Sudut Pandang Point Of View

25 tersebut. Dalam cerita non fiksi, latar waktu merupakan hal yang perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan kerancuan ceritanya itu sendiri. Novel ini memiliki latar belakang cerita tentang keadaan ekstrakurikuler dalam bidang olahraga bisbol pada salah satu SMA di jepang pada zaman modern.

3. Latar Sosial

Latar sosial mengarah kepada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarkat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi maupun non fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan lain sebagainya. Latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah atau tinggi. Dalam novel ini pengarang banyak menampilkan kehidupan sosial para siswa-siswi SMA di negara Jepang khususnya siswa-siswi yang mengikuti ekstrakurikuler olahraga bisbol. Awalnya para siswa tersebut merasa canggung antara satu sama lain, hal ini di akibatkan karena kurangnya interaksi sosial di antara mereka. Namun seiring berjalannya waktu mereka menjadi kompak karena adanya kerja sama dalam mencapai mimpi mereka yaitu untuk tampil di Koshien.

2.2.5 Sudut Pandang Point Of View

Sudut pandang adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita novel tersebut. Dengan kata lain posisi pengarang menempatkan dirinya dalam cerita tersebut apakah ia ikut terlibat langsung atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita Aminuddun, 2000:90. Sedangkan menurut Abrams dalam 26 Nurgiyantoro 1995:248 sudut pandang adalah cara atau pandangan yang digunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Menurut Aminuddin 2000:90 terdapat beberapa jenis point of view, yaitu : 1. Narrator omniscient, yaitu pengarang yang berfungsi sebagai pelaku cerita maka akhirnya pengarang juga merupakan pelaku yang serba tahu tentang apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya, baik secara fisikal maupun psikologis. Dengan demikian apa yang terdapat dalam batin pelaku kemungkinan nasibnya, pengarang atau narator juga mampu memaparkannya meskipun itu hanya berupa lamunan pelaku atau merupakan sesuatu yang belum terjadi. 2. Narrator observer, yaitu pengarang berfungsi sebagai pengamat terhadap pemunculan para pelaku serta hanya tahu dalam batas tertentu tentang perilaku batinah para pelaku. Dalam cerita novel Moshidora karya Natsumi Iwasaki ini pengarang termasuk kedalam narrator observer, yaitu pengarang yang hanya berfungsi sebagai pengamat saja, karena pengarang tidak terlibat langsung dalam cerita novel. Pengarang mengangkat cerita modern kedalam novelnya, lalu mengemas cerita tersebut lebih menarik agar lebih mudah dipahami oleh pembaca. Tetapi inti cerita di dalam novel tetap sama dengan kisah sejarahnya tanpa ada yang diubah sedikitpun. 27

2.3 Studi Pragmatik Sastra dan Semiotik

Dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan pragmatik sastra untuk menganalisis nilai-nilai yang terkandung dalam cerita novel Moshidora karya Natsumi Iwasaki, penulis mengambil beberapa cuplikan teks yang memiliki nilai di dalam cerita novel tersebut. Pragmatik sastra adalah cabang penelitian ilmu sastra yang mengarah kepada aspek kegunaan sastra.Penelitian ini muncul atas dasar ketidakpuasan terhadap penelitian struktural murni yang memandang karya sastra hanya sebagai teks itu saja. Kajian struktural dianggap hanya mampu menjelaskan makna karya sastra dari permukaannya saja. Maksudnya, kajian struktur sering melupakan aspek pembaca sebagai penerima makna atau pemberi makna terhadap karya sastra. Pragmatik sastra lebih menitikberatkan kajiannya terhadap peranan pembaca dalam menerima, memahami dan menghayati karya sastra, karena pembaca sangat berperan dalam menentukan sebuah karya sastra itu merupakan karya sastra atau tidak dan sebagai sebuah keutuhan komunikasi sastrawan-karya sastra-pembaca, maka hakikatnya karya sastra yang tidak sampai kepada pembaca bukanlah karya sastra, Siswanto dan Roekhan dalam Endraswara 2008:70. Pendekatan pragmatik sastra memandang karya sastra sebagai sarana untuk menyampaikan tujuan tertentu kepada pembaca, seperti tujuan pendidikan moral, agama dan tujuan pendidikan lainnya. Dengan kata lain pragmatik sastra bertugas sebagai pengungkap tujuan yang dikemukakan para pengarang untuk mendidik masyarakat pembacanya. Semakin banyak nilai-nilai, ajaran-ajaran dan pesan-pesan yang diberikan kepada pembaca, maka semakin baik dan bernilai tinggi karya sastra tersebut, abrams dalam Jabrohim 2012:670. Menurut Selden