Pengaruh Karakteristik Dan Motivasi Penderita Tuberkulosis Paru Terhadap Kepatuhan Berobat Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2009

(1)

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PENDERITA TUBERKULOSIS PARU TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT

DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) MEDAN TAHUN 2010

SKRIPSI

Oleh :

NIM. 051000042 RISTY IVANTI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(2)

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PENDERITA TUBERKULOSIS PARU TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT

DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) MEDAN TAHUN 2010

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM. 051000042 RISTY IVANTI

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2010


(3)

HALAMAN PENGESAHAN Skripsi dengan Judul :

PENGARUH KARAKTERISTIK DAN MOTIVASI PENDERITA TUBERKULOSIS PARU TERHADAP KEPATUHAN BEROBAT

DI BALAI PENGOBATAN PENYAKIT PARU-PARU (BP4) MEDAN TAHUN 2010

Yang Dipersiapkan dan Dipertahankan Oleh : NIM. 051000042

RISTY IVANTI

Telah Diuji dan Dipertahankan Dihadapan Tim Penguji Skripsi Pada Tanggal 26 Juni 2010 dan

Dinyatakan Telah Memenuhi Syarat Untuk Diterima Tim Penguji

Ketua Penguji Penguji I

Prof. Dr. Dra. Ida Yustina, M.Si

NIP. 19680320 199308 2 001 NIP. 140052649 dr. Fauzi. SKM

Penguji II Penguji III

dr. Heldy BZ, MPH

NIP. 19520601 198203 1 003 NIP. 19730803 199903 2 001 Siti Khadijah Nasution SKM, M.Kes Medan, Juli 2010

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Dekan,

NIP. 19531018 198203 2 001 dr. Ria Masniari Lubis, M.Si


(4)

ABSTRAK

Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan merupakan bagian dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang melaksanakan program pemberantasan TB Paru. Berdasarkan arsip laporan TB Tahun 2008, angka kesembuhan penderita TB Paru masih rendah, di mana dari 131 penderita TB Paru BTA (+) hanya 54 orang dinyatakan sembuh (41,2%).

Jenis penelitian ini adalah survei dengan tipe explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik penderita TB paru (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB Paru (meliputi : dukungan keluarga, pengawasan PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru. Populasi adalah seluruh penderita TB paru BTA positif baru yang telah selesai melaksanakan tahap pengobatan intensif pada bulan September sampai Desember Tahun 2009 sebanyak 147 orang dan penetapan jumlah sampel menggunakan metode “simple random sampling” sebanyak 60 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan uji regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah dukungan keluarga (p=0,006) dan rasa tanggung jawab (p=0,000). Variabel yang tidak memiliki hubungan dengan tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, pengawasan PMO dan dorongan petugas kesehatan.

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada petugas BP4 Medan untuk melakukan penyuluhan kepada Pengawas Minum Obat (PMO) untuk penderita TB Paru dan memastikan PMO mengetahui jadwal-jadwal yang berkaitan dengan pengobatan penderita sehingga peran pengawasan menjadi lebih optimal dan keberhasilan pengobatan dapat dicapai.


(5)

ABSTRACT

Health Center for Lung Disease (BP4) Medan is part of Health Service Unit which implemented the Eradication of Pulmonary TB. Based on the TB report archives 2008 , the number of cure rate still low, from 131 patients with Pulmonary TB Positive BTA just 54 patients declared cured.

The type of research was explanatory approach that aimed to explain the influence of individual characteristics (age, sex, marital status, occupation, and knowledge) and motivation of patients with Pulmonary TB (family support, PMO control, staff support, and sense of responsibility) on the compliance level of Pulmonary TB patients in treatments. The population were all patients with new positive BTA Pulmonary TB (not recurrent) who had completed intensive treatment phase in implemented TB control programs at the BP4 Medan on September until December 2009 total 147 persons and the sample was determined by simple random sampling as many as 60 people. Data were collected by using questionnaire and were analyzed by using multiple linear regression.

The results of research showed that variables which had significant influence on the compliance level of Pulmonary TB patients were the family support (p= 0.006) and sense of responsibility (p = 0.000). The variables which had no relationship with the compliance level of Pulmonary TB patients were age, sex, occupation, marital status, PMO controlling and staff support.

It is expected, BP4 Medan health officer take a extension to PMO and make sure PMO know the schedules relating to the treatment of patients so that controlling role to be more optimal and successful treatment can be achieved.


(6)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : RISTY IVANTI

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 16 Februari 1988 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status Perkawinan : Belum Menikah

Jumlah Anggota Keluarga : 3 (anak ke-2 dari 3 bersaudara)

Alamat Rumah : Jl. Bunga Baldu I No.10 Medan 20133

Riwayat Pendidikan :

1. 1992 - 1993 : TK Muhamadiyah Medan 2. 1993 - 1998 : SD Taman Siswa Medan 3. 1998 - 1999 : SD Negeri No.068083 Medan 4. 1999 - 2002 : SLTP Negeri I Medan

5. 2002 - 2005 : SMA Negeri 15 Medan


(7)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas berkah dan karuniaNya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh

Karakteristik Dan Motivasi Penderita Tuberkulosis Paru Terhadap Kepatuhan Berobat Di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Tahun 2009”

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Penulis menyadari bahwa apa yang disajikan dalam skripsi ini mungkin masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak yang sifatnya membangun.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak memperoleh bimbingan, bantuan, saran dan masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Prof. Dr. Ida Yustina, M.Si, selaku Ketua Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing skripsi I atas keluangan waktu, bantuan, bimbingan dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.

3. Bapak dr. Fauzi, SKM, selaku Dosen Pembimbing skripsi II atas keluangan waktu, bantuan, bimbingan dan pengarahan untuk kesempurnaan skripsi ini.


(8)

4. Ibu Siti Khadijah Nst, S.K.M, M.Kes, selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak memberikan saran dan masukan kepada penulis.

5. Bapak dr. Heldy BZ, M.P.H, selaku Dosen Penguji skripsi yang telah banyak memberikan saran dan masukan kepada penulis.

6. Bapak Prof. dr. Aman Nasution, M.P.H selaku dosen di Departemen Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

7. Ibu Asfriyati, S.K.M, M.Kes, selaku Dosen Penasehat Akademik di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

8. Bapak dr. H. Adlan Lufti, Sp.P selaku Kepala BP4 Medan yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian.

9. Ibu Rita selaku Kepala Seksi Penelitian dan Pengembangan yang telah banyak memberikan masukan, bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini. 10.Ibu Saniah selaku petugas kesehatan di BP4 Medan yang telah banyak

memberikan bantuan, bimbingan, pengarahan dalam penulisan skripsi ini.

11.Para Dosen dan Staf di FKM USU, khususnya Departemen AKK yang telah membimbing selama perkuliahan.

12.Teman-teman dan kakanda seperjuangan di Departemen AKK: Yuni, Lidya, Suaidah, Siska, Ria, Fany, Sri, Elina, Rina, Bertha, Etri, Aida, Vina, Ferni, Siti, Citra, Husein, Franky, Roni, Wisana, Julham, Koto, Derry, Joshua dan yang lainnya serta alumni mahasiswa peminatan AKK: Ade, Tini, Mita, Fitri, Imel, Nelly dan Kiki yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.


(9)

13.Terima kasih untuk Marwa, Liza, Mia, Gita, Eni, Dian, Widya dan Rani atas kebersamaan dan persahabatan mulai dari awal perkuliahan di FKM USU hingga saat ini.

14.Rekan-rekan stambuk 2005 dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga kepada orangtua yang saya hormati dan sayangi, Sunyoto, SH dan Sabarina, atas segala doa, kekuatan, kasih sayang, kesabaran dan pengorbanan yang diberikan dengan segenap hati yang tulus selama ini. Selanjutnya kepada abangda Eko Prasetyo, ST, yang selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis, dan adinda Vadea Oktari atas dukungan dan doanya selama ini. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Bapak Sugeng, Ibu Nur dan Kakanda Ivo yang telah banyak mendukung dan membantu dalam penyelesaian skripsi ini.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja serta untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Amin.

Medan, Juni 2010

Penulis,


(10)

DAFTAR ISI

Hal

Halaman Persetujuan ... i

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Riwayat Hidup Penulis ... iv

Kata Pengantar ... v

Daftar Isi ... viii

Daftar Tabel ... xi

Daftar Gambar ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Perumusan Masalah ... 6

1.3.Tujuan Penelitian ... 6

1.4.Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Tuberkulosis ... ... 8

2.1.1. Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis ... 8

2.1.2. Risiko Penularan ... 9

2.1.3. Gejala Penyakit Tuberkulosis... 9

2.1.4. Diagnosis Penyakit TB Paru ... 10

2.1.5. Tipe Penderita TB Paru ... 10

2.1.6. Prinsip Pengobatan ... 12

2.1.7. Penanggulangan Penyakit TB Paru dengan Strategi DOTS... 13

2.1.8. Pengawas Minum Obat (PMO) ... 14

2.1.8. Organisasi Pelaksana Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia ... 15

2.2. Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) ... 17

2.3. Konsep Perilaku ... 18

2.4. Kepatuhan Berobat ... 19

2.5. Motivasi ... 23

2.5.1. Definisi Motivasi ... 23

2.5.2. Teori Motivasi ... ... 24

2.6. Penelitian-Penelitian Sebelumnya ... 26

2.7. Kerangka Konsep... 27

2.8. Hipotesis Penelitian ... 28

BAB III METODE PENELITIAN ... 29

3.1. Jenis Penelitian ... 29

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian... 29


(11)

3.3.1. Populasi ... 29

3.3.2. Sampel ... 30

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 30

3.5. Definisi Operasional ... 31

3.6. Aspek Pengukuran ... 34

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... 34

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 35

3.7. Teknik Analisa Data... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 37

4.1. Gambaran Umum BP4 Medan ... ... 37

4.1.1. Data Geografis ... 37

4.1.2. Ketenagaan (SDM) di BP4 Medan... 37

4.1.3. Kegiatan Pelayanan Medis di BP4 Medan ... 38

4.2. Gambaran Karakteristik Responden ... 42

4.2.1. Deskripsi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan dan Pekerjaan ... 42

4.2.2. Variabel Pengetahuan ... 43

4.3. Gambaran Motivasi Responden ... . 47

4.3.1. Deskripsi Responden Berdasarkan Dukungan Keluarga ... 47

4.3.2. Deskripsi Responden Berdasarkan Pengawasan PMO ... 49

4.3.3. Deskripsi Responden Berdasarkan Dorongan Petugas Kesehatan ... 50

4.3.4. Deskripsi Responden Berdasarkan Rasa Tanggung Jawab ... 51

4.2.5. Kepatuhan Berobat ... 53

4.3. Analisis Bivariat ... 55

4.4. Analisis Multivariat ... 57

BAB V PEMBAHASAN ... 60

5.1. Pengaruh Umur Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 60

5.2. Pengaruh Jenis Kelamin Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 61

5.3. Pengaruh Status Perkawinan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat 61 5.4. Pengaruh Pekerjaan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 62

5.5. Pengaruh Pengetahuan Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 63

5.6. Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 64

5.7. Pengaruh Rasa Tanggung Jawab Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat ... 65 5.8. Pengaruh Pengawasan PMO Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat 66 5.9. Pengaruh Dorongan Petugas Terhadap Tingkat Kepatuhan Berobat 67


(12)

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 68

6.1. Kesimpulan ... 68

6.2. Saran ... 68

DAFTAR PUSTAKA ... 70 LAMPIRAN :

Lampiran 1. Kuesioner


(13)

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas ... ... 34

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Terikat ... 36

Tabel 4.1. Distribusi Tenaga Kesehatan di BP4 Medan ... 38

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Menurut Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Perkawinan dan Pekerjaan ... 43

Tabel 4.3. Distribusi Responden Menurut Pengetahuan ... 46

Tabel 4.4. Distribusi Kategori Menurut Pengetahuan ... 47

Tabel 4.5. Distribusi Responden Menurut Dukungan Keluarga... 48

Tabel 4.6. Distribusi Kategori Menurut Dukungan Keluarga ... 48

Tabel 4.7. Distribusi Responden Menurut Pengawasan PMO ... 49

Tabel 4.8. Distribusi Kategori Menurut Pengawasan PMO ... 50

Tabel 4.9. Distribusi Responden Menurut Dorongan Petugas Kesehatan ... 51

Tabel 4.10. Distribusi Kategori Menurut Dorongan Petugas Kesehatan ... 51

Tabel 4.11. Distribusi Responden Menurut Rasa Tanggung Jawab ... 52

Tabel 4.12. Distribusi Kategori Menurut Rasa Tanggung Jawab ... 53

Tabel 4.13. Distribusi Responden Menurut Kepatatuhan Berobat ... 54

Tabel 4.14. Distribusi Kategori Menurut Kepatuhan Berobat ... 54

Tabel 4.15. Alasan Responden Tidak Patuh Berobat ... 55

Tabel 4.15. Hasil Uji Statistik Korelasi Pearson ... 57


(14)

DAFTAR GAMBAR

Hal


(15)

ABSTRAK

Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan merupakan bagian dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang melaksanakan program pemberantasan TB Paru. Berdasarkan arsip laporan TB Tahun 2008, angka kesembuhan penderita TB Paru masih rendah, di mana dari 131 penderita TB Paru BTA (+) hanya 54 orang dinyatakan sembuh (41,2%).

Jenis penelitian ini adalah survei dengan tipe explanatory research yang bertujuan untuk menjelaskan pengaruh karakteristik penderita TB paru (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB Paru (meliputi : dukungan keluarga, pengawasan PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru. Populasi adalah seluruh penderita TB paru BTA positif baru yang telah selesai melaksanakan tahap pengobatan intensif pada bulan September sampai Desember Tahun 2009 sebanyak 147 orang dan penetapan jumlah sampel menggunakan metode “simple random sampling” sebanyak 60 orang. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan uji regresi linier berganda.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang mempunyai pengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah dukungan keluarga (p=0,006) dan rasa tanggung jawab (p=0,000). Variabel yang tidak memiliki hubungan dengan tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, pengawasan PMO dan dorongan petugas kesehatan.

Berdasarkan hasil penelitian, diharapkan kepada petugas BP4 Medan untuk melakukan penyuluhan kepada Pengawas Minum Obat (PMO) untuk penderita TB Paru dan memastikan PMO mengetahui jadwal-jadwal yang berkaitan dengan pengobatan penderita sehingga peran pengawasan menjadi lebih optimal dan keberhasilan pengobatan dapat dicapai.


(16)

ABSTRACT

Health Center for Lung Disease (BP4) Medan is part of Health Service Unit which implemented the Eradication of Pulmonary TB. Based on the TB report archives 2008 , the number of cure rate still low, from 131 patients with Pulmonary TB Positive BTA just 54 patients declared cured.

The type of research was explanatory approach that aimed to explain the influence of individual characteristics (age, sex, marital status, occupation, and knowledge) and motivation of patients with Pulmonary TB (family support, PMO control, staff support, and sense of responsibility) on the compliance level of Pulmonary TB patients in treatments. The population were all patients with new positive BTA Pulmonary TB (not recurrent) who had completed intensive treatment phase in implemented TB control programs at the BP4 Medan on September until December 2009 total 147 persons and the sample was determined by simple random sampling as many as 60 people. Data were collected by using questionnaire and were analyzed by using multiple linear regression.

The results of research showed that variables which had significant influence on the compliance level of Pulmonary TB patients were the family support (p= 0.006) and sense of responsibility (p = 0.000). The variables which had no relationship with the compliance level of Pulmonary TB patients were age, sex, occupation, marital status, PMO controlling and staff support.

It is expected, BP4 Medan health officer take a extension to PMO and make sure PMO know the schedules relating to the treatment of patients so that controlling role to be more optimal and successful treatment can be achieved.


(17)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan suatu penyakit yang sudah cukup lama dan tersebar di seluruh dunia. Penyakit tuberkulosis dikenal oleh masyarakat luas dan ditakuti karena menular. Menurut Robins (Misnadiarly, 2006), tuberkulosis adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis dan biasa terdapat pada paru-paru tetapi dapat mengenai organ tubuh lainnya. Penyakit TB banyak menyerang kelompok usia kerja produktif, kebanyakan dari kelompok sosial ekonomi rendah dan berpendidikan rendah.

Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi penting penyebab morbidity dan mortality di seluruh dunia, namun setiap negara berbeda angka insidensinya. Menurut WHO setiap tahun di dunia diperkirakan terdapat 8,7 juta kasus baru TB dan 1,7 juta kematian karena TB. Bila tidak diupayakan pengendalian yang memadai 25 tahun kemudian diperkirakan angka kematian akan mencapai 40 juta orang per tahun (Viska, 2007). Penderita TB meningkat setiap tahunnya oleh karena setiap satu penderita TB dengan sputum mengandung Basil Tahan Asam (BTA) positif akan menularkan pada 10-15 orang lain setiap tahunnya (Alvian, 2008).

Laporan TB Paru dunia yang terbaru oleh WHO tahun 2006 masih menempatkan Indonesia dengan jumlah kasus baru 240.000 setiap tahunnya sebagai penyumbang terbesar nomor tiga setelah India dan Cina, ketiganya berkontribusi lebih dari 50% dari seluruh kasus TB Paru yang terjadi di 22 negara di dunia (Depkes RI, 2008).


(18)

Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2001 di Indonesia TB menduduki ranking ketiga sebagai penyebab kematian (9,4% dari total kematian), setelah penyakit jantung dan sistem pernafasan. Hasil survei tuberkulosis di Indonesia tahun 2004 menunjukkan bahwa angka insidensi tuberkulosis Basil Tahan Asam (BTA) positif secara nasional 105 per 100.000 penduduk (Depkes RI, 2008).

Hasil survei tuberkulosis di Indonesia tahun 2006 menunjukkan bahwa angka penemuan kasus TB di Indonesia (CDR = Case Detection Rate ) adalah 75,7%, namun pada tahun 2007 turun menjadi 69,1%. Adapun angka keberhasilan pengobatan (Success Rate = SR) mencapai 91,0% melebihi target WHO sebesar 85%. Sementara itu, di Sumatera Utara angka penemuan kasus TB tahun 2006 adalah 82,7%, namun pada tahun 2007 turun menjadi 65,1%. Angka keberhasilan pengobatan SR mencapai 94,5% melebihi target WHO sebesar 85% (Depkes RI, 2008).

Tahun kedaruratan global penyakit tuberkulosis paru (TB) telah dicanangkan pada tahun 1993 oleh organisasi kesehatan dunia (WHO). Hal tersebut dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa penyakit TB tidak terkendali di sebagian besar negara di dunia. Ini disebabkan banyaknya penderita yang tidak berhasil disembuhkan, terutama penderita menular BTA positif (Depkes RI, 2002).

Untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian penyakit tuberkulosis serta mencegah terjadinya resistensi obat telah dilaksanakan program nasional penanggulangan tuberkulosis dengan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) yang direkomendasi oleh WHO. Metoda DOTS telah diterapkan di


(19)

Indonesia mulai tahun 1995 dengan 5 komponen yaitu komitmen politik kebijakan dan dukungan dana penanggulangan TB, diagnosis TB dengan pemeriksaan secara mikroskopik, pengobatan dengan obat anti TB yang diawasi langsung oleh pengawas menelan obat (PMO), ketersediaan obat dan pencatatan hasil kinerja program TB ( Depkes RI, 2002).

Di samping itu pemerintah juga membentuk Gerakan Terpadu Nasional (GERDUNAS) TB yang dicanangkan pada tanggal 24 Maret 1999 dengan fokus utama adalah memperkuat kemitraan antara berbagai sektor dengan NTP (National Tuberculosis Program). Gerdunas TB diharapkan dapat memperluas metoda DOTS yang dianjurkan WHO. Selain itu telah dibentuk pula forum yaitu TB Partnership Forum Indonesia di tahun 2001, forum ini menghimpun kerjasama yang terdiri dari LSM lokal, internasional, organisasi keagamaan, lembaga swadaya dan pemerhati masalah TB ( Depkes RI, 2002).

Sudah banyak penelitian yang berkaitan dengan Tuberkulosis. Hasil penelitian yang dilakukan Pemerintah Kab. Timor Tengah Selatan Provinsi Nusa Tenggaara Timur pada tahun 2000 menyimpulkan ada 8 variabel yang memengaruhi kegagalan konversi pada penderita TB Paru yang telah berobat yakni status gizi, lantai rumah, jendela rumah, merokok, peran keluarga dalam pengobatan, ketersediaan PMO, penyuluhan paramedis, dan kepatuhan berobat penderita (Akbar, 2008).

Menurut penelitian Simamora (2004) yang dilakukan di Puskesmas Kota Binjai, ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB paru yaitu : pengetahuan penderita tentang pengobatan TB paru, ada tidaknya Pengawas Minum Obat (PMO), efek samping obat, perilaku petugas


(20)

pelayanan kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan, dan jarak antara rumah pasien ke puskesmas. Analisa hasil penelitiannya menyimpulkan penderita TB paru yang pengetahuannya kurang baik terhadap pengobatan TB paru mempunyai kemungkinan 6,097 kali lebih besar tidak teratur berobat dibandingkan pada penderita yang pengetahuannya baik terhadap pengobatan TB paru. Selain itu juga menurut hasil penelitian Zuliana (2009) di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan terdapat pengaruh yang bermakna antara variabel pengetahuan dan peran PMO terhadap kepatuhan berobat penderita TB Paru.

Penelitian lainnya yang berkaitan dengan TB Paru yaitu yang dilakukan oleh Susanti (2008) di Puskesmas Purbaratu Kota Tasikmalaya, diketahui bahwa ada hubungan antara pengetahuan, sikap dan motivasi pasien tuberkulosis paru dengan keteraturan berobat di wilayah kerja puskesmas. Lamanya waktu pengobatan TB paru yang harus dilakukan selama 6 bulan, dapat saja dijadikan beban oleh penderita sehingga mereka malas untuk melanjutkan proses pengobatan. Adapun bagi penderita yang memiliki keinginan atau motivasi yang kuat akan terhindar dan sembuh dari penyakit dan tetap akan melakukan pengobatan secara teratur. Namun Susanti kurang menjelaskan tentang deskripsi dari motivasi tersebut. Oleh karena itu, maka dirasa perlu untuk dilaksanakan penelitian lebih lanjut tentang faktor-faktor motivasi yang memengaruhi kepatuhan berobat di suatu Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) yang melayani pengobatan TB Paru.

Menurut Woodworth dan Marquis yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), berdasarkan penyebabnya motivasi dapat dibagi menjadi 2 yaitu : (a) motivasi intrinsik yakni motif yang berfungsi tanpa rangsangan dari luar, karena pada dasarnya


(21)

dalam diri seseorang sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu, (b) motivasi ekstrinsik yakni motif yang berfungsi karena adanya rangsangan dari luar diri seseorang. Motivasi merupakan suatu dorongan dari dalam diri seseorang yang menyebabkan orang tersebut melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai suatu tujuan. Motivasi tidak dapat diamati, yang dapat diamati adalah kegiatan atau mungkin alasan-alasan tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

Penelitian ini akan dilakukan di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan Provinsi Sumatera Utara. Balai Pengobatan ini merupakan bagian dari Unit Pelayanan Kesehatan (UPK), sama halnya seperti Puskesmas dan Rumah Sakit Pemerintah namun dikhususkan untuk pengobatan penyakit paru-paru. BP4 Medan sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara telah melaksanakan program Pemberantasan TB Paru dengan strategi DOTS sejak tahun 2003. Berdasarkan arsip laporan TB Triwulan I s/d Triwulan IV tahun 2007, diketahui bahwa dari 87 penderita TB Paru BTA (+) yang ada di BP4 Medan sebanyak 56 orang penderita dinyatakan sembuh (64,4%). Pada tahun 2008 jumlah penderita TB Paru BTA (+) meningkat menjadi 131 orang dengan angka kesembuhan sebesar 41,2% yaitu 54 orang penderita dinyatakan sembuh.

Bila dibandingkan dengan angka kesembuhan nasional 85%, maka persentase angka kesembuhan di BP4 Medan masih belum sesuai dengan target yang telah ditetapkan WHO tersebut. Sebagai organisasi pelaksana penanggulangan TB nasional, BP4 dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana penanggulangan TB. Hal inilah yang melatarbelakangi peneliti untuk mengambil lokasi di BP4 Medan dengan harapan karena BP4 sebagai Pusat Pelayanan Pengobatan Penyakit Paru-Paru


(22)

khususnya TB Paru, peneliti dapat menggali data dan mendeskripsikan secara jelas pengaruh karakteristik dan motivasi penderita TB Paru terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru di BP4 Medan.

1.2. Perumusan masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah apakah ada pengaruh karakteristik penderita TB paru (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB Paru (meliputi : dukungan keluarga, pengawasan PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kepatuhan berobat dalam menjalani pengobatan di BP4 Medan tahun 2009.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menjelaskan pengaruh karakteristik penderita TB paru (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB Paru (meliputi : dukungan keluarga, pengawasan PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kepatuhan berobat dalam menjalani pengobatan di BP4 Medan tahun 2009.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Sebagai masukan kepada instansi terkait yaitu BP4 medan dalam menyusun program pelaksanaan yang berkaitan dengan pelayanan pengobatan TB Paru.


(23)

2. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan yang bertugas di BP4 Medan dalam meningkatkan kualitas pelayanannya.

3. Sebagai bahan masukan untuk pengembangan Ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.


(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuberkulosis

Tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi yang dapat mengenai paru-paru manusia. Tuberkulosis disebabkan oleh kuman dan karena itu tuberkulosis bukanlah penyakit keturunan. Selain terdapat pada paru-paru, tuberkulosis juga dapat mengenai organ tubuh lainnya, seperti tulang, otak, otot dan lain-lain (Aditama, 1994).

Tuberkulosis disebabkan oleh basil atau kuman yang diberi nama dalam bahasa latin Mycobacterium tuberculosis. Basil penyebab tuberkulosis ini ditemukan oleh seorang ilmuwan Jerman yang bernama Robert Koch pada tahun 1882. Basil tuberkulosis akan tumbuh secara optimal pada suhu sekitar 37˚C, yang memang kebetulan sesuai dengan tubuh manusia (Aditama, 1994).

2.1.1. Cara Penularan Penyakit Tuberkulosis

Sumber penularan adalah penderita TB Paru BTA positif. Pada waktu batuk atau bersin, penderita menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk droplet (percikan dahak). Droplet yang mengandung kuman dapat bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam. Seseorang dapat terinfeksi kuman TB Paru bila droplet tersebut terhirup ke dalam saluran pernafasan. Setelah kuman tuberkulosis masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernafasan, kuman tuberkulosis tersebut dapat menyebar dari paru ke bagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, saluran nafas, atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya (Depkes RI, 2002).


(25)

Daya penularan dari seorang penderita ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif hasil pemeriksaan dahak, makin menular penderita tersebut. Bila hasil pemeriksaan dahak negatif (tidak terlihat kuman), maka penderita tersebut dianggap tidak menular.

2.1.2. Risiko Penularan

Secara umum penularan penyakit tuberkulosis banyak tergantung dari beberapa faktor seperti jumlah kuman yang ada, tingkat keganasan kuman dan daya tahan tubuh orang yang tertulari, namun penularan mudah terjadi bila terdapat hubungan yang erat dan lama dengan penderita tuberkulosis yang aktif, yakni penderita TB Paru BTA positif (Amin, 1989).

Risiko penularan setiap tahun (Annual Risk of Tuberculosis Infection = ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1-3 %. Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun di antara 1000 penduduk, sepuluh orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya sekitar 10 % dari yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB (Depkes RI, 2002).

2.1.3. Gejala Penyakit Tuberkulosis

Gejala utama yang dirasakan oleh penderita adalah batuk berdahak lebih dari dua atau tiga minggu. Batuk berdahak timbul karena ada peradangan akibat tuberkulosis pada saluran nafas, karena peradangan tersebut maka timbullah penumpukan cairan dahak di saluran nafas dan paru.


(26)

Adapun gejala tambahan yang sering dijumpai pada penderita tuberkulosis paru adalah : adanya dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, dan demam meriang lebih dari sebulan (Depkes RI, 2002).

2.1.4. Diagnosis Penyakit Tuberkulosis Paru

Sebagian besar kasus tuberkulosis paru didiagnosis karena pasien merasa tidak sehat sehingga datang minta bantuan ke suatu puskesmas, klinik, rumah sakit atau dokter praktik.

Untuk mengetahui adanya tuberkulosis, dokter biasanya berpegang pada tiga patokan utama. Pertama, hasil wawancaranya tentang keluhan pasien dan hasil pemeriksaan yang dilakukan pada pasien yang disebut dengan anamnesis. Kedua, hasil pemeriksaan laboratorium untuk menemukan adanya BTA pada spesimen penderita dengan cara pemeriksaan 3 spesimen dahak dalam waktu 2 hari berturut-turut yaitu sewaktu-pagi-sewaktu (SPS). Ketiga, pemeriksaaan rontgen dada yang akan memperlihatkan gambaran paru yang akan diperiksanya. Selain ketiga patokan tersebut kadang dokter juga mengumpulkan data tambahan dari hasil pemeriksaan darah atau pemeriksaan tambahan lain (Aditama, 1994).

2.1.5. Tipe Penderita Tuberkulosis Paru

Menurut Depkes RI (2002), tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe penderita yaitu :


(27)

1. Kasus baru adalah penderita yang belum pernah diobati dengan Obat Anti

Tuberkulosis (OAT) atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

2. Kambuh (Relaps) adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah

mendapatkan pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

3. Pindahan (Transfer In) adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan

di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat rujukan/pindah.

4. Lalai (Default /Drop Out) adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1

bulan, dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif.

5. Lain-lain

a. Gagal adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali

menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan akhir pengobatan) atau lebih. Bisa juga penderita dengan hasil BTA negatif rontgen positif yang menjadi BTA positif pada akhir bulan ke 2 pengobatan.

b. Kasus kronis adalah penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif


(28)

2.1.6. Prinsip Pengobatan Tuberkulosis Paru

Menurut Depkes RI (2002), obat TB Paru diberikan dalam bentuk kombinasi dari beberapa jenis, dalam jumlah cukup dan dosis tepat selama 6-8 bulan, agar semua kuman (termasuk kuman persisten) dapat dibunuh. Pengobatan TB Paru diberikan dalam dua tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

1. Tahap Intensif

Pada tahap intensif (awal) penderita mendapat obat setiap hari selama dua bulan dan diawasi langsung untuk mencegah terjadinya kekebalan terhadap semua OAT terutama rifampisin. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya penderita menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita TB Paru BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) pada akhir pengobatan intensif. Pengawasan ketat dalam tahap intensif sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat.

2. Tahap Lanjutan

Pada tahap lanjutan penderita mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama yaitu selama minimal empat bulan. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persisten (dormant) sehingga mencegah terjadinya kekambuhan.

Apabila paduan obat yang digunakan tidak adekuat (jenis, dosis dan jangka waktu pengobatan), kuman TB Paru akan berkembang menjadi kuman kebal obat (resisten). Untuk menjamin kepatuhan penderita menelan obat, pengobatan perlu dilakukan dengan pengawasan langsung (DOTS = Directly Observed Treatment Shortcourse) oleh seorang Pengawas Minum Obat (PMO).


(29)

2.1.7. Penanggulangan Penyakit TB Paru dengan Strategi DOTS

Pada tahun 1995 WHO menganjurkan strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse), yaitu strategi komprehensif untuk digunakan oleh pelayanan kesehatan primer di seluruh dunia untuk mendeteksi dan menyembuhkan penderita TB Paru, agar transmisi penularan dapat dikurangi di masyarakat. Prinsip DOTS adalah mendekatkan pelayanan pengobatan terhadap penderita agar secara langsung dapat mengawasi keteraturan menelan obat dan melakukan pelacakan bila penderita tidak datang mengambil obat sesuai dengan yang ditetapkan (Aditama, 1994).

Pengertian DOTS dapat diterapkan dalam kasus per kasus TB yaitu dimulai dari memfokuskan perhatian (direct attention) dalam usaha menemukan/mendiagnosis penderita secara baik dan akurat, utamanya melalui pemeriksaan mikroskopik. Selanjutnya setiap penderita harus diawasi (observed) dalam meminum obatnya yaitu obat diminum didepan seorang pengawas, dan inilah yang dikenal sebagai Directly Observed Therapy (DOT). Penderita juga harus menerima pengobatan (treatment) dalam sistem pengelolaan, penyediaan obat anti tuberkulosis yang tertata dengan baik, termasuk pemberian regimen OAT yang adekuat yakni melalui pengobatan jangka pendek (short course) sesuai dengan klasifikasi dan tipe masing-masing kasus (Aditama, 1994).

Tujuan penanggulangan dengan strategi DOTS adalah untuk mencapai angka kesembuhan TB Paru yang tinggi, mencegah putus berobat, mengatasi efek samping obat jika timbul dan mencegah resistensi ganda terhadap obat TB yang disebut Multiple Drug Resistance / MDR (Sembiring, 2001).


(30)

2.1.8. Pengawas Minum Obat (PMO)

Salah satu dari komponen DOTS adalah pengobatan paduan OAT jangka pendek dengan pengawasan langsung. Untuk menjamin keteraturan pengobatan diperlukan seorang PMO.

Menurut Depkes RI (2002), persyaratan seorang PMO adalah :

- Seseorang yang dikenal, dipercaya dan disetujui, baik oleh petugas kesehatan maupun penderita, selain itu harus disegani dan dihormati oleh penderita.

- Seseorang yang tinggal dekat dengan penderita. - Bersedia membantu penderita dengan sukarela.

- Bersedia dilatih dan atau mendapat penyuluhan bersama-sama dengan penderita. Sebaiknya PMO adalah petugas kesehatan, misalnya bidan di desa, perawat, sanitarian, juru imunisasi, dan lain-lain. Bila tidak ada petugas kesehatan yang memungkinkan, PMO dapat berasal dari kader kesehatan, guru, anggota Perhimpunan Pemberantasan Tuberkulosis Indonesia (PPTI), atau tokoh masyarakat lainnya atau anggota keluarga.

Tugas seorang PMO antara lain adalah :

- Mengawasi penderita TB Paru agar menelan obat secara teratur sampai selesai pengobatan.

- Memberi dorongan kepada penderita agar mau berobat teratur.

- Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada waktu-waktu yang telah ditentukan.


(31)

- Memberi penyuluhan pada anggota keluarga penderita TB Paru yang mempunyai gejala-gejala tersangka TB Paru untuk segera memeriksakan diri ke Unit Pelayanan Kesehatan.

2.1.9. Organisasi Pelaksana Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia 1. Tingkat Pusat

Upaya penanggulangan TB Paru di tingkat pusat berada di bawah tanggung jawab dan kendali Direktur Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan lingkungan (PPM & PL). Adapun untuk menggalang kemitraan dalam upaya penanggulangan penyakit TB Paru maka dibentuk Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan Tuberkulosis (Gerdunas TB) yang dicanangkan oleh Menteri Kesehatan RI pada tanggal 24 Maret 1999, bertepatan dengan peringatan hari TB sedunia.

2. Tingkat Provinsi

Di Tingkat provinsi dibentuk Gedurnas TB Provinsi yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan daerah.

3. Tingkat Kabupaten/Kota

Di Tingkat kabupaten/kota dibentuk Gedurnas TB kabupaten/kota yang terdiri dari Tim Pengarah dan Tim Teknis. Bentuk dan struktur organisasi disesuaikan dengan kebutuhan kabupaten/kota.


(32)

4. Unit Pelayanan Kesehatan

Dilaksanakan oleh Puskesmas, Rumah Sakit, BP4/klinik dan Dokter Praktek Swasta.

a. Puskesmas

Dalam pelaksanaan di puskesmas, dibentuk Kelompok Puskesmas Pelaksana (KPP) yang terdiri dari Puskesmas Rujukan Mikroskopis (PRM), dengan dikelilingi oleh kurang lebih 5 (lima) Puskesmas Satelit (PS), yang secara keseluruhan mencakup wilayah kerja dengan jumlah penduduk 50.000 – 150.000 jiwa. Pada keadaan geografis yang sulit, dapat dibentuk Puskesmas Pelaksana Mandiri (PPM) yang dilengkapi tenaga dan fasilitas pemeriksaan sputum BTA.

b. Rumah Sakit dan BP4

Rumah sakit dan BP4 dapat melaksanakan semua kegiatan tatalaksana penderita TB. Dalam hal tertentu, rumah sakit dan BP4 dapat merujuk penderita kembali ke puskesmas terdekat dengan tempat tinggal penderita untuk mendapatkan pengobatan dan pengawasan selanjutnya.

c. Klinik dan Dokter Praktek Swasta (DPS).

Secara umum konsep pelayanan di klinik dan DPS sama dengan pelaksanaan pada rumah sakit dan BP4. Dalam hal tertentu, klinik dan DPS dapat merujuk penderita dan spesimen ke puskesmas, rumah sakit atau BP4.


(33)

2.2. Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4)

Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru adalah Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara yang menyelenggarakan upaya kesehatan paru strata dua serta bersifat mandiri (fungsional) yang melaksanakan tugas teknis operasional dan/atau tugas teknis penunjang dari Dinkes Provsu.

BP4 menyelenggarakan pelayanan kesehatan paru secara menyeluruh dan terpadu, menggunakan teknologi tepat guna, didukung peran serta aktif masyarakat, kerjasama lintas program dan lintas sektoral. BP4 dibentuk sebagai upaya untuk lebih mendekatkan dan memberikan pelayanan spesialistik khusus paru ke masyarakat maupun untuk mengatasi berbagai permasalahan kesehatan paru di masyarakat. Untuk melaksanakan tugas tersebut maka BP4 menjalankan fungsi : penetapan diagnosa penyakit paru, pengobatan penderita penyakit paru, perawatan penderita penyakit paru, membantu usaha pemberantasan penyakit tuberkulosis dan melaksanakan sistem rujukan (Profil BP4 Medan, 2008).

Dalam melaksanakan pelayanannya, BP4 menerima pasien yang berasal dari pasien rujukan baik yang dirujuk dari puskesmas dan rumah sakit dan pasien yang datang sendiri dengan dana pribadi. Anggaran BP4 diperoleh dari APBD yaitu berupa Anggaran Rutin (DASK) yang digunakan untuk membiayai kegiatan dan keperluan rutin BP4 seperti gaji pegawai, biaya operasional kegiatan pelayanan medis dan lain-lain, serta APBN yang digunakan untuk kegiatan sosialisasi pembinaan ke kab/kota serta kegiatan luar gedung lainnya.


(34)

2.3. Konsep Perilaku

Perilaku manusia pada hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berbicara, berjalan, menangis, tertawa, membaca dan sebagainya. Sebagaimana dapat disimpulkan bahwa perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Skinner (Notoatmodjo, 2003) merumuskan bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar), namun dalam memberikan respon sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari yang bersangkutan. Hal ini berarti bahwa meskipun stimulusnya sama bagi beberapa orang, namun respon tiap-tiap orang berbeda. Faktor yang membedakan respon terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni :

1. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan, yang bersifat given atau bawaan, misalnya : tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

2. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial budaya, ekonomi dan sebagainya.

Berdasarkan teori Skinner, dapat dikatakan bahwa kepatuhan penderita TB Paru untuk minum obat secara teratur adalah merupakan tindakan yang nyata dalam bentuk kegiatan yang dapat dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri si penderita (faktor internal) maupun dari luar diri si penderita (faktor eksternal). Faktor internal yaitu umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan serta faktor


(35)

motivasi dari dalam diri penderita TB Paru seperti rasa tanggung jawab. Adapun faktor eksternalnya yaitu motivasi dari luar diri penderita TB Paru yang meliputi dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas.

Perilaku seseorang itu sebenarnya dapat dikaji sebagai saling interaksinya atau ketergantungannya beberapa unsur yang merupakan suatu lingkaran. Sebagaimana menurut Fred Luthans dalam Thoha (2008) terdiri dari tiga unsur yakni kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goals). Unsur-unsur itu secara pokok terdiri dari motivasi dan tujuan. Motivasi seseorang tergantung pada kekuatan dari motivasi itu sendiri. Dorongan ini yang menyebabkan mengapa seseorang itu berusaha mencapai tujuan-tujuan, baik sadar ataupun tidak sadar. Dorongan ini pula yang menyebabkan seseorang itu berperilaku, yang dapat mengendalikan dan memelihara kegiatan-kegiatan serta menetapkan arah umum yang harus ditempuh oleh seseorang tersebut.

2.4. Kepatuhan Berobat

Menurut Sacket (Ester,2000), kepatuhan pasien adalah sejauh mana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Menurut Sarafino (Bart, 1994), kepatuhan atau ketaatan sebagai tingkat pasien melaksanakan cara pengobatan dan perilaku yang disarankan oleh dokternya atau boleh yang lain.

Menurut Sarafino (Bart, 1994), secara umum ketidaktaatan meningkatkan risiko berkembangnya masalah kesehatan atau memperpanjang atau memperburuk kesakitan yang sedang diderita. Perkiraan yang ada menyatakan bahwa 20% jumlah opname di rumah sakit merupakan akibat dari ketidaktaatan pasien terhadap aturan pengobatan.


(36)

Faktor-faktor yang memengaruhi ketidakpatuhan dapat digolongkan menjadi empat bagian, yaitu :

1. Pemahaman tentang Instruksi

Tak seorang pun mematuhi instruksi jika orang tersebut salah paham tentang instruksi yang diberikan padanya. Ley dan Spelman (Ester, 2000) menemukan bahwa lebih dari 60% yang diwawancarai setelah bertemu dengan dokter salah mengerti tentang instruksi yang diberikan pada mereka. Kadang-kadang hal ini disebabkan oleh kegagalan profesional kesehatan dalam memberikan informasi yang lengkap, penggunaan istilah-istilah medis, dan banyak memberikan instruksi yang harus diingat oleh pasien.

Pendekatan praktis untuk meningkatkan kepatuhan pasien ditemukan oleh DiNicola dan DiMatteo (Ester, 2000), yaitu :

a. Buat instruksi yang jelas dan mudah diinterpretasikan.

b. Berikan informasi tentang pengobatan sebelum menjelaskan hal-hal yang harus diingat.

c. Jika seseorang diberi suatu daftar tertulis tentang hal-hal yang harus diingat, maka akan ada “efek keunggulan”, yaitu mereka berusaha mengingat hal-hal yang pertama kali ditulis.

d. Instruksi-instruksi harus ditulis dengan bahasa umum (non medis) dan hal-hal penting perlu ditekankan.

2. Kualitas Interaksi

Kualitas interaksi antara profesional kesehatan dan pasien merupakan bagian yang penting dalam menentukan derajat kepatuhan. Meningkatnya interaksi


(37)

profesional kesehatan dengan pasien adalah suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan kondisi seperti ini.

3. Isolasi Sosial dan Keluarga

Keluarga dapat menjadi faktor yang sangat berpengaruh dalam menentukan keyakinan dan nilai kesehatan individu serta dapat juga menentukan tentang program pengobatan yang dapat mereka terima. Keluarga juga memberi dukungan dan membuat keputusan mengenai perawatan dari anggota keluarga yang sakit.

4. Keyakinan, sikap, Kepribadian

Ahli psikologis telah menyelidiki tentang hubungan antara pengukuran-pengukuran kepribadian dan kepatuhan. Mereka menemukan bahwa data kepribadian secara benar dibedakan antara orang yang patuh dengan orang yang gagal. Orang-orang yang tidak patuh adalah Orang-orang-Orang-orang yang lebih mengalami depresi, sangat memperhatikan kesehatannya, memiliki kekuatan ego yang lebih lemah dan yang kehidupan sosialnya lebih memusatkan perhatian pada dirinya sendiri. Blumenthal et al (Ester, 2000) mengatakan bahwa ciri-ciri kepribadian yang disebutkan di atas itu yang menyebabkan seseorang cenderung tidak patuh (drop out) dari program pengobatan.

Menurut Schwartz & Griffin (Bart, 1994), riset tentang ketaatan pasien didasarkan atas pandangan tradisional mengenai pasien sebagai penerima nasihat dokter yang pasif dan patuh. Pasien yang tidak taat dipandang sebagai orang yang lalai, dan masalahnya dianggap sebagai masalah kontrol. Riset berusaha untuk


(38)

mengidentifikasi kelompok-kelompok pasien yang tidak patuh berdasarkan kelas sosio ekonomi, pendidikan, umur dan jenis kelamin. Pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif seperti penggunaan buku-buku dan kaset oleh pasien secara mandiri. Usaha-usaha ini sedikit berhasil, seseorang dapat menjadi tidak taat kalau situasinya memungkinkan. Teori-teori yang lebih baru menekankan faktor situasional dan pasien sebagai peserta yang aktif dalam proses pengobatannya. Perilaku ketaatan sering diartikan sebagai usaha pasien untuk mengendalikan perilakunya, bahkan jika hal tersebut bisa menimbulkan risiko mengenai kesehatannya.

Macam-macam faktor yang berkaitan dengan ketidaktaatan disebutkan : 1. Ciri-ciri kesakitan dan ciri-ciri pengobatan

Menurut Dickson dkk (Bart, 1994), perilaku ketaatan lebih rendah untuk penyakit kronis (karena tidak ada akibat buruk yang segera dirasakan atau risiko yang jelas), saran mengenai gaya hidup umum dan kebiasaan yang lama, pengobatan yang kompleks, serta pengobatan dengan efek samping.

Menurut Sarafino (Bart,1994), tingkat ketaatan rata-rata minum obat untuk menyembuhkan kesakitan akut dengan pengobatan jangka pendek adalah sekitar 78%, untuk kesakitan kronis dengan cara pengobatan jangka panjang, tingkat tersebut menurun sampai 54%.

2. Komunikasi antara pasien dan dokter

Berbagai aspek komunukasi antara pasien dengan dokter memengaruhi tingkat ketidaktaatan misalnya, informasi dengan pengawasan yang kurang,


(39)

ketidakpuasan terhadap aspek hubungan emosional dengan dokter serta ketidakpuasan terhadap pengobatan yang diberikan.

3. Variabel-variabel sosial

Secara umum, orang-orang yang merasa menerima penghiburan, perhatian, dan pertolongan yang dibutuhkan dari seseorang atau kelompok biasanya cenderung lebih mengikuti nasihat medis daripada pasien yang kurang mendapat dukungan sosial.

4. Ciri-ciri individual

Variabel-variabel demografis juga digunakan untuk meramalkan ketidaktaatan. Sebagai contoh : di Amerika Serikat kaum wanita, kaum kulit putih dan orang tua cenderung mengikuti anjuran dokter.

2.5. Motivasi

2.5.1. Definisi Motivasi

Malayu (1996) menyatakan bahwa motivasi berasal dari bahasa latin, yakni

“movere” yang berarti “daya penggerak” atau “dorongan” dalam diri manusia yang menyebabkan individu tersebut berbuat sesuatu. Menurut Notoatmodjo (2003) motivasi diartikan sebagai dorongan dalam bertindak untuk mencapai tujuan tertentu. Hasil dorongan dan gerakan ini diwujudkan dalam bentuk perilaku. Adapun perilaku itu sendiri terbentuk melalui proses tertentu, dan berlangsung dalam interaksi manusia dengan lingkungannya.

Menurut Mitchell dalam Winardi (2001), motivasi mewakili proses-proses psikologikal, yang menyebabkan timbulnya, diarahkannya, dan terjadinya persistensi


(40)

kegiatan-kegiatan sukarela (volunter) yang diarahkan ke arah tujuan tertentu. Gray (1984) menyatakan bahwa motivasi merupakan hasil sejumlah proses yang bersifat internal atau eksternal bagi seorang individu, yang menyebabkan timbulnya antusiasme dan persistensi, dalam hal melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu.

Menurut Walgito (2003), motivasi merupakan keadaan dalam diri individu yang mendorong perilaku ke arah tujuan. Motivasi itu mempunyai 3 aspek, yaitu : (1) keadaan terdorong dalam diri organisme (a driving state), yaitu kesiapan bergerak karena kebutuhan misalnya kebutuhan jasmani atau karena keadaan mental seperti berpikir dan ingatan; (2) perilaku yang timbul terarah karena keadaan ini; (3) tujuan yang dituju oleh perilaku tersebut.

2.5.2. Teori Motivasi

Banyak teori-teori yang menggambarkan tentang motivasi di antaranya :

1. Teori Penguatan

Teori penguatan menggunakan pendekatan keperilakuan, dalam arti bahwa penguatan menentukan perilaku seseorang. Para penganut teori penguatan melihat perilaku seseorang sebagai akibat lingkungannya. Yang dimaksud dengan faktor-faktor penguatan adalah setiap konsekuensi yang apabila timbul mengikuti suatu respon, memperbesar kemungkinan bahwa tindakan itu akan diulangi (Siagian, 1995).

Secara sederhana dapat dikatakan bahwa inti teori ini terletak pada pandangan bahwa jika tindakan seorang manajer kepada bawahan mendorong perilaku positif tertentu, bawahan yang bersangkutan akan cenderung mengulangi tindakan serupa. Sebaliknya, jika seorang manajer menegur bawahannya karena melakukan sesuatu


(41)

hal yang seharusnya tidak dilakukannya, bawahan tersebut akan cenderung untuk tidak mengulangi tindakan tersebut terlepas dari dalam diri orang yang bersangkutan. Singkatnya, motivasi seseorang bawahan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar dirinya seperti sikap pimpinan, pengaruh rekan kerja dan sejenisnya (Siagian, 1995).

Dalam hal kepatuhan berobat pada penderita TB Paru, faktor-faktor di luar dirinya seperti dukungan keluarga, pengawasan PMO dan dorongan petugas dapat menjadi faktor-faktor penguat yang mendorong penderita TB Paru untuk persisten dalam menjalani pengobatannya sehingga tidak menyebabkan penderita putus berobat. Bentuk penguatan tersebut dapat berupa perhatian maupun teguran dari keluarga dan PMO bila penderita jenuh dalam menjalani proses pengobatan, serta sikap petugas yang senantiasa mendengar segala keluhan penderita, meresponnya dan memberikan solusi dengan baik.

2. Teori X dan Y McGregor

Teori X dari Douglas McGregor menyatakan bahwa sebagian besar orang lebih senang diberikan pengarahan, dan tidak tertarik akan rasa tanggung jawab, serta menginginkan keamanan atas segalanya. Mengikuti falsafah ini maka kepercayaannya adalah orang-orang itu hendaknya dimotivasi dengan uang, dan diperlakukan dengan sanksi hukuman (Winardi, 2001).

Menurut asumsi teori X menyatakan bahwa orang-orang ini pada hakikatnya adalah :


(42)

1. Tidak menyukai kemauan dan ambisi untuk bertanggung jawab, dan lebih menyukai diarahkan atau diperintah.

2. Mempunyai kemampuan yang kecil untuk berkreasi mengatasi masalah. 3. Hanya membutuhkan motivasi fisiologis dan keamanan saja.

4. Harus diawasi secara ketat dan sering dipaksa untuk mencapai tujuan.

Untuk menyadari kelemahan dari asumsi teori X itu maka McGregor memberikan alternatif teori lain yang dinamakannya teori Y. Asumsi teori Y ini menyatakan bahwa orang-orang pada hakikatnya tidak malas dan dapat dipercaya, tidak seperti yang diduga oleh teori X (Thoha, 2008).

2.6. Penelitian- Penelitian Sebelumnya

Berdasarkan hasil penelitian Zuliana (2009) di Puskesmas Pekan Labuhan Kota Medan Tahun 2009, ditemukan bahwa pengetahuan dan peran PMO berpengaruh terhadap kepatuhan berobat penderita TB Paru. Menurut hasil penelitiannya, sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang rendah tentang penyakit TB Paru dan yang menjadi PMO seluruhnya adalah keluarga sehingga lebih memerhatikan kesehatan responden.

Penelitian Eliska (2005), menyatakan bahwa terdapat pengaruh yang bermakna antara pekerjaan dan faktor pelayanan kesehatan terhadap tingkat kepatuhan berobat penderita TB Paru di Puskesmas Teladan Kota Medan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan yang diterima respoden sebaian besar dalam kategori baik (63,6%).


(43)

Menurut penelitian Simamora (2004) yang dilakukan di Puskesmas Kota Binjai, ada beberapa variabel yang berpengaruh terhadap ketidakteraturan berobat penderita TB paru yaitu : pengetahuan penderita tentang pengobatan TB paru, ada tidaknya Pengawas Minum Obat (PMO), efek samping obat, perilaku petugas pelayanan kesehatan, persepsi pasien terhadap penyuluhan kesehatan, dan jarak antara rumah pasien ke puskesmas.

2.7. Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian dan tinjauan pustaka maka kerangka konsep penelitian ini adalah :

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Motivasi

• Dukungan Keluarga

• Peran PMO

• Dorongan Petugas

• Rasa Tanggung jawab

Karakteristik Individu • Umur

• Jenis kelamin

• Status perkawinan

• Pekerjaan

• Pengetahuan

Kepatuhan Berobat Penderita TB Paru


(44)

Definisi Konsep :

1. Karakteristik individu adalah hal-hal yang melekat dalam diri penderita TB Paru yang membedakan seseorang dengan lainnya, meliputi : umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan.

2. Motivasi adalah suatu perasaan, pikiran dan dorongan atau daya penggerak yang berasal dari dalam diri penderita TB Paru maupun yang berasal dari kekuatan di luar pribadi penderita yang menyebabkan kepatuhan berobat penderita TB Paru, meliputi : dukungan keluarga, peran PMO, dorongan petugas, dan rasa tanggung jawab.

3. Kepatuhan berobat penderita TB Paru adalah ketaatan penderita TB Paru dalam menelan obat pada tahap intensif sesuai jadwal yang ditentukan yaitu selama 2 bulan dan menaati segala nasihat dari petugas kesehatan.

2.7. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka konsep diatas, maka hipotesis penelitian ini adalah : 1. Ada pengaruh karakteristik penderita TB Paru (umur, jenis kelamin, status

perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) terhadap kepatuhan berobat di BP4 Medan.

2. Ada pengaruh motivasi penderita TB paru (dukungan keluarga, peran PMO, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap kepatuhan berobat di BP4 Medan.


(45)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini merupakan penelitian survei dengan tipe explanatory research, yaitu untuk mengetahui pengaruh karakteristik dan motivasi penderita TB Paru terhadap kepatuhan berobat penderita di BP4 Medan tahun 2009 dengan pengujian hipotesa (Singarimbun, 2006).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2010 di Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru Medan di Jalan Asrama No.18 Medan. Pemilihan lokasi ini dengan pertimbangan angka kesembuhan belum mencapai target yang ditetapkan pemerintah yaitu minimal 85% dan BP4 Medan merupakan Unit Pelaksana Teknis yang bergerak di bidang kesehatan paru dalam lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita TB paru BTA positif baru (bukan kambuhan) yang telah melewati tahap pengobatan intensif (2 bulan) dalam program penanggulangan TB Paru di BP4 Medan pada bulan September sampai Desember tahun 2009 berjumlah 147 orang yang terdiri dari 44 orang pasien di bulan September 41 pasien di bulan Oktober, dan 28 pasien di bulan Nopember


(46)

dan 34 pasien di bulan Desember. Mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti baik berupa tenaga, waktu, maupun biaya, maka peneliti menetapkan populasi penelitian yang berasal dari Kota Madya Medan saja.

3.3.2. Sampel

Menurut Notoatmodjo (2002) bila populasi lebih kecil dari 10.000 maka pengambilan sampel dapat menggunakan formula sebagai berikut :

N n =

1 + N (d2)

Dimana : N = jumlah populasi (147 orang) d = derajat kesalahan (0,1) n = jumlah sampel

sehingga diperoleh jumlah sampel sebanyak : 147

n =

1 + 147 (0,1)2 = 59,5 orang = 60 orang.

Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 60 orang yang terdiri dari 18 orang pasien di bulan September, 17 orang pasien di bulan Oktober 11 pasien di bulan Nopember dan 14 orang pasien di bulan Desember. Teknik pengambilan sampel yaitu dengan cara Simple Random Sampling.

3.4. Metode Pengumpulan Data


(47)

1. Data primer : diperoleh dengan wawancara langsung dengan penderita TB Paru yang berpedoman pada kuesioner yang telah ditetapkan.

2. Data sekunder : diperoleh dari laporan pelaksanaan penanggulangan TB Paru di BP4 Medan.

3.5. Definisi Operasional

1. Umur adalah usia responden dilihat dari ulang tahunnya yang terakhir yang dibedakan berdasarkan tingkat kedewasaan menurut Hurlock (Anonimous, 2009) menjadi usia dewasa awal yaitu di bawah 40 tahun, usia dewasa madya yaitu 40-60 tahun dan usia dewasa akhir yaitu diatas 40-60 tahun.

2. Jenis Kelamin adalah suatu karakteristik responden yang dibedakan identitasnya dari laki-laki dan perempuan.

3. Status perkawinan adalah suatu karakteristik responden yang dibedakan identitasnya dari kawin, belum kawin dan cerai mati/hidup.

4. Pekerjaan adalah aktivitas utama yang dilaksanakan oleh responden sebagai sumber pendapatan untuk mencukupi kebutuhan hidup, yang dibedakan atas PNS, Pegawai Swasta, Wiraswasta, Pekerja Tidak Tetap, Tidak Bekerja/Ibu Rumah Tangga, Pensiunan, Buruh/Tukang Bangunan dan lain-lain.

5. Pengetahuan adalah hal–hal yang diketahui responden mengenai penyakit TB Paru, dibedakan menjadi 3 kategori :

a. Baik, apabila respoden sudah mengetahui tentang hal-hal mengenai penyakit TB Paru.


(48)

b. Sedang, apabila responden belum begitu mengetahui tentang hal-hal mengenai penyakit TB Paru.

c. Buruk, apabila responden tidak mengetahui tentang hal-hal mengenai penyakit TB Paru.

6. Pengawasan PMO adalah penilaian responden tentang peran yang dilakukan oleh seorang PMO dalam mengawasi responden agar mau berobat teratur, dibedakan menjadi 3 kategori :

a. Baik, bila peran yang dilakukan PMO sangat baik dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya mengawasi penderita TB Paru.

b. Sedang, bila peran yang dilakukan PMO kurang baik dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya kepada penderita TB Paru.

c. Buruk, bila peran yang dilakukan PMO tidak baik dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya kepada penderita TB Paru.

7. Dukungan keluarga adalah penilaian responden tentang partisipasi dan dorongan keluarga dalam membantu pemulihan penyakit TB Paru, dibedakan menjadi 3 kategori :

a. Baik, bila partisipasi dan dorongan keluarga sangat baik terhadap penderita TB Paru.

b. Sedang, bila partisipasi dan dorongan keluarga kurang baik terhadap penderita TB Paru.

c. Buruk, bila partisipasi dan dorongan keluarga tidak baik terhadap penderita TB Paru.


(49)

8. Dorongan petugas adalah persepsi responden terhadap tindakan petugas dalam memberikan dorongan dan pengetahuan kepada responden selama pengobatan TB Paru, dibedakan menjadi 3 kategori :

a. Baik, bila persepsi penderita TB Paru sangat positif terhadap tindakan petugas dalam memberi dorongan kepada penderita TB Paru.

b. Sedang, bila persepsi penderita TB Paru positif terhadap tindakan petugas dalam memberi dorongan kepada penderita TB Paru.

c. Buruk, bila persepsi penderita TB Paru negatif terhadap tindakan petugas dalam memberi dorongan kepada penderita TB Paru.

9. Rasa tanggung jawab adalah rasa keterpanggilan dan tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari penyakitnya demi menjaga kesehatan keluarganya agar tidak tertular penyakit TB Paru.

a. Baik, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari penyakitnya dengan menjalani pengobatan sudah tinggi.

b. Sedang, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari penyakitnya dengan menjalani pengobatan masih rendah.

c. Buruk, bila tuntutan dalam diri responden untuk sembuh dari penyakitnya dengan menjalani pengobatan sangat rendah.

10.Kepatuhan berobat adalah ketaatan responden dalam menelan obat setiap hari selama tahap intensif, melakukan pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan dan menaati segala nasehat dari petugas kesehatan. Dibedakan menjadi 2 kategori :


(50)

a. Baik, bila responden patuh dalam menelan obat setiap hari selama tahap intensif, melakukan pemeriksaan dahak sesuai jadwal yang telah ditentukan dan menaati segala nasehat dari petugas kesehatan.

b. Tidak baik, bila responden tidak patuh dalam menelan obat, tidak memeriksakan dahak sesuai jadwal yang telah ditetapkan dan tidak menaati segala nasehat dari petugas kesehatan.

3.6. Aspek Pengukuran

3.6.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas

Variabel bebas terdiri dari karakteristik individu (meliputi : umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB Paru (meliputi : pengawasan PMO, dukungan keluarga,dorongan petugas dan rasa tanggung jawab). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.1 sebagai berikut :

Tabel 3.1. Aspek Pengukuran Variabel Bebas No Variabel

Jum lah Indi ka Tor Kriteria Jawaban Bo bot Nilai Kate gori Varia bel Nilai Inter val Skala Ukur 1. Umur - 1. Usia dewasa

awal (<40 tahun) 2. Usia dewasa madya (40-60 tahun)

3. Usia dewasa akhir (>60 tahun)

- - - Ordinal

2. Jenis Kelamin

- 1. Laki-laki 2. Perempuan

- - - Nominal

3. Status perkawinan

- 1. Belum kawin 2. Kawin 3. Cerai mati/hidup


(51)

Tabel 3.1 (Lanjutan) No Variabel

Jum lah Indi ka Tor Kriteria Jawaban Bo bot Nilai Kate gori Varia bel Nilai Inter val Skala Ukur 4. Pekerjaan - 1. PNS

2. Pegawai Swasta 3. Wiraswasta/ Pedagang 4. Tidak bekerja / Ibu Rumah Tangga 5. Pekerja Tidak Tetap 6. Pensiunan 7. Buruh/ Tukang Bangunan 8. Lain-lain

- - - Nominal

5. Pengetahuan 8 1. Tahu 2. Kurang Tahu 3. Tidak Tahu

3 2 1 1. Baik 2. Sedang 3. Buruk 18-24 13-17 8-12 Interval

6. Pengawasan PMO

5 1. Ya 2. Tidak 2 1 1. Baik 2. Sedang 3. Buruk 9-10 7-8 5-6 Interval

7. Dukungan Keluarga

6 1. Ya 2. Tidak 2 1 1. Baik 2. Sedang 3. Buruk 10-12 7-9 5-6 Interval

8. Dorongan Petugas

6 1. Ya 2. Tidak 2 1 1. Baik 2. Sedang 3. Buruk 10-12 7-9 5-6 Interval

9. Rasa Tanggung Jawab

7 1. Ya 2. Tidak 2 1 1. Baik 2. Sedang 3. Buruk 12-14 9-11 7-8 Interval

3.6.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat

Variabel terikat adalah kepatuhan berobat penderita TB paru. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.2 sebagai berikut :


(52)

Tabel 3.2. Aspek Pengukuran Variabel Terikat No Variabel

Jum lah Indi

ka Tor

Kriteria Jawaban

Bobot Nilai

Kate gori Varia

bel

Nilai Interv al

Skala Ukur 1. Kepatuhan

Berobat

3 1. Ya 2. Tidak

2 1

1. Baik 2. Tidak Baik

5-6 3-4

Interval

3.7. Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis regresi linier berganda yaitu untuk membuktikan pengaruh antara karakteristik penderita TB paru (umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan dan pengetahuan) dan motivasi penderita TB Paru (meliput i : pengawasan PMO, dukungan keluarga, dorongan petugas dan rasa tanggung jawab) terhadap tingkat kepatuhan berobat


(53)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan 4.1.1. Data Geografis

Balai Pengobatan Penyakit Paru-Paru (BP4) Medan terletak di Jalan Asrama No.18 Kecamatan Medan Helvetia. BP4 Medan didirikan di tanah seluas sekitar 2.016 m2 dengan luas bangunan sebesar lebih kurang 1600,5 m2. BP4 Medan ini didirikan pada tahun 1973 yang diresmikan oleh Yayasan SCTV (Stiching Centrale Verceniging tot bestryding deer Tuberculosis bestanding) sebagai sebuah Consultatie bureau dan klinik paru (Koningin Emma Kliniek). Pada masa itu BP4 berlokasi di Jl. Perintis Kemerdekaan No.41 Medan dengan ruang perawatan berkapasitas 150 tempat tidur dan berdiri di atas tanah seluas 26.857 m2 sebelum dipindahkan karena adanya pengembangan kota ke lokasi sekarang.

4.1.2. Ketenagaan (SDM) di BP4 Medan

Sumber daya manusia yang bekerja di BP4 Medan secara garis besarnya dibedakan antara tenaga teknis dan tenaga administrasi. Tenaga teknis adalah tenaga yang menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesehatan, sedangkan tenaga administrasi merupakan tenaga yang melaksanakan kegiatan non medis untuk menunjang kegiatan teknis. Berikut adalah jumlah dan jenis SDM di BP4 Medan.


(54)

Tabel 4.1. Distribusi Tenaga Kesehatan Di BP4 Medan Tahun 2007

No Jenis Tenaga Jumlah

1 Medis

• Dokter Spesialis Paru

• Dokter Umum

2 6 2 Keperawatan

• SPK • Akper • Akbid/Bidan 16 8 2 3 Keteknisan Medis

• Penata Rontgen (APRO)

• Analisis Lab/Pranata Lab

• Teknik Elektro Medik (ATEM)

• Tenaga Kefarmasian : - Apoteker

- Asisten Apoteker

• Tenaga Gizi/Nutritionist

5 5 2 1 5 2 4 Tenaga Kesehatan Masyarakat

• Sanitarian Kesehatan (AKL) 1

5 Tenaga Non Medis

• S2 • S1 • SMA • STM • SMEA • SMP • KPAA 2 1 7 1 2 3 2

Jumlah 73

Sumber : Profil BP4 Medan Tahun 2008

4.1.3. Kegiatan Pelayanan Medis Di BP4 Medan

Kegiatan pelayanan medis di BP4 Medan meliputi kegiatan rawat jalan, upaya pelayanan gawat darurat paru (UGD)/one day care gawat darurat paru, asuhan keperawatan, rehabilitasi dan fisioterapi, upaya pelayanan penunjang medik diagnostik dan pelayanan penunjang lain. Berikut akan dijelaskan di antaranya yaitu : 1. Rawat jalan


(55)

a. Melakukan pemeriksaan dan pengobatan spesialistik pada paru-paru (infeksi dan non infeksi) dalam berbagai bentuknya. Fasilitas pelayanan terdiri dari beberapa poliklinik yaitu :

• Poli konsultan

• Poli infeksi TB (DOTS)

• Poli infeksi Non TB

• Poli asma

• Poli PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik)

• Poli konsultan kesehatan paru dan gizi

• Poli anak

• Poli pleura

• Klinik berhenti merokok (dalam persiapan)

• Klinik VCT HIV/AIDS (dalam persiapan)

b. Upaya tindakan medik terapi spesialistik pada penyakit paru dan saluran nafas, terdiri dari : nebulizer, punctie pleura, water sealed drainage dan pleurodesis.

c. Pelayanan rehabilitasi medis dan fisioterapi

Pelayanan ini masih belum dapat berjalan saat ini karena terkendala SDM dan sarana pelayanan yang belum tersedia.

d. Melakukan penanganan lanjut terhadap rujukan dari sarana kesehatan pemerintah dan timbal balik dari sarana pelayanan kesehatan lainnya baik pemerintah maupun swasta. Kegiatannya antara lain :


(56)

• Menerima rujukan kasus/spesimen laboratorium untuk kesehatan paru dari Puskesmas, Rumah Sakit dan UPK lainnya.

• Merujuk kasus/spesimen laboratorium yang tidak dapat ditangani kepada unit pelayanan kesehatan/laboratorium lain yang lebih mampu.

• Rujukan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)

e. Memberikan penyuluhan kesehatan paru masyarakat dan saluran pernafasan lainnya baik per orangan maupun per kelompok (dalam dan luar gedung). 2. Upaya pelayanan penunjang medik diagnostik, yang terdiri dari :

a. Pemeriksaan radiologi (x-ray)

b. Pemeriksaan laboratorium seperti : pemeriksaan darah rutin, urin rutin, kadar gula darah, Haemology analyzer (darah lengkap), Clinical chemistry analyzer (faal hati, faal ginjal, elektrolit darah, dan lain-lain), Mikrobiologi (pewarnaan BTA, jamur, parasit, uji resistensi BTA dan Non BTA)

c. Pemeriksaan imunologi yaitu tes Mantoux dan tes alergi kulit d. Pemeriksaan bronchodilator

Dalam melaksanakan kegiatan pelayanannya, BP4 Medan mempunyai visi : “Menjadi pusat pelayanan kesehatan paru prima dan terjangkau bagi masyarakat untuk mendukung Indonesia Sehat 2010” melalui misi :

1. Meningkatkan pemerataan, mutu dan keterjangkauan pelayanan di bidang kesehatan paru masyarakat. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan paru strata dua berupaya meningkatkan pemerataan, memenuhi standar mutu, dan mengupayakan


(57)

keterjangkauan serta memuaskan masyarakat dengan menerapkan teknologi tepat guna.

2. Melakukan promosi kesehatan paru untuk pemberdayaan masyarakat. Berupaya agar setiap keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya, secara mandiri mampu mencegah dan mengatasi masalah yang berhubungan dengan kesehatan indera sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.

3. Mengembangkan jejaring kemitraan dan koordinasi dengan institusi terkait dalam mengatasi masalah kesehatan paru masyarakat.

4. Menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan agar tidak menimbulkan dampak negatif terhadap masalah kesehatan masyarakat.

5. Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan SDM melalui pendidikan dan pelatihan.

Dalam melaksanakan program DOTS untuk penanggulangan penyakit TB Paru, BP4 Medan memiliki keterbatasan di mana BP4 Medan bersifat pasif sebab hanya melakukan penyuluhan kepada pasien TB Paru yang datang berobat dan tidak melakukan home visit ke tempat tinggal pasien seperti halnya pihak puskesmas. BP4 Medan hanya menunggu pasien yang datang berobat, selain itu BP4 Medan mempunyai kedudukan sebagai Unit Pelayanan Kesehatan (UPK) strata kedua yang menjalankan pelayanan spesialistik paru yang menerima rujukan dari UPK lain seperti puskesmas. Proses folow up pasien yang drop out atau lalai berobat hanya dilakukan melalui telepon dan apabila terdapat pasien yang pindah berobat ke sarana kesehatan lain yaitu puskesmas, pihak BP4 Medan tidak mendapatkan informasi dari puskesmas tersebut karena tidak ada koordinasi atau link system antara BP4 Medan


(58)

dengan puskesmas. Berbeda dengan BP4 Medan, puskesmas yang memiliki tanggung jawab terhadap wilayah kerjanya, lebih aktif dalam menjaring kasus atau penderita TB Paru dengan cara melakukan survei ke lapangan dan melakukan penyuluhan ke rumah penderita (home visit) bagi penderita TB Paru.

4.2. Gambaran Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah penderita TB Paru yang namanya tercatat dalam formulir TB.01 di BP4 Medan pada tahun 2009 dan telah menjadi sampel dalam penelitian berdasarkan metode Simple Random Sampling sebanyak 60 orang. Karakteristik responden meliputi : umur, jenis kelamin, status perkawinan, pekerjaan, dan tingkat pengetahuan.

4.2.1. Deskripsi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan dan Pekerjaan

Hasil penelitian menunjukkan, umur responden yang terbanyak terdapat pada kelompok umur dewasa awal yaitu <40 tahun sebanyak 37 responden (61,7%); sebanyak 33 responden (55%) berjenis kelamin laki-laki sedangkan 27 responden (45%) adalah perempuan; status perkawinan yang terbanyak adalah kawin yaitu 31 responden (51,7%) dan Sebanyak 15 responden (25%) memiliki pekerjaan sebagai wiraswasta/pedagang. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.2 berikut:

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Berdasarkan Karakteristik Umur, Jenis Kelamin, Status Perkawinan dan Pekerjaan


(59)

No Variabel Frekuensi Persentase

1. Umur (Tahun)

Umur dewasa awal (<40 Tahun) Umur dewasa madya (40-60 Tahun) Umur dewasa akhir (>60 Tahun)

37 17 6 61,7 28,3 10,0

Jumlah 60 100

2. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 33 27 55,0 45,0

Jumlah 60 100

3. Status Perkawinan Kawin Belum Kawin Cerai Mati/Hidup 31 19 10 51,7 31,6 16,7

Jumlah 60 100

4. Pekerjaan PNS

Pegawai Swasta Wiraswasta/Pedagang Tidak bekerja/IRT Pekerja tidak tetap Pensiunan Buruh/Tukang Bangunan Lain-lain 6 10 15 9 4 6 7 3 10,0 16,6 25,0 15,0 6,7 10,0 11,7 5,0

Jumlah 60 100

4.2.2. Variabel Pengetahuan

Pengetahuan tentang TB Paru dapat dilihat dari pengetahuan responden tentang pengertian penyakit TB Paru, penyebab penyakit, tanda-tanda seseorang menderita TB Paru, cara penularan penderita TB Paru, cara penyembuhan TB Paru, cara pencegahan TB Paru, identifikasi penyakit TB Paru dan kebiasaan yang memperburuk penyakit TB paru.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa mayoritas responden (51,7%) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyakit TB Paru adalah penyakit batuk berdarah, sedangkan responden yang mengatakan bahwa penyakit TB Paru adalah


(60)

penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri/kuman yang menyerang paru-paru sebanyak 15 responden (25%). Sebanyak 14 responden (23,3%) menjawab tidak tahu, dan sebagian terolong tidak tahu karena menyatakan bahwa penyakit TB Paru adalah penyakit paru-paru berlubang.

Berdasarkan pertanyaan tentang penyebab penyakit TB Paru, 31 responden (51,7%) menjawab disebabkan oleh bibit penyakit/merokok dan hanya 11 responden (18,3%) yang menjawab kuman Tuberkulosis. Sisanya 18 responden (30%) tergolong tidak mengetahui penyebab penyakit TB Paru, sebagian dari mereka menjawab tidak tahu dan sebanyak 60% dari responden yang menjawab tidak tahu tersebut mengatakan bahwa TB Paru disebabkan angin malam dan ada yang menyatakan disebabkan oleh abu/debu di jalan raya serta debu semen yang disebabkan karena pekerjaan mereka sebagai buruh bangunan.

Berdasarkan pertanyaan tentang tanda-tanda seseorang terkena TB Paru, 40 responden (66,7%) hanya menjawab batuk disertai sesak nafas saja, hanya 1 responden (1,7%) yang menjawab tidak tahu, dan sisanya 19 responden (31,7%) menjawab batuk selama 3 minggu atau lebih, sesak nafas, batuk bercampur darah, berat badan menurun dan nafsu makan berkurang. Berdasarkan pertanyaan tentang cara penularan TB Paru, 33 responden (55%) menjawab melalui batuk dan makanan, 13 responden (21,7%) yang menjawab melalui udara yaitu melalui batuk, bersin yang mengandung kuman TB Paru dan terhirup oleh orang lain. Sisanya 14 responden (23,3%) menjawab tidak tahu, sebagian responden menjawab tidak tahu karena beranggapan bahwa penyakit TB Paru tidak menular.


(61)

Berdasarkan pertanyaan tentang cara penyembuhan TB Paru, mayoritas responden yaitu sebanyak 43 responden (71,7%) menjawab dengan minum obat selama 6 bulan. Sebanyak 11 responden (18,3%) menjawab Minum Obat Anti Tuberkulosis selama 6 bulan dengan pengobatan tahap awal obat diminum setiap hari selama 2 bulan, dan dilanjutkan dengan meminum obat sebanyak 3 kali seminggu selama 4 bulan. Sebanyak 6 responden (10%) tergolong tidak tahu dengan sebagian menjawab tidak tahu karena merasa kurang yakin penyakit TB Paru dapat disembuhkan. Menurut 17 responden (28,3%) penyakit TB Paru dapat dicegah dengan meningkatkan gizi atau lingkungan yang bersih, sebanyak 26 responden (43,3%) menjawab dengan tidak mendekati orang yang terkena TB Paru, dan sisanya 17 responden (28,4%) tidak mengetahui cara pencegahan penyakit TB Paru.

Berdasarkan pertanyaan tentang cara mengetahui seseorang menderita penyakit TB Paru, 16 responden (26,7%) menjawab dengan pemeriksaan dahak, pemeriksaan rontgen dada, dan pemeriksaan darah. Sebanyak 39 responden (65%) hanya menjawab melalui pemeriksaan dahak saja atau melalui pemeriksaan rontgen dada saja, dan hanya 5 responden (8,3%) menyatakan tidak tahu. Menurut 13 responden (21,6%) keadaan yang dapat memperburuk penderita TB paru adalah kebiasaan merokok, minum alkohol dan kurang istirahat, 31 responden (51,7%) hanya menjawab salah satu saja seperti kebiasaan merokok atau minum alkohol atau kurang istirahat, sedangkan sisanya 16 responden (26,7%) tidak tahu. (Tabel 4.3).


(1)

III1. Petugas pernah memberi penyuluhan

8 13.3 13.3 13.3

52 86.7 86.7 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

III2. Petugas pernah memberi dorongan semangat

32 53.3 53.3 53.3

28 46.7 46.7 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

III3. Petugas pernah mengingatkan bahaya bila lalai

16 26.7 26.7 26.7

44 73.3 73.3 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

III4. Selama pengobatan pernah menyampaikan keluhan kepada petugas

13 21.7 21.7 21.7

47 78.3 78.3 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

III5. Petugas mendengar keluhan tersebut

13 21.7 21.7 21.7

11 18.3 18.3 40.0

36 60.0 60.0 100.0

60 100.0 100.0

tidak mnjwb tidak ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(2)

III6. Petugas pernah menunjukkan perhatian terhadap kesembuhan saudara

25 41.7 41.7 41.7

35 58.3 58.3 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Total Dorongan Petugas Kesehatan

2 3.3 3.3 3.3

3 5.0 5.0 8.3

8 13.3 13.3 21.7

6 10.0 10.0 31.7

20 33.3 33.3 65.0

14 23.3 23.3 88.3

7 11.7 11.7 100.0

60 100.0 100.0

6 7 8 9 10 11 12 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Total Dorongan Petugas Kesehatan

2 3.3 3.3 3.3

17 28.3 28.3 31.7

41 68.3 68.3 100.0

60 100.0 100.0

1 2 3 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

IV1. Wajib minum obat slm 6 bln

16 26.7 26.7 26.7

44 73.3 73.3 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

IV2. Wajib periksa dahak atau photo rontgen sesuai jadwal

19 31.7 31.7 31.7

41 68.3 68.3 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(3)

IV3. Kesembuhan saudara merupakan tanggung jawab saudara

19 31.7 31.7 31.7

41 68.3 68.3 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

IV4. Walaupun terdapat efek samping tetap minum obat

19 31.7 31.7 31.7

41 68.3 68.3 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

IV5. Penyakit ini dapat menularkan kepada keluarga lain

20 33.3 33.3 33.3

40 66.7 66.7 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

IV6. Berkewajiban sembuh agar tidak menularkan

15 25.0 25.0 25.0

45 75.0 75.0 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

IV7. Menghendaki keluarga terbebas dari penyakit TB paru

7 11.7 11.7 11.7

53 88.3 88.3 100.0

60 100.0 100.0

Tidak Ya Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent


(4)

Total Rasa Tanggung jawab

2 3.3 3.3 3.3

6 10.0 10.0 13.3

15 25.0 25.0 38.3

17 28.3 28.3 66.7

2 3.3 3.3 70.0

18 30.0 30.0 100.0

60 100.0 100.0

9 10 11 12 13 14 Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Kategori Rasa Tanggung jawab

22 36.7 36.7 36.7

38 63.3 63.3 100.0

60 100.0 100.0

Sedang Baik Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Correlations

1 .402** -.237 -.439** .444** -.127 -.152 -.005 .260* .144

. .001 .068 .000 .000 .475 .247 .968 .045 .274

60 60 60 60 60 34 60 60 60 60

.402** 1 -.069 -.267* .393** -.061 -.049 .043 .199 .139

.001 . .599 .039 .002 .731 .711 .743 .128 .288

60 60 60 60 60 34 60 60 60 60

-.237 -.069 1 .160 -.095 -.079 -.110 -.116 -.275* -.198

.068 .599 . .222 .468 .655 .402 .379 .033 .129

60 60 60 60 60 34 60 60 60 60

-.439** -.267* .160 1 -.498** -.296 .005 .110 -.204 -.094

.000 .039 .222 . .000 .090 .971 .403 .118 .475

60 60 60 60 60 34 60 60 60 60

.444** .393** -.095 -.498** 1 .204 .183 .099 .414** .281*

.000 .002 .468 .000 . .247 .161 .450 .001 .029

60 60 60 60 60 34 60 60 60 60

-.127 -.061 -.079 -.296 .204 1 .321 .052 .144 .220

.475 .731 .655 .090 .247 . .064 .770 .418 .210

34 34 34 34 34 34 34 34 34 34

-.152 -.049 -.110 .005 .183 .321 1 .241 .240 .308*

.247 .711 .402 .971 .161 .064 . .064 .065 .017

60 60 60 60 60 34 60 60 60 60

-.005 .043 -.116 .110 .099 .052 .241 1 .291* .233

.968 .743 .379 .403 .450 .770 .064 . .024 .074

60 60 60 60 60 34 60 60 60 60

.260* .199 -.275* -.204 .414** .144 .240 .291* 1 .594**

.045 .128 .033 .118 .001 .418 .065 .024 . .000

60 60 60 60 60 34 60 60 60 60

.144 .139 -.198 -.094 .281* .220 .308* .233 .594** 1

.274 .288 .129 .475 .029 .210 .017 .074 .000 .

60 60 60 60 60 34 60 60 60 60

Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation Sig. (2-tailed) N Umur Responden Jenis Kelamin Responden Status Perkawinan Pekerjaan Total Pengetahuan

Total Pengawasan PMO

Total Dukungan Keluarga

Total Dorongan Petugas Kesehatan Total Rasa Tanggung jawab

Total Kepatuhan Berobat

Umur Responden Jenis Kelamin Responden Status Perkawinan Pekerjaan Total Pengetahuan Total Pengawasan PMO Total Dukungan Keluarga Total Dorongan Petugas Kesehatan Total Rasa Tanggung jawab Total Kepatuhan Berobat

Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). **.

Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed). *.


(5)

Regression

Variables Entered/Removedb

Total Rasa Tanggung jawab, Total Dukungan Keluarga, Status Perkawina n, Total Pengawas an PMO, Total Pengetahu an, Total Dorongan Petugas

Kesehatana

. Enter

Model 1

Variables Entered

Variables

Removed Method

All requested variables entered. a.

Dependent Variable: Total Kepatuhan Berobat b.

Model Summary

.793a .628 .545 .760

Model 1

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate Predictors: (Constant), Total Rasa Tanggung jawab, Total Dukungan Keluarga, Status Perkawinan, Total Pengawasan PMO, Total Pengetahuan, Total Dorongan Petugas Kesehatan

a.

ANOVAb

26.306 6 4.384 7.600 .000a

15.576 27 .577

41.882 33

Regression Residual Total Model 1

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Predictors: (Constant), Total Rasa Tanggung jawab, Total Dukungan Keluarga, Status Perkawinan, Total Pengawasan PMO, Total Pengetahuan, Total Dorongan Petugas Kesehatan

a.

Dependent Variable: Total Kepatuhan Berobat b.


(6)

Coefficientsa

-4.018 1.708 -2.353 .026

.000 .187 .000 .001 .999

.022 .045 .066 .491 .628

.043 .117 .045 .369 .715

.765 .257 .376 2.979 .006

.014 .122 .016 .116 .908

.532 .114 .659 4.688 .000

(Constant)

Status Perkawinan Total Pengetahuan Total Pengawasan PMO Total Dukungan Keluarga Total Dorongan Petugas Kesehatan

Total Rasa Tanggung jawab

Model 1

B Std. Error

Unstandardized Coefficients

Beta Standardized

Coefficients

t Sig.

Dependent Variable: Total Kepatuhan Berobat a.