Pandeglang dimana sebagian besar materi pengajarannya justru materi-materi umum sebelum kemudian sekolah ini berubah menjadi Pendidikan Guru Agama
Pertama PGAP. Ketika Departemen Agama sekarang Kemenag meluncurkan program Madrasah Wajib Belajar MWB untuk mengintensifikasi pengajaran
materi umum pada siswa madrasah, MA termasuk organisasi yang paling mendukung dengan menyediakan seluruh madrasahnya sebagai tempat aplikasi
program tersebut.
51
Kewajiban untuk mengadopsi kurikulum umum yang ditetapkan pemerintah terhadap MA, justru menimbulkan keprihatinan di kalangan beberapa
pendidik MA tentang hilangnya kekhasan karakter pendidikan MA. Pengadopsian mata pelajaran tersebut sebagai hasil dari kebijakan pemerintah yang baru di
bidang pendidikan terhadap sekolah yang harus memberikan mata pelajaran yang bersifat umum. Padahal tidak semua pelajaran yang bersifat sekuler itu baru, MA
sebelumnya juga mempelajari Bahasa Indonesia, aritmetika, sejarah dunia, geografi, pelajaran menulis huruf latin, IPA, tetapi sebagai bahasa pengantarnya
menggunakan bahasa Arab. Salah satu pelajaran yang paling kontroversial adalah mata pelajaran
Bahasa Inggris yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, sedangkan mata pelajaran Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Selain Bahasa Inggris tidak
dianggap tidak cocok juga sebagai salah satu bentuk penjajahan terhadap agama Islam. Bahkan untuk menunjukan ketidaksetujuannya setiap kali waktunya
51
Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 60
pelajaran Bahasa Inggris para siswa dan guru MA melakukan pemboikotan walk out dari kelas masing-masing.
Kemudian tahun 1956 MA mengadakan kongres ke-X di Menes dan menyepakati untuk mengajukan pernyataan yang meminta pemerintah untuk
mengkaji kembali kebijakan tentang mata pelajaran agama sebagai pelajaran pilihan atau utama. Respon pemerintah yang lambat dalam merevisi kebijakan
tentang pelajaran agama disekolah MA, selanjutnya sebagai wujud nyatanya dengan pendirian SMPI Sekolah Menengah Pertama Islam.
Tahun 1961 MA memiliki 3000 madrasah yang terdaftar di Departemen Agama. Secara kuantitas organisasi pendidikan Islam yang bergabung dengan
MA, seperti, YPI Banten, Nurul Falah di Petir Serang, Yayasan Ihsaniyah Tegal, Yayasan Al-Iman Di Kebumen atau YPI Jawa Tengah dan Nurul Islam di Palu
Sulawesi Utara menjadi cukup banyak. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 1963 ketua umum MA mendapat undangan menjadi tamu kehormatan menghadiri
Muktamar Rabithah Alam Islami. Pertemuan ini menyatakan MA menjadi salah satu organisasi Islam di Indonesia yang mendapat kehormatan dan memperoleh
bantuan material untuk pengembangan organisasinya. Kemudian pada saat yang sama di Mekkah pula berhasil mendirikan perwakilannya, yang dipimpin oleh
KH. Abdul Jalil Al-Mugaddasy. Sementara itu perwakilan MA di Jeddah dipimpin oleh Syeh Abdul Malik.
Pada perkembangan selanjutnya, bila dilihat pendidikan MA dengan pendidikan lainnya tidak ada perbedaan yang sigifikan yang menjadi ciri khas
MA. Padahal pendidikan madrasah MA sebelumnya telah dikenal dan banyak 46
mencetak ulama-ulama atau intelektual Islam dengan menggunakan metode khusus pelajaran agama. Tetapi, pengadopsian kurikulum pemerintah disatu sisi
menurunkan mutu pendidikan madrasah MA sebagai pencetak ulama. Terjadinya perpecahan di internal MA berakibat terhadap pendirian
madrasah-madrasah sempalan atau pecahan seperti Maslahul Anwar yang didirikan oleh Kyai Junaedi, putra Kyai Yasin, di Kaduhauk yang terpisah dari
struktur madrasah MA. Kemunculan madrasah ini merupakan titik mula munculnya madrasah-madrasah baru baik itu di pusat MA Menes maupun di
beberapa wilayahcabang tertentu seperti Al-Ma’arif sebelum kemudian berubah menjadi Ahlussunnah Wal Jama’ah pada akhir tahun 1970-an, Anwarul Hidayah,
Malnu, Malinu dan Nurul Amal.
52
Kemunculan madrasah-madrasah baru tersebut merupakan akibat dari adanya perbedaan persepsi dan kepentingan berbagai kelompok elit MA.
Misalnya, pendirian madrasah Al-Ma’arif yang diprakarsai oleh KH. Abdul Latif, KH. Asrori dan KH. Hamdani merupakan akibat dari perbedaan orientasi politik
antara apakah harus mempertahankan ikatan politik dengan Partai NU atau Masyumi. Selain karena perbedaan afiliasi politik, penolakan para Kyai senior
terhadap upaya modernisasi sekolah dengan memasukkan materi-materi umum, khususnya Bahasa Inggris, mendorong para Kyai tradisionalis dan pengikutnya
kelua dari madrasah MA. Suatu hal yang menarik dari peristiwa ini adalah bagaimana madrasah tidak hanya berfungsi sebagai tempat menimba ilmu
pengetahuan dari guru ke murid tetapi juga menjadi salah satu simbol identitas
52
Wawancara Pribadi dengan Asep Saepudin Jahar, Ciputat, 17 Mei 2010.
politik sekaligus alat memobilisasi masa pengikut. Hal yang tidak jauh berbeda ketika pada tahun 1980-an dan 1990-an ketika muncul lagi madrasah-madrasah
baru seperti al-Ishlah, Al-Jannah dan lain-lain.
53
Hingga tahun 1985, lembaga pendidikan yang didirikan oleh MA, memiliki 4.706 unit Madrasah Ibtidaiah, 737 buah Madrasah Tsanawiyah, 311 buah
Madrasah Aliyah, dan 771 unit pondok pesantren. Jumlah siswa diseluruh lembaga pendidikan tersebut di atas tercatat sebanyak 344.614 orang.
54
Kemudian tahun 2010, MA memiliki sekitar 6000 madrasah yang terdiri dari TK, TsanawiyahSMPI,
AliyahSMA diseluruh Indonesia. Disamping itu, MA memiliki satu Perguruan Tinggi yakni Universitas Mathla’ul Anwar UNMA yang berada diatas tanah seluas 7 Ha,
dilengkapi dengan asrama dan pondok pesantren. Peresmiannya dilakukan oleh wakil Presiden RI Tri Sutrisno tahun 1993 bertempat di Cikaliung Menes Pandeglang-
Banten. Sebagai lembaga penujang dibuat Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum LKBH, Lembaga Pengembangan Koperasi dan Lembaga Bimbingan Haji dan
Umroh
55
C. Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar 1. Era Orde Lama
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Masyumi selain memiliki anggota perorangan juga organisasi diantaranya Muhammadiyah,
NU, Perserikatan Ummat Islam, PUSA Persatuan Ummat Islam, 1949-1953, Al-
53
Wawancara Pribadi dengan KH. Wahid Sahari, Menes, 07 Agustus 2010.
54
Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 205
55
Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen.
Jamiyatul Washliyah, Al-Ittihadiyah Sumatera Utara-1947, Persis Persatuan Islam, Bandung-1948, Al-Irsyad Jakarta-1950
56
dan Matha’ul Anwar MA.
57
Tahun 1945-1950, MA beserta segenap anggota ikut serta dalam perjuangan melawan Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali negara dan
bangsa Indonesia. Keterlibatan MA secara organisasi maupun anggota yang ikut berjuang dalam mengangkat senjata menjadi anggota Hizbullah dan anggota
badan kelaskaran-kelaskaran lainnya. Juga masuk dalam struktural pemerintahan menjadi Asisten Wedana camat seperti KE. Ismail Sekretaris Pengurus Besar
Mathla’ul Anwar pertama periode 1936-1939 kemudian diangkat menjadi Wedana Menes dan KH. A. Shidiq Asisten Wedana Menes. Disamping itu,
beberapa Pemuda MA yang gugur dalam perang kemerdekaan sebagai pahlawan bangsa antara lain Kiyai Abeh Habri Putra KH. Mas Abdurrahman.
58
Kemudian pada masa pemerintahan Orde Lama, partisipasi MA dalam kancah politik terlihat misalnya pada tahun 1950 dimana Ketua Umum atau
Pengurus Besar MA PB MA KH. Uwes Abu Bakar menjadi anggota fraksi Masyumi. Keterlibatan MA dengan Masyumi telah memposisikannya sebagai
organisasi Islam dalam konstituante untuk memperjuangkan Islam sebagai falsafah ideologi negara Indonesia setelah kemerdekaan. Partisipasi politik MA
secara struktural ini diambil sebagai strategi untuk menentukan arah kebijakan yang menyangkut kepentingan ummat.
56
Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di Indonesia, 1990-2000, h. 41-42
57
M. Irsyad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 17
58
Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen, Menes, 03 Agustus 2010.
Perdebatan dalam merumuskan dasar negara antara kelompok Islamis dan kelompok nasionalis sekuler dalam BPUPKI yang dibentuk tanggal 09 April
tahun 1945 merupakan realisasi dari pemerintahan Jepang untuk memberikan kemerdekaan Indonesia yang diumumkan oleh Perdana Menteri Koiso pada 09
September 1944. Anggota BPUPKI sebelumnya berjumlah 62 orang kemudian bertambah enam orang menjadi 68, yang terdiri dari 15 mewakili dari kelompok
Islam politik
59
dan kelompok nasionalis sekuler
60
secara tegas menolak Islam sebagai dasar negara.
61
Menurut Ali Nurdin, bahwa keterlibatan MA dalam politik praktis hanya bersifat situasional, secara organisasi adalah independen dan non-afiliasi. Hal itu
dipertegas dalam ADART MA.
62
Pernyataan independensi MA ini tertuang dalam keputusan-keputusan Muktamar ke-VII, VIII tahun 1951-1952 di Bogor,
dan Muktamar IX tahun 1953 di Bandung dan Muktamar X tahun 1956 dan XI tahun 1966 di Menes.
63
Kemudian, Pemilihan Umum pemilu tahun 1955 KH. Uwes Abu Bakar terpilih menjadi anggota DPR RI yang sebelumnya sebagai anggota DPRD
Provinsi Jawa Barat dan DPRD Kabupaten Pandeglang, bersama kiyai Muslim Abdurrahman. Selain itu, KH. Uwes Abu Bakar juga pernah ditawari menjadi
59
Perwakilan dari kalangan Islam politik terdiri dari: KH. Ahmad Sanusi dan KH. Abdul Halim PUI, K. Bagus Hadikusumo, KH. Mas Masjkur dan Ambdul Kahar Muzakar
Muhammadiyah, KH. A. Wahid Hasjim, KH. Masjkur NU, Sukiman Wirjisanjojo PII sebelum perang, Abi Kusno Cokrosojoso PSII, Agus Salim Penyadar senelum perang.
60
Perwakilan nasionalis sekuler dalam BPUPKI terdiri dari Dr. Radjiman, Soekarno, M. Hatta. Prof. Soepomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Santono, RP Suroso, Dr. Buntaran
Martoatmojo.
61
Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 41-42.
62
Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin, Ciputat, 20 Mei 2010.
63
Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 72
Menteri Agama pada masa Orde Lama, namun ditolaknya dengan alasan ingin konsentrasi terhadap pengembangan dan kemajuan MA.
64
Partisipasi politik MA melalui partai politik pernah mengalami kevakuman. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang
dominan di parlemen ketika Presiden Soekarno menunjuk formatur kabinet dari Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan
formartur kepada Sukiman tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai
formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai tindakan pelanggaran terhadap partai. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam
tubuh Masyumi sendiri terjadi perebutan pengaruh politis Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama yang kemudian dimanfaatkan oleh Presidien Soekarno.
Selanjutnya, Presiden Soekarno pada akhir tahun 1960 menerbitkan Keppres Nomor 2001960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi
dan Partai Sosialis Indonesia PSI. Namun pelaksanaan pembubaran itu harus dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua
partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Keputusan tersebut kemudian sebagai salah satu pemicu terjadinya
peritiwa pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI dan Permesta di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara akibat terjadinya dominasi kekuasaan antara Jawa
Jakarta dan non Jawa.
65
64
Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 70
65
Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 21
Kedekatan politik MA ke Masyumi semakin kental manakala beberapa tokoh MA menjadi pendukung sikap oposisi Masyumi terhadap beberapa
kebijakan Sukarno. Tidak heran jika setelah Masyumi untuk membubarkan diri pada tahun 1960, MA mendapat tekanan dari kelompok pro-Sukarno. Akibatnya,
MA mengubah simbolnya dengan tujuan untuk menjelaskan tidak adanya hubungan yang khusus MA dengan Masyumi. Tidak cukup dengan itu, MA
kemudian bergabung dengan pembentukan Dewan Dakwah Islam Indonesia DDII
66
dan Sekretariat Bersama Golongan Karya Sekber Golkar
67
yang bertujuan untuk merespon terjadinya peristiwa Gestapu Gerakan Tiga puluh
September yang kemudian Sekber menjadi Partai Golkar.
68
2. Era Orde Baru
Mathla’ul Anwar MA seperti halnya organisasi muslim lainnya dibawah Orde Baru, mengalami perubahan yang hebat, baik dari dimensi internal maupun
pengaruh langsung atau tidak langsung kebijakan Orde Baru. Berdasarkan fakta ini, perjalanan MA dapat dibagi kepada dua periode yang penting. Pertama, untuk
20 tahun pertama pemerintahan Orde Baru ditandai oleh tumbuhnya kekuatan MA penentang melawan pemerintah. Kepemimpinan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar
PBMA dibawah KH. Uwes Abu Bakar ayng dilanjutkan oleh Nafirin Hadi yang radikal secara rutin menentang kebijakan Orde Baru-Soeharto.
69
Kedua, ditahun-
66
DDII adalah organisasi keagamaan independen yang berdiri tahun 1967 di Jakarta, fokus gerakannya adalah dakwah Islam yang telah berjasa mencetak dan mengirim para da’i
keseluruh pelosok Indonesia. Lihat. R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet: 1, 1997, h. 105
67
Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen.
68
Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah Pusaran Demokrasi Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet: 1, 2002, h. 252
69
Reaksi menentang kebijakan Orde Baru seperti, pernyataan kelompok muslim radikal sebagai Islam phobia, politik Islam secara umum memburuk oleh intervensi militer, menolak