lxxiii sesama
teman untuk
saling sharing
dengan didampingi
pembina, menyelenggarakan pertemuan dengan alumni Madani, melakukan komunikasi
dengan masyarakat dengan cara mengadakan jalan-jalan pagi sambil berbincang- bincang dengan penduduk setempat, berbaur dalam berolah raga tentunya
didampingi pembina dan juga melakukan upaya komunikasi internal keluarga dengan menggunakan jadwal kunjungan keluarga.
3. Terapi psikoreligius
Dalam pelaksanaan terapi psikoreligius, Madani melakukan pembinaan keagamaan, membuka cakrawala berpikir pasien dengan pemahaman-pemahaman
religius, mempolakan hidup dengan pola agamis, dan mengajak pasien untuk menjauhi hal-hal diluar norma agama.
Keseharian pasien terjadwalkan padat dengan kegiatan-kegiatan atau terapi religius. Hal ini mengingat aspek religi amat penting dalam upaya mengobati
mental pasien skizofrenia. Madani dalam terapi psikoreligius berusaha maksimal untuk membina
pasien Madani agar berperilaku agamis dengan melaksanakan praktek ibadah, sholat, puasa, mengaji, do’a, dzikir, mempelajari aqidah, akhlak, fiqih dan
muamalat serta wawasan keilmuan Psikoreligius lainnya. Dalam proses pelaksanaan terapi psikoreligius ini, terapis membagi
menjadi dua tahap yakni secara personal dan secara kelompok. Adapun keduanya akan penulis uraikan sebagai berikut :
a. Terapi Personal
lxxiv Terapi personal merupakan terapi yang dilakukan antara terapis dengan
pasien secara langsung atau face to face. Dalam terapi ini terapis menggunakan terapi wawancara. Berdasarkan data yang penulis peroleh dalam penelitian, secara
teknik, awal mula terapi personal ini dilakukan dengan seorang konselor yang dalam hal ini bertugas sebagai pendamping pasien selama 24 jam penuh, sekaligus
sebagai interviuwer pasien dalam pengisian form wawancara. Adapun tujuan terapi wawancara ini dilakukan yakni agar pasien dapat
memberikan informasi secara lengkap tentang identitas diri dan penyakitnya, pasien dapat lebih terbuka dengan keadaan atau hal-hal yang dialaminya,
hubungan yang dibina antara pasien dengan konselor serta terapis semakin membaik, dan terapis pun dapat memberikan terapinya secara maksimal dan
sesuai dengan kebutuhan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh ustad Fuad, sebagai berikut :
Terapi wawancara ini dilakukan secara personal yakni antara terapis dengan pasien atau konselor dengan pasien. Hal ini dilakukan agar pasien dalam
memberikan data mengenai keadaan dirinya dapat lebih terbuka dan hubungan antara pasien dengan terapis terjalin dengan akrab. Sehingga saya sebagai terapis
dapat memberikan terapi secara maksimal dan sesuai dengan kebutuhan pasien.
57
Secara teknik, tahapan-tahapan yang dilakukan terapis secara personal ini, adalah :
1
Tahap awal
• Pengisian form wawancara pasien
57
Wawancara pribadi dengan terapis psikoreligius ustad Fuad Salim, pada tanggal 29 Juli 2008.
lxxv Pengisian form wawancara adalah tahap awal yang dilakukan
terapis, sebelum pasien mendapatkan terapi Psikoreligius secara khusus, baik yang dilakukan secara kelompok maupun secara personal, maka
dalam hal ini pasien diharuskan untuk mengisi form wawancara yang telah disediakan di lembaga Madani Mental Health Care.
Dalam pengisian form wawancara pasien dibantu oleh konselor, apabila dalam pengisian form wawancara tersebut ada salah satu
pertanyaan yang kurang dipahami pasien maka konselor berusaha membantu dan mendampinginya.
Adapun pertanyaan yang ditekankan dalam form wawancara tersebut antara lain; identitas pribadi, riwayat keluarga, riwayat Naza,
riwayat pendidikan dan prestasi, riwayat pemahaman agama, riwayat organisasi dan kemasyarakatan, riwayat pacar dan seks, riwayat
kesenangan, riwayat detoksifikasi dan rehabilitasi, riwayat kegiatan sehari- hari, harapan-harapan ke depan dan kepribadian.
Waktu yang dibutuhkan pasien dalam pengisian form wawancara ini lebih kurang 1 jam, kondisi pasien pun dalam keadaan yang stabil atau
membaik dengan alokasi tempat yang aman dan nyaman, dengan demikian data-data yang dibutuhkan dapat diperoleh dengan baik, dan dapat
ditindak-lanjuti secara optimal serta maksimal oleh terapis Psikoreligius. • Menanyakan keadaan dan mendengarkan masalah pasien
Setelah data-data pasien terkumpul dan diperoleh dari hasil pengisian form wawancara, maka langkah selanjutnya terapis mulai
lxxvi menelaah case pasien dengan cara bertanya langsung dengan pasien,
tentang hal-hal yang dirasakan atau dialaminya. Jika pasien merasa memiliki adanya suatu gangguan, baik itu
gangguan halusinasi atau adanya gejala psikis lain, maka hal yang dilakukan terapis adalah mendengarkan akan keluhan pasien sekaligus
berusaha menggali atau meng-eksplor kembali gangguan-gangguan atau gejala-gejala psikis yang dialaminya. Hal ini bertujuan selain membantu
pasien untuk bisa menceritakan keluhan pasien secara terbuka dan leluasa, terapis juga dapat meninjau kembali akan keluhan-keluhan yang dirasakan
pasien, serta menghindari ungkapan pasien yang berlebihan dengan demikian terapis dapat memaksimalkan proses terapi bagi pasien
skizofrenia. Hal ini sebagaimana apa yang dikatakan ustad Fuad, berikut ini :
Sempat waktu itu ketika saya mau melakukan terapi, biasa untuk langkah awal, saya tanya bagaimana keadaan pasien, apa ada yang
dirasakan, ketika saya tanyakan keadaaan pasien, lantas dia bercerita dan bertanya “ustad kenapa yach ko kuping saya terasa ada yang bisikin
katanya saya ini ada yang menjelek-jelekkin, bisikannya suara wanita ustad, dan berkali-kali membisiki saya, saya jadi bingung dan pusing
” nah saat pasien mulai merasakan hal seperti itu saya terus tanyakan sampai dia
benar-benar mau cerita lebih banyak lagi dan lebih jelas lagi, saya juga kadang coba tanyakan obat yang diminumnya, takut-takut ini masih
pengaruh obat atau memang benar-benar bentuk halusinasi yang dialami pasien.
58
2
Tahap pertengahan
58
Wawancara tak terstruktur dengan terapis psikoreligius ustad Fuad Salim, pada tanggal 7 Agustus 2008.
lxxvii Setelah tahapan awal selesai dilakukan, maka untuk tahapan
berikutnya adalah pemberian terapi psikoreligius kepada pasien skizofrenia,
namun sebelum
terapis mulai
memberikan terapi
psikoreligius, terlebih dahulu terapis mencoba menjernihkan ucapan- ucapan pasien yang kurang jelas, dan sulit dipahami apa maksud yang di
ucapkan pasien. Hal ini tergambar dari apa yang disampaikan oleh ustad Fuad,
berikut ini : Ya, biasanya sebelum saya mulai memberikan nasehat atau terapi
kepada pasien, saya mencoba menjernihkan kata-kata mereka yang saya rasa masih sulit dipahami, sebagai contoh, seringkali disaat pasien ingin
menceritakan keluh-kesah tentang apa yang dialaminya selalu muncul adanya bisikan-bisikan, nah waktu itu ada salah satu pasien yang
mengalami keluhan bahwa dirinya adalah seorang yang jahat dan katanya di luar sana ada sesosok laki-laki yang sedang melihat dirinya dan
bermaksud menyuruhnya untuk berbuat jahat. Dari kata-kata seperti itulah membuat saya bingung “apa maksud dari kata-kata seperti itu?”, lantas
saya coba jernihkan kata-katanya dengan bertanya lebih dalam lagi tentang apa yang dirasakannya. Seperti “bisa ga dijelaskan maksud orang jahat
seperti apa dan melihat sesosok laki-laki yang menyuruhnya berbuat jahat?” dari proses penjernihan kata-kata seperti itulah, apa yang
dijelaskan pasien dapat saya pahami dengan baik sehingga saya bisa memberikan terapi kepada pasien.
59
Adapun bahasa yang digunakan terapis adalah bahasa yang mudah dipahami pasien dan lamanya terapi tergantung dari kondisi pasien, namun
biasanya waktu terapi adalah 1jam. Hasil yang dicapai pun variatif ada yang cepat dan ada yang lambat, tergantung dari internal pasien.
3
Tahap akhir
59
Ibid.
lxxviii Tahapan ini adalah tahapan akhir dari sebuah terapi. Tahapan ini
adalah tahapan kesimpulan dari apa yang terapis sampaikan di atas. Dalam tahapan ini terapis mencoba membantu pasien untuk menyimpulkan hasil
pembicaraan yang telah disampaikannya serta membuat perencanaan berupa program atau tindakan apa yang akan pasien lakukan, tentunya
perbuatan nyata yang produktif bagi kemajuan perkembangan diri pasien. Adapun hal ini dilakukan yakni membangun sikap optimis pasien
dan mempercepat proses penyembuhan. Dalam proses pembuatan perencanaan ini pasien akan selalu dipantau dan diawasi oleh pembimbing
dan terapis. Jika dalam perencanaan tersebut kurang mengalami perkembangan yang signifikan dengan faktor kondisi pasien yang sulit
diatur dan masih labil maka dalam terapi selanjutnya perlu adanya evaluasi perencanaan.
b. Terapi Kelompok