3.4.3 Kombinasi dari Aksi Otot Polos Bronkhial dan Mekanisme Immunologik
Asma merupakan kombinasi dari mekanisme imunologik dan aksi otot polos bronkial. Episode serangan akut asma biasanya didahului dengan infeksi
virus atau bakteri dari traktus respiratorik yang dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus, yang kemudian dilanjutkan dengan terangsangnya mekanisme
imunologik sehingga terlepasnya vaso aktif yang akan menimbulkan serangan asma Rab, 1992.
3.5 Manifestasi Klinik
Masalah utama dari asma adalah kepekaan selaput lendir bronkhial dan hiper-reaktif otot bronkial. Rangkaian pengaruh dari edema selaput lendir
bronkhial, peningkatan produksi mukus dahak dan spasme otot polos, maka akan menimbulkan penyempitan jalan napas dan menyebabkan 4 gejala asma
yang utama, yaitu: batuk, mengi, pernapasan pendek dan rasa sesak di dada Somantri, 2008
Pada orang dewasa, gejala-gejala ini mungkin didahului dan disertai dengan rasa sesak di dada dan batuk kering tidak produktif karena sekret kental
dan lumen jalan napas sempit. Kadang-kadang dapat menghasilkan sputum yang berwarna jernih, hijau, atau kuning dan terdapat riwayat mengi yang berulang,
juga sering kali pada malam hari. Adanya pernapasan cuping hidung, penggunaan otot-otot asesori pernapasan dan tidak toleran terhadap aktivitas. Pada anak hanya
memperlihatkan gejala lesu yang ringan. Batuk yang persisten atau paroksismal,
Universitas Sumatera Utara
terutama pada malam hari yang berlangsung selama lebih dari 10-14 hari Susi, 2002.
3.6 Epidemiologi
Asma termasuk penyakit sepuluh terbesar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia. Dari survei kesehatan rumah tangga SKRT tahun 1986
menunjukkan asma munduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab kesakitan morbiditi. Pada tahun 1992, asma sebagai penyebab kematian mortaliti ke-4 di
seluruh Indonesia atau sebesar 5,6. Bagian anak FKUIRSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia SLTP di Jakarta pusat pada tahun 1995-1996
dengan menggunakan kuesioner modifikasi dari ATS 1978, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1.296 siswa dengan usia 11 tahun 5
bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7 dengan riwayat asma Woolcock Konthen, 1990 dikutip dari PDPI, 2006.
Studi prevalensi asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2.234 anak usia 13-14 tahun melalui kuisioner ISAAC International Study of Asthma
and Allergies in Chilhood dan pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek yang dipilih secara acak. Maka didapat prevalensi asma
8,9 dan prevalensi kumulatif riwayat asma 11,5. UPF paru RSUD dr. Sutomo PDPI, 2006.
Di Surabaya melakukan penelitian dilingkungan 37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuesioner modifikasi ATS, pemeriksaan arus puncak
ekspirasi APE dan uji bronkodilator. Seluruhya 6.662 responden usia 13-70
Universitas Sumatera Utara
tahun rata-rata 35,6 tahun mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7 dengan rincian laki-laki 9,2 dan perempuan 6,6 Yunus, 2001 dikutip dari PDPI,
2006.
3.7 Pemeriksaan Diagnostik