Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik PARTISIPASI MATHLA’UL ANWAR DALAM RANAH POLITIK

organisasinya, berusaha mencoba masuk ke wilayah kebijakan dan politik. Selanjutnya menyatakan diri secara teoritis ada dua peluang atau pintu masuk bagi MA untuk menentukan arah perkembangannya di masyarakat. Pertama, adalah pada tingkat kultural pendidikan, dakwah dan sosial. Tingkat ini secara formal dilakukan oleh MA sejak kelahirannya tahun 1916, namun secara out put yang dihasilkan perlu dievaluasi. Kedua, adalah pada tingkat struktural, dimana MA dapat berperan dengan turut berpartisipasi dalam setiap pengambilan keputusan dan kebijakan, sehingga MA akan menjadi penentu kecenderungan trend maker masyarakat. 35 Keterlibatan MA dalam politik cenderung untuk menggabungkan diri dengan kekuatan politik yang ada. Hampir bersamaan dengan pendirian MA, para pendirinya seperti KH. Entol Yasin dan KH. Mas Abdurrahman telah menjadi tokoh utama Sarekat Islam SI 36 di wilayah Banten. Dalam fatwanya, KH. Mas Abdurrahman memberikan dukungan kepada SI sebagai salah satu wujud dari ibadah ke Allah SWT. 37 Pada tanggal 01 September 1926, terjadi pemberontakan rakyat Menes dan Labuan melawan pemerintahan kolonial Belanda. Keterlibatan tokoh- tokoh MA seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat dalam peristiwa pemberontakan melawan Pemerintah kolonial Belanda, menyebabkan mereka 35 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 4 36 Sarekat Islam SI bermula dari sebuah organisasi Sarekat Dagang Islam SDI, yang didirikan oleh Samanhudi di Solo pada tahun 1911 pada perkembangnya menjadi organisasi politik nasional pertama di Indonesia sebagai satu-satunya kekuatan pemersatu bagi seluruh elemen bangsa dalam membawa aspirasi ke-Islaman dan kebangsaan. Lihat. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan praktik Politik Islam di Indonesia Jakarta: Paramadina, 1998, cet: 1, h. 63. Selanjutnya lihat. Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004, h. 63. 37 Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, h. 5 K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat ditangkap dan kemudian dibuang ke Boven Digul, Tanah Merah dan Irian. 38 Sedangkan KH. Tb. Mohammad Soleh tahun 1916 diterbunuh dalam peristiwa pemberontakan tersebut untuk memperjuangkan terhadap adanya ketidakadilan dalam bidang ekonomi, politik dan lain sebagainya. 39 MA dinilai menjadi salah satu organisasi yang dianggap berbahaya oleh Pemerintah kolonial Belanda semakin dicurigai perkembangannya, terlebih KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin sebagai tokoh MA dan pengurus SDI atau Sarekat Islam SI bagian Banten untuk memperjuangkan umat Islam melawan kolonial Belanda. Kemudian KH. Entol Yasin dan tokoh MA lainnya pasca peristiwa tanggal 01 September tahun 1926 menyebabkan mereka selalu diawasi oleh PID Polisi Rahasia Kolonial Belanda dalam setiap aktivitasnya dalam membangun MA. Kemudian, akibat adanya perpecahan di tubuh SI 40 pada tahun 1921 dan berdirinya Partai Komunis 38 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996, h. 11 39 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 68. Menurut Chalwani Michrob dan A. Mudjahid Chudari, bahwa karakter para ulama di Banten dikenal berwatak keras dan suka memberontak, bahkan banyak dari para ulama-ulamanya menilai kepemimpinan dalam Sarekat Islam SI kurang berani dan tegas dalam melakukan pemberontakan melawan Belanda, hal tersebut dimanfaatkan oleh PKI Partai Komunis Indonesia dengan cara infiltrasi keanggotaan ganda untuk mengajak para ulama bergabung dengan PKI, sehingga banyak tokoh-tokoh agama seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat tokoh MA di Banten disamping sebagai anggota SI juga menjadi pengurus PKI. M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996, h. 18 40 Konflik diinternal SI terjadi pada kongres Luar Biasa Central Sarekat Islam pada tanggal 6-10 Oktober tahun 1921 di Surabaya. Akibat peristiwa tersebut Sarekat Islam pecah menjadi 2 aliran, yaitu: Sarekat Islam Merah SI Merah yang dipimpin Semaoen yang berasaskan sosial-komunis dan berpusat di Semarang dan Sarekat Islam Putih SI Putih yang dipimpin Agus Salim, Cokroaminoto dan Abdoel Moeis yang berasaskan kebangsaan dan keagamaan dan berpusat di Yogyakarta. Peristiwa tersebut terjadi akibat pengaruh dari paham sosialis revolusioner yang di bawa H.J.F.M. Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1913. Kemudian pada tahun 1914 Sneevliet bersama rekan-rekannya yaitu J..A. Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma mendirikan ISDV Indische Sociaal Democratische Vereeniging di Indonesia PKI tahun 1924 menjadi semakin tidak kondusif terhadap aktifitas politik, sehingga mendorong Kyai Entol Yasin dan Kyai Mas Abdurrahman untuk mengalihkan aktifitas politiknya pada NU. Pengawasan yang menimbulkan kecurigaan pemerintah kolonial Belanda yang ketat di Menes dan Labuan, menyebabkan para tokoh MA menjadi kendala untuk melakukan pembinaan keagamaan di masyarakat. Di bawah pengawasan pemerintah kolonial Belanda, tokoh-tokoh MA melakukan aktivitasnya secara sembunyi-sembunyi dalam melakukan pembinaan kehidupan masyarakat disekitar daerah Menes. Kemudian, untuk membantu mengintensifkan perjuangannya dalam pembinaan umat, para tokoh MA dibantu oleh para kader-kader dan lulusan atau alumni madrasah MA Pusat Menes yang dikirim ke berbagai daerah seperti Kabupaten Lebak, Serang, Bogor, Karawang dan Karesidenan Lampung. Tahun 1926, KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin menghadiri sebuah rapat akbar NU di Jawa Tengah, dengan tujuan untuk bekerja sama dalam melakukan pembinaan kehidupan masyarakat. Selanjutnya, pada tahun 1936 akhirnya MA mengadakan musyawarah terbatas sebagai bentuk komitmen dan evaluasi dalam perjuangan dengan membentuk konsulat- konsulat MA yang membawahi kepengurusan di tingkat Kabupaten dan di tingkat Kecamatan. Para konsulat dan sub konsulat tersebut mengadakan kongres Muktamar MA ke-I tahun 1937 di Menes, pertemuan tersebut sebagai evaluasi tahunan bagi setiap pengurus mulai dari tingkat bawah Surabaya. Lihat Dewi Yuliati,. Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. Semarang: Bendera, 2000, h. 6-7 sampai atas yang dihadiri oleh setiap utusan cabang, yang kemudian dilanjutkan dengan pemilihan ketua umum terpilih adalah KH. Entol Yasin dan wakil ketua adalah KH. Abdul Muthi’, sedangkan ketua bidang pendidikan adalah KH. Mas Abdurrahman. Pada tahun 1938 ketua umum KH. Entol Yasin berpulang kerahmatullah, yang seharusnya tahun tersebut diadakan Muktamar MA ke-II di Menes, kemudian jabatan ketua umum dijabat oleh wakil ketua umum yaitu KH. Abdul Muthi’. Selanjutnya tahun 1939 MA dapat melaksanakan Muktamar ke-III di Menes dengan agenda salah satunya adalah pemilihan ketua umum yang berhasil memilih dan menetapkan KH. Uwes Abu Bakar sebagai ketua umum Pengurus Besar Mathlaul Anwar PBMA. 41 Kemudian, muktamar dengan berjalannya waktu, diadakan setiap tahun umumnya tidak banyak yang dibicarakan dan dihasilkan. Terlebih dihadapkan pada situasi yang cukup sulit, sehingga diawal kepemimpinan KH. Uwes Abu Bakar tidak banyak pula hasil yang diperoleh. Tahun 1940 dan 1941 MA mengadakan Muktamar ke-1V dan V di Menes dengan terpilih kembali KH. Uwes Abu Bakar menjadi ketua umum untuk periode berikutnya. Tahun 1942, dengan meletusnya perang di Asia Timur dan masuknya Jepang untuk menghadapi Belanda dan menduduki Indonesia. MA pada saat itu berkonsentrasi untuk melakukan konsolidasi terhadap pengembangan dan penguatan solidaritas umat Islam. Setelah itu para tokoh MA berpartisipasi membuat barisan kesiapsiagaan dan aktif melakukan berbagai forum pertemuan 41 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 12