Prioritas Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah

4.3. Prioritas Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah

Mekanisme alokasi air minum perlu dilakukan untuk mencapai prinsip keadilan (equity) dalam memanfaatkan sumberdaya air bagi kelompok pengguna air yang berbeda, termasuk isu penggunaan air lintas wilayah. Upaya ini dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik antar pengguna akibat makin terbatasnya pasokan air dibandingkan dengan permintaan air. Konflik sumber air minum antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam pemanfaatan sumber air minum dari kawasa mata air Paniis membutuhkan bentuk mekanisme alokasi air yang tepat. Penentuan mekanisme alokasi air lintas wilayah di kawasan tersebut dilakukan dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) dengan responden adalah pihak yang berkepentingan dan mengetahui dengan baik permasalahan tersebut, baik dari kalangan pemerintah, pengelola air, pengelola kawasan hutan, lembaga swadaya masyarakat, dan akademisi. Hirarki mekanisme alokasi air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai ditampilkan pada Gambar 12.

Urutan prioritas faktor yang mempengaruhi alokasi air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai, adalah : kontribusi pengguna air bagian hilir ke bagian hulu (0,222), kelestarian sumber mata air (0,216), distribusi manfaat air (0,181), partisipasi publik (0,143), kerjasama daerah (0,128), dan peraturan pemanfaatan air (0,109). Berdasarkan prioritas tersebut menunjukkan bahwa dalam mengalokasikan air minum lintas wilayah, faktor kontribusi pengguna air bagian hilir ke bagian hulu memiliki peranan penting untuk terjadinya alokasi air yang lebih adil dan baik. Konflik antar Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon menunjukkan bahwa belum jelasnya pengaturan kontribusi pengguna air dari bagian hilir ke bagian hulu menjadi pemicu terjadinya sengketa sumber air minum diantara dua pemda tersebut. Tuntutan Kabupaten Kuningan terhadap Kota Urutan prioritas faktor yang mempengaruhi alokasi air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai, adalah : kontribusi pengguna air bagian hilir ke bagian hulu (0,222), kelestarian sumber mata air (0,216), distribusi manfaat air (0,181), partisipasi publik (0,143), kerjasama daerah (0,128), dan peraturan pemanfaatan air (0,109). Berdasarkan prioritas tersebut menunjukkan bahwa dalam mengalokasikan air minum lintas wilayah, faktor kontribusi pengguna air bagian hilir ke bagian hulu memiliki peranan penting untuk terjadinya alokasi air yang lebih adil dan baik. Konflik antar Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon menunjukkan bahwa belum jelasnya pengaturan kontribusi pengguna air dari bagian hilir ke bagian hulu menjadi pemicu terjadinya sengketa sumber air minum diantara dua pemda tersebut. Tuntutan Kabupaten Kuningan terhadap Kota

FOKUS Alokasi Air Minum Lintas Wilayah

Distribusi

FAKTOR Manfaat

Sumber Mata

Antar Daerah

Pemanfaatan

Publik

Air (0.181) Hilir-Hulu

AKTOR Pemerintah (0.283)

Masyarakat (0.186)

Swasta/BUMD(0.153)

Pem & Masy (0.192)

Pem & Swasta (0.186)

Menjamin Pasokan Air

TUJUAN bagi Masyarkat

Melestarikan Kawasan

Menghindari Konflik

Hulu Resapan Air

Antar Pengguna

Alokasi Air oleh

Alokasi Air oleh

Alokasi Air melalui

Alokasi Air melalui

pendekatan biaya (Public Based

ALTERNATIF Pemerintah

Pengguna Air

transfer hak guna air

penyediaan air (MCP Allocation)

(User Based

(Water market

Gambar 12. Hirarki Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah untuk Kawasan Gunung Ciremai

Dalam beberapa pertemuan antara pemda Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon untuk membahas penyelesaian konflik penggunaan air dari Paniis, masalah kontribusi konservasi daerah resapan sumber mata air menjadi isu utama rapat. Pertemuan antara kedua pemda yang difasilitasi oleh Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) Cirebon telah mendorong adanya kesepahaman antara kedua belah dalam menyelesaikan masalah tersebut. Kesamaan visi untuk berbagi

(shared vision) 19 dalam mengalokasikan air minum di kawasan tersebut telah mendorong pemahaman dari pihak-pihak yang bersengketa akan pentingnya tanggung-jawab pengelolaan bersama sumber air tersebut. Visi untuk berbagi tersebut dibangun dengan mengintegrasikan pentingnya aspek kelestarian lingkungan dalam pengelolaan air berkelanjutan. Internalisasi pemahaman tentang lingkungan tersebut didukung oleh ketersediaan data tentang kuantitas dan kualitas air yang tersedia, kondisi fisik dan ekonomi dari kawasan sumber mata air, tekanan terhadap kelestarian ekosistem kawasan sumber mata air, dan sejumlah kebijakan pemda yang telah dikeluarkan untuk menjaga resapan airnya misalnya Peraturan Daerah Kabupaten Kuningan Nomor 38 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Gunung Ciremai. Perda RUTR Gunung Ciremai tersebut selain berfungsi untuk mengalokasikan ruang dalam kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi berkaitan dengan jaminan komitmen wilayah hulu (Kabupaten Kuningan) untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas yang stabil sepanjang tahun. Oleh karena itu RUTR Gunung Ciremai merupakan sertifikat dari komitmen pemda dan masyarakat Kabupaten Kuningan untuk mempertahankan wilayah Gunung Ciremai sebagai resapan air yang memasok kebutuhan air minum bagi wilayah-wilayah di sekitarnya. Implementasi RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam kerjasama antar daerah di era otonomi daerah ini. Bagi bidang perencanaan wilayah, proses pembuatan perda ini menjadi bukti bahwa dokumen RUTR tidak hanya bermanfaat dalam mengalokasikan ruang saja, namun berdampak ekonomi dalam meningkatkan pendapatan daerah hulu. Wilayah pengguna air di bagian hilir cenderung lebih merasa aman apabila wilayah hulu sebagai pemasok air mampu menunjukkan komitmen dalam menjaga kawasan resapan airnya, sehingga kesediaan wilayah hilir untuk membayar (willingness to pay) untuk air yang digunakannya diprediksikan akan meningkat. Peningkatan apresiasi nilai ini dari wilayah hilir ini berkaitan dengan adanya komitmen yang jelas dari wilayah hulu sebagai pemasok air untuk melindungi wilayahnya sebagai resapan air.

19 Deklarasi Petersberg tahun 1998 menyatakan bahwa faktor-faktor penting untuk mewujudkan kerjasama pengelolaan air lintas wilayah adalah shared vision, political commitment, broad based parternships, dan

Visi untuk berbagi merupakan kunci pertama bagi terselenggaranya pengelolaan air minum lintas wilayah yang adil dan efisien, sebaliknya tanpa adanya visi untuk berbagi manfaat air diantara dua wilayah yang bersengketa, maka air yang lintas wilayah akan tetap menjadi sumber konflik berkepanjangan antar pihak yang bersengketa. Konflik air dapat pula memicu konflik lainnya yang lebih luas, dan bahkan dapat menciptakan perang sipil antar daerah yang bersengketa. Hal tersebut mungkin terjadi karena air merupakan sumberdaya alam yang keberadaanya vital dan tidak dapat disubstitusi oleh barang lainnya. Lebih lanjut Rahaman dan Vorris (2004) menyebutkan bahwa air adalah kehidupan dan air merupakan simbol umum dari kemanusian (humanity), pemerataan sosial (social equity), dan keadilan (justice).

Upaya untuk membangun kesepahaman dalam pengelolaan sumber air minum lintas wilayah didukung pula oleh komitmen politik dan dukungan publik yang kuat. Komitmen politik diantara dua pemda, yaitu Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon, dalam menyelesaikan permasalahan sumber air minumnya tampaknya sangat kuat. Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon langsung terlibat memimpin rapat untuk mendiskusikan penyelesaian masalah air lintas wilayah. Komitmen kedua pimpinan daerah tersebut didukung oleh pihak DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) sebagai lembaga legislatif dari masing-masing daerah dan juga masyarakat di dua wilayah tersebut. Sebagai badan legislatif dan wakil rakyat, DPRD merasa berkepentingan untuk ikut mendorong penyelesaian masalah sumber air minum lintas wilayah tersebut. Oleh karena itu komitmen politik dan dukungan publik yang kuat ternyata mampu mendorong penyelesaian sengketa sumber air minum lintas wilayah tersebut secara damai dan saling menguntungkan.

Upaya-upaya penyelesaian konflik sumber air minum lintas di wilayah Gunung Ciremai tersebut didorong oleh suatu kemitraan yang luas (broad based partnerships ) diantara pemerintah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok masyarakat lainnya.

Kesepahaman untuk memberikan kontribusi dari hilir ke hulu diharapkan akan meningkatkan upaya kelestarian lingkungan sumber mata air, sehingga distribusi manfaat air diantara pihak-pihak yang berkepentingan dapat berjalan

lebih adil. Selain ketiga faktor sebelumnya, partisipasi publik untuk membangun mekanisme alokasi air lintas wilayah yang lebih adil dan berkelanjutan perlu lebih didorong oleh masing-masing pemda sehingga proses kerjasama antar daerah dapat diimplementasikan secara efektif. Untuk menjamin alokasi air lintas wilayah secara berkelanjutan, maka kerjasama antar daerah perlu diatur dalam suatu peraturan kerjasama pemanfaatan air yang disepakati oleh kedua belah pihak. Peraturan pemanfaatan air dan kontribusi dana konservasi di kawasan Gunung Ciremai telah diatur oleh suatu nota kesepakatan (memorandum of understanding ) antara Bupati Kuningan dan Walikota Cirebon yang ditandatangani tanggal 17 Desember 2004 yaitu Perjanjian Kerjasama antara Pemerintah Kabupaten Kuningan dengan Pemerintah Kota Cirebon tentang Pemanfaatan Sumber Mata Air Paniis Kecamatan Pasawahan Kabupaten Kuningan . Isi perjanjian kerjasama tersebut bertujuan untuk mewujudkan perlindungan dan pelestarian sumber air serta untuk kesejahteraan masyarakat diantara kedua daerah tersebut. Perjanjian tersebut mengatur mengenai kewajiban pihak pemerintah Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon. Kewajiban Pemerintah Kabupaten Kuningan diantaranya adalah : (a) menjaga/melindungi sumber air mata air sehingga dapat menjamin kelancaran distribusi air; dan (b) menerima dan menggunakan dana konservasi dari pengguna air minum di Kota Cirebon untuk kepentingan konservasi yang dapat menjamin kelestarian sumber mata air, termasuk di dalamnya pemberdayaan masyarakat. Adapun kewajiban Pemerintah Kota Cirebon adalah : (a) memanfaatkan sumber mata air Paniis sesuai ijin yang diberikan oleh Pemrintah Kabupaten Kuningan; dan (b) membantu kepentingan Pemrintah Kabupaten Kuningan dalam hal perlindungan dan pelestarian daerah tangkapan air (catchment area) sumber mata air sesuai dengan kemampuannya. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa besarnya dana kompensasi konservasi dihitung dengan mempertimbangkan produksi air dari sumber air, tarif yang berlaku sebelum diolah bagi pelanggan di Kota Cirebon, dan tingkat kebocoran air. Kesepakatan besaran dana kompensasi untuk konservasi Gunung Ciremai dari Kota Cirebon berdasarkan rumusan tersebut adalah Rp.1,75 milyar untuk tahun 2005.

Urutan prioritas pihak (aktor) dalam mengalokasikan air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai adalah pemerintah (0,283), pemerintah dan masyarakat (0,192), masyarakat (0,192), pemerintah dan swasta (0,186), serta swasta/badan usaha milik daerah (0,153). Pemerintah dianggap sebagai pihak yang paling mampu untuk mengatur alokasi air lintas wilayah tersebut, karena di wilayah tersebut air secara luas masih dianggap sebagai barang publik, sehingga kesulitan untuk memperlakukan air sebagai barang pasar (Dinar et al., 2001). Sistem hukum air di Indonesia pun menunjukkan bahwa pemerintah atau pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan menetapkan alokasi

air pada sumber air. 20 Pemerintah pun dianggap merupakan representasi institusi publik yang memiliki kewenangan untuk mengurus urusan publik secara lebih

luas dengan lebih mengedepankan tujuan-tujuan keadilan, termasuk upaya untuk menyelamatkan lingkungan sumber air minum dan menyediakan air minum bagi wilayah yang tidak memiliki sumber air sebagaimana kebutuhan air masyarakat Kota Cirebon yang sebagian besar dipasok dari Kabupaten Kuningan. Selain itu pengelolaan air minum lintas wilayah yang menyangkut kepentingan publik diantara dua pemda yang berbeda dan skala besar sangat sulit untuk dilakukan oleh pihak swasta. Kepentingan untuk memanfaatkan sumber air yang sama dalam dua daerah yang berbeda kebijakan pemerintahannya memiliki nuansa politik yang lebih kuat dibandingkan dengan aspek ekonominya, sehingga apabila tidak diatur oleh pemerintah/pemda maka kemungkinan penguasaan oleh pihak tertentu akan mempersulit akses masyarakat terhadap sumber air tersebut.

Alokasi air minum oleh pemerintah/pemda memungkinkan terjadinya subsidi untuk daerah yang membangun infrastruktur airnya dan melakukan kegiatan konservasi sumber airnya (Dinar et al., 2001). Alokasi air oleh pemerintah/pemda dalam pengelolaan air minum lintas wilayah di Gunung Ciremai memungkinkan daerah hulunya (Kabupaten Kuningan) yang memiliki keterbatasan pendapatan dan anggarannya untuk mendapatkan subsidi berupa dana kompensasi konservasi dari wilayah hilirnya (Kota Cirebon), walaupun dalam beberapa hal model alokasi ini dapat mengurangi kinerja mekanisme pasar yang menekankan adanya efisiensi sumberdaya secara efisien.

Urutan prioritas dari tujuan dalam alokasi air minum lintas wilayah adalah menjamin pasokan air bagi masyarakat (0,401), melestarikan kawasan hulu resapan air (0,376), dan menghindari konflik antar pengguna (0,222). Pasokan air minum bagi daerah yang tidak memiliki sumber air minum sendiri menjadi tujuan/program pertama dalam membangun kerjasama pengelolaan air minum lintas wilayah. Jaminan pasokan air penting diprioritaskan karena menyangkut kebutuhan pokok masyarakat. Tidak adanya jaminan pasokan air minum akan sulit bagi masyarakat pengguna air untuk membantu kelestarian kawasan resapan airnya. Selain itu, adanya jaminan pasokan air dan keinginan untuk membantu kawasan resapan air yang dibangun dalam kerangka visi untuk saling berbagi (shared vision) akan mencegah terjadinya konflik pemanfaatan air lintas wilayah.

Dengan mempertimbangkan aspek faktor, aktor, dan tujuan dalam mengalokasi air lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai, maka urutan prioritas model alokasi air lintas wilayah di kawasan tersebut adalah alokasi air oleh pemerintah/public based allocation (0,4), alokasi melalui transfer hak guna air/water market allocation (0,204), alokasi melalui biaya penyediaan air/marginal cost pricing allocation (0,2), dan alokasi oleh pengguna air/user based allocation (0,196). Beberapa kendala dalam menerapkan bentuk alokasi lainnya diluar alokasi oleh pemerintah pada wilayah penelitian adalah : (a) Hak-hak kepemilikan sumberdaya air dalam masyarakat belum dapat

diidentifikasi dan dikuantifikasi secara jelas, sehingga transfer hak antar kelompok masyarakat tidak jelas pula. Hal ini menjadi kendala dalam menerapkan alokasi air berdasarkan mekanisme pasar (water market allocation ).

(b) Harga air yang ditetapkan belum menunjukkan biaya marjinal penyediaan dan

suplai air yang sebenarnya dari sumber air ke pemakai. Beberapa komponen biaya penyediaan air belum dapat dikuantifikasi secara jelas, termasuk belum dimasukannya biaya eksternalitas yang menjadi biaya sosial akibat adanya alokasi sumberdaya air. Hal ini menjadi kendala dalam menerapkan alokasi air melalui biaya penyediaan (marginal cost pricing allocation).

(c) Institusi masyarakat dalam mengalokasikan air di wilayah penelitian belum kuat, sehingga pengaruh kelompok-kelompok masyarakat pun dalam (c) Institusi masyarakat dalam mengalokasikan air di wilayah penelitian belum kuat, sehingga pengaruh kelompok-kelompok masyarakat pun dalam

Mekanisme alokasi air minum lintas wilayah oleh pemerintah di kawasan Gunung Ciremai merupakan upaya resolusi konflik air minum diantara pengguna air di kawasan tersebut. Pola pemanfaatan air minum yang lintas wilayah cenderung memiliki tingkat konflik yang cukup tinggi, sehingga pengaturan tentang alokasinya lebih efektif dilakukan oleh pemerintah dari kedua wilayah yang memanfaatkan sumber air tersebut. Mekanisme alokasi air minum di kawasan tersebut didahului dengan membangun kesepahaman melalui perjanjian kerjasama dalam memanfaatkan sumber air minum (mata air) yang selama ini

dimanfaatkan secara lintas wilayah. 21 Pemerintah Kabupaten Kuningan sebagai wilayah dimana sumber air minum berada juga melakukan langkah-langkah untuk melindungi kawasan Gunung Ciremai melalui penataan kebijakan tata ruang untuk kawasan tersebut, sehingga kesinambungan pasokan air dapat dipertahankan. Pemerintah Kota Cirebon sebagai pengguna air di bagian hilir pun sepakat untuk membantu Pemerintah Kabupaten Kuningan dalam kegiatan perlindungan dan pelestarian kawasan yang menjadi daerah tangkapan sumber airnya dengan memberikan dana kompensasi konservasi ke Kabupaten Kuningan. Dana tersebut disepakati digunakan untuk kepentingan konservasi kawasan sumber air minum, termasuk di dalamnya upaya pemberdayaan masyarakat di sekitar sumber mata air.