PROSES PEMBERLAKUAN ASAS TUNGGAL PANCASILA

xxxvii telah kembali menggenggam kendali pimpinan politik nasional dengan kekuasaan yang hampir-hampir tidak terbatas. 49 Dengan dektrit itu Pancasila sebagai dasar negara ikut serta dinyatakan kedudukannya, namun tidak adanya penjelasan eksplisit. Sehingga menumbuhkan suasana pemikiran yang menjadi kabur. Hal ini mengakibatkan usaha berbagai aliran Idiologi memberikan tafsiran masing-masing. Suasana ini membawa perkembangan selanjutnya, timbulah pemikiran kritik mengenai pancasila. 50 Fase pemikiran ini tampak dari timbulnya tema pemikiran mengenai pancasila murni, yang terjadi pada masa orde baru. Di dalam fase ini terjadilah proses eksplisitasi pancasila sebagai dasar negara, sumber hukum dan idiologi nasional. 51

B. PROSES PEMBERLAKUAN ASAS TUNGGAL PANCASILA

Tahun 1966 merupakan tahun lahirnya pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto. Kemunculan Orde Baru dilatar belakangi oleh berbagai peristiwa, terutama yang terjadi pada enam tahun terakhir di bawah rezim Orde Lama. Pemerintahan Orde Lama yang dipimpin Soekarno dengan Demokrasi Terpimpin dan proyek Nasakomnya, telah digoyang oleh antagonisme politik, kekacauan sosial dan kritis ekonomi dalam kehidupan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. 49 A. Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, h. 175 50 Pranarka, Sejarah Pemikiran, h. 315 51 Ibid, h. 316 xxxviii Mengenai kegagalan ekonomi, mencatat bahwa antara tahun 1958-1966 inflasi meningkat tajam, peredaran uang meningkat menjadi 701 persen, harga barang-barang membumbung tinggi menjadi 635 persen, makanan dan pasokan barang-barang yang lain sulit didapatkan dan hubungan dagang dengan negara-negara asing menjadi lebih buruk. 52 Sementara itu, meningkatnya suhu politik menjelang akhir tahun 1965, dikaitkan dengan siapa pengganti Presiden Soekarno kalau yang bersangkutan wafat, yang pada saat itu Soekarno mengalami berbagai penyakit tuanya. Hanya ada dua kandidat yang disebut-sebut sebagai presiden yang menggantikan Soekarno. Yaitu Letjen. A. Yani dan Jenderal A. H. Nasution yang keduanya sangat dibenci oleh PKI. Dengan puncak kebencian tersebut PKI melakukan pembantaian di Lubang Buaya Jakarta, dengan sasaran utama mereka adalah para Jenderal. Jendral A. H. Nasution luput dari pembunuhan ini tetapi 7 tujuh perwira angkatan darat lainnya terbunuh. 53 Peristiwa ini tepatnya terjadi pada tanggal 30 September 1965, yang dikenal sebagai peristiwa G.30SPKI. Setelah peristiwa G.30SPKI, kekuatan Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto, yang pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Kostrad Komando Cadangan Strategi Angkatan Darat, mengkosolidasi kekuatannya dan secara bertahap berhasil mengontrol situasi, yang pada akhirnya berhasil mengambil alih 52 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 101 53 Syafiie, Sistem Politik, h. 43 xxxix kekuasaan dari pemerintah Orde Lama pada tahun 1966. 54 Pada tahun 1967 di keluarkanlah Ketetapan MPRS Nomor XXXIIIMPRS1967 yang menetapkan pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari tangan Presiden Soekarno dan diangkatnya Jendral Soeharto sebagai Presiden kedua Republik Indonesia. 55 Dengan dimulainya Rezim Orde Baru, banyak pimpinan Islam yang menaruh harapan besar, dengan kembalinya Islam dalam panggung politik nasional, yang selama periode Demokrasi Terpimpin merasa benar-benar disudutkan. Pada peristiwa penghancurkan PKI dan menjatuhkan Soekarno, golongan Islam menjadi bagian penting dari kekuatan koalisi bersama militer, kelompok fungsional, kesatuan mahasiswa dan pelajar, organisasi sosial-keagamaan dan sebagainya. Langkah pertama yang dilakukan pemerintah Orde Baru adalah membebaskan tokoh-tokoh Islam yang dipenjarakan Soekarno, hal tersebut semakin memperbesar harapan kaum muslimin kepada Orde Baru. Sehingga didirikanlah sebuah panitia yang diberikan nama Badan Koordinasi Amal Muslimin untuk merealisasikan harapan itu. 56 Akan tetapi harapan dari umat muslim sepertinya tidak akan terlaksana, Setelah berhasil menghancurkan kekuatan Komunis, pemerintah Orde Baru terus 54 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 105 55 Syafiie, Sistem Politik Indonesia, h. 45 56 Effendy, Islam dan Negara, h. 111 xl menerus memapankan kekuasaannya di atas panggung politik Indonesia. Orde Baru membedakan dirinya sendiri dari Orde Lama dengan mendifinisikan diri sebagai: 1. Sebuah tatanan negara dan bangsa yang didasarkan atas pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsisten; 2. Sebuah tatanan yang berusaha mewujudkan cita-cita kemerdekaan, yaitu keadilan dan kemakmuran rakyat Indonesia berdasarkan Pancasila; 3. Sebuah tatanan yang bercita-cita membangun sistem negara dan masyarakat berdasarkan UUD, demokrasi dan hukum; 4. Sebuah tatanan hukum dan tatanan pembangunan. Selain mengindentifikasikan dirinya dengan empat karakteristik ini, Orde Baru mencela Orde Lama sebagai penyimpang dari semangat Pancasila dan UUD 1945, yang dikarenakan Orde Lama menerapkan Demokrasi Terpimpin dan Nasakom, serta mengangkat Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Orde Baru memberikan prioritas nasional terhadap pelaksanaan pembangunan dan modernisasi, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Didukung secara efektif oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ABRI dan sekelompok teknokrat. 57 Dalam upaya Orde Baru memperkuat perannya sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945, pada Desember 1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka akan mengambil tindakan-tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, dan aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 57 Ismail, Ideologi Hegemoni, h.107 xli seperti yang pernah dilakukan oleh PKI di Madiun, G.30SPKI, Darul IslamTentara Islam Indonesia dan Masyumi – Partai Nasionalis Indonesia dan sebagainya. 58 Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1967 Soeharto dengan tegas mengatakan: “Pancasila adalah kepribadian kita, pandangan hidup seluruh bangsa Indonesia, pandangan hidup yang disetujui oleh wakil-wakil rakyat, menjelang dan sesudah proklamasi kemerdekaan kita; oleh karena itu, Pancasila adalah satu-satunya pandangan yang dapat pula mempersatukan kita. Pancasila adalah perjanjian luhur seluruh rakyat Indonesia yang harus selalu kita junjung tinggi bersama dan kita bela selama-lamanya.” 59 Dalam rangka memulihkan kembali demokrasi di dalam negeri, pemilihan umum pertama diadakan pada tanggal 3 Juli 1971. Dalam pemilu ini, partai-partai Islam terdiri dari NU, PSII Partai Syarikat Islam Indonesia, Perti dan partai yang baru saja berdiri yakni Parmusi Partai Muslimin Indonesia, partai-partai non-Islam dan sekuler yakni PNI, Parkindo, Partai Katolik, Partai Murba, dan IPKI dan Golkar didukung Pemerintah 60 , saling berkompetisi. Golkar menang besar mengumpulkan 62,8 persen suara, sementara partai- partai Islam mendapatkan 27,11 persen, partai-partai non-Islam dan Nasionalis 58 Effendy, Islam dan Negara, h.112 59 Centre For Strategic and International Studies, Pandangan Presiden Soeharto Tentang Pancasila, cet. II Jakarta: Sekretariat Negara R.I.,1976, h. 10 60 Asal usul Golkar Golongan Karya dapat ditelusuri dari Sekber Golkar Sekretariat Bersama Golongan Karya yang didirikan pada tanggal, 20 Oktober 1964. Organisasi ini pada awalnya dibentuk sebagai koalisi berbagai kekuatan masyarakat untuk mengimbangi pengaruh PKI dalam , dalam pemerintahan Orde Baru disegarkan kembali dan diperluas hingga menjadi kekuatan politik yang amat besar. Lihat Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998. xlii mendapatkan 10,09 persen. Dari kursi 360 kursi parlemen yang diperebutkan, Golkar memenangkan 227 kursi, partai-partai Islam 94 kursi, dan sisanya untuk partai sekuler dan non-Islam. Sejumlah kursi tambahan 100 diisi oleh anggota-anggota yang ditunjuk oleh pemerintah, 75 kursi ditunjuk dari militer dan 25 kursi dari sipil. Dengan total 327 dari 460 kursi, jelaslah bahwa Golkar mendominasi kekuatan politik di dalam negeri. 61 Kemudian dengan Tap MPR No. IXMPR1973 Hasil Pemilu 1971, Soeharto di angkat kembali menjadi presiden dan pada selanjutnya dalam beberapakali pemilihan umum 1977, 1982, 1987 dan 1992 dengan kemenangan Golkar yang terus menerus, Suharto tetap dipertahankan menjadi Presiden Republik Indonesia. 62 Kemenangan tersebut melalui strategi dengan dikeluarkannya peraturan menteri dalam negeri Permen 12 1969 menyebutkan bahwa “seluruh anggota kelompok- kelompok fungsional yang ditugaskan dibadan-badan pemerintah di tingkat provinsi dan lokal harus diganti jika mereka bergabung kedalam partai-partai politik [PNI, NU, Parmusi, PSII, Perti dan lain sebagainya]. Selain itu, pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Pemerintah PP 6 1970 yang mempunyai konsekuensi luas dalam pemilihan umum. Peraturan-peraturan di atas dikeluarkan untuk menciptakan monoloyalitas. Mereka harus tetap loyal kepada pemerintah yang memperkerjakan mereka. Jika 61 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 113 62 Syafiie, Sistem Politik Indonesia, h. 46 xliii tidak, promosi mereka ke jabatan yang lebih tinggi dapat tertunda. Langkah-langkah ini, tentu saja, menjamin dukungan yang eksklusif terhadap Golkar. 63 Pada masa ini, Militer mulai masuk kedalam MPRDPR, keberadaan Militer di MPRDPR, merupakan kebijakan dari pemerintah yang dengan dalih untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa serta mempertahankan Pancasila dan UUD 1945 dari kemungkingan perubahannya oleh MPRDPR RI maka ABRI pun ikut berpolitik, hal tersebut dianggap pula sebagai bagian dari pengabdian ABRI kepada bangsa dan negara yang kemudian disebut sebagai Dwifungsi ABRI. 64 Berbagai perkembangan setelah pemilihan umum 1971 hanya memperbesar rasa putus asa masyarakat politik Islam. Kekalahan dalam pemilihan umum tidak hanya tercermin dalam merosotnya wakil-wakil Islam di parlemen. Tetapi hal itu juga tampak dalam komposisi kabinet baru, dimana keterlibatan tokoh-tokoh politik Islam tertentu benar-benar mulai dibatasi. Salah satu kasus yang paling jelas menunjukan hal itu adalah mulai memudarnya dominasi NU dalam Departemen Agama. 65 Dua tahun setelah pemilu 1971, pemerintah Orde Baru menerapkan kebijakan baru tentang restrukturisasi politik yang berisi pengelompokan semua partai politik, sebuah kebijakan yang menghasilkan pembentukan PPP Partai Persatuan Pembangunan, PDI Partai Demokrasi Indonesia dan Golkar. PDI secara formal 63 Effendy, Islam dan Negara, h. 116 64 Syafiie, Sistem Politik Indonesia, h. 47 65 Effendy, Islam dan Negara, h. 118 xliv didirikan pada tanggal 10 Januari 1973 merupakan penggabungan dari PNI, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, dan Partai Murba. Sedang PPP yang formalnya didirikan pada tanggal 5 Januari 1973, merupakan fusi dari empat partai Islam yakni, PSII, NU, Perti dan Parmusi. 66 Di kalangan partai-partai Islam sendiri sebenarnya masih ada perbedaan pendapat terhadap gagasan fusi partai. Namun demikian karena tekanan dari pemerintah, akhirnya partai-partai harus menerima aturan penggabungan ini. Langkah yang dilakukan pemerintah tersebut merupakan proses untuk menciptakan pemerintahan yang stabil, oleh karena itu diperlukan homogenitas sosial dan konsesus politik dengan mengurangi jumlah partai dan membentuk partai baru dukungan pemerintah. 67 Terlepas dari proses restrukturisasi politik yang terus menerus dilakukan Orde Baru, menyusul pemilihan umum 1971, proses itu diperkuat dengan penerapan konsep massa mengambang di mana aktivitas-aktivitas partai di tingkat desa dan kecamatan hampir sepenuhnya dihapuskan, ditambah dengan dilaksanakannya sistem politik yang pada dasarnya tidak kompetitif oleh pemerintah. Kemudian perpecahan yang terus berlangsung di dalam tubuh PPP, terutama semasa kepemimpinan John 66 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 126 67 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 144 xlv Naro strategi pemerintah untuk secara intensif menarik banyak tokoh dan intelektual Muslim, memperlemah kekuatan PPP dalam pemilihan umum. 68 Karena tampilnya PPP sebagai partai Islam dianggap pemerintah sebagai ancaman. Dan PPP memang kritis terhadap pemerintah; dalam kampanye pemilu tahun 1977 ia mengangkat masalah korupsi, penyalahgunaan jabatan, dan kecendrungan-kecendrungan sekularistik pemerintah yang merupakan pendukung Golkar. Pemerintah menjadi lebih keras terhadap PPP ketika partai ini terus menyerang pemerintah, dan menghubungkan kampanye PPP dengan bantuan keuangan dari Libya dan dengan Komando Jihad. 69 Strategi lain pemerintah terhadap peminggiran Islam politik akan dijelaskan pada BAB III, namun untuk pembahasan pada bab ini yang menjadi sasaran pemerintah yakni kerangka simbolisme ideologis, hal ini berlangsung pada 1983. Pemerintah meragukan komitmen kelompok-kelompok sosial-keagamaan dan politik tertentu terhadap komitmen Ideologi negara. Dalam pandangan Presiden Soeharto, mereka tidak meyakini Pancasila secara seratus persen. Sehingga dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan bahwa seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu- 68 Effendy, Islam dan Negara, h. 119 69 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001, h. 69 xlvi satunya adalah Pancasila. 70 Kemudian gagasan presiden ini dimasukan dalam ketetapan MPR No. II1983 pasal 3 bab IV. Proses ini merupakan bagian dari kebijakan pemerintah untuk menciptakan stabilitas politik dan menghapus polarisasi politik yang tajam, yang dianggap disebabkan oleh fanatisme kelompok, sebagaimana terlihat, khususnya selama kampanye pemilu pada masa-masa sebelumnya. Polarisasi politik ini, dibarengi dengan fanatisme keagamaan, seringkali melahirkan pemusuhan antara satu partai politik dengan partai politik lain yang berbeda asasnya. 71 Pada tanggal 19 Februari 1985, pemerintah, dengan persetujuan DPR, mengeluarkan undang-undang No. 31985, menetapkan bahwa partai-partai politik dan Golkar harus menerima Pancasila sebagai asas tunggal mereka. Empat bulan kemudian, pada tanggal 17 Juni 1985, pemerintah lagi-lagi atas persetujuan DPR, mengeluarkan undang-undang No. 8 1985 tentang ormas, menetapkan bahwa seluruh organisasi sosial atau masa harus mencantumkan Pancasila sebagai asas tunggal Indonesia yang didorong oleh persamaan aspirasi, profesi, idealitas, kepentingan agama atau kepercayaan pada Tuhan, dengan tujuan merealisasikan tujuan tertentu dalam negara Republik Indonesia. 72 70 Effendy, Islam dan Negara, h. 120 71 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 203 72 Ibid, h. 206 xlvii Dengan adanya asas tunggal tersebut, PPP menghadapi dilema politik dalam arti bahwa apabila PPP melakukan penolakan terhadap Pancasila sebagai asas tunggal partai akan mengakibatkan dibekukannya partai oleh pemerintah. Untuk menjaga keutuhan partai, para pemimpin PPP memilih jalan pragmatis dengan menerima Pancasila sebagai asas tunggal dan PPP mengganti segala sesuatu yang terkait dengan asas, indetitas, pernyataan-pernyataan dan simbol-simbol Islam. 73 Sejak masa awal Orde Baru berkuasa sistem negara telah berupaya mendefinisikan negara sebagai konsep organisme total secara budaya beragam namun secara geografis dan kebangsaan bersifat tunggal. Negara menekankan kohesi budaya, keabadian dan saling membagi dengan tradisi-tradisi besar. Sejak tahun 1970, Pancasila adalah pendidikan dasar kewarganegaraan dari Orde Baru. Pada GBHN tahun 1973 dinyatakan bahwa kurikulum pada setiap tingkat pendidikan, mulai dari taman kanak-kanak sampai tingkat menengah ke atas, negeri maupun swasta, harus mengajarkan Pendidikan Moral Pancasila PMP dan semua aspek- aspek terkait untuk mewariskan jiwa dan nilai-nilai 1945 kepada Generasi Muda. Ini melingkupi segenap yang terlingkupi dalam naungan pancasila sebagai idiologi negara dan makin kuat dan sakral dengan dicantumkannya pada Bab IV GBHN tentang Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Dengan kepercayaan kepada Tuhan sebagai prasyarat menjadi warga negara yang setia misalnya bukan komunis, mengingkari Pancasila sebagai asas tunggal 73 Ibid, h. 223 xlviii bukan saja dianggap sabagai penghianat tapi malah juga dianggap sebagai tindakan bid’ah. Dengan logika ideologi ini, yang komunis maupun yang mendirikan negara teokrasi Islam termasuk golongan pembelot negara Pancasila. Kursus wajib pemantapan Pancasila dan masyarakat madani P4, sistem pendidikan PMP, beberapa ketetapan presiden, dan prinsip asas tunggal, keseluruhannya telah memapankan kesaktian Pancasila. 74 Dengan demikian perubahan atas asas PPP tersebut, menimbulkan pertikaian di dalam tubuh PPP. PSII yang merupakan bagian dari PPP, menyatakan diri keluar karena asas tunggal Pancasila tidak sesuai dengan asas PSII, 75 PSII merupakan satu- satunya usur PPP yang menolak akan pemberlakuan Asas Tunggal Pancasila, yang dalam sejarahnya, PSII memang merupakan partai yang memegang teguh prinsip pada Islam dan adapun pembahasan asas PSII serta pandangan PSII terhadap asas tunggal Pancasila tersebut akan dibahas pada Bab IV. Dan perpecahan lain yang muncul dalam tubuh PPP, yakni para pemimpin NU yang dikarenakan konflik dengan MI, NU melancarkan kampanye politik yang menyerukan anggotanya untuk tidak memilih PPP. Kampanye ini, dikenal sebagai aksi penggembosan yang dilancarkan banyak pemimpin NU. 76 74 Al-Chaidar, Reformasi Prematur; Jawaban Islam Terhadap Reformasi Total, Jakarta: Darul Falah, 1999, h. 37 75 Bustamam, PSII-1905, h. 53 76 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 225 xlix Bilamana dalam pidato Soeharto pada permulaan Orde Baru dipersoalkan kedaulatan rakyat yang ditindas oleh Soekarno dan Soekarno menciptakan istilah “Demokrasi Terpimpin”, maka Soeharto telah meniru dengan bagus sekali cara-cara yang digunakan oleh Soekarno. Dengan menamakannya “Demokrasi Pancasila”, ia menggunakan “power by remote control”, sehingga semua kekuatan politik dapat ditundukannya. Pancasila merupakan prestasi politik tertinggi Orde Baru, dan oleh karenanya maka semua prestasi lainnya dinamakan dengan istilah Pancasila. Mulai dari sistem ekonomi Pancasila, Pers Pancasila, hubungan industrial Pancasila hingga Orde Baru pun disebut sebagai Orde Pancasila. 77 77 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 38 l

BAB III SYARIKAT ISLAM DAN ORBA