BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Istilah pembangunan bisa saja diartikan berbeda oleh satu orang dengan orang lain, daerah satu dengan daerah lain, negara satu dengan negara lain.
Penting bagi kita untuk dapat memiliki definisi yang sama dalam mengartikan pembangunan. Secara tradisional pembangunan memiliki arti peningkatan yang
terus menerus pada Gross Domestic Product atau Produk Domestik Bruto suatu negara. Untuk daerah, makna pembangunan yang tradisional difokuskan pada
peningkatan Produk Domestik Regional Bruto suatu propinsi, kabupaten, atau kota.
Namun, muncul kemudian sebuah alternatif definisi pembangunan ekonomi yang lebih menekankan pada peningkatan Income Per Capita
pendapatan per kapita. Definisi ini menekankan pada kemampuan suatu negara untuk meningkatkan output yang dapat melebihi tingkat pertumbuhan penduduk.
Definisi pembangunan tradisional sering dikaitkan dengan sebuah strategi mengubah struktur suatu negara atau sering kita kenal dengan industrialisasi.
Pada akhir dewasa 1960-an, banyak negara berkembang mulai menyadari bahwa “Pertumbuhan Ekonomi” economic growth tidak indetik dengan
“Pembangunan Ekonomi” economic development. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi, setidaknya melampaui negara-negara maju pada tahap awal pembangunan
mereka, memang dapat namun dibarengi dengan masalah-masalah seperti
Universitas Sumatera Utara
penggangguran, kemiskinan dipedesaan, distribusi pendapatan yang timpang, dan ketidakseimbangan struktural Mudrajad kuncoro, 2004: 62-63.
Pembangunan daerah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pembangunan nasional, yang hakekatnya adalah upaya terencana untuk
meningkatkan kapasitas daerah dalam mengwujudkan masa depan yang lebih baik bagi wilayah itu dan masyarakatnya. Karena tanggung jawab utama keberhasilan
pelaksanaan pembangunan daerah berada pada pemerintah daerah, maka pada setiap pemerintah daerah diberikan kewenangan sesuai dengan kebutuhannya
untuk menentukan kebijakan dan program pembangunan di daerahnya masing- masing seperti dinyatakan oleh UU Nomor 32 Tahun 2004. Namun demikian,
peran pemerintah pusat dalam pembangunan daerah juga tidak kalah pentingnya yaitu menjamin bahwa pembangunan di daerah-daerah akan tetap terintegrasi satu
dengan yang lain. Pembangunan yang dilaksanakan pemerintah dan masyarakat bertujuan
meningkatkan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia sebagai negara berkembang, mengadakan dan merencanakan perubahan-
perubahan di dalam masyarakat yang adil dan makmur, material maupun spiritual guna mengentaskan masalah-masalah sosial yang terus meningkat baik kualitas
dan kuantitas. Untuk mencapai tujuan tersebut pelaksanaaan pembangunan ekonomi harus lebih memperlihatkan keserasian, keselarasan dan keseimbangan
unsur-unsur pemerataan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional. Dalam hal ini sektor usaha kecil atau sektor informal menduduki peran
penting dan strategis dalam pembangunan nasional, baik dilihat dari segi kuantitas
Universitas Sumatera Utara
maupun dari segi kemampuannya dalam peningkatan pendapatan dan penyerapan tenaga kerja dalam mewujudkan pemerataan hasil pembangunan, termasuk
pengentasan kemiskinan Khairuddin, 2002: 48. Dalam pengertian sehari-hari sektor informal diartikan suatu kegiatan
ekonomi yang tidak bersifat terikat dan biasanya dilakukan transaksi jual beli atau perdagangan ataupun jasa yang lokasi dagangannya berpindah-pindah dan
mempunyai modal yang kecil atau disebut pedagang kecil. Sektor informal adalah dicirikan oleh sektor ekonomi marginal dengan kondisi nyata kegiatan sejumlah
tenaga kerja yang umumnya kurang berpendidikan, tidak punya keterampilan Yetty Sardjono, 2005: 25.
Sektor informal adalah sektor yang terdiri dari unit-unit usaha berskala kecil yang menghasilkan dan mendistribusikan barang dan jasa dengan tujuan
pokok yang menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan bagi diri sendiri dan dalam usahanya itu sangat dihadapkan berbagai kendala seperti faktor modal baik
fisik, maupun manusia pengetahuan dan faktor keterampilan Kurniadi dan Tangkilisan, 2002: 23.
Wirasardjono membagi ciri-ciri dari sektor informal, yaitu: 1.
Pola kegiatannya tidak teratur baik dalam arti waktu, pemodalan maupun penerimaannya.
2. Ia tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan yang di terapkan oleh pemerintah.
3. Modal, peralatan dan pelengkapan maupun omsetnya biasanya kecil dan
diusahakan atas dasar perhitungan harian.
Universitas Sumatera Utara
4. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan atau keterikatan dengan usaha-usaha
lainnya. 5.
Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat berpendapat rendah.
6. Tidak membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus sehingga secara luas
dapat menyerap bermacam-macam tingkatan tenaga kerja. 7.
Umumnya, tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan atau berasal dari daerah yang sama.
Hidayat membedakan kegiatan sektor informal menjadi sub sektor yaitu: perdagangan, jasa, angkutan, bangunan, dan industri kecil lainnya Kurniadi dan
Tangkilisan, 2002: 21. Hasil penelitian Hidayat 1978 menyimpulkan bahwa salah satu ciri
sektor informal adalah mudah masuk dan keluar dari suatu sub sektor yang lain. Apa yang didapatkan dari hasil penelitian Hidayat 1978 tersebut menunjukkan
bahwa para pekerja sektor informal sering berganti atau alih pekerjaan untuk sekedar menjajaki dimana sub sektor paling menguntungkan Yetty Sardjono,
2005: 18. The Exploitation Approach: Under Integreted Conditions sebagaimana
dinyatakan oleh Bose A.N 1974, Bienefeld 1975 bahwa sektor informal merupakan kegiatan yang kekurangan akses dan subordinasi pasar yang terjadi
karena adanya aturan yang menekan sebagai akibat mekanisme dalam integritas dengan sektor ekonomi lainnya. Mekanisme itu berhubungan dengan tingginya
harga biaya dalam penjualan jasa pelayanan sebagai akibat berlimpahnya tenaga
Universitas Sumatera Utara
kerja, kurangnya altenatif peluang kerja dan rendahnya penghasilan. Ketergantungan dalam pendekatan ini ditekankan pada dua sisi yakni persediaan
dan pemintaan untuk produknya Yetty Sadjono, 2005: 21. Data tenaga kerja disektor informal masih memegang peranan penting
dalam menampung angkatan kerja, Sampai dengan Agustus 2008, sektor informal masih mendominasi kondisi ketenagakerjaan di Indonesia dengan kontribusi
sekitar 65,92 persen pekerja laki-laki dan 73,54 persen pekerja perempuan. Sebagian orang menyebut sektor informal sebagai sektor penyelamat. Elastisitas
sektor informal dalam menyerap tenaga kerja menjadikan sektor ini selalu bergairah. Tuntutan pekerjaan dengan kualifikasi pendidikan dan keterampilan
memadai di perkotaan bisa memperoleh pekerjaan di sektor informal. Wilayah pedesaan sebagai sarang sektor informal. Dari seluruh pekerja di perdesaan, lebih
dari 75 persen bekerja di sektor informal, sementara di perkotaan dari 100 pekerja, lebih dari 40 persen bekerja di sektor informal
htt: www.menegpp.go.idaplikasidataindex.php?option=com
Sektor informal memberikan sumbangan besar bagi masukan pendapatan kota. Karena meskipun mereka disebut sektor informal, akan tetapi mereka
membayar berbagai macam restribusi yang dikutip oleh negara secara formal, dalam hal ini pemerintah kota. Misalnya, Sewa tempat berdagang dan restribusi
kebersihan, di luar itu mereka juga harus membayar banyak pengeluaran yang dikutip oleh pihak yang tidak jelas dengan berbagai macam alasan, seperti uang
keamanan, uang kebersihan ekstra. Yang mereka bayar ini jumlahnya tidak sedikit, Restribusi yang dalam bentuk resmi tentunya akan masuk ke kas
.
Universitas Sumatera Utara
Perusahaan Daerah Pasar PD Pasar sebagai manajemen dan penyelenggara operasional pasar, seperti membayar gaji pegawai, merenovasi bagunan pasar
yang sudah rusak, menambah fasilitas pasar dan lain-lain. Sedang kutipan yang tidak resmi tentu tidak jelas rimbanya ke mana. Sementara kontribusi wajib PD.
Pasar pada PAD pendapatan asli daerah yang mesti disetor ke pemerintah kota untuk melengkapi APBD anggaran pendapatan dan belanja daerah Sumut Pos
Tanggal. 20 Februari 2006. Pedagang kecil sering tergusur dengan kehadiran pembangunan
mallsupermarket. Dalam hal ini seharusnya pemerintah dapat mengatasinnya, dan perlu diatur agar pembiayaan pasar setelah direvitalisasi tidak memberatkan
pedagang, sehingga pedagang kecil dapat kembali menempati pasar dan posisinya tidak terancam oleh pasar modern, mengingat peran pedagang kecil telah merintis
usaha dari sejak pasar itu dibangun hingga menjadi ramai. Akhirnya, pasar tradisional dapat tetap lestari tanpa harus merubah sistem yang telah berlaku
didalamnya, tidak memutus keakraban penjual dan pembeli dan rakyat kecil tetap mendapatkan akses dalam membeli kebutuhan hidup. Hal ini perlu kebijakan
untuk mengkonservasi pasar tradisional agar tetap eksis ditengah perkembangan kota tanpa harus kehilangan identitasnya sebagai salah satu simbol ekonomi
kerakyatan, sehingga masyarakat akan percaya bahwa masih ada keberpihakan pemerintah pada kebutuhan rakyat kecil disamping kepentingan pemodal, semakin
banyak pemerintah bisa mewujudkan keberpihakan kepada rakyat dalam kebijakan pembangunan, maka pembangunan kota akan semakin manusiawi
http:www.metro.kompasiana.com20110114konservasi-pasar tradisional.
Universitas Sumatera Utara
Kota Medan merupakan ibu kota Propinsi Sumatera Utara yang memiliki luas 26.510 Hektar 265,10 Km² atau 3,6 dari keseluruhan wilayah Sumatera
Utara. Dengan demikian, dibandingkan dengan kotakabupaten lainya, Medan memiliki luas wilayah yang relatif kecil dengan jumlah penduduk yang relatif
besar. Pembangunan ekonomi kota medan merupakan bagian integral dari upaya pembangunan nasional yang harus dilaksanakan dan diselaraskan secara terpadu
antara sektor yang satu dengan sektor lain. Salah satu lapangan kerja adalah menjadi pedagang dan salah satu bidang usaha yang menghasilkan keuntungan
dan pendapatan keluarga sekaligus dapat menyerap tenaga kerjaalternatif lapangan kerja, disana bermacam-macam orang yang berdagang seperti pedagang
asongan, pedagang buah, pedagang ikan, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Pendapatan pedagang dapat menjadi tumpuan pendapatan keluargamemenuhi
kebutuhan perekonomian keluarga pedagang. Kota Medan terbagi dalam 21 kecamatan, salah satunya adalah Medan
Petisah yang memiliki pasar tradisional yakni Pasar Petisah yang didirikan pada tahun 1996, luas lahan 24.256,00 dan luas bagunan 34.651,15 yang terdiri dari
1712 kios dan 639 Stand, dimana 1291 orang pedagang yang terdaftar. Pasar Petisah Medan merupakan salah satu pasar yang paling banyak diminati
masyarakat sebagai tempat berbelanja. Di tengah banyak dan maraknya pembangunan pusat-pusat perbelanjaan yang modern, Pasar Petisah tetap berdiri
dan bergairah. Bahkan Pasar Petisah yang baru Pasar Petisah Tahap II sudah dibangun dan sudah beroperasi beberapa tahun terakhir ini, yang berarti bahwa
Universitas Sumatera Utara
dengan dibangunnya pasar baru ini maka penyerapan tenaga kerja pun akan semakin besar.
Semula kondisi pasar belum terorganisir secara baik dan belum terpelihara, barulah setelah beberapa lama Kotamadya Medan mulai terpikir
mendirikan pasar. Pasar yang pertama di bangun oleh Gemente Medan adalah pasar Bundar Petisah pada tahun 1919 dan telah dibongkar pada tahun 1973 yang
dipindahkan ke proyek Pusat Pasar, sedangkan pasar lainnya adalah pasar swasta seperti miliknya Tjong A fei bernama pasar ikan di jalan Ahmad Yani jalan
peniagaan yang kemudian dipindahkan kejalan Cirebon untuk di bangun pasar yang lebih baik.
Berbicara mengenai usahakerja tentu erat kaitannya dengan usaha pemenuhan kebutuan manusia. Sebab manusia akan merasa selaras dan seimbang
hidupnya kalau kebutuhan hidupnya terpenuhi. Begitu juga halnya dengan pedagang kecil di pasar petisah. Mereka berjualan dengan harapan akan
mendapatkan keuntungan, selanjutnya hasil yang mereka peroleh dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya seperti sandang, pangan, perumahan,
pendidikan, kesehatan dan serta dapat menyisikan sebagian dari keuntungan dalam bentuk tabungan, serta rekreasi bersama keluarga. Untuk ini peneliti merasa
tertarik untuk meneliti hal ini sesuai dengan judul penelitian saya yaitu “Tinjauan Tentang Kesejahteraan Keluarga Pedagang Kecil di Pasar Petisah Medan”.
Universitas Sumatera Utara
1.2 Perumusan Masalah