilakukan pada 23 Januari 2014 65 Wawancara dengan Bapak Suratmin selaku Ketua Kelompok Masyarakat Petani “Serikat Tani Padang Halaban” di Posko STPHL, yang dilakukan pada 21 Januari 2014 90 mereka, mereka rela meskipun mereka yang selalu mendapatkan tekanan dan tindakan represifitas dan mereka juga menegaskan bahwa tidak ada orang dibalik perjuangan mereka dan mereka berharap para petani “ Serikat Petani Padang Halaban” agar tetap solid dalam memperjuangkan tanahnya dan tidak mudah untuk terprovokasi.

3.3 Analisis Cara Penyelesaian Masalah Dilakukan Masyarakat Desa

Dokumen yang terkait

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

1 62 136

Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara)

1 109 111

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 9

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 0 2

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 34

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 1 18

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 5

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

0 0 21

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

0 0 12

Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara)

0 0 12