Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wila

HIKMAT RAMDAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2006

Hikmat Ramdan NIM. P10600033

ABSTRAK

HIKMAT RAMDAN. Pengelolaan Sumber Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Dibimbing oleh KOOSWARDHONO MUDIKDJO, DUDUNG DARUSMAN, dan HIDAYAT PAWITAN.

Air minum merupakan kebutuhan dasar manusia yang keberadaannya tidak dapat disubstitusi oleh komoditas lain. Sumber air minum dapat berasal dari wilayah lain yang secara administratif berbeda. Aliran air lintas wilayah dapat menjadi pemicu konflik antar daerah dalam memanfaatkan sumber air minumnya, misalnya konflik antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam memanfaatkan aliran air minum yang bersumber dari mata air yang berada di Gunung Ciremai.

Ketersediaan dan kebutuhan air minum, potensi konflik akibat kelangkaan air, mekanisme alokasi air lintas wilayah, kelembagaan pengelolaan sumber air minum, dan kompensasi dana konservasi dari pengguna air minum adalah beberapa isu penting yang berkaitan dengan pengelolaan air minum lintas wilayah.

Penelitian ini bertujuan untuk : (a) menganalisis ketersediaan dan kebutuhan air minum di kawasan Gunung Ciremai dan potensi konflik dalam alokasi air minum lintas wilayah antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon; (b) menganalisis mekanisme alokasi air minum lintas wilayah sebagai upaya resolusi konflik air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai; (c) menganalisis kelembagaan pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai; dan (d) mengestimasi nilai kompensasi konservasi dari pengguna air minum rumah tangga untuk melestarikan sumber air di kawasan Gunung Ciremai. Metode penelitian yang digunakan adalah analisis deskriptif, proses hirarki analitis (analytical hierarchy process), dan penilaian kontingensi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konflik penggunaan air akan terjadi apabila kebutuhan air minum lebih besar daripada potensi ketersediaan air minum yang ada. Upaya resolusi konflik yang dilakukan di kawasan Gunung Ciremai adalah melalui penataan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah, kelembagaan pengelolaan sumber air minum, dan mengestimasi nilai dana kompensasi konservasi dari pengguna air minum. Prioritas mekanisme alokasi air minum lintas wilayah di kawasan tersebut adalah alokasi air oleh pemerintah/public based allocation (0,4), alokasi melalui transfer hak guna air/water market allocation (0,204), alokasi melalui biaya penyediaan air/marginal cost pricing allocation (0,2), dan alokasi oleh pengguna air/user based allocation (0,196). Peraturan daerah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Rencana Umum Tata Ruang Gunung Ciremai selain berfungsi untuk mengalokasikan ruang dalam kawasan tersebut, juga bernilai ekonomi berkaitan dengan jaminan komitmen wilayah

hulu (Kabupaten Kuningan) untuk memasok air dalam jumlah dan kualitas yang stabil sepanjang tahun. Implementasi RUTR sebagai sebuah sertifikat komitmen dari daerah hulu untuk hilirnya tersebut merupakan terobosan kebijakan dalam kerjasama antar daerah di era otonomi daerah ini. Estimasi nilai WTP total untuk konservasi Gunung Ciremai dari pengguna air minum di Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon masing- masing adalah Rp.29.250.000,00/bulan atau Rp.351.000.000,00/tahun dan Rp.177.500.000,00/bulan atau Rp.2,13 milyar/tahun.

Kata Kunci : air minum lintas wilayah, resolusi konflik, WTP-konservasi.

ABSTRACT

HIKMAT RAMDAN. Transboundary Drinking Water Sources Management at Mount Ciremai-West Java Province. Under the direction of KOOSWARDHONO MUDIKDJO, DUDUNG DARUSMAN, and HIDAYAT PAWITAN.

Drinking water is human basic need and could not be substituted by other resource. Source of drinking water can origin from other district which have different administrative jurisdiction. Transboundary water is able to be conflict trigger between district which use the same drinking water sources, such as conflict between Kuningan District and Cirebon Municipality in using drinking water flow from springs at Mount Ciremai.

Availability and needs for drinking water, potentials for conflict that were caused by water scarcity, the mechanisms of transboundary water allocation, institutions of drinking water source management, and compensation fund from drinking water users to conserve water source area are importanst issues that relevant with transboundary drinking water sources management.

This research objectives are : (a) to analyze the availability and the minimum required drinking water in Mount Ciremai area and potentials for conflicts in the allocation of transboundary drinking water between Kuningan District and Cirebon Municipality; (b) to analyze the mechanisms of allocation of transboundary drinking water as a mean for conflict resolution on transboundary water use in Mount Ciremai area; (c) to analyze the institutional settings on drinking water sources management in Mount Ciremai area; and (d) to estimate the amount of compensation from drinking water users to sustain the supply of water source in Mount Ciremai area. Descriptive analysis, analytical hierarchy process (AHP) and contingency valuation method (CVM) were used in this research.

The research result show that if drinking water need is more than water availability, the potentials of conflict happened. The conflict resolution efforts in Mount Ciremai area is carried out through transboundary water allocation mechanisms, institutional settings, and estimation of the value of fund for water conservation which should be provided by water users as a mean to promote conservation in Mount Ciremai area. The sequence of priorities on transboundary drinking water allocation models are public-based allocation (0.4), water market allocation (0.204), marginal cost pricing allocation (0.2) and user-based allocation (0.196). District regulation (peraturan daerah ) Number 38 Year 2002 on general plan of spatial planning arrangement (Rencana Umum Tata Ruang, RUTR) of Mount Ciremai also stipulates to ensure that Kuningan District will supply water at the same quality all over the year. The implementation of RUTR as a certificate on commitment of the upstream district is a breakthrough in policy processes and inter regional cooperation under Indonesia’s decentralization. The estimation of the WTP of conservation fund from drinking water users of Kuningan District is Rp.29,250,000.00/month or Rp.351,000,000.00/year and from Cirebon Municipality is Rp.177,500,000.00/ month or Rp.2,130,000,000.00/year.

Keywords : transboundary drinking water, conflict resolution, WTP-conservation

PENGELOLAAN SUMBER AIR MINUM LINTAS WILAYAH DI KAWASAN GUNUNG CIREMAI PROPINSI JAWA BARAT

HIKMAT RAMDAN

Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006

Disertasi ini dipersembahkan untuk orang-orang yang saya cintai, terima kasih atas semua do’a dan segenap dukungannya, semoga Alloh SWT melindungi kita semua.

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Alloh SWT atas segala karunia dan petunjuk-Nya karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah pengelolaan sumber air minum lintas wilayah dengan lokasi penelitian di sekitar kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Tujuan dari penelitian ini untuk : (a) menganalisis ketersediaan dan kebutuhan air minum di kawasan Gunung Ciremai dan potensi konflik dalam pemanfaatan air minum lintas wilayah antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon (b) menganalisis mekanisme alokasi air minum lintas wilayah sebagai upaya resolusi konflik air lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai; (c) menganalisis kelembagaan dalam pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai; dan (d) mengestimasi nilai kompensasi konservasi dari pengguna air minum rumah tangga untuk melestarikan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai.

Dengan terselesaikannya penelitian ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran, khususnya kepada Prof.Dr.Ir.Kooswardhono Mudikdjo, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing, Prof.Dr.Ir.Dudung Darusman,MA dan Prof.Dr.Ir.Hidayat Pawitan masing-masing selaku Anggota Komisi Pembimbing, serta Dr.Ir. Surjono

H Sutjahjo,MS selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada seluruh keluarga besar penulis, serta kolega dan rekan kerja penulis atas segala doá dan dorongannya selama penulis mengikuti program doktor di Institut Pertanian Bogor ini.

Akhirnya semoga disertasi ini bermanfaat bagi kemajuan pembangunan dan kesejahteraan umat manusia. Bogor, Mei 2006

Hikmat Ramdan

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Garut pada tanggal 26 Nopember 1971 sebagai anak keempat dari pasangan H. Edi Djunaedi dan Hj.Onyas Rostini. Penulis menikah dengan Ir. Fatimah Rahayu dan dikarunia seorang puteri bernama Gina Aura Ramdan.

Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1994. Pada tahun 1995, penulis diterima di Program Studi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada Program Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 1999 dengan dana pendidikan berasal dari BPPS (Beasiswa Program Pascasarjana) Departemen Pendidikan Nasional. Kesempatan untuk melanjutkan pendidikan ke program doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Sekolah Pascasarjana IPB diperoleh penulis pada tahun 2000 dengan beasiswa juga dari BPPS Departemen Pendidikan Nasional.

Sejak tahun 1995 penulis bekerja sebagai dosen pada Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti (Pengembangan Akademi Ilmu Kehutanan/AIK Propinsi Jawa Barat) yang berlokasi di kawasan pendidikan Jatinangor dan saat ini mengemban amanah sebagai Pembantu Dekan I Bidang Akademik dan Kemahasiswaan. Selama mengikuti program S3, penulis juga menjadi anggota Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia (MKTI), Dewan Pimpinan Wilayah Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Wilayah Jawa Barat dan Ketua Umum Forum Pemerhati Taman Buru Masigit Kareumbi.

Sebagian dari hasil penelitian ini telah dipresentasikan dalam International Symposium on Ecohydrology, UNESCO-IHP-LIPI, 21-26 Nopember 2005 di Kuta Bali dengan makalah yang disajikan berjudul Transboundary Drinking Water Sources Management at Mount Ciremai, West Java Province dan diterbitkan

dalam Prosiding yang berjudul International Symposium on Ecohydrology (ISBN 979-3673-70-2). Beberapa bagian dari disertasi ini juga telah dimuat dalam jurnal ilmiah, yaitu :

(a). Artikel yang berjudul Estimasi Dana Konservasi Pengguna Air Minum di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Bidang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Lingkungan Media Konservasi (terakreditasi) pada bulan Desember 2004 volume IX, nomor 2, halaman 87-92;

(b). Artikel yang berjudul Nilai Manfaat Hidrologis Gunung Ciremai untuk Sektor Rumah Tangga dan Implikasi Kebijakannya diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Kehutanan Wana Mukti pada bulan Oktober tahun 2002 volume I, nomor 1, halaman 13-23;

(c). Artikel yang berjudul Analisis Kebijakan Prospek Alokasi Air Lintas Wilayah dari Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Kehutanan Wana Mukti pada bulan April tahun 2004 volume II, nomor 2, halaman 28-35; dan

(d). Artikel yang berjudul Penentuan Mekanisme Alokasi Air Baku Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai Jawa Barat diterbitkan dalam Jurnal Penelitian Kehutanan Wana Mukti pada bulan April tahun 2005 volume III, nomor 2, halaman 72-78.

Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

DAFTAR ISI

PRAKATA

i RIWAYAT HIDUP ii DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL

iv

DAFTAR GAMBAR

DAFTAR LAMPIRAN

vi

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.2. Kerangka Pemikiran

1.3. Perumusan Masalah

1.4. Tujuan Penelitian

1.5. Manfaat Penelitian

1.6. Kebaruan (Novelty) 10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Air Minum Lintas Wilayah dan Potensi Konflik Pemanfaatannya

2.2. Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah

2.3. Kelembagaan Pengelolaan Sumber Air Minum

2.4. Dana Konservasi Sumber Air Minum

III. METODE PENELITIAN

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian

3.2. Rancangan Penelitian

3.2.1. Analisis Ketersediaan dan Kebutuhan Air Minum

3.2.2. Analisis Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah

3.2.3. Analisis Kelembagaan Pengelolaan Sumber Air Minum

3.2.4. Estimasi Dana Kompensasi Konservasi Pengguna Air Minum 45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum Kawasan Gunung Ciremai

4.2. Ketersediaan dan Kebutuhan Air Minum

4.3. Prioritas Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah

4.4. Penentuan Harga Air Minum Lintas Wilayah yang Efisien

4.5. Kelembagaan Pengelolaan Sumber Air Minum

4.6. Kebijakan Pengelolaan Kawasan Gunung Ciremai

4.7. Estimasi Dana Kompensasi Konservasi Pengguna Air Minum

4.8. Rekomendasi Umum Pengelolaan Sumber Air Minum

Lintas Wilayah

V. KESIMPULAN DAN SARAN

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

DAFTAR TABEL

Halaman

25

1 Pertimbangan Penggunaan Mekanisme Alokasi Air Minum

26

2 Beberapa Contoh Kasus Penerapan Mekanisme Alokasi Air

42

3 Skala Penilaian Perbandingan Pasangan (Saaty, 1993)

54

4 Jumlah Debit Mata Air di Kabupaten Kuningan

76

5 Persepsi Masyarakat Sekitar Mata Air terhadap Hak-Hak Air

6 Nilai WTP Konservasi dari Rumah Tangga

87 di Kabupaten Kuningan

88

7 Nilai WTP Konservasi dari Rumah Tangga di Kota Cirebon

90

8 Alternatif Pembayaran Dana Konservasi

91

9 Alternatif Lembaga Penyimpanan Dana Konservasi

92

10 Estimasi Biaya Konservasi Mata Air Paniis

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka Pemikiran Penelitian

2 Alokasi Efisien Air Minum Lintas Wilayah

28 (Roumaset dan Smith, 2001)

3 Hirarki Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah

4 Peta Fungsi Kawasan Hutan Kabupaten Kuningan Tahun 2004

5 Kontur Wilayah Gunung Ciremai

6 Penampang Tiga Dimensi Gunung Ciremai

7 Peta Hidrogeologi Kabupaten Kuningan

8 Proyeksi Konsumsi Air Minum Masyarakat di Kecamatan

57 Darma dan Kuningan Selama 30 tahun

9 Proyeksi Konsumsi Air Minum Masyarakat Kecamatan

58 Jalaksana dan Sekitarnya Selama 30 Tahun

10 Peta Potensi Air Tanah Cekungan Cirebon (Wahyudin, 2000)

11 Produksi Mata Air Paniis, Ijin Pengambilan Air, dan

62 Curah Hujan Dalam Kurun 2000-2003

12 Hierarki Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah untuk

64 Kawasan Gunung Ciremai

13 Alokasi Efisien dari Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung 71 Ciremai

14 Peta Arahan Pemanfaatan Ruang Gunung Ciremai Berdasarkan

80 Perda Nomor 38 Tahun 2002

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Hasil Analisis Kualitas Air Mata Air Darmaloka 1 dan 107 Darmaloka 2

2 Hasil Analisis Kualitas Air Mata Air Cibulan dan Paniis 107

3 Jumlah dan Kepadatan Penduduk Kabupaten Kuningan 108 Pada Tahun 2003

4 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Konsumsi Air Kecamatan 109 Darma dan Kuningan Selama 30 Tahun

5 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Konsumsi Air Kecamatan 110 Kecamatan Jalaksana Selama 30 Tahun

6 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Konsumsi Air Kota Cirebon 111 Selama 30 Tahun

7 Karakteristik Penduduk di Kawasan Gunung Ciremai 112

8 Karakteristik Ekonomi Responden Pengguna Air Minum 115 di Kawasan Gunung Ciremai

9 Persamaan Kurva Permintaan Air untuk Wilayah Kabupaten 117 Kuningan dan Kota Cirebon

10 Data Responden dalam Penentuan Mekanisme Alokasi Air Minum 121 Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai

11 Kuisioner Penentuan Mekanisme Alokasi Air Minum 132 Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai

12 Tahapan Pengolahan Matriks Berpasangan (Saaty, 1993) 155

13. Hasil Pengolahan Data Menggunakan Perangkat Lunak HIPRE 3+ 158 dalam Penentuan Prioritas Mekanisme Alokasi Air Minum Lintas Wilayah di Kawasan Gunung Ciremai.

14 Peta Kontur Curah Hujan Kabupaten Kuningan (Bapeda 164 Kuningan dan Rissapel, 2000)

15 Peta Batas Zona Resapan Air Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan 165 (Bapeda Kuningan dan Rissapel, 2000)

16 Peta Aliran Air Tanah Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan 166 (Bapeda Kuningan dan Rissapel, 2000)

17 Peta Zona Vegetasi Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan (Bapeda 167 Kuningan dan Rissapel, 2000)

18 Debit Mata Air Total per Kecamatan di Kabupaten Kuningan 168 (Departemen Pekerjaan Umum, 1990)

19 Peta Taman Nasional Gunung Ciremai 169

20 Citra Landsat Kawasan Gunung Ciremai Tahun 2003 (tidak berskala) 170

21 Peta Topografi Daerah Tangkapan Air Paniis 171

22 Peta Penutupan Lahan Daerah Tangkapan Air Paniis 172

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Air merupakan sumberdaya alam (SDA) yang strategis dan vital bagi kehidupan manusia dan pembangunan, serta keberadaannya tidak dapat digantikan oleh materi lainnya. Air dibutuhkan untuk menunjang berbagai sistem kehidupan, baik dalam lingkup atmosfir, litosfir, dan biosfir. Hampir semua kebutuhan hidup manusia membutuhkan air, baik untuk kebutuhan rumah tangga (domestik), pertanian, industri, dan kegiatan ekonomi lainnya. Pasokan air untuk mendukung berjalannya pembangunan dan berbagai kebutuhan manusia perlu dijamin kesinambungannya, terutama yang berkaitan dengan kuantitas dan kualitasnya

sesuai dengan yang dibutuhkan. Sumberdaya air 1 yang ada perlu dikelola secara berkelanjutan. Sistem pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan (sustainable

water resources management systems ) merupakan sistem pengelolaan sumberdaya air yang didesain dan dikelola serta berkontribusi penuh terhadap tujuan masyarakat (sosial dan ekonomi) saat ini dan masa yang akan datang, dengan tetap mempertahankan kelestarian aspek ekologisnya (Loucks, 2000).

Berbagai upaya dilakukan manusia untuk memperoleh sumber airnya. Mata air merupakan salah satu sumber air yang selama ini digunakan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya. Mata air dapat ditemukan pada satu titik lokasi yang umumnya terjadi di sepanjang perbukitan dan dataran rendah yang tanahnya berpori atau formasi batuannya patah (fractured) sehingga memungkinkan air mengalir di atas permukaan tanah. Aliran mata air selanjutnya mengalir membentuk aliran permukaan, dan apabila berkumpul dengan aliran air dari sumber air lainnya membentuk aliran sungai. Mata air yang bersumber di perbukitan memiliki kemiringan lereng yang cukup untuk mengalirkan air secara gravitasi ke daerah-daerah yang ada di bawahnya. Air yang mengalir dan bersumber dari mata air tersebut telah banyak digunakan oleh masyarakat sekitarnya untuk keperluan rumah tangga, pertanian, dan kegiatan produksi. Aliran air tersebut selain dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat lokal, juga

1 Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat 1 Sumber daya air adalah air, sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat

Interaksi antara kawasan hulu sebagai zona resapan sumber air dan kawasan hilirnya dalam pemanfaatan air adalah erat, sehingga upaya untuk mewujudkan pengelolaan air berkelanjutan menjadi tanggung-jawab semua wilayah di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) tersebut. Acreman (2004) menyebutkan

bahwa upaya perlindungan ekosistem kawasan sumber air 2 yang umumnya berada di bagian hulu DAS merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan air

berkelanjutan. Kondisi ideal tersebut tidak mudah diwujudkan karena adanya masalah-masalah dalam manajemen sumberdaya air. Masalah kelangkaan dan alokasi air lintas wilayah yang tidak merata telah menjadikan air yang awalnya merupakan barang publik (public goods) bergeser menjadi komoditas ekonomi, alat politik dan bahkan sumber konflik lintas wilayah. Perbedaan sistem administratif dan politis antar wilayah dalam suatu DAS secara alamiah terjadi di hampir semua negara di dunia. Frederick (2001) menyebutkan bahwa di dunia terdapat 214 sungai yang melintasi dua negara atau lebih, 13 sungai diantaranya melintasi lima atau lebih negara, dan empat sungai (Sungai Kongo, Danube, Nil, dan Niger) melintasi sembilan atau lebih negara, kesemuanya memiliki potensi konflik yang cukup serius dan dapat mengganggu stabilitas wilayah. Sebaliknya, aliran air lintas wilayah pun apabila dikelola dengan kebijakan yang tepat dapat menjadi katalis kerjasama antar wilayah.

Masalah konflik air dapat terjadi di berbagai tempat di dunia, termasuk Indonesia yang sejak 1 Januari 2001 menerapkan sistem desentralisasi atau otonomi daerah (otda) yang lebih luas. Otonomi daerah tersebut memberikan kewenangan yang lebih luas kepada pemerintah daerah untuk mengatur daerahnya, termasuk mengelola sumberdaya alam di wilayah administratifnya. Daerah yang memiliki sumberdaya alam umumnya merasa paling berhak untuk mengatur dan mengelolanya dibandingkan dengan daerah lainnya, sehingga untuk sumberdaya alam yang lintas wilayah seperti air berpotensi menimbulkan konflik diantara daerah-daerah yang menggunakannya. Adanya konflik antar daerah akan

2 Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah (Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004

menciptakan instabilitas yang dapat memicu konflik sipil. Imai dan Weinstein (2000) menyebutkan bahwa konflik sipil dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi daerah, menurunnya investasi, dan peningkatan defisit pemerintah untuk pembangunan. Nitibaskara (2002) mencatat bahwa konflik air minum antar daerah setelah otda diberlakukan pernah terjadi antara Kota Bukittinggi dengan Kabupaten Agam, dan antara Kabupaten Badung dengan Kabupaten Tabanan. Pasokan air ke Kota Bukittinggi pada tanggal 4-5 Januari 2001 sempat terhenti karena warga Sungai Tanang membendung aliran Sungai Tanang yang memasok air ke Bukittinggi. Tindakan ini diambil karena tuntutannya untuk mendapatkan bagi hasil dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Bukittinggi tidak dipedulikan. Sementara itu, Kabupaten Tabanan mengancam menaikan tarif air PDAM setelah diketahui bahwa Kabupaten Badung berencana menghentikan distribusi pendapatan asli daerahnya. Apabila rencana penghentian ini dilaksanakan, maka Kabupaten Tabanan akan kesulitan menutupi anggaran belanja daerahnya karena tidak cukup memiliki pendapatan sendiri. Akibat ancaman ini, maka Kabupaten Badung menunda rencananya. Konflik air minum antar daerah juga terjadi di kawasan Gunung Ciremai antara Kabupaten Kuningan dan Kota Cirebon yang mencuat menjadi isu publik di Propinsi Jawa Barat pada tahun 2004.

Kawasan Gunung Ciremai sebagian besar berada di Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat memiliki sumber air minum berupa mata air yang cukup melimpah. Potensi air dari mata air di kawasan gunung tersebut diperkirakan mencapai 80% dari potensi mata air yang ada di Kabupaten Kuningan (Departemen Pekerjaan Umum, 1990). Aliran air yang berasal dari mata airnya dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah Kabupaten Kuningan, dan sebagian lagi dimanfaatkan untuk memasok kebutuhan air bagi daerah-daerah di bawahnya untuk berbagai kebutuhan, baik kebutuhan air minum, pertanian, dan industri. Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon adalah dua wilayah yang sebagian besar pasokan airnya berasal dari kawasan Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan. Selama ini pengguna air yang berada wilayah hilir (Kabupaten dan Kota Cirebon) yang memanfaatkan air dari Gunung Ciremai kurang memberikan kontribusi finansial bagi Kabupaten Kuningan sebagai daerah hulu yang selalu dituntut untuk Kawasan Gunung Ciremai sebagian besar berada di Kabupaten Kuningan Propinsi Jawa Barat memiliki sumber air minum berupa mata air yang cukup melimpah. Potensi air dari mata air di kawasan gunung tersebut diperkirakan mencapai 80% dari potensi mata air yang ada di Kabupaten Kuningan (Departemen Pekerjaan Umum, 1990). Aliran air yang berasal dari mata airnya dimanfaatkan oleh penduduk di wilayah Kabupaten Kuningan, dan sebagian lagi dimanfaatkan untuk memasok kebutuhan air bagi daerah-daerah di bawahnya untuk berbagai kebutuhan, baik kebutuhan air minum, pertanian, dan industri. Kabupaten Cirebon dan Kota Cirebon adalah dua wilayah yang sebagian besar pasokan airnya berasal dari kawasan Gunung Ciremai di Kabupaten Kuningan. Selama ini pengguna air yang berada wilayah hilir (Kabupaten dan Kota Cirebon) yang memanfaatkan air dari Gunung Ciremai kurang memberikan kontribusi finansial bagi Kabupaten Kuningan sebagai daerah hulu yang selalu dituntut untuk

jauh lebih kecil dibandingkan Kabupaten dan Kota Cirebon 3 , sehingga dorongan untuk mendapatkan dana kompensasi hasil air dari daerah lain yang memanfaatkannya dipandang menjadi salah satu alternatif untuk membiayai upaya konservasi sumber airnya di wilayahnya. Tuntutan Pemda Kabupaten Kuningan untuk memperoleh dana kompensasi atas pemanfaatan sumber air minumnya dari Kota Cirebon mencuat menjadi konflik air minum lintas wilayah sepanjang tahun 2004. Dana kompensasi yang dituntut oleh Pemda Kabupaten Kuningan menyangkut penggunaan mata air Paniis di Kecamatan Pasawahan yang selama ini merupakan sumber air bagi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kota Cirebon. Apabila tuntutan dana kompensasi tersebut tidak dipenuhi, maka

pasokan air minum ke Kota Cirebon akan dikurangi 4 . Ancaman pengurangan pasokan air tersebut akan menimbulkan krisis air di Kota Cirebon dan bisa memicu krisis lain yang berdampak secara sosial, ekonomi, dan politik. Proses penyelesaian konflik di wilayah tersebut yang berlangsung selama enam bulan merupakan studi kasus mengenai konflik sumber air minum lintas wilayah pasca

pemberlakuan otda di Propinsi Jawa Barat 5 . Adanya permasalahan konflik dalam pengelolaan sumber air minum lintas

wilayah di kawasan Gunung Ciremai membutuhkan upaya resolusi konflik melalui penataan kebijakan, karena kebijakan dibuat untuk mengantisipasi dan menyelesaikan masalah yang ada di dalam suatu komunitas serta menjadi salah

3 Pada tahun 2002, Kabupaten Kuningan mentargetkan pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp.14,88 milyar, padahal kebutuhan belanja dalam APBD-nya mencapai Rp.270 miliar lebih.

Nilai PAD ini sedikit lebih besar dibandingkan anggaran sektor pendidikan di Kabupaten Cirebon sebesar Rp.11 miliar atau 15% dari total dana pembangunannya pada tahun yang sama (www.pikiran-rakyat.com accesed at April 15 2003).

4 Kepala Dinas Sumberdaya Air dan Pertambangan (SDAP) Kabupaten Kuningan, Ir.Abdul Khodir menyatakan bahwa PDAM Kota Cirebon mengambil air dari kawasan Mata Air Paniis

sebesar 1.045,2 liter per detik melebihi dari ijin pengambilan air yang dikeluarkannya sebesar 750 liter/detik sesuai dengan SIPA (Surat Ijin Pengambilan Air) Nomor 616/039/SDAM/2003 yang berlaku dari 24 April 2003 sampai dengan 24 April 2005 (Pikiran Rakyat, 29 Oktober 2004).

5 Beberapa tahapan proses penyelesaian konflik air antara Pemda Kabupaten Kungan dan Kota Cirebon yang berlangsung selama enam bulan dapat diikuti secara langsung oleh peneliti yang

diundang oleh Dinas SDAP Kabupaten Kuningan sebagai narasumber dalam negosiasi diundang oleh Dinas SDAP Kabupaten Kuningan sebagai narasumber dalam negosiasi

1.2. Kerangka Pemikiran Kawasan Gunung Ciremai menyediakan sejumlah jasa lingkungan (environmental services) yang bermanfaat untuk menyangga kehidupan masyarakat di sekitarnya. Manfaat hidrologis merupakan salah satu manfaat yang langsung dirasakan penduduk. Kawasan tersebut memiliki sejumlah sumber air minum berupa mata air yang dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di dalam wilayah Kabupaten Kuningan sendiri, maupun untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat di Kota Cirebon dan Kabupaten Cirebon yang bersifat lintas wilayah.

Aspek kebijakan yang penting dalam pemanfaatan air minum yang berasal dari Kawasan Gunung Ciremai adalah pengelolaan kawasan sumber air dan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah. Kedua kebijakan tersebut secara spesifik berkaitan dengan karakteristik kebutuhan air minum di tingkat lokal dan lintas wilayah. Kebutuhan air minum lokal dan lintas wilayah perlu dikelola secara berkelanjutan. Flint (2003) menyebutkan bahwa pengelolaan air berkelanjutan setidaknya diindikasikan oleh tiga hal berikut, yaitu tersedianya air yang cukup dan aman untuk memenuhi berbagai kebutuhan, mengalokasikan air secara efektif dan adil diantara pengguna, serta adanya upaya perlindungan terhadap sumber-sumber air dari ancaman degradasi. Oleh karena itu kebijakan dalam mengelola kawasan sumber air dan pemanfaatan airnya harus dapat memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan yang sama bagi masyarakat. Kebijakan tersebut juga harus dapat diterima oleh masyarakat, sehingga kebijakan pengelolaan air tidak hanya memperhatikan aspek ekonomi dan lingkungan saja, tetapi juga tata nilai sosial yang ada di tengah masyarakat.

Beberapa parameter yang berkaitan dengan pengelolaan sumber air minum lintas wilayah yang perlu diteliti adalah ketersediaan air minum, jumlah kebutuhan air minum masyarakat, potensi konflik dalam pemanfaatan air minum, kelembagaan pengelolaan sumber air minum, mekanisme alokasi air minum lintas wilayah, dan estimasi dana kompensasi konservasi dari pengguna air untuk melindungi sumber airnya. Cruz et al.(2000) menyebutkan bahwa biaya untuk penggunaan air yang berasal dari sumber air di dalam kawasan hutan belum memasukan biaya perlindungan dan pengelolaan yang sebenarnya serta biaya kerusakan lingkungan yang timbul akibat pemanfaatan air, sehingga nilai air umumnya di bawah nilai yang sebenarnya (underestimated). Oleh karena itu upaya untuk mengestimasi kemampuan pengguna air minum dalam membantu membiayai konservasi kawasan sumber airnya perlu diteliti. Penilaian tentang besarnya kontribusi ini dilakukan dengan pendekatan kesediaan membayar (willingnes to pay) dari pengguna air (ADB, 2001). Nilai kontribusi konservasi dari pengguna air minum merupakan pendekatan PES (payment for environmental services ) atas jasa hidrologis kawasan Gunung Ciremai yang dimanfaatkan oleh pengguna air minum. Bagi pengguna air minum yang berada di bagian hilir, nilai kontribusi konservasi tersebut merupakan bentuk dari kontribusi hilir untuk membantu melestarikan kawasan sumber air minum di bagian hulu. Estimasi dana konservasi kawasan yang berasal dari pengguna air minum tersebut digunakan untuk membiayai upaya rehabilitasi dan konservasi sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai.

Masalah kelembagaan yang penting dalam pengelolaan sumber air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai menyangkut kelembagaan pengelolaan sumber air minum dan mekanisme alokasi air lintas wilayah. Kelembagaan pengelolaan sumber air minum di kawasan tersebut ada yang dikelola oleh masyarakat, desa, dan badan usaha pemerintah (PDAM). Latar belakang sistem kelembagaan pengelolaan sumber air minum dapat berpengaruh terhadap distribusi pemanfaatan air minum. Kelembagaan pengelolaan air minum lintas wilayah ditekankan pada upaya menyusun mekanisme kerjasama yang efektif antar daerah hulu-hilir. Dalam penelitian ini pendekatan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah yang akan diujikan untuk kawasan Gunung Ciremai adalah Masalah kelembagaan yang penting dalam pengelolaan sumber air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai menyangkut kelembagaan pengelolaan sumber air minum dan mekanisme alokasi air lintas wilayah. Kelembagaan pengelolaan sumber air minum di kawasan tersebut ada yang dikelola oleh masyarakat, desa, dan badan usaha pemerintah (PDAM). Latar belakang sistem kelembagaan pengelolaan sumber air minum dapat berpengaruh terhadap distribusi pemanfaatan air minum. Kelembagaan pengelolaan air minum lintas wilayah ditekankan pada upaya menyusun mekanisme kerjasama yang efektif antar daerah hulu-hilir. Dalam penelitian ini pendekatan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah yang akan diujikan untuk kawasan Gunung Ciremai adalah

Kawasan Gunung Ciremai

Jasa Lingkungan lainnya

Upaya Rehabilitasi, Konservasi Kawasan

Penyangga Sumber Air Minum

Jasa Hidrologis :

Sumber Mata Air

Sistem Kehidupan

Pemanfaatan Air Minum

Kebutuhan Air Minum Lokal Kebutuhan Air Minum Lintas Wilayah Kuantitas Penggunaan Air

Kuantitas Penggunaan Air Minum, Minum, Kelembagaan

Kelembagaan Pengelolaan, Potensi Pengelolaan, Potensi Konflik

Konflik

Pengelolaan Kawasan Prospek Alokasi Air Sumber Air Minum

Minum Lintas Wilayah

Mekanisme Kontribusi

Nilai Kelembagaan

Konservasi

Nilai Kontribusi

Alokasi Air Konservasi

Minum Lintas- Sumber Air

Sumber Air

Sumber Air

Wilayah

Dana Konservasi

Kontribusi Hilir

Kawasan

ke Hulu

REKOMENDASI KEBI JAKAN PENGELOLAAN SUMBER AI R MI NUM LI NTAS WI LAYAH

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Dari hasil analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi keberlanjutan pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai, disusun rekomendasi kebijakan yang mengatur pengelolaan sumber air minum lintas wilayah yang berasal dari kawasan tersebut secara berkelanjutan.

1.3. Perumusan Masalah

Kawasan pegunungan Gunung Ciremai sebagai daerah hulu DAS memiliki sejumlah mata air yang dimanfaatkan penduduk untuk berbagai kebutuhan, baik oleh penduduk di sekitar kawasan maupun oleh penduduk lainnya di sepanjang aliran air tersebut. Dalam penelitian ini sumber air minum yang dimaksud adalah wilayah dimana mata air untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat berada. Aliran air yang mengalir dari hulu DAS ke bagian hilirnya berjalan mengikuti alur-alur sungai yang telah terbentuk secara alami, dan melintasi beberapa wilayah administratif dan/atau politis yang berbeda. Bagian hulu DAS umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan airnya ke daerah hilir, sehingga keterkaitan hulu dan hilir DAS sangat erat. Daerah hilir tidak mungkin mendapatkan kesinambungan pasokan air minum dengan kuantitas dan kualitas yang memadai apabila kondisi ekosistem daerah hulu yang menjadi resapan airnya terganggu (Acreman, 2004; Johnson et al., 2001). Apabila terjadi gangguan terhadap ekosistem hulu yang menjadi resapan air, maka tanggung-jawab tidak hanya dipikul oleh masyarakat hulu akan tetapi juga merupakan tanggung-jawab masyarakat hilirnya. Oleh karena itu tanggung-jawab memelihara kondisi DAS seharusnya menjadi tanggung-jawab bersama daerah-daerah di hulu sampai dengan daerah-daerah di hilirnya. Namun dalam kenyataannya, pasokan air minum yang merupakan kontribusi daerah hulu terhadap daerah hilirnya belum mendapatkan apresiasi dan penilaian yang pantas karena air umumnya masih dipersepsi sebagai barang publik. Daerah hulu sebagai daerah resapan air belum mendapatkan perhatian dan kontribusi dari daerah hilir yang memadai, termasuk upaya daerah hilir membantu konservasi resapan air di daerah hulu. Beban konservasi kawasan hulu pun sebenarnya menjadi tanggung-jawab daerah hilir sebagai pengguna air, sehingga tuntutan daerah hulu mendapatkan kontribusi dana untuk konservasi kawasannya adalah wajar. Imbangan antar daerah dalam Kawasan pegunungan Gunung Ciremai sebagai daerah hulu DAS memiliki sejumlah mata air yang dimanfaatkan penduduk untuk berbagai kebutuhan, baik oleh penduduk di sekitar kawasan maupun oleh penduduk lainnya di sepanjang aliran air tersebut. Dalam penelitian ini sumber air minum yang dimaksud adalah wilayah dimana mata air untuk memenuhi kebutuhan air minum masyarakat berada. Aliran air yang mengalir dari hulu DAS ke bagian hilirnya berjalan mengikuti alur-alur sungai yang telah terbentuk secara alami, dan melintasi beberapa wilayah administratif dan/atau politis yang berbeda. Bagian hulu DAS umumnya merupakan daerah resapan air yang mengalirkan airnya ke daerah hilir, sehingga keterkaitan hulu dan hilir DAS sangat erat. Daerah hilir tidak mungkin mendapatkan kesinambungan pasokan air minum dengan kuantitas dan kualitas yang memadai apabila kondisi ekosistem daerah hulu yang menjadi resapan airnya terganggu (Acreman, 2004; Johnson et al., 2001). Apabila terjadi gangguan terhadap ekosistem hulu yang menjadi resapan air, maka tanggung-jawab tidak hanya dipikul oleh masyarakat hulu akan tetapi juga merupakan tanggung-jawab masyarakat hilirnya. Oleh karena itu tanggung-jawab memelihara kondisi DAS seharusnya menjadi tanggung-jawab bersama daerah-daerah di hulu sampai dengan daerah-daerah di hilirnya. Namun dalam kenyataannya, pasokan air minum yang merupakan kontribusi daerah hulu terhadap daerah hilirnya belum mendapatkan apresiasi dan penilaian yang pantas karena air umumnya masih dipersepsi sebagai barang publik. Daerah hulu sebagai daerah resapan air belum mendapatkan perhatian dan kontribusi dari daerah hilir yang memadai, termasuk upaya daerah hilir membantu konservasi resapan air di daerah hulu. Beban konservasi kawasan hulu pun sebenarnya menjadi tanggung-jawab daerah hilir sebagai pengguna air, sehingga tuntutan daerah hulu mendapatkan kontribusi dana untuk konservasi kawasannya adalah wajar. Imbangan antar daerah dalam

Interaksi Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon dalam pengelolaan air minum sudah berjalan sejak lama dan hampir semua kebutuhan air minum di Kota Cirebon dipasok dari kawasan Gunung Ciremai yang berada di Kabupaten Kuningan. Pada masa yang akan datang diperkirakan kebutuhan air minum di kawasan tersebut meningkat berkaitan dengan dijadikannya wilayah Cirebon sebagai salah satu kawasan pembangunan nasional. Kebutuhan air bersih di Kota

3 Cirebon hingga tahun 2015 mencapai 1.382 l/dtk atau 43,58 juta m 6 per tahun . Penyediaan air untuk keperluan minum merupakan prioritas utama di atas segala

keperluan lain 7 . Kebutuhan air minum akan meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk, taraf hidup, dan perkembangan sektor industri (Sanim, 2003).

Kebutuhan air minum yang lebih besar daripada ketersediaannya di suatu wilayah menciptakan kondisi kelangkaan (scarcity) yang dapat memicu terjadinya konflik diantara pengguna air minum. Selain itu mekanisme alokasi air minum lintas wilayah diantara pengguna air minum lintas wilayah perlu ditentukan sebagai upaya resolusi konflik pemanfaatan air minum lintas wilayah.

Ketersediaan dan kebutuhan air minum, mekanisme alokasi air minum lintas wilayah, kelembagaan pengelolaan sumber air, dan nilai dana kompensasi konservasi dari pengguna air minum merupakan beberapa permasalahan pokok yang diteliti dalam penelitian ini. Adapun ruang lingkup penelitian ini adalah menganalisis pengelolaan sumber air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai.

6 Adapun kebutuhan akan air bersih di wilayah Kabupaten Cirebon pada tahun 2000 sekitar sekitar 93 juta m 3 /tahun, sedangkan prediksi pada tahun 2010 meningkat mencapai sekitar 150 juta

m 3 /tahun (Wahyudin, 2000). 7 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumberdaya Air pada Pasal 29 ayat (3)

menyebutkan bahwa “Penyediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan irigasi bagi pertanian rakyat dalam sistem irigasi yang sudah ada merupakan prioritas utama penyediaan sumberdaya air di atas semua kebutuhan” . Penjelasan pasal tersebut menyebutkan bahwa “apabila terjadi konflik kepentingan antara pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan pemenuhan kebutuhan air irigasi untuk pertanian rakyat misalnya pada situasi kekeringan yang

1.4. Tujuan Penelitian

Beberapa tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menganalisis ketersediaan dan kebutuhan air minum di kawasan Gunung Ciremai dan potensi konflik dalam pemanfaatan air minum lintas wilayah antara Kabupaten Kuningan dengan Kota Cirebon.

2. Menganalisis mekanisme alokasi air minum lintas wilayah sebagai upaya resolusi konflik air minum lintas wilayah di kawasan Gunung Ciremai.

3. Menganalisis kelembagaan dalam pengelolaan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai.

4. Mengestimasi nilai kompensasi konservasi dari pengguna air minum rumah tangga untuk melestarikan sumber air minum di kawasan Gunung Ciremai.

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan rekomendasi dalam menata kebijakan pengelolaan sumber air minum lintas wilayah khususnya di lokasi penelitian, sehingga diharapkan akan diperoleh bentuk kebijakan yang menjamin terciptanya pengelolaan kawasan sumber air minum secara berkelanjutan dan menghindari terjadinya konflik antar daerah dalam pemanfaatan sumber air minum di era otonomi daerah ini.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini mencakup dua hal, yaitu dari segi pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis, yaitu : (1) analisis ketersediaan dan kebutuhan air minum untuk memprediksi potensi konflik air minum di wilayah penelitian, (2) pendekatan proses hirarki analisis atau AHP (analytical hierarchy process) untuk menentukan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah yang sesuai dengan karakteristik wilayah penelitian, serta (3) analisis estimasi biaya kompensasi konservasi dari pengguna air minum untuk Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini mencakup dua hal, yaitu dari segi pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis, yaitu : (1) analisis ketersediaan dan kebutuhan air minum untuk memprediksi potensi konflik air minum di wilayah penelitian, (2) pendekatan proses hirarki analisis atau AHP (analytical hierarchy process) untuk menentukan mekanisme alokasi air minum lintas wilayah yang sesuai dengan karakteristik wilayah penelitian, serta (3) analisis estimasi biaya kompensasi konservasi dari pengguna air minum untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Air Minum Lintas Wilayah dan Potensi Konflik Pemanfaatannya

Air merupakan sumberdaya alam vital yang keberadaan dan fungsinya tidak dapat disubstitusi oleh sumberdaya lainnya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, ekosistem, dan kegiatan pembangunan lainnya (Wolf, 1998). Air merupakan salah satu bagian terpenting dalam ekosistem, selain itu air juga merupakan barang sosial dan ekonomi yang perlu dikelola secara berkelanjutan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya (Flint, 2003; Loucks, 2000; Soenaryo et al., 2005). Keberadaan dan fungsi air terkait dengan berbagai kegiatan kehidupan masyarakat dan perkembangan peradaban manusia (Soenaryo et al., 2005). Air sebagai bagian dari kebutuhan dasar manusia dijamin keberadaannya oleh konstitusi, misalnya di dalam Undang- Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat 3 yang berbunyi ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat”' 8 . Konstitusi tersebut menunjukkan bentuk kontrak sosial antara pemerintah dan warga negaranya (Sanim, 2003). Adanya

kontrak sosial tersebut menunjukkan bahwa air merupakan sumberdaya alam yang berperan sangat penting dalam mendukung keberlanjutan kehidupan masyarakat perlu dikelola secara baik untuk mendukung tercapainya kesejahteraan

masyarakat 9 . Tujuan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat tidak akan

tercapai sepanjang kebijakan dan praktek pengelolaan air tidak terpadu dan berkelanjutan (Loucks, 2000; Soenaryo et al., 2005). Pengelolaan sumberdaya air berkelanjutan merupakan pengelolaan air yang bersifat multi dimensional mengenai hubungan antara sumber daya alam, sosial dan sistem ekonomi yang simultan dalam penggunaan dan pengelolaan air (Flint, 2003). Sistem sumberdaya

8 Keputusan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor : Kep-14/M.Ekon/12/2001 tanggal 10 Desember 2001 tentang Arahan Kebijakan Nasioanal Sumberdaya Air menegaskan bahwa penguasaan

sumberdaya air diabdikan kepada kesejahteraan rakyat di segala bidang, baik sosial, ekonomi, lingkungan, budaya, politik, maupun bidang ketahanan nasional, sekaligus menciptakan pertumbuhan, keadilan sosial, dan kemandirian.

9 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 menyebutkan bahwa“Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi 9 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 menyebutkan bahwa“Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi

Pengelolaan air minum di suatu wilayah berkaitan dengan masalah ketersediaan air (water availability) yang meliputi kuantitas dan kualitas air minum, serta kebutuhan air minum yang dibutuhkan oleh masyarakat (Buras, 2000). Penyediaan air minum masyarakat merupakan prioritas pertama yang perlu

dilakukan dalam penatagunaan sumberdaya air di suatu wilayah 10 . Berbagai upaya dilakukan oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air minumnya. Mata air

merupakan sumber air minum yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di sekitar wilayah yang potensi mata airnya cukup melimpah, misalnya di Kawasan Gunung Ciremai Propinsi Jawa Barat. Aliran air minum dari mata air di Gunung Ciremai yang secara administratif berada di Kabupaten Kuningan selain dimanfaatkan oleh masyarakat di Kabupaten Kuningan juga dimanfaatkan oleh masyarakat di Kota Cirebon. Kondisi tersebut terkait dengan beberapa karakteristik dasar sumberdaya air, yaitu sumberdaya air dapat mencakup beberapa wilayah administratif, dipergunakan oleh berbagai aktor (multi- stakeholders ), dan merupakan sumberdaya alam mengalir (flow resources) sehingga memiliki keterkaitan yang erat antara wilayah hulu dengan hilir (Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2001).

Ketersediaan air minum di suatu wilayah dapat menjadi permasalahan apabila dikaitkan dengan kebutuhan air minum masyarakat, terutama dalam pengelolaan air minum lintas wilayah. Hoekstra (1998) menyebutkan bahwa peningkatan kebutuhan air minum berkaitan dengan dinamika pertumbuhan penduduk, sehingga proyeksi kebutuhan air minum dihitung dengan mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut dan konsumsi air minum rata-rata (Sanim, 2003). Kekurangan air minum (drinking Ketersediaan air minum di suatu wilayah dapat menjadi permasalahan apabila dikaitkan dengan kebutuhan air minum masyarakat, terutama dalam pengelolaan air minum lintas wilayah. Hoekstra (1998) menyebutkan bahwa peningkatan kebutuhan air minum berkaitan dengan dinamika pertumbuhan penduduk, sehingga proyeksi kebutuhan air minum dihitung dengan mempertimbangkan laju pertumbuhan penduduk di wilayah tersebut dan konsumsi air minum rata-rata (Sanim, 2003). Kekurangan air minum (drinking

Konflik 11 selalu terjadi di dalam interaksi antara individu/kelompok /masyarakat dengan individu/kelompok/masyarakat lainnya untuk memanfaatkan

sumberdaya alam yang sama. Perubahan kondisi sumberdaya alam dan lingkungan di suatu wilayah memiliki konsekuensi negatif terhadap wilayah- wilayah di sekitarnya dan memicu timbulnya konflik lingkungan antar wilayah. Spector (2001) mengklasifikasikan perubahan sumberdaya alam dan lingkungan yang potensial menjadi masalah lintas wilayah menjadi empat aspek, yaitu : terjadinya degradasi (polusi) lingkungan, adanya kelangkaan (scarcity/shortages) dari sumberdaya alam dan lingkungan, maldistribusi sumberdaya alam (inequitable allocation), dan bencana alam/lingkungan atau kecelakaan yang terjadi secara alami atau akibat perbuatan manusia. Keempat kategori tersebut semuanya terkait dengan ketersediaan sumberdaya alam. Di samping menyangkut ketersediaan sumberdaya alam, konflik lintas wilayah berinteraksi pula dengan masalah perbedaan politik, ekonomi, dan budaya.

Ada empat model hubungan antara perubahan sumberdaya alam dan lingkungan dengan terjadinya konflik, yaitu Scarcity Model, Modernization Model , Spillover Model, dan Leading Edge Model (Spector, 2001). Model scarcity (model kelangkaan) merupakan model yang paling populer dibandingkan model lainnya. Tiga faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan : penurunan dan degradasi pasokan sumberdaya alam, peningkatan kebutuhan dan konsumsi sumberdaya alam, dan distribusi sumberdaya alam yang tidak merata di dalam

11 Konfllik dan kompetisi sering dipertukarkan. Persamaan antara konflik dan kompetisi adalah bahwa keduanya terjadi apabila menghadapi aktifitas yang cenderung incompatible. Namun perbedaannya adalah

bahwa kompetisi memiliki aturan jelas yang sifatnya formal atau informal. Konflik umumnya dipandang negatif, namun ada beberapa nilai positif dari konflik adalah : (a) menstimulus keterlibatan stakeholder untuk berdiskusi memecahkan masalah bersama, (b) meningkatkan kualitas keputusan, dan (c) bahwa kompetisi memiliki aturan jelas yang sifatnya formal atau informal. Konflik umumnya dipandang negatif, namun ada beberapa nilai positif dari konflik adalah : (a) menstimulus keterlibatan stakeholder untuk berdiskusi memecahkan masalah bersama, (b) meningkatkan kualitas keputusan, dan (c)

Model modernisasi (modernization) didasarkan atas asumsi bahwa tekanan akibat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan khususnya di negara-negara berkembang telah mengakibatkan pemanfaatan sumberdaya alam yang sangat intensif dan menimbulkan polusi lingkungan yang menyebabkan pembangunan berjalan tidak berkelanjutan. Sebagai contoh dampak pencemaran air di hulu atau tengah DAS akibat buangan limbah industri akan dirasakan oleh masyarakat di wilayah hilir sungai, sehingga memicu konflik antar wilayah hulu-hilir. Perbaikan teknologi dan investasi pengolahan limbah diperlukan untuk menghindari terjadinya konflik (Spector, 2001).