Latar Belakang Masalah Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Tanah adalah salah satu alat utama bagi manusia untuk memenuhi kebutuhan. Pentingnya arti tanah bagi kehidupan manusia ialah karena kehidupan manusia itu sama sekali tidak dapat dipisahkan dari tanah. Manusia hidup di atas tanah dan memperoleh bahan pangan dengan cara mendayagunakan tanah, seperti bercocok tanam dalam hal faktor produksi dan bias juga digunakan sebagai modal dalam kegiatan perekonomian. Dikarenakan Negara Indonesia Negara agraris, oleh karena itulah tanah merupakan salah satu sumber daya penting bagi masyarakat. Dinamika dalam pembangunan subjek tanah menempati posisi yang khusus sebagai faktor produksi dan merupakan modal yang tidak dapat digantikan, tidak dapat dipindahkan dan tidak dapat direproduksi. Tanah juga merupakan alas tempat tingga, bahkan bagi masyarakat Indonesia yang heterogen, tanah memiliki arti perjuangan kebangsaan sebagaimana tercermin dalam ungkapan “tanah air”. Arti yang beragam dan begitu penting mengenai tanah mengarah pada satu esensi utama yakni tanah untuk kemakmuran rakyat. 1 1 Noer Fauzi, Penghargaan Populisme dan Pembangunan Kapitalisme, Dinamika Politik Agraria Indonesia Pasca Kolonial Dalam Reforma Agraria. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1997, hal. 7. Universitas Sumatera Utara 2 Dengan demikian, tanah merupakan sarana dan kebutuhan yang amat penting bagi kehidupan manusia.Tanah tidak lagi dipandang sebagai masalah agraria semata yang selama ini diidentikkan sebagai pertanian belaka, melainkan telah berkembang baik manfaat maupun kegunaannya, sehingga terjadi dampak negatif yang semakin kompleks, bahkan tanah sering menimbulkan guncangan dalam masyarakat serryta sendatan dalam pelaksanaan pembangunan. 2 Tanah dalam sistem sosial-ekonomi-politik apapun, dianggap sebagai faktor produksi utama. Hal yang membedakan antara sistem yang satu dan sistem lainnya hanyalah bagaimana fungsi, mekanisme pengaturan, dan cara pandang terhadap tana itu sendiri. Dalam sistem feodal, fungsi tanah lebih merupakan symbol statuus kekuasaan bangsawan atau kerajaan.Tanah secara keseluruhan dimiliki kelas bangsawan, sementara petani hanyalah pihak penggarap.Dalam sistem kapitalisme, tanah dan faktor produksi lainnya merupakan mesin pencetak laba, merupakan sesuatu yang dapat mengakumulasikan modal, sementara petani hanya pekerja.Dalam sistem sosialisme, tanah tidak dimiliki secara pribadi, tetapi secara kolektif.Tanah merupakan alat produksi dan hasilnya digunakan secara Selain dari faktor produksi tanah juga menyangkut hal-hal lain dalam aspek yang berbeda yang memiliki arti penting baik itu pada aspek sosial maupun aspek politik.Oleh sebab itu dapat kita simpulkan bahwa tanah tidak semata-mata merupakanmasalah hubungan antara manusia dengan tanah, tetapi lebih dari itu dimana secara normatif merupakan hubungan manusia dengan manusiamakhluk sosial. 2 Salindeho J, Masalah Tanah dalam Pembangunan, Jakarta: Sinar Grafika, 1987,hal. 23. Universitas Sumatera Utara 3 bersama. 3 Akibat dari pentingnya tanah dalam kebutuhan sehari-hari maka kerap adanya kecenderungan terjadi konflik bahwa orang yang memiiliki akan berupaya mempertahankan tanahnya dengan cara apapun bila hak-haknya dilanggar. Oleh karena itu tidak heran bila konflik pertanahan mengundang berbagai bentuk kekerasan, baik individu maupun massal.Adanya konflik sosial yang berkaitan dengan masalah tanahlahan sebenarnya sudah ada sejak zaman feudal, tetapi intensitas permasalahannya tidak seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Adanya istilah patron client yang mengatur hubungan antara petani pemilik lahan luas dengan petani gurem atau buruh tani yang berfungsi sebagai peredam gejolak masalah konflik tanah yang muncul. Begitu pula dalam pendekatan neo populisme, tanah dianggap sebagai sebagai alat produksi yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat petani. Dalam pandangan ini tanah tidak dimiliki atau dikuasai bangsawan, Negara kolektif, atau kelas tuan tanah, tetapi tanah dikuasai secara tersebar olehh sejumlah besar rumah tangga pertanian. Dalam sistem-sistem tersebut, tanah mempunyai nilai strategis, walaupun memiliki fungsi berbeda-beda. 4 Kata “konflik” menurut Kamus Ilmiah Populer adalah pertentanggan, pertiikaian, persengketaan, dan perselisihan. 5 Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan dengan pertentangan, percekcokan. 6 3 Arief Budiman, Fungsi Tanah dalam Kapitalisme, Dalam Jurnal Aanalisis Sosial: Penerbit Yayasan Akatiga, Edisi 3Juli 1996, hal. 14 dalam bentuk PDF. 4 Heru Nugroho, Negara, Pasar, dan Keadilan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 2001, hal. 246. 5 Partanto dan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Penerbit Arloka, 1994, hal. 354 6 Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta-Bandung: Penerbit PT Ersco, 1979, hal. 518. Dari pengertian di atas dapat kita simpulkan bahwa konflik mengandung arti pertentangan dua pihak atau lebihh bahkan segolongan besar seperti Negara. Konflik dapat disebabkan Universitas Sumatera Utara 4 pertentangan, bermacam-macam kepentingan, kebencian, kecurigaan, rasa minder, dominasi pihak lemah oleh pihak kuat. Konflik agraria sendiri terjadi manakala pihak-pihak yang berkonflik memiliki posisi ddan motivasi yang bertentangan atas penguasaan sumber daya agraria, tetapi mempunyai kepentingan yang sama untuk memiliki sumber daya agraria yakni tanah dengan segala produk yang dihasilkannya. Dengan demikian, konflik agraria tidak terbatas pada konflik-konflik masalah tanah, tetapi juga konflik terhadap semua sumber daya alam, berikut konflik terhadap sumber daya agraria yang sudah diusahakan oleh rakyat maupun yang kelihatannya belum diusahakan oleh rakyat tetapi sebenarnya sudah ada dalam penguasaan rakyat. 7 Pola konflik agraria di Indonesia sudah bergeser dari konfliksecara horizontal dimasa Orde Lama menjadi konflik bersifat vertikal dimasa Orde Baru, yang artinya bahwa pada masa Orde Lama konflik agraria lebih di dominasi antara rakyat dengan rakyat, akan tetapi pada masa Orde Baru konflik agraria tidak hanya antara rakyat dengan rakyat tetapi terdapat kecenderungan lebih didominasi konflik antara rakyat dengan pemodal yang sering di dukung oleh intervensi pemerintah. Pengambilan tanah-tanah rakyat dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari penggusuran denga menggunakan kekerasan, penaklukan, dan manipulasi ideologis dengan cara-cara yang melanggar hak asasi manusia. 8 Konflik agraria atau yang juga kerap disebut konflik pertanahan merupakan kasus yang pelik di negeri ini, hampir setiap tahunnya di berbagai 7 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Petani dan Konflik Agraria, Bandung: Yayasan AKATIGA, 1997, hal. 32. 8 Noer Fauzi, dalam M. Mas’oed, Tanah dan Pembangunan,Jakarta: Penerbit Pustaka Sinar Harapan, 1997, hal. 9 Universitas Sumatera Utara 5 daerah terjadi permasalahan tentang agraria. Bergantinya rezim penguasa di negeri ini juga pun tidak ada niatan untuk membahas tuntas akar permasalahan yang terus menerus terjadi di negeri ini. Seperti pada zaman Orde Baru, konflik pertanahan yang merupakan ciri pokok perubahan dan yang selalu menjadi istilah “pembangunan” sebagai slogan yang cenderung menjadi jargon politik yang disakralkan seolah-olah menjadi ideologi, akan tetapi dalam kenyataannya model pembangunan itu justru merusak makna pembangunan itu sendiri, dalam arti jiwa kemandirian hilang, semangat kebersamaan merosot, keadilan hamper lenyap, kesenjangaan sosial meningkat, kondisi fisik lingkungan rusak berat, kekayaan alam terkuras, dan sebagainya. 9 Undang-undang Pokok Agraria UUPA No. 5 Tahun 1960 pada awalnya dimaksudkan sebagai undang-undang induk keagrariaan mencakup pembaruan relasi sosial di atas tanah. Dalam praktikpemerintahan Orde Baru, meletakkan UUPA No. 5 Tahun1960 hanya bersifat teknis dan sektoral, sebagaimana halnya dengan beberapa undang-undang yang telah diundangkan dan sangat memfasilitasi serta memberikan dukungan terhadap pertumbuhan modal bersifat kapitalistik yang seharusnya tidak demikian, oleh karena UUPA sebagaiman bersemangat populistik. Rezim Orde Baru yang lalu gagal mewujudkan keadilan agraria termaksud, khususnya gagal menjamin kepastian penguasaan tanah atau SDA lain bagi komunitas local yang telah memanfaatkan tanah dan sumber daya alam yang menyertainya. Bahkan, sebaliknya praktek pembangunan semasa Orde 9 Gunawan Wiradi, Reforma Agraria Perjalanan yang belum berakhir, Insist Press, KPA Pustaka pelajar hal. 159. Universitas Sumatera Utara 6 Baru justru menyingkirkan akses rakyat terhadap tanah dan SDA lain yang telah lama dipunyainya. 10 10 Suhendar, op.cit, hal. 50. Dalam era reformasi, konflik agraria yang terjadi menimbulkan banyak dampak yang dialami oleh rakyat, dimana adanya hak-hak rakyat yang terabaikan oleh pemerintah dan dalam menciptakan suatu perubahan kebijakan yang ada untuk pemuliha kondisi korban yang dirugikan akibat dari konflik agraria ini, dimana rakyat telah diperlakukan secara tidak adil dan terusiknya rasa keadilan mereka mengekspresikan hasrat mereka dalam berbagai tindakan protes dan mendorong tindakan kolektif rakyat untuk merebut kembali apa yang telah dirampas dari hak-hak mereka. Dengan diperlakukan secara tidak adil dan hak rakyat yang terabaikan mmerupakan salah satu indikasi dari pelanggaran Hak Azasi Manusia itu sendiri. Di Indonesia sendiri begitu banyaknya konflik agraria yang terjadi seiring berjalannya waktu, seperti salah satu contohnya adalah konflik agrarian di Mesuji, Lampung.Konflik Mesuji adalah contoh dari bagaimana kewenangan pemerintahan digunakan dan disalahgunakan untuk pengembangan perusahan- perusahaan kapitalis raksasa.Konflik agraria di Mesuji adalah bagian kecil dari ribuan konflik agraria nasional.Menurut Konsorsium Pembaharuan Agraria KPA, bahwa setelah mencuatnya kasus Mesuji berturut-turut konflik agrarian bermunculan ke permukaan seperti konflik agraria di Pulau Padang, pembakaran rumah-rumah masyarakat adat di Sumbawa dalam konflik dengan Dinas Kehutanan. Universitas Sumatera Utara 7 Selama ini, belum ada penyelesaian menyeluruh mengenai konflik-konflik agraria ini. Data yang dihimpun Perkumpulan untuk pembaharuan Hukum dan Masyarakat HuMa menyebutkan bahwa selama sepuluh tahun terakhir terdapat 108 konflik agrarian di 10 provinsi di Indonesia yang didominasi oleh konflik tenurial dikawasan hutan 69 kasus dan konflik perkebunan 23 kasus. Badan Pertanahan Nasional BPN bahkan mencatat 8000 konflik agraria di Indonesia.Sementara Sawit Watch mencatat konflik tanah di perkebunan kelapa sawit mencapai 663 diseluruh Indonesia.Konflik agraria ini melibatkan perusahaan-perusahaan perkebunan swasta dan BUMN, perusahaan pertambangan, Taman Nasional, dan Perhutani.HuMa juga mengamati bahwa hampir disetiap konflik, terdapat keterlibatan aparat keamanan seperti kepolisian dan militer.Selain itu juga keterlibatan preman atau pamswakarsa. 11 Begitu juga yang terjadi di daerah Sumatera Utara banyak konflik yang terjadi.Perkebunan kelapa sawit terluas di Indonesia berada di Sumatera Utara dengan luas areal 1.018.580 Ha, dikelola swasta, BUMN maupun perkebunan rakyat. Dengan produksi CPO rata-rata 3,5 Juta ton per tahun, perkebunan tersebar di beberapa wilayah datran rendah seperti Sumatera bagian Timur dan Sumatera bagian Tenggara. Hampir semua perusahaan berkonflik dengan petani, rakyat dan masyarakat adat yang berada di sekitar perkebunan. Konflik karena persoalan lahan sering terjadi di Kabupaten Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan, Simalungun, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Tapanuli Selatan dan Mandailing Natal. Konflik itu biasanya terjadi antara perusahaan perkebunan swasta.Konflik yang mencuat berupa perusakan, 11 http:www.kpa.or.id?p=636 , data ini diunduh pada 5 Desember 2013, jam 11:20 Universitas Sumatera Utara 8 pembakaran fasilitas perusahaan dan rumah, serta pembunuhan.Menurut data dari Polda Sumut dalam kurun 2006-2012 terjadi 2.833 kasus lahan atau yang kerap disebut konflik agraria. 12 Di Sumatera Utara, dalam semester pertama tahun 2013, Kasus konflik lahan antar petani, rakyat dan masyarakat adat dengan korporasi pemerintah dan swasta semakin meningkat. Menurut majalah Burta 13 12 Harian Kompas, 28 mei 2013 13 Majalah Burta: Semangat Perjuangan Buruh dan Tani, Bom waktu Konflik Lahan Edisi 1 Tahun-I2012, Lentera Rakyat, 2012, hal. 4. bahwa sampai saat ini ada delapan kelompok petani yang berkonflik dengan perusahaan, kasus tersebut terdiri dari kasus baru juga kasus lama yang kembali mencuat.Dari konflik yang terjadi, rakyat selalu menjadi korban dari tindakan pihak perusahaan yang di back up oleh aparat keamanan maupun pengaman swakrasa yang disewa perusahaan. Kriminalisasi tersebut dilakukan dengan dua pola.Pertama, dilakukan langsung oleh negara melalui aparat kepolisian yang cenderung berpihak kepada korporasi.Kedua, dilakukan oleh korporasi melalui satuan pengamanan swakarsa yang mereka bentuk.Kriminalisasi tersebut biasanya dilakukan dengan melanggar hak-hak sipil, politik maupun hak-hak ekonomi dan sosial budaya petani. Konflik yang terjadi antara petani dengan perusahaan perkebunan di Sumatera Utara tercatat seperti tabel berikut ini: Universitas Sumatera Utara 9 Tabel 1 Konflik Tani dengan Perusahaan Perkebunan di Sumatera Utara No . Kasus dan Profil Singkat Kasus Keterangan 1 Konflik Lahan antara kelompok Tani Padang Halaban Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART Konflik Baru 2 Konflik lahan antara Kelompok Tani Penghijauan di DESA Sukaramai Labuhan Batu Utara dengan PT. Sawita Ledong Jaya Konflik Lama 3 Konflik Lhan antara warga Desa Hutang Balang Kec. Badiri, Kab. Tapanuli Tengah dengan PT. AFP sebelumnya bernama PT. Cahaya Pelita Andika Konflik Baru 4 Konflik Lahan antara warga Dusun I Desa Bangun Pulo Rakyat, Kab. Asahan dengan Koperasi Bina Tani Konflik Baru 5 Konflik lahan antara Kelompok Tani Sei Mencirim Kab. Deli Serdang dengan PTPN II Konflik Baru 6 Konflik lahan antara warga Mandailing Natal Desa Huta Godang Muda dengan PT. Sorik Mas Mining Konflik Lama 7 Konflik lahan antara warga Kampung Sei Jernih Desa Konflik Lama Universitas Sumatera Utara 10 Saentis, Kec. Percut Sei Tuan, Kab. Deli Serdang dengan PTPN II 8 Konflik lahan antara warga Desa patogo janji, Kab. Padang Lawas dengan PT. Sumatera Riang Lestari dan PT. Sumatera Silva Lestari PT. SSL Konflik Lama Dari delapan kasus diatas, ada tiga kasus yang sedang diadvvokasi salah satu diantaranya termasuk Konflik Lahan Kelompok Tani Padang Halaban sekittarnya KTPH-s, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara, dimana Kelompok Tani bertikai dengan pihak perkebunan, yaitu PT. Smart Cooporaion, Tbk sebagai salah satu fokus peneliti dalam pembuatan penelitian ini. Luas lahan yang disengketakan oleh warga seluas ± 3000 Ha terletak di sepanjang Perkebunan Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara. Lokasi masyarakat berada di sekitar perkebunan dan berada di 6 desa diantaranya desa Karang Anyar, Kampung Lalang, Sidomulyosidomukti, Panigoran, Padang Halaban, Kampung Selamat. Posisi pemukiman warga mengelilingi lahan sengketa. Berdasarkan Laporan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara 14 14 Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara Medan: Laporan Perkembangan Penyelidikan Kasus Tanah di Perkebunan Padang Halaban, Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara, 3 Juli 1999 bahwa Sejarah perjuangan rakyat dimulai tahun 19531954 tanah perkebunan Padang Halaban termasuk tanah konsesi yang dikelola oleh Perusahaan Belanda bernama NV. Sumcana.Perusahaan perkebunan tersebut menanami sayuran dan buah-buahan, lalu setelah dipanen, tanah tersebut dipergunakan oleh masyarakat dengan Universitas Sumatera Utara 11 menanami tanaman palawija, padi, jagung, rambutan, dan tanaman keras lainnya, serta diatasnya berdiri rumah-rumah tempat tinggal dan sudah menjadi perkampungan yang kompak.Di sekitar tahun 1956 Telah diadakan pendaftaran tanah oleh Kantor Reorganisasi Pemekaran Tanah Sumatera Timur dan berkesimpulan tanah tersebut termasuk tanah yang dilindungi oleh Undang- undang darurat Nomor 8 Tahun 1954. Pada tahun 1968 oleh Kepala Inspeksi Agraria Sumatera Utara Drs. Soeradi Hadisoewarno mengeluarkan surat keputusan pembentukan Badan Penyelesaian Pesengketaan Tanah Sumatera Timur BPPST member putusan bahwa untuk menertibkan tanah garapan rakyat diatas areal Perkebunan Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo menetapkan kepada masing-masing penggarap per-KK diberikan 2 Ha 20.000 m² dan 1000 m² untuk pemukiman dan para penggarap menerima hasil keputusan tersebut. Namun, imbas dari pertentangan politik di tingkat nasional sampai juga pada masyarakat di desa-desa sekitar perkebunan Padang Halaban.Melalui koordinasi oknum angkatan darat dan Komando Aksi 15 15 Komando Aksi adalah komando dari organisasi-organisasi kemasyarakatan, preman, tuan tanah yang anti terhadap perkembangan gerakan Komunis di Indonesia. Terbangunnya komando ini diprakarsai oleh Angkatan Darat. melakukan penyisiran untuk menangkap orang-orang yang dituduh terlibat dalam Partai Komunis Indonesia PKI.Penangkapan dilakukan hampir setiap malam dari berbagai penjuru tempat, tidak jarang juga penangkapan disertai dengan tindakan penganiayaan, pemerkosaan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang tertuduh.Penangkapan disertai dengan penghilangan orang terjadi di desa Sidomulyo, Panigoran, Aek Korsik, Sidomukti, dan beberapa daerah di kawasan perkebunan Padang Halaban.Di Sidomulyo kepala desa beserta pimpinan organisasi buruh dan Universitas Sumatera Utara 12 organisasi petani menjadi korban, bahkan sampai detik ini keberadaan jasad korban tidak diketahui oleh sanak keluarga.Mereka di bantai secara kejam seperti menombak anggota badan, mengikat di kedua ibu jari, memukul, menendang, menyayat anggota organ tubuh, memenggal kepala korban, memperkosa korban dan mencampakkan mayat ke sungai. Peristiwa yang hampir-hampir tidak bisa terlupakan meskipun para pelaku sejarah sampai dimakan usia. Seperti yang terjadi di Titi Panjang desa Panigoran menjadi tempat pembantaian terhadap anggota Pemuda Rakyat, yaitu : Mahmud, Karsan, Saru dan Suroso; di desa Sidomulyo ada proses penangkapan dan penghilangan kepada Bapak Langkir, Bapak Mico, Bapak Suyoto, Bapak Saud; di desa Patok Besi ada Bapak Suzari, dan beberapa korban lainnya yang tempat penguburannya tersebar di areal perkebunan dan pemakaman umum. Berdasarkan kesaksian kerabat korban di desa brussel terdapat 7 tujuh orang korban pembantaian dalam satu lubang di dekat simpang, yang kemudian simpang tersebut dikenal warga dengan Simpang Maut.Di Pamingke Blok Sepuluh terdapat dua lubang penguburan yang berisikan 6 enam orang korban pembantaian dari warga yang diambil di desa sekitar perkebunan Padang Halaban.Dimana dimungkinkan salah satu korban yang dikubur adalah bapak Suyoto dari Sidomulyo.Situasi mencekam pada tahun 1965 – 1968 dimanfaatkan oleh pihak perkebunan Plantagen AG untuk mengintimidasi dan menebarkan teror kepada rakyat.Mengkonsolidasikan seluruh perangkat keamanan di sekitar perkebunan Padang Halaban, tidak terkecuali militer dan bekas komando aksi serta para pekerja kebun yang didatangkan dari luar daerah untuk membantu proses-proses penggusuran. Universitas Sumatera Utara 13 Ketika tahun 19691970 terjadi penggusuran atas tanah rakyat yang dilakukan oleh PT. PLANTAGEN AG PT. SMART CORPORATTION perkebunan Padang Halaban. Imbas dari penggusuran Tanah tersebut mengakibatkan berkurangnya luas wilayah terhadap desa-desa dan hilangnya beberapa Perkampungan Rakyat yang terletak di sekitar Perkebunan Padang Halaban serta terjadinya korban Tindak Kekerasan dan Ham yang menimpa warga dan petani setempat. Surat-surat seperti KTPPTKRPT yang dilindungi oleh UU Darurat No. 8 1954, surat keterangan tanah,kwitansi IPEDAKOHIRPajakPeralihan dan data- data Yuridis penguasaan kepemilikan sebahagian besar diambil paksa atau dirrampas dari tangan rakyat dengan cara intimidasi yang dilakukan piihak perusahaaan yang dibecking oleh Alat dan Aparatur Negara yaitu Pemerintah dan ABRI. Perjuangan kaum tani tidak hanya berhenti disitu, berdasarkan keterangan warga setempat,mereka terus memperjuangkan tanah mereka meskipun adanya terjadi penangkapan dan tindakan brutal dari aparat kepolisian kepada para petani di Perkebunan Padang Halaban sekitar awal Juni 2012. Dan pada tanggal 4 Juni 2012 Aparat kepolisian dibantu oleh pihak pamswakarsapreman berdasarkan perintah pemerintah kabupaten merangsek masuk ke lahan sengketa dan melakukan tindakan penyerangan brutal kepada warga, dengan membawa klewang, parang, panah beracun, soda api serta tongkat pemukul dan mereka tidak mengindahkan keberadaan puluhan warga dilahan dan menangkap 60 warga dengan alasan akan diberikan pengarahan. Mereka benrencana melakukan okupasi Universitas Sumatera Utara 14 di atas lahan yang sudah ditanami dan dijaga oleh puluhan petani. 16 16 http;sawitwatch.or.id201206masyarakat-perkebunan-padang-halaban-sumatera-utara-bentruk- dengan-preman-pt-smart, data diunduh pada 6 desember 2013, pukul 16.00 WIB Akhir dari bentrokan ini menyebabkan 19 orang dari pihak perkebunan dan 3 orang dari warga mengalami luka-luka.Dan setelah kejadian ini berlangsung adanya pengankapan petani yang diilakukan pihak kepolisian, dimana sebanyak 60 orang petani ditangkap oleh pihak kepolisian dengan alasan pengarahan. Inilah yang menjadi salah satu penyebab terjadinya konflik di Perkebunan Padang Halaban, yaitu adanya perampasan tanah yang diambil oleh pihak PT. SMART CORPORATION, adanya kriminalisasi terhadap petani, ditambah lagi adanya korban penangapan 60 orang petani di perkebunan tersebut yang dalam proses hukum agar dibebaskan. Penulis juga akan menyangkut pautkan konflik agraria yang terjadi di Desa Padang halaban dalam perspektif HAM dengan kehidupan para petani sesuai dengan legitimasi Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan sesuai dengan landasan kewenangan untuk bertindak dalam mengatur segala sesuatu yang terkait dengan tanah sebagaimana dirumuskan dalam pasal 33ayat 3 UUD 1945 ”Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar besarnya kemakmuran rakyat”. Amanat konstitusi ini kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam UUPA No. 5 tahun 1960. Salah satu contoh pasal yang berpihak pada kepentingan kaum tani miskin dalam undang-undang ialah pasal 13 yang berisi empat ayat dan berbunyi sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara 15 1. Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap warga-warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. 2. Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseoranganyang bersifat monopoli swasta. 3. Usah-usaha pemerintah dalam lapangan agraria yang bersifat monopoli hanya dapat diselenggarakan dengan Undang-undang. 4. Pemerintah berusaha untuk memajukan kepastian dan jaminan sosial, termasuk bidang perburuhan, dalam usaha-usaha di lapangan agraria. Dan adanya pelanggaran HAM yang terjadi yang dirasakan masyarakat dalam hal ini Kelompok Tani di Desa Padang Halaban dan tindakan represif seperti adanya tindak kriminalisasi terhadap petani berupa penembakan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, pengrusakan lahan dan korban penangkapann sekitar 10 orang petani juga membuktikan bahwa melanggar sejumlah hak sipil korban diantaranya adalah hak untuk mendapatkan perlindungan hokum, hak kesamaan di depan hukum, hak bebas dari rasa takut dan hak kebebasan dari intimidasi, dan terjadi pembodohan terhadap rakyat tani dimana adanya Hak Guna Usaha PT SMART yang palsu dan direkayasa yang bekerja sama dengan Pemerintahan Daerah dan Badan Pertanahan Nasional BPN yang akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Universitas Sumatera Utara 16 Oleh karena itu, berdasarkan alasan-alasan tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul: Konflik Agraria dalam Perspektif HAM Studi Kasus: Konflik antara Masyarakat Desa Padang Halaban,Kec. Aek Kuo, Kab. Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART

1.2 Perumusan Masalah

Dokumen yang terkait

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

1 62 136

Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara)

1 109 111

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 9

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 0 2

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 34

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 1 18

Konflik Agraria Dalam Perspektif Ham (Studi Kasus: Konflik antara masyarakat Desa Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara dengan PT. SMART)

0 2 5

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

0 0 21

Peranan Organisasi Massa Petani Dalam Pendidikan Politik Kaum Tani di Indonesia (Studi Kasus : Organisasi Massa Petani STPHL-AGRA, Padang Halaban, Kecamatan Aek Kuo, Kabupaten Labuhan Batu Utara)

0 0 12

Konflik Agraria (Studi Etnografi Di Desa Aek Buaton, Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara)

0 0 12