Analisa Kendala dan Fakta atas Pelaksanaan Pengalihan Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah ke DAK

2.3.3. Analisa Kendala dan Fakta atas Pelaksanaan Pengalihan Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah ke DAK

2.3.3.1. Asumsi/Pra-anggapan

Sebelum menuju pada analisa pokok dari kendala dan fakta pengalihan ada beberapa asumsi yang menyelimuti kendala dan fakta selama proses pengalihan dan layak diuraikan disini. Berikut asumsi atau pra-anggapan dimaksud:

1) Untuk urusan daerah yang menjadi prioritas nasional dan menjadi kontrak kinerja antara menteri dengan presiden akan sulit untuk dialihkan. Karena kementerian berpendapat bahwa itu menjadi urusan yang sangat penting.

2) Dalam pembahasan kegiatan antara komisi teknis dan kementerian/lembaga yang menjadi landasan pemikiran adalah pemikiran sektoral dan kurang mengindahkan penggunaan landasan pemikiran dalam era desentraslisasi/otonomi daerah dimana pemerintah pusat secara umum adalah yang bertanggungjawab untuk penyusunan NSPK sedangkan daerah yang mengimplementasikan.

3) Besaran anggaran dari kementerian/lembaga setiap tahunnya tidak mungkin turun atau setidaknya akan sama dengan tahun sebelumnya.

4) Daerah tidak siap dalam melaksanakan pengalihan yang akan berakibat buruknya kinerja urusan. Asumsi-asumsi tersebut berpengaruh atas pencarian solusi yang diharapkan dapat diformulasikan. Dengan analisa yang kuat asumsi-asumsi atau pra-anggapan tersebut di atas dapat diarahkan dengan pijakan yang objektif.

2.3.3.2. Analisa

Pengambilalihan urusan daerah oleh kementerian/lembaga yang diikat dengan kontrak kinerja antara kementerian/lembaga dengan presiden dengan maksud untuk efektifitas jika dicermati bisa tetap dengan skema seperti itu dengan mengedepankan prinsip sinergi dimana kementerian/lembaga menjadi dewan komisaris yang menetapkan rencana, target dan sasaran sedangkan daerah adalah CEO yang mengimplementasikan visi dan misi. Kinerja untuk masing-masing dapat di ukur dari masing-masing tanggungjawab. Kementerian/lembaga diukur dari sisi penyusunan perencanaan, cara/tools yang ditetapkan serta bimbingan teknis dan evaluasi yang dilaksanakan. Ukuran kinerja daerah adalah dengan pencapaian sasaran dan target yang dibebankan. Juga berkembang pemikiran bahwa kontrak kinerja yang melaksanakan urusan daerah tidak seharusnya kementerian/lembaga “terjun langsung” melaksanakan melainkan dapat melibatkan daerah. Secara ektrem bisa dikritisi atau di “challenge” kedudukan kontrak kinerja antara presiden dengan kementerian/lembaga yang melaksanakan urusan daerah dengan aturan-aturan yang terkait dan konfrontasikan dengan era desentralisasi/otonomi daerah. Lebih jauh lagi, kedudukan secara jelas mana yang lebih tinggi dari sisi hirarki dalam hukum tata Negara antara kontrak menteri dengan presiden dengan amanat undang-undang.

Pembahasan kegiatan dan alokasi anggaran harus benar-benar dalam frame yang utuh yaitu sektoral yang mengindahkan prinsip desentraslisasi/otonomi daerah sehingga tidak terjadi tumpang tindih urusan yang tidak efisien dan tidak efektif. Sinergi dan profesionalitas legislatif dan eksekutif dituntut meningkat sehingga asumsi-asumsi yang tidak berdasar tidak lagi dikedepankan, sebagai contoh anggaran kementerian/lembaga yang setidaknya sama dengan tahun lalu dan tidak mungkin turun dikaitkan dengan pelaksanaan pengalihan yang berkonsenkuensi pengurangan anggaran.

Berkaca dari pelaksanaan DAK yang merupakan urusan daerah dan menjadi prioritas nasional dimana terdapat contoh sukses dalam pelaksanaannya tidak bisa dipungkiri ada daerah yang memang serius dan mampu melaksanakan DAK dengan Berkaca dari pelaksanaan DAK yang merupakan urusan daerah dan menjadi prioritas nasional dimana terdapat contoh sukses dalam pelaksanaannya tidak bisa dipungkiri ada daerah yang memang serius dan mampu melaksanakan DAK dengan

Mencari solusi yang berkaitan dengan teknis memang tidak semudah untuk merubah pada tataran makro atau teori karena menyangkut dengan aturan yang berkonsekuensi. Dikotomi fisik dan non fisik antara kegiatan dekonsentrasi dan kegiatan DAK dengan memunculkan solusi fund chanelling baru juga dipandang tidak tepat begitu juga dengan diarahkan pada dana penyesuaian yang dapat menimbulkan moral hazzard dengan konsekuensi yang jauh lebih kompleks. Sampai titik teknis memang solusi yang tepat adalah dengan penguatan aturan DAK dengan mencari balance yang sesuai antara aspirasi daerah, prioritas nasional, target yang tercapai, akuntabilitas, kemampuan keuangan negara, sinergi pusat dan daerah serta efisiensi dan efektivitas.

2.3.3.3. Pendekatan

Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah

Analisa

Kegiatan

Untuk menyempurnakan bagian ketiga, penulis menyertakan pendekatan yang digunakan dalam menganalisa suatu kegiatan baik kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan maupun kegiatan yang lain dari kementerian/lembaga yang terindikasi merupakan urusan daerah dan disarankan untuk dialihkan ke DAK. Pendekatan yang digunakan adalah sebagai berikut:

1) Analisa kesamaan nama dan/atau jenis kegiatan dan/atau output dan/atau komponen yang tercantum di RKA-K/L dengan lingkup bidang kegiatan yang tercantum dalam DAK sesuai PMK Nomor 209/PMK.07/2011.

2) Analisa kegiatan dan/atau output dan/atau komponen yang tercantum dalam RKA- K/L berdasarkan pemetaan pembagian urusan pemerintahan sebagaimana termuat dalam lampiran PP Nomor 38 Tahun 2007.

3) Analisa sifat kegiatan dan/atau output dan/atau komponen yang tercantum dalam RKA-K/L berdasarkan keterkaitan manfaat yang bersentuhan langsung dengan masyarakat ( direct delivery public service).

Analisa atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang terindikasi merupakan urusan daerah dengan menggunakan pendekatan ini mengambil salah satu kriteria yang ada bukan merupakan pemenuhan semua kriteria. Jika ada kegiatan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang terindikasi merupakan urusan daerah yang memenuhi kriteria tersebut diindikasikan merupakan urusan daerah.

2.3.3.4. Rekomendasi Kebijakan

Dari pembahasan pada bagian kedua dan bagian ketiga sudah terlihat jelas benang merah yang dapat dijadikan pijakan dalam menyusun kebijakan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK. Dengan kompleksitas yang tinggi dari proses pengalihan ini karena melibatkan cita-cita besar bangsa Indonesia yang lebih terdesentralisasi mengingat kemajemukan yang ada, legislatif pusat dan daerah, eksekutif pusat dan daerah dan perangkat aturan yang kompleks maka rekomendasi kebijakan yang disusun adalah kebijakan yang sifatnya makro-holistik, dan mikro-teknis. Berikut adalah beberapa rekomendasi kebijakan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK:

1) Yang mutlak harus segera dilaksanakan adalah penyusunan kembali ataupun penegasan kembali pembagian urusan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah. Ini cukup beralasan karena dengan belum rampungnya pembagian urusan maka masalah tumpang tindih pelaksanaan urusan dan pendanaan masih terus terjadi.

2) Pengukuran kinerja atas kontrak kinerja antara kementerian dengan presiden atas urusan yang merupakan urusan daerah dapat diselesaikan dengan pembagian tugas yang spesifik sehingga ada kejelasan siapa mengerjakan apa dan ukuran kinerja dapat diukur. Sebagai contoh kementerian/lembaga menyusun rencana 2) Pengukuran kinerja atas kontrak kinerja antara kementerian dengan presiden atas urusan yang merupakan urusan daerah dapat diselesaikan dengan pembagian tugas yang spesifik sehingga ada kejelasan siapa mengerjakan apa dan ukuran kinerja dapat diukur. Sebagai contoh kementerian/lembaga menyusun rencana

3) Sinkronisasi dengan proses revisi Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 yang tengah berlangsung dengan maksud agar diketahui apakah memang sudah ada alternatif solusi kemana arah pengalihan kegiatan dekonsentrasi yang sifatnya berbeda dengan kegiatan sifat kegiatan DAK serta ketentuan dana pendamping dalam skema DAK. Apakah dimungkinkan adanya DAK yang bersifat non fisik untuk menampung kegiatan dekonsentrasi yang bersifat non fisik serta ketentuan dana pendamping.

4) Dari serangkaian proses pengalihan, juga terindikasi perlu adanya proses penertiban kegiatan kementerian/lembaga apakah masih melaksanakan urusan yang merupakan urusan daerah yang melibatkan Kemenkeu, Kemenneg PPN/Bappenas dan Kemendagri dengan alat PP No. 38/2007.

5) Yang menjadi catatan adalah untuk kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah namun tidak dapat dialihkan ke DAK karena terbentur aturan bidang DAK yang dibatasi maka dapat disimpulkan jika sudah merupakan urusan daerah maka daerah didorong untuk membiayai kegiatan tersebut yang apabila memungkinkan dapat disinkronkan dengan komitmen pemerintah untuk memperbesar dana desentraslisasi.