KEBIJAKAN ORBA TERHADAP ISLAM

l

BAB III SYARIKAT ISLAM DAN ORBA

A. KEBIJAKAN ORBA TERHADAP ISLAM

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada Bab II, yang selama periode Demokrasi Terpimpin umat Islam benar-benar merasa tersudutkan, dan dengan dimulainya Rezim Orde Baru menyusul gagalnya kudeta PKI pada 1965, banyak pemimpin politik Islam yang menaruh harapan besar, harapan itu terutama tampak jelas di kalangan bekas pemimpin Masyumi dan pengikut-pengikutnya. Namun kenyataannya, harapan umat Islam dan kemungkinan rehabilitasi Masyumi hanyalah harapan kosong, yang walaupun pada awal pemerintahan Orba, pemerintah membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang dipenjarakan Soekarno termasuk Mohammad Natsir, Sjarifuddin Prawiranegara, Mohammad Roem, Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusumo, dan Hamka. 78 Dalam pemerintahan Orde Baru pada bidang politik, ekonomi, dan budaya telah didominasi oleh kekuatan-kekuatan non-muslim dan orang Islam dilarang memegang bidang-bidang tersebut. dapat dikatakan bahwa, Indonesia adalah satu- satunya negara bependudukan Islam terbesar di dunia tetapi dengan pengaruh Islam 78 Effendy, Islam dan Negara, h. 111 li yang paling sedikit. 79 Selain itu, pemerintahan Orde Baru pun Didukung secara efektif oleh Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ABRI 80 dan dengan melihat hal tersebut semakin jelas bahwa kebangkitan politik umat Islam yang diharap- harapkan sulit untuk diwujudkan, seiring upaya pemerintah dalam melakukan pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni. Kejelasan tersebut didukung pula dengan munculnya stetmen pada Desember 1966, kelompok militer menyatakan bahwa mereka akan mengambil tindakan- tindakan tegas terhadap siapa saja, dari kelompok mana saja, dan aliran apa saja, yang ingin menyimpang dari Pancasila dan UUD 1945 seperti yang pernah dilakukan oleh PKI di Madiun, G.30SPKI, Darul IslamTentara Islam Indonesia dan Masyumi – Partai Nasionalis Indonesia dan sebagainya. Bahkan, pada awal 1967, Soeharto sendiri menegaskan bahwa “militer tidak akan menyetujui rehabilitasi kembali partai [Masyumi] itu.” 81 Begitupun Partai Demokrasi Islam Indonesia PDII, partai yang akan didirikan Muhammad Hatta dan Deliar Noer oleh Rezim Orde Baru ditolak dengan berbagai alasan. Di samping itu, pada tahun 1968 kelompok Islam yang ada di Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara MPRS yang memperjuangkan asas negara Islam di dalam memperbaiki institusi negara. Gagal mencapai kesepakatan, 79 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 77 80 Ismail, Ideologi Hegemoni, h.107 81 Effendy, Islam dan Negara, h.112 lii karena tidak adanya titik temu antara keinginan wakil Islam dengan keinginan kelompok nasionalis-sekuler. Dalam hal ini kelompok Islam berhadapan dengan ABRI dan Golkar sebagai kelompok mayoritas di dalam MPRS ketika itu. 82 Sebagaimana pernah terjadi dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, sejak masa kemerdekaan telah timbul konflik ideologi sosial dan politik antara pemerintah dan umat Islam dan beberapa kekuatan sosial politik lainnya. Konflik tersebut kemudian menyangkut masalah dasar negara. Umat Islam menghendaki Islam sebagai dasar negara, karena umat menempatkan diri sebagai mayoritas dan jasa yang besar dalam perjuangan kemerdekaan. Sementara pemerintah dan sebagian orang-orang yang ikut mendirikan republik menginginkan dasar kebangsaan. Perkembangan perbedaan pandangan tersebut kemudian menimbulkan konflik ideologi Islam dan Pancasila. Umat Islam di samping merupakan komunitas sosial yang paling besar dan memiliki ideologi politik dengan kemampuan potensial mengerahkan mobilitas secara efektif. Pemerintah Orde Baru setelah hancurnya PKI, kemudian menetapkan umat Islam khususnya partai dan organisasi Islam sebagai sasaran utama pembinaan dan pengarahan pembangunan politik. 83 Sikap yang ditunjukan Orde Baru terhadap Masyumi dan yang lainnya, merupakan usaha nyata pemerintah dalam meminggirkan kekuatan politik umat Islam 82 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 113 83 Abdul Munir Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik dan Polarisasi Umat Islam 1965-1987 Dalam Perspektif Sosiologis, Jakarta: Rajawali Pers, 1989, h. 123-124 liii dan peminggiran-peminggiran tersebut akan terus berlanjut dengan berbagai bentuknya. Akan tetapi kebijakan pemerintah itu, menimbulkan kekhawatiran tersendiri bagi pemerintah terhadap representasi konstituen politik Islam di masa depan. Pemerintah khawatirkan, dengan ketiadaan mekanisme politik untuk mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan-kepentingan konstituen politik Islam di atas, akan menumbuhkan rasa frustasi yang lebih dalam, yang pada gilirannya dapat mendorong mereka kearah ekstremisme politik yang lebih membahayakan. Dengan demikian pemerintah memberikan kelonggaran untuk berdirinya partai Islam baru, apabila partai tersebut bersedia mendefinisikan kembali agenda politik mereka dalam kerangka-kerangka yang lebih dapat diterima oleh pemerintah. 84 Sebagai gantinya, Partai Muslimin Indonesia Parmusi didirikan, Meskipun demikian, persetujuan pemerintah diatas bukan tanpa pembatasan sama sekali. Akan tetapi dengan kontrol cukup ketat oleh pemerintah, dan yang lebih menggelisahkan para pemimpin Islam adalah kenyataan bahwa gerak politik para bekas pemimpin Masyumi sangat dibatasi, kalau tidak, dilarang sama sekali. Bahkan, dalam perkembangan kepengurusan Parmusi, banyak unsur pimpinan Masyumi tidak dibolehkan duduk di dalamnya. 85 Hal tersebut terlihat pada Muktamar pertama Parmusi di Malang pada tahun 1968, partai Memilih Mr. Roem sebagai ketua. Namun 84 Effendy, Islam dan Negara, h. 113 85 Al-Chaidar, Reformasi Prematur, h. 33 liv pemerintah menolak tampilnya bekas tokoh Masyumi sebagai pimpinan partai. Dengan demikian partai dipimpin oleh Djarnawi dan Lukman Harun dua Aktivis Muhammadiyah. 86 Beberapa saat setelah Muktamar terjadi perebutan kedudukan pimpinan partai, yang dilakukan oleh seorang tokoh muda yang semula tidak dikenal, J. Naro bersama Imron Kadir. Naro, semula adalah seorang pegawai dan jaksa tinggi. Karir politiknya di awali tahun 1968, ketika menjadi anggota DPR dari Fraksi Karya Pembangunan. Perebutan kedudukan ini dengan alasan bahwa pimpinan Parmusi telah menentang kebijaksanaan pemerintah. Gerakan Naro tampaknya mendapat restu pemerintah dan gejolak tersebut juga memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk ikut campur. Melalui SK. Presiden No. 77 tahun 1970, ditetapkan Mintareja sebagai ketua partai. Mintareja adalah pegawai tinggi pemerintah di Departemen Sosial dan anggota PP Muhammadiyah. Dengan demikian dengan SK tersebut pula sekaligus membatalkan pengangkatan Djarnawi sebagai ketua partai. Sehingga sejak saat itu Parmusi mulai kehilangan dukungan umat. 87 Pada tanggal 3 Juli 1971 dilangsungkan pemilu pertama masa Rezim Orba, Dalam pemilu ini, partai-partai Islam terdiri dari NU, PSII Partai Syarikat Islam Indonesia, Perti dan partai yang baru saja berdiri yakni Parmusi Partai Muslimin Indonesia. Sebagai mana yang sudah dijelaskan pada Bab II, pada pemilu ini 86 Ibid, h. 33; Mulkhan, Perubahan Perilaku Politik, h. 125 87 Ibid, h. 126 lv kekuatan Islam politik makin merosot. Golkar yang merupakan kendaraan politik pemeritah menang besar. Ini sebagian disebabkan karena langkah-langkah yang benar-benar sudah ditata, pemerintah Orde Baru berhasil menciptakan “kondisi- kondisi yang sangat tidak menguntungkan bagi partai-partai politik”. 88 Didorong oleh kemenangan besar Golkar, pemerintah melalui Operasi Khusus Opsus mempercepat program penyederhanaan partai politik, yaitu dengan mendesak partai pemilu 1971 untuk menjadi tiga organisasi kekuatan politik, masing-masing: Partai Persatuan Pembangunan PPP, fusi dari empat partai Islam; Partai Demokrasi Indonesia PDI, fusi dari empat partai nasionalis dan KristenKatolik; kemudian Partai Golkar. 89 Selanjutnya dalam beberapakali pemilihan umum 1977, 1982, 1987 dan 1992 dengan kemenangan Golkar yang terus menerus, Suharto tetap dipertahankan menjadi Presiden Republik Indonesia. 90 Terhadap pengelompokan tersebut, membawa implikasi pada dikotomi politik Islam dan non-politik Islam. Pertama, dengan format kepartaian baru, PPP yang memiliki basis pada massa Islam sekarang menghadapi dua lawan utama; Golkar dan PDI. Kedua, pengelompokan tersebut juga mengandung arti adanya usaha sistematis untuk memecah belah politik Islam, karena “fusi artifisial” tidak akan membawa 88 Ismail, Ideologi Hegemoni, h. 113; Effendy, Islam dan Negara, h. 116 89 M. Din Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, h. 41 90 Syafiie, Sistem Politik Indonesia, h. 46 lvi persatuan. Sejarah telah membuktikan bahwa PPP hampir tidak pernah luput dari konflik internal. Ketiga, pengelompokan dapat mengandung arti domestika politik Islam, seperti terbukti kemudian, PPP harus melakukan penyesuaian diri dengan kebijaksanaan pemerintah, umpamanya dalam melaksanakan ketentuan asas tunggal Pancasila, 91 sebagaimana pula yang telah dijelaskan dalam Bab II. Dalam konflik-konflik yang muncul dalam tubuh PPP, telah membawa PPP pada proses kemerosotan. Ini dengan jelas tergambar dalam perolehan suara dalam tiga pemilu terakhir. Tahun 1977 PPP memperoleh suara 29,29, tahun 1982 menurun dengan perolehan suara 27,78, dan merosot tajam pada pemilu tahun 1987 dengan perolehan suara halnya 18,8. 92 Disamping itu, banyak juga kebijakan pembangunanpolitik yang dibuat pemerintah bertentangan dengan aspirasi dan kepentingan Islam, diantaranya: 1. Pengumuman rancangan Undang-undang Perkawinan pada tahun 1973, yang menimbulkan protes sangat dahsyat dari hampir semua organisasi Islam, karena rancangan yang dibuat pemerintah benar-benar mengabaikan ajaran Islam; 2. Pembangunan tempat-tempat perjudian, “lokalisasi”, dan melegalisasikan perjudian “terselubung” melalui pungutan uang lotre olah raga yang biasa disebut Sumbangan Dana Sosial Berhadiah; 91 Syamsuddin, Islam dan Politik Era Orde Baru, h. 42 92 Ibid, h. 52 lvii 3. Larangan memakai Jilbab di sekolah menengah; 4. Program keluarga berencana yang tidak memperhatikan ajaran Islam; 5. Maraknya penjualan Minuman keras, dan pemberian izin secara bebas oleh pemerintah untuk membangun kilang-kilang arak. 93 Pada 1978, lagi-lagi masyarakat Muslim merasa diserang keyakinan agama mereka. Mereka merasa keberatan dengan upaya pemerintah, dalam salah satu sidang MPR, pemerintah berupaya menaikan status aliran kepercayaan menjadi sama dengan posisi agama seperti Islam dan Kristen. Reaksi keras dari para pemimpin dan aktivis Muslim, termasuk mereka yang menjadi anggota parlemen khususnya dari PPP, memaksa pemerintah untuk membatalkan rencana itu. Karena tidak mau menentang baik aspek ritual maupun teologis Islam, Presiden Soeharto – yang juga Muslim – tidak mengakui aliran kepercayaan sebagai agama. Hingga akhirnya pada 1979, aliran kepercayaan ini kemudian secara resmi diakui sebagai salah satu unsur kebudayaan Indonesia. Karena itu, pengawasannnya diserahkan kepada Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dan bukan kepada Departemen Agama. 94 Serangan paling akhir terhadap konstruk lama Islam politik, terutama dalam kerangka simbolisme ideologisnya, berlangsung pada 1983. Pemerintah meragukan komitmen kelompok-kelompok sosial-keagamaan dan politik tertentu terhadap komitmen Ideologi negara. Dalam pandangan Presiden Soeharto, mereka tidak 93 Karim, Negara dan Peminggiran, h. 119 94 Effendy, Islam dan Negara, h. 120 lviii meyakini Pancasila secara seratus persen. Sehingga dalam pidato tahunannya di depan DPR, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto menegaskan bahwa seluruh kekuatan sosial politik harus menyatakan bahwa dasar ideologi mereka satu-satunya adalah Pancasila. 95 Perkembangan itu sangat mengecewakan sebagian besar masyarakat Muslim di Indonesia. Mereka merasa bahwa, tidak saja tokoh-tokoh mereka disingkirkan dari arus utama politik bangsa, tetapi bahkan – hingga tahap tertentu – dikursus politik negeri ini pun tidak mencerminkan kenyataan bahwa mayoritas penduduknya Muslim. Karena itu, sedemikian pahitnya, mereka merasa bahwa pemerintah Orde Baru telah memperlakukan para pemimpin dan aktivis politik Muslim, terutama yang berasal dari Masyumi, seperti ”kucing kurap”. Maka bisa dipahami jika banyak dari mereka yang melihat politik pangasastunggalan Pancasila sebagai upaya lebih jauh yang sengaja diambil oleh pemerintah untuk melakukan depolitisasi terhadap Islam. 96 Keadaan terpinggir semacam ini menimbulkan dua reaksi umat Islam. Yang pertama, adalah oposisi terhadap pemerintah, bahkan berkali-kali melakukan kekerasan dengan mengatasnamakan agama. Tindakan seperti ini makin membuka peluang bagi pemerintah untuk menekan umat Islam. Yang kedua, muncul kreativitas untuk mencari jalan keluar dari “kebutuhan” politik terutama yang dilakukan oleh kelompok cendekiawan dan aktivis organisasi Islam. Kegiatan ini ternyata kemudian 95 Ibid, h. 121 96 Ibid, h. 122 lix memperkuat kemampuan umat Islam, dan akhirnya mendorong pemerintah untuk mengambil sikap akomodatif terhadap Islam. 97

B. SYARIKAT ISLAM DAN ORDE BARU