BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakterisasi Pasir Kuarsa dan Preparasi Natrium Silikat
Pasir kuarsa merupakan bahan baku pada penelitian ini. Pasir kuarsa yang digunakan diharapkan mempunyai kemurnian yang tinggi, sehingga perlu
dilakukan karakterisasi terhadap pasir kuarsa dengan menggunakan SEM dan AAS. Analisis dengan menggunakan SEM dilakukan untuk mengetahui bentuk
morfologi dari suatu permukaan pasir kuarsa. Adapun gambar hasil analisis SEM sebagai berikut:
100 µm 100 µm
100 µm 100 µm
100 µm
Gambar 13. Hasil analisa pasir kuarsa
Selain itu, untuk mengetahui pengotor apa saja yang terdapat pada pasir kuarsa, maka dilakukan analisis terhadap pasir kuarsa dengan menggunakan AAS
dari laboratorium pengujian tekMIRA Bandung. Hasil analisis AAS lihat pada lampiran 10 hal. 81 didapatkan kandungan pengotor yang terdapat pada pasir
kuarsa sebagai berikut:
57
Tabel 6. Pengotor pada pasir kuarsa
Pengotor pasir kuarsa Massa
SiO
2
99,2 Al
2
O
3
0,063 Fe
2
O
3
0,19 TiO
2
0,04 CaO 0,008
MgO 0,008 K
2
O 0,023 Na
2
O 0,020 MnO 0,0134
LOI 0,39
Sumber : Laboratorium Pengujian tekMIRA, Bandung
Natrium silikat dibuat dari campuran pasir kuarsa silika dengan natrium karbonat Na
2
CO
3
. Pasir yang digunakan berasal dari Samboja, Kalimantan Timur. Campuran pasir kuarsa dengan Na
2
CO
3
dibakar dalam tanur pada suhu 1200
o
C selama ± 2 jam. Pada pencampuran ini terjadi reaksi sebagai berikut: Na
2
CO
3
s + SiO
2
s Na
2
SiO
3
s + CO
2
g ………4.1 Pasir kuarsa dengan natrium karbonat dapat membentuk kaca jika
dipanaskan di atas titik lelehnya dan kemudian harus didinginkan dengan cepat untuk menghindari kristalisasi. Setelah dingin natrium silikat dijadikan serbuk
dengan cara digrinding. Natrium silikat yang dihasilkan kemudian dilarutkan dengan air mendidih, lalu direaksikan dengan kitosan untuk menghilangkan ion-
ion logam pengotornya.
4.2. Isolasi Kitin dan Transformasi Kitosan
Bahan awal yang digunakan untuk membuat kitin dan kitosan adalah limbah cangkang rajungan Portunus pelagicus yang telah dikeringkan dan telah
dibuat serbuk. Limbah cangkang rajungan ini berasal dari Serang, Banten-Jawa Barat. Kitin dapat diperoleh dari cangkang rajungan melalui proses demineralisasi
58
dan deproteinasi, kemudian untuk mendapatkan kitosan dilakukan proses deasetilasi.
Tahap demineralisasi dilakukan untuk menghilangkan mineral yang terkandung dalam cangkang rajungan. Pada tahap demineralisasi ini dilakukan
dengan menambahkan HCl 1 M karena mineral yang terdapat dalam bahan, terutama CaCO
3
dan sedikit Ca
3
PO
4 2
mudah hilang dengan penambahan HCl dan dapat menghasilkan kitin dengan kandungan mineral yang lebih rendah
Ruswanti dkk, 2007. Pada tahap ini, ketika HCl 1M direaksikan dengan serbuk rajungan akan terbentuk buih yang terkumpul pada permukaan larutan. Setelah 1
jam buih berkurang dan larutan berwarna kuning keruh. Terbentuknya buih tersebut menandakan adanya gas karbon dioksida CO
2
dan uap air. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:
CaCO
3
s + 2HCl aq CaCl
2
aq + H
2
O l + CO
2
g …..4.2
Ca
3
PO
4 2
s + 4HCl aq
2CaCl
2
aq+ CaH
2
PO
4 2
aq …..4.3 Tahap kedua yaitu deproteinasi yang merupakan suatu proses pemisahan
atau pelepasan ikatan antara protein dan kitin. Deproteinasi dilakukan dengan menggunakan NaOH 1 M selama 1 jam pada suhu 80-90
o
C. Pada tahap ini, protein akan terlepas dan membentuk Na-proteinat yang dapat larut dan hilang
selama proses pencucian dan penyaringan Ruswanti dkk, 2007. Hal ini ditunjukan dengan perubahan warna larutan dari jernih menjadi coklat. Filtrat
yang dihasilkan berwarna coklat dan endapan putih kecoklatan. Reaksi yang terjadi sebagai berikut:
Protein + NaOH Na-proteinat + H
2
O ………………….. 4.4
59
Pada setiap tahap dilakukan pencucian sampai larutan netral, bertujuan untuk menghilangkan sisa-sisa dari larutan reagen. Pencucian yang kurang
sempurna akan mengakibatkan mineral yang terlepas dapat melekat kembali pada permukaan molekul kitin. Pencucian juga dimaksudkan untuk mencegah
terjadinya degradasi produk selama proses pengeringan. Karena kitin juga mengandung beberapa gugus amino bebas baik disebabkan adanya sedikit
deasetilasi selama proses pengeringan atau akibat pembentukan asetilasi yang tidak sempurna Hendri, 2008.
Tahap terakhir adalah deasetilasi yang diperlukan untuk mengubah kitin menjadi kitosan dengan proses hidrolisis. Pada tahap ini digunakan larutan NaOH
50 disebabkan pada kondisi tersebut merupakan kondisi optimum pada proses transformasi gugus asetil yang berikatan dengan atom nitrogen membentuk gugus
amina Rochima dkk, 2007. Perendaman dalam NaOH konsentrasi tinggi ≥40
akan meningkatkan derajat deasetilasi dan mengakibatkan terjadinya depolimerisasi memutuskan ikatan rangkap antara gugus karboksil dengan atom
nitrogen Rochima dkk, 2007. Larutan NaOH berfungsi membantu pemutusan katalis ikatan antara gugus asetil dengan atom nitrogen sehingga berubah
menjadi gugus amino -NH
2
. Pada tahap ini tidak menggunakan air atau alkohol untuk mendeasetilasi, karena dikhawatirkan akan menghidrolisis hidroksidanya
atau ikatan glikosidik yang terdapat pada struktur kitosan dapat putus. Reaksi pada tahap deasetilasi sebagai berikut:
60
Gambar 14. Reaksi kitin menjadi kitosan Rahayu dan Purnavita, 2007
Dengan adanya sifat-sifat kitin dan kitosan yang dihubungkan dengan gugus amino dan hidroksil yang terikat, maka menyebabkan kitin dan kitosan
mempunyai reaktifitas kimia yang tinggi dan menyebabkan sifat polielektrolit kation sehingga dapat berperan sebagai penukar ion ion exchanger dan dapat
berperan sebagai adsorben logam berat dalam air limbah Marganof, 2003. Kitosan yang didapatkan dari hasil sintesis sebesar 34,89 gram 57 berat dari
200 gram cangkang rajungan lihat lampiran 3. Sulitnya menghasilkan kitosan dengan derajat deasetilasi yang tinggi
diduga karena kitin secara alami berbentuk kristalin yang mengandung rantai- rantai polimer kitin berkerapatan sangat tinggi, yang satu sama lain terikat dengan
ikatan hidrogen yang sangat kuat, sehingga menghalangi enzim berpenetrasi mencapai substrat spesifiknya Rochima, 2008. Deasetilasi yang terjadi pada
kitin hampir tidak pernah selesai sehingga dalam kitosan masih ada gugus asetil yang terikat pada beberapa gugus N Kusumawati, 2009. Derajat deasetilasi juga
dipengaruhi oleh waktu. Menurut Purnawan dkk 2009, bahwa semakin lama waktu proses deasetilasi menyebabkan derajat deasetilasi DD kitosan semakin
61
tinggi. Hal ini disebabkan semakin lama waktu reaksi hidrolisis kitin, gugus asetil yang tersubstitusi menjadi gugus amina semakin banyak sehingga DD kitosan
semakin tinggi. Pada penelitian ini, ketika masih sebagai serbuk rajungan memiliki derajat deasetilasi 21,39. Akan tetapi setelah menjadi kitosan, derajat
deasetilasinya meningkat menjadi 75,99. Kitosan yang terbentuk diidentifikasi dengan menggunakan
spektrofotometer infra merah FTIR. Hasil analisis kuantitatif spektrum FTIR yang didapatkan untuk menghitung derajat deasetilasi DD kitosan. Derajat
Deasetilasi menunjukkan persentase gugus asetil yang dapat dihilangkan dari kitin sehingga dihasilkan kitosan. Makin berkurangnya gugus asetil pada kitosan maka
interaksi antar ion dan ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin kuat. Spektrum FTIR hasil analisis dapat dilihat sebagai berikut:
4000.0 3600
3200 2800
2400 2000
1800 1600
1400 1200
1000 800
600 450.0
0.0 1
2 3
4 5
6 7
8 9
10 11
12 13
14 15
16 17.0
cm-1 T
Laborat ory Test Result Ser buk Raj ungan
2958.412928.85 2523.86
1654.61 1541.20
1154.35 491.27
565.40 712.86
953.14
1029.67 1072.72
3295.94 3423.02
3446.62 1416.73
873.06
C=O NH
2
CH
Gambar 15. Spektrum FTIR bahan dasar cangkang rajungan
62
4000.0 3600
3200 2800
2400 2000
1800 1600
1400 1200
1000 800
600 450.0
10.9 12
13 14
15 18
19 20
21 22
23 24
25 26
26.4
cm-1 T
Laborat ory Test Result
3426.27 2883.11
1624.53 1559.45
1419.39 1380.14
1323.97 1260.55
1156.54 1028.43
953.59 895.14
577.01 530.05
Kit osan Sint esis
16 17
1661.76 1078.35
NH
2
CH
C=O NH
C-O
Gambar 16. Spektrum FTIR kitosan
Data spektrum FTIR kitosan memberikan informasi sejumlah pita serapan utama yang menunjukkan gugus-gugus fungsi dalam molekulnya.
Tabel 7. Perbandingan pita absorpsi FTIR cangkang rajungan dan kitosan
Pita absorpsi FTIR cm
-1
cangkang rajungan Pita absorpsi FTIR cm
-1
kitosan Gugus fungsi kitin dan kitosan
3423,03 3426,27 O-H
stretching dan N-N -NH
2
amina 2958,41 - 2928,85
2883,11 C-H stretching C-H ring, -CH
3
dan -CH
2
- 1654,61 1661,76
C=O stretching
NHCOCH
3
amida I -
1559,45 N-H dan C-N NHCOCH
3
amida II dan III
1416,73 1419,39 - 1380,14
C-H bending C-H ring, -CH
2,
- CH
3
dan C-C 1154,35 1156,54
Bridge -O-stretching C-O-C
1072,72 – 1029,67 1078,35 – 1028,43
C-O
asym
C-O
sym
stretching 873,06 895,14
Ring stretching C-H ring
63
NH2 C=O
Gambar 17. Spektrum FTIR kitin standar produksi Wako, Jepang Hendri, 2008
Pada kitin standar, pita serapan 3388,7 cm
-1
menunjukkan gugus O-H dan NH amida sekunder. Pita serapan 1627,8- 1662,55 cm
-1
didapatkan gugus C=O stretching
NHCOCH
3,
amida I menunjukkan adanya gugus asetamida yang melebar. Bila dibandingkan antara kitosan hasil sintesis dengan kitin standar dapat
dibedakan pada gugus C=O. Untuk kitin standar serapannya masih melebar sedangkan kitosan sintesis terlihat lebih tajam. Hal ini menandakan bahwa gugus
asetamida banyak yang sudah berubah menjadi gugus amina. Pada proses deasetilasi, gugus asetilamino pada kitin diubah menjadi
gugus amino. Dapat ditandai dengan hilangnya berkurangnya serapan gugus C=O dari molekul pada spektrum FTIR Syahmani dan Sholahuddin, 2009. Akan
tetapi dalam penelitian ini gugus C=O masih ada, sehingga hasil deasetilasi belum sempurna. Derajat deasetilasi yang didapatkan yaitu 75,99. Hal ini disebabkan
kurang lamanya proses pemanasan dan suhu yang kurang tinggi, sehingga pemutusan gugus asetil kurang sempurna. Menurut Rahayu dan Purnavita 2007
64
secara umum derajat deasetilasi untuk kitosan sekitar 60 dan sekitar 90-100 untuk kitosan yang mengalami deasetilasi penuh.
4.3. Pengaruh Variasi Massa Kitosan Terhadap Adsorpsi Logam Fe dan Mn