Bab ini merupakan kesimpulan dari penelitian ini, yang berisi

Banten Selatan dan khususnya Menes-Ujung Kulon merupakan masyarakat dengan tingkat buta huruf yang cukup tinggi. Dimana masyarakat Banten khususnya dari segi pendidikan dan sosial ekonomi memang sangat memprihatinkan, sekolah–sekolah yang dibangun oleh penjajah Belanda tidak disiapkan untuk pribumi, hanya golongan tertentu yang bisa masuk disekolah tersebut politik etis Belanda. 10 Selain itu, rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat Menes-Ujung Kulon terhadap pendidikan juga ajaran Islam, salah satunya disebabkan proses Islamisasi yang dilakukan di zaman Kesultanan Banten Selatan belum terbukti dalam mengamalkan ajaran agama Islam secara benar, karena proses dakwah tidak berlangsung secara gencar, konsep pengembangan Islam pada zaman Kerajaan atau Kesultanan Banten hanya gencar dilakukan ke daerah-daerah yang menyetorkan upeti pajak. 11 Karena itu Kesultanan atau Kerajaan justeru lebih tertarik dalam memperluas kekuasaan teritorialnya dengan cara menundukan kerajaan-kerajaan yang belum masuk Islam dibandingkan dengan upaya mengintensifkan dakwahnya. 12 Hal itu terbukti, dengan masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat Menes terhadap ajaran agama Islam yang menyebabkan adanya penyimpangan- penyimpangan akidah seperti adanya TBC takhayul, bid’ah dan khurafat dan percaya kepada benda-benda keramat animisme lainnya yang diyakini akan 10 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, Cet I , h. 157 11 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. 12 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX, Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004, h. 63, 69 mendatangkan hal yang dianggap positif bagi masyarakat Menes terhadap segala macam kejahatan dan kenaasan. 13 Kemudian, kondisi masyarakat di daerah Menes diperparah dengan situasi penuh kekacauan dan kerusuhan, dimana para jawara 14 atau bandit sosial 15 yang mempunyai ilmu-ilmu hitam pada saat itu telah menguasai daerah Menes seringkali membuat kekacauan, kemaksiatan, perjudian, pelacuran, pencurian, perampokan dan menindas masyarakat dan akhirnya mematikan kehidupan ruh keagamaan. 16 Atas keprihatinan tersebut, para ulama atau kyai meresponnya dengan mengadakan musyawarah yang bertempat di Kampung Kananga-Menes, dipimpin oleh KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb. Mohammad Soleh serta ulama-ulama lainnya di sekitar Menes. Akhirnya musyawarah tersebut mengambil keputusan untuk mendirikan pendidikan formal yaitu berbentuk madrasah sebagai bentuk perjuangan untuk membawa umat keluar dari keterpurukan. Pendirian madrasah atau pendidikan formal selain untuk memberikan kesempatan belajar bagi masyarakat Menes, juga karena gagalnya sistem pendidikan Islam lama pesantren untuk menarik minat anak muda sebagai generasi penerus untuk masuk pesantren. Sehingga, pesantren tidak mampu untuk “mencetak” calon-calon pemimpin umat yang sadar akan tantangan zaman. Faktor 13 Wawancara Pribadi dengan Asep Saepudin Jahar, Ciputat, 17 Mei 2010. 14 Jawara menurut orang Banten adalah istilah orang-orang yang mempunyai ilmu kesaktian. 15 Bandit sosial Istilah lain Jawara, yaitu suatu golongan sosial yang terdiri dari orang- orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan seringkali melakukan tindakan kriminal. Lihat. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, Cet I, h. 83. Selanjutnya lihat. Mohammad Hudaeri, ed., Tasbih dan Golok Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2007, h. 13 16 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” Skripsi S1 Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006, h. 25