3.2 Penyebab Asma
Resiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor penjamu host factor dan faktor lingkungan. Faktor penjamu termasuk predisposisi genetik
yang mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik atopi, hipereaktiviti bronkus, jenis kelamin dan ras. Predisposisi genetik untuk
berkembangnya asma memberikan bakat atau kecendrungan untuk terjadinya asma. Beberapa kromosom yang berpotensi menimbulkan asma, antara lain:
kromosom 6p, respons IgE terhadap alergen spesifik, kromosom 11 dan 12 yang mengkode mast cell growth factor, insulin-like growth factor dan nictric oxide
synthase Mahdi, 1999. Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja dipertimbangkan adalah
penyebab utama asma, dengan pengertian faktor lingkungan tersebut pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif
dengan mencetuskan serangan asma. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecendrungan atau predisposisi asma untuk berkembang menjadi asma,
menyebabkan terjadinya eksaserbasi danatau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu alergen, sensitisasi lingkungan
kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan virus, diet, status ekonomi dan besarnya keluarga Hariadi, 2006
Menurut Mahdi 2006, interaksi faktor genetik atau pejamu dengan lingkungan kemungkinan, yaitu:
1. Pajanan lingkungan hanya meningkatkan resiko asma pada individu dengan genetik asma
Universitas Sumatera Utara
2. Baik lingkungan maupun genetik masing-masing meningkatkan resiko penyakit asma
3.3 Patofisiologi
Kelainan utama dari asma diduga disebabkan karena adanya hipersensitifitas dari cabang-cabang bronkus. Yang sering terserang adalah
bronkus yang berukuran 3-5 mm dengan distribusi yang luas. Pada individu- individu yang rentan, lapisan dari cabang-cabang bronkhial tersebut akan menjadi
lebih sensitif terhadap rangsangan yang diberikan. Kerentanan dari seorang individu kemungkinan diturunkan secara genetik. Hal ini disebabkan karena
adanya perubahan terhadap atau rangsangan yang berlebih-lebihan. Walaupun asma pada prinsipnya merupakan kelainan pada bagian jalan udara, akan tetapi
dapat pula menyebabkan terjadinya gangguan pada bagian fungsionil paru Rab, 1992.
Baik orang normal maupun penderita asma, bernapas dengan udara yang berkualitas dan komposisinya sama. Udara umumnya mengandung 3 juta
partikelmm
3
. Partikel-partikel itu terdiri dari debu, tungau, bulu-bulu bintang, bakteri, jamur, virus dan lain-lainnya. Oleh karena adanya ekspos dari partikel-
partikel ini secara terus-menerus, maka timbul mekanisme pertahanan dari tubuh, untuk melindungi diri dari partikel-partikel asing. Partikel yang berukuran lebih
dari 10 um, diendapkan dimukosa hidung dan pharyng bagian atas. Partikel yang berukuran 0,3 sampai dengan 2 um sampai di alveolus dapat menetap di mukosa
dan di fagositosis oleh sel-sel limfosit. Partikel yang berukuran 2 um sampai
Universitas Sumatera Utara
dengan 10 um, akan diendapkan di berbagai tempat di bronki dan bronkhiolus terminalis Weiss, 1975, dikutip dari Mahdi, 1999.
Hidung dan nasopharyng mempunyai fungsi untuk memproteksi saluran nafas trakea-bronkial dan alveoli dengan cara mekanis, menyaring partikel-
partikel besar dan menyesuaikan suhu dan humiditas dari udara yang masuk selama respirasi, karena banyak mengandung pembuluh darah. Mulut dan pharyng
juga dapat berfungsi sebagai ”air condition”. Partikel-partikel asing yang masuk bersama udara inspirasi ke dalam trakea dan bronkus, terperangkap dalam lapisan
di atas mukosa yang lengket sekali seperti gel sol Bookman, 1984 dikutip dari Mahdi, 1999.
Rambut getar dari sel epitel saluran napas bergetar hingga partikel tersebut terdorong keluar sampai ke daerah subglotis, yang seterusnya dikeluarkan dengan
batuk. Banyak faktor yang mempengaruhi produksi dan ciri dari mukus tersebut, karena aktivitas dan kelenjar mukus dirangsang oleh aksi saraf kolinergik dan juga
mediator farmakologik seperti histamin. Ini dapat disebabkan oleh stimilasin vagus, zat-zat kimia, maupun iritasi mekanis Knapp, 1976 dikutip dari Mahdi,
1999. Mekanisme pertahanan lainnya terletak di dalam alveoli. Sel-sel alveoli
ditutup oleh selaput tipis, yang berbentuk seperti film dan bergerak kearah bronkiolus, selaput ini membantu membersihkan alveoli, terhadap partikel-
partikel yang masuk. Adakalanya partikel tersebut tinggal di dalam alveoli dan menembus dinding alveoli sampai jaringan interstitial, disini terjadi fagositosis
oleh histiosit. Bila partikel tersebut tidak dapat difagositer, maka akan timbul
Universitas Sumatera Utara
reaksi radang, fibrosis paru, atau reaksi alergi seperti alveolotis alergika Weiss, 1975, dikutip dari Mahdi, 1999.
3.4 Patogenesis