SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA ASAS TUNGGAL PANCASILA

xxvii

BAB II ASAS TUNGGAL PANCASILA

A. SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

Sejarah Pancasila dimulai dari pembentukan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai yang merupakan bentuk langkah awal realisasi dari statemen Pemerintah Jepang yang secara resmi Perdana Menteri Kyoso pada bulan September 1944 mengumumkan niat Pemerintah Jepang untuk memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia kelak dikemudian hari. Sejalan dengan itu lagu kebangsaan Indonesia boleh dinyayikan kembali dan bendera Sang Merah Putih dapat dikibarkan bersama bendera Jepang, yang sebelumnya sejak tanggal 20 Maret 1942 hal tersebut dilarang. Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dibentuk bertepatan dengan hari ulang tahun Tenno Heika Kaisar Jepang pada tanggal 29 April 1945 dan Badan ini baru diresmikan sebulan kemudian; tanggal 28 Mei 1945 oleh Saiko Sikikan dan Gunseikan. Dalam sambutan peresmiannya Saiko Sikikan menjelaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah suatu bukti nyata akan tujuan perang suci Dai Nippon. 32 32 Silalahi, Dasar-dasar Indonesia, h. 47-48 xxviii Anggota Badan Penyelidik berjumlah 68 orang dan ke dalam jumlah ini masih harus ditambah 7 orang Jepang yang di angkat sebagai anggota istimewa. Anggota Badan Penyelidik tidaklah terbatas pada tokoh-tokoh yang bertempat tinggal di Jakarta tapi dari seluruh pelosok pulau Jawa. 33 Dari 68 anggota tersebut, Anggota- anggota golongan Islam yang duduk dalam Badan Penyelidik hanyalah 9 orang, yakni: H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosuyoso, Sukiman [dari Syarikat Islam], K.H. Mas Mansur, Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir [dari Muhammadiyah], Abdul Halim [dari Persatuan Ulama Indonesia], Achmad Sanusi, dan K.H. Wachid Hasjim [dari Nahdhatul Ulama]. 34 Selama masa tugasnya, Badan ini mengadakan dua kali sidang umum: sidang umum pertama diselenggarakan dari tanggal 29 Mei 1945 sampai dengan tanggal 1 Juni 1945; sidang umum kedua dari tanggal 10 Juli sampai dengan tanggal 17 Juli 1945. Pembicaraan dan pembahasan mengenai dasar negara merupakan salah satu acara sidang umum yang pertama, Sekurang-kurangnya ada tiga anggota yang mengemukakan pandangannya tentang dasar negara, yakni; Muh. Yamin yang berpidato tanggal 29 Mei 1945, Soepomo; tanggal 31 Mei 1945, dan terakhir Soekarno; tanggal 1 Juni 1945. 35 33 Ibid, h. 53 34 Ibid, h. 54 35 A. M. W. Pranarka, Sejarah Pemikiran Tentang Pancasila, Jakarta: Centre For Strategic And International Studies, 1985, h. 25-26 xxix Dalam pidatonya Sukarno menyampaikan maksud keinginan Ketua Badan Penyelidik, dengan menjelaskan philosofische gronslag Indonesia Merdeka atau yang dalam bahasa Jerman disebut Weltanschauung adalah fundamen, filsafat, pikiran, jiwa, dan hasrat yang sedalam-dalamnya bagi didirikannya gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi. 36 Kemudian Soekarno mengajukan Lima Asasnya sebagai dasar negara, yaitu: Kebangsaan Indonesia, Internasionalisme atau peri-kemanusiaan, Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan. Dia menamakan Lima Asasnya ini “Pancasila”. Soekarno kemudian menyampaikan “teori perasaan”: lima sila itu diperasnya menjadi tiga sila Tri Sila: Sosio-nasionalisme yang mencakup Kebangsaan Indonesia dan Peri-kemanusiaan, sosio-demokrasi yang mencakup Demokrasi dan Kesejahteraan sosial dan Ketuhanan. “Tri Sila”-nya ini pun, pada gilirannya, diperas pula menjadi satu sila “Eka Sila”, yakni Gotong Royong. 37 Dengan pidato yang disampaikan Soekarno tersebut, tanggal 1 Juni 1945 kini ditetapkan oleh pemerintah sebagai hari lahirnya Pancasila. Dalam perkembangannya, susunan pancasila yang diusulkan oleh Soekarno tersebut mengalami perubahan bentuk, yang perubahan tersebut merupakan hasil kompromi, antara pihak Islam dan pihak kebangsaan yang terdiri dari sembilan orang. 36 Silalahi, Dasar-dasar Indonesia, h. 67 37 Endang Saifuddin An Shari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945; dan Sejarah Konsesus Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959, Cet.II Jakarta: CV. Rajawali, 1986, h.17 xxx Modus persetujuan antara golongan Islam dan golongan kebangsaan itu dicantumkan di dalam satu rancangan pembukaan yang berbunyi sebagai berikut: 38 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan-perwakilan; 5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Karena modus persetujuan tersebut dibuat di Jakarta dan di tanda tangani oleh kesembilan anggota panitia tersebut bertepatan dengan ulang tahun Jakarta, maka modus persetujuan itu dikenal sebagai Piagam Jakarta The Jakarta Charter. 39 Dari kesembilan penandatangan Piagam Jakarta itu sungguh-sungguh representatif mencerminkan alam dan aliran fikiran yang hidup dalam masyarakat Indonesia: Soekarno, Mohammad Hatta, A.A. Maramis, Ahmad siebardjo dan M. Yamin mewakili dari golongan nasionalis, sedangkan Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, dan Abdul Wahid Hasjim mewakili golongan Islam. 40 38 Pranarka, Sejarah Pemikiran, h. 33-35 39 Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 31-32 40 Ibid, h. 47 xxxi Walaupun Piagam Jakarta merupakan hasil kompromi, tetap saja menjadi perdebatan dalam sidang umum, terutama dikarenakan dicantumkannya kata “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya” pada Piagam Jakarta [yang kini dikenal dengan 7 kata Piagam Jakarta] sehingga menimbulkan perdebatan oleh sebagian anggota BPUPKI, dan kemudian muncul pula keinginan anggota dari golongan Islam untuk menetapakan pasal dalam Undang-Undang Dasar sesuai dengan nilai-nilai Syariat Islam, seperti halnya K.H. Wahid Hasjim dan Sukiman mengusulkan bahwa Kepala Negara haruslah beragama Islam serta dimasukannya kembali 7 kata tersebut kedalam salah satu pasal UUD, sehingga terus menerus menimbulkan perdebatan yang sengit, yang akhirnya dengan segala usaha dari hasil kompromi ditetapkalah UUD, yang di mana Piagam Jakarta tetap di masukkan dalam Muqadimah UUD, kemudian Kepala Negara adalah orang Islam, serta masuknya 7 kata dalam pasal 29. 41 Akan tetapi, tidak bertahan lama Piagam Jakarta Pancasila mengalami perubahan kembali. Pada tanggal 7 Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan, selanjutnya Pemerintahan Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI yang diketuai oleh Soekarno. Pada tanggal 9 Agustus 1945 di Dalath Vietnam, Terauchi menyatakan akan memberikan kemerdekaan kepada Indonesia sekitar 41 Safroedin Bahar, dkk, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI Panitia Persiapan Kemerdekaan Kemerdekaan Indonesia PPKI, Jakarta: Sekrektariat Negara Republik Indonesia, 1992, h. 166-290 xxxii tanggal 29 Agustus 1945. 42 Tetapi pada tanggal 14 Agustus 1945 bom atom jatuh di Nagasaki dan Hirosima. Sehingga tanggal 17 Agustus 1945, jam 04.00 pagi, yakni sehari setelah Jepang menyerah kepada kekuatan Sekutu, naskah baru Pernyataan Kemerdekaan dirumuskan. Pada jam 10.00 pagi di hari yang sama, yang bertempat di Jalan Pegangsaan Timur 56 tempat kediaman Soekarno ketika itu, Proklamasi ini ditanda tangani oleh Soekarno dan Mohammad Hatta atas nama bangsa Indonesia, dan dengan resmi dibacakan oleh Soekarno. Keesokan harinya Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia mengadakan rapat. Pertemuan pertama panitia Persiapan ini direncanakan dalam agenda pada jam 09.30, akan tetapi ternyata belum juga dimulai sampai jam. 11.30. Semula, Panitia Persiapan ini beranggotakan dua puluh satu orang, termasuk Ketua dan Wakil Ketua. Atas saran Soekarno enam orang anggota ditambahkan. Dalam pidato pembukaannya Soekarno menekankan arti historik saat ini, dan mendesak agar panitia persiapan bertindak “dengan kecepatan kilat”, dan mengingatkan para anggota agar tidak bertele-tele dalam masalah detail, tetapi memusatkan perhatian mereka hanya untuk membicarakan beberapa perubahan penting dalam pembukaan dan batang tubuh Undang-Undang Dasar. Hatta dipersilakan untuk menyampaikan empat usul perubahan: 1. Kata “Mukaddimah” diganti dengan kata “Pembukaan”; 42 Pranarka, Sejarah Pemikiran, h. 51 xxxiii 2. Dalam Preambule Piagam Jakarta, anak kalimat “Berdasarkan kepada ke- Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya “diubah menjadi “berdasarkan atas ke-Tuhanan Yang Maha Esa; 3. Pasal 6 ayat 1, “Presiden ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, kata-kata “dan beragama Islam dicoret; 4. Sejalan dengan perubahan yang kedua di atas, maka Pasal 29 ayat 1 menjadi “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan Yang Maha Esa, sebagai pengganti “Negara berdasarkan atas Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta menyatakan keyakinannya: “inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa”. Setelah mengambil alih pimpinan, Soekarno menambahkan bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat ini Undang-Undang Dasar sementara, Undang-Undang Dasar Kilat, Revolutie grondwet. Hanya beberapa jam kemudian, yakni jam 13.45, Panitia Persiapan menerima dengan bulat teks perubahan Preambule dan batang tubuh Undang-Undang Dasar ini. Preambule dan batang tubuh Undang-Undang Dasar dengan beberapa perubahan ini dikenal luas sebagai “Undang-Undang Dasar 1945”. 43 Perubahan tersebut dilakukan dengan dalih untuk mengakomodasi tuntutan wakil-wakil umat. Dengan kompromi terakhir ini, perjuangan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang 43 Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, h. 50- 52 xxxiv memberlakukan syariat Islam menjadi tidak mungkin, karena bertentangan dengan UUD 1945 yang telah disepakati. Kompromi dalam PPKI dipandang sebagian orang sebagai kekalahan politik umat Islam dalam pentas awal perjalanan kenegaraan Indonesia. 44 Sehingga dengan adanya perubahan tersebut, teks Pancasila menjadi: 1. Ketuhanan yang Maha Esa; 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab; 3. Persatuan Indonesia; 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyarawatan-perwakilan; 5. Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia. Idiologi kebangsaan itu menjadi dasar negara, dan karena itu juga menjadi sumber hukum. Namun, nama Pancasila tidak terdapat dalam naskah UUD 1945. Walaupun demikian di dalam masyarakat terdapat perasaan umum bahwa dasar negara itu adalah Pancasila. Konsep dasar negara yang lima itu terdapat pula di dalam pembukaan konstitusi RIS dan mukadimah UUDS 1950 walaupun di dalam rumusannya berlainnan dari yang terdapat di dalam pembukaan UUD 1945. 45 44 Taufik Adnan Amal, Politik Syariat Islam; Dari Indonesia Hingga Nigeria, Jakarta : Pustaka Alvabet, 2004, h. 61. 45 Pranarka, Sejarah Pemikiran, h. 314 xxxv Dalam praktek kehidupan politik kenegaraan pada masa tersebut tidak mengacu kepada Pancasila sebagai Idiologi nasional, yang memang sudah menggejala pada periode sebelumnya masa berlakunya UUD 1945. Perkembangan konflik politik dan idiologi dalam periode itu membawa kritis mengenai kedudukan pancasila sebagai dasar negara. Hal itu terjadi di dalam Konstituante, dimana terjadi konflik Idiologi Islam, Kebangsaan dan Sosial-Ekonomi 46 . Pertentangan yang paling sengit berlangsung antara para pendukung aliran ideologi Islam dan Pancasila [kebangasaan]. Dalam diskursus ini, kelompok Islam pada dasarnya menyatakan kembali aspirasi-aspirasi ideologi politik yang sudah mereka kemukakan pada masa prakemerdekaan, yakni mendirikan negara yang jelas-jelas berdasarkan Islam. Mereka mengusulkan agar Islam dijadikan ideologi negara berdasarkan argumen- argumen mengenai 1 Watak holistik Islam; 2 Keunggulan Islam atas semua ideologi dunia lain, dan; 3 Kenyataan bahwa Islam dipeluk oleh mayoritas warga negara Indonesia. 47 Sementara itu, beberapa kalangan lain menolak gagsan mengenai Islam sebagai dasar negara berdasarkan pertimbangan kemungkinannya untuk dapat diterapkan. Mengingat kenyataan bahwa masyarakat Indonesia heterogen secara sosial-keagamaan, mereka meragukan bahwa Islam dapat berperan sebagai 46 Ibid, h. 315 47 Effendy, Islam dan Negara, h. 107 xxxvi pendangan dunia ideologis-politis bagi seluruh masyarakat. Sementara itu, pancasila, betapapun tidak sempurnanya, telah terbukti dapat menjadi dasar ideologi bersama seluruh masyarakat Indonesia. Dengan pendirian yang mutlak-mutlakan tersebut, dapat dibayangkan jika pada akhirnya kompromi sulit detemukan. Bahkan ketika Islam mundur dari tuntutan mereka yang awal untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara dan hanya menuntut penegasan kembali piagam jakarta, konflik tersebut telah terlanjur menyebabkan macetnya sidang Majelis Konstituante. Dilihat dari kekuatan elektoral mereka, tidak ada satupun partai yang memiliki suara yang diperlukan yakni mayoritas 23 suara untuk menggolkan preferensi-preferensi ideologis mereka. 48 Perdebatan tentang dasar ideologi negara dalam Mejelis Konstitusi berlangsung sampai rapatnya yang terakhir pada tanggal 2 Juni 1959, tanpa suatu keputusan. Dengan demikian pembuatan suatu Undang-Undang Dasar permanen menjadi terbengkalai. Pihak pemerintah membaca situasi ini sebagai suatu kemacetan konstitusional yang serius. Maka pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno dengan sokongan penuh dari pihak militer mengeluarkan dektrit untuk kembali kepada UUD 1945 dan sekaligus membubarkan Majelis Konstituante yang dipilih rakyat itu. Situasi yang tidak seronok ini telah mengguncangkan umat Islam, baik secara politik maupun secara psikologis. Dibawah payung UUD 1945, Sukarno 48 Ibid, h. 107 xxxvii telah kembali menggenggam kendali pimpinan politik nasional dengan kekuasaan yang hampir-hampir tidak terbatas. 49 Dengan dektrit itu Pancasila sebagai dasar negara ikut serta dinyatakan kedudukannya, namun tidak adanya penjelasan eksplisit. Sehingga menumbuhkan suasana pemikiran yang menjadi kabur. Hal ini mengakibatkan usaha berbagai aliran Idiologi memberikan tafsiran masing-masing. Suasana ini membawa perkembangan selanjutnya, timbulah pemikiran kritik mengenai pancasila. 50 Fase pemikiran ini tampak dari timbulnya tema pemikiran mengenai pancasila murni, yang terjadi pada masa orde baru. Di dalam fase ini terjadilah proses eksplisitasi pancasila sebagai dasar negara, sumber hukum dan idiologi nasional. 51

B. PROSES PEMBERLAKUAN ASAS TUNGGAL PANCASILA