PENYUSUNAN MODEL ANALISA PEMETAAN URUSAN
DAERAH
Direktorat Perencanaan Pembangunan Daerah Ditjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri 2013
Prof. Dr. Yeremias T Keban., MURP. Drs. Agung Rahmanta Kurniawan
Kokoh Prio Utomo, S.Sos., MAP
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah, Kami panjatkan kepada Tuhan Yang Esa atas terselesaikannya laporan Kajian Penyusunan Model Analisis Pembagian Urusan Kewenangan Bersama Pemerintah Dan Pemerintah Daerah Guna Mendorong Terwujudnya Sinergi Pusat Dan Daerah.
Pembagian kewenangan merupakan bagian penting dari sistem pemerintahan otonomi daerah. Pemetaan urusan kewenangan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam perjalanannya menemui beberapa permasalahan, mulai dari proses perencanaannya sampai dengan pelaksanaannya.
Salah satu contoh permasalahan yang cukup substansi dalam pembagian kewenangan urusan bersama adalah pada proses perencanaan dan pengganggaran antara pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masih belum bisa mengintergrasikan pelaksanaan kegiatan melalui dana dekonstrasi dan tugas pembantuan karena masih menggunakan perencanaan sistem top down. Pemerintah daerah hanya menerima pelaksanaan kegiatan yang diberikan dari Pusat.
Dalam kegiatan yang didanai dari dana dekonsentrasi dan Tugas Perbantuan (TP) sebagian besar Kementerian/Lembaga (K/L) belum mempertimbangkan kebutuhan pembangunan daerah dengan pengalokasian disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.
Kami berharap kajian ini dapat menjadi masukan bagi seluruh stakeholder terkait dalam melakukan upaya perbaikan dan penyempurnaan implementasi otonomi daerah.
Jakarta, Desember 2013 Direktur Perencanaan Pembangunan Daerah Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1. Inisitaif Awal Untuk Mengajukan Program Melalui Anggaran
Dekonsentrasi Prov. Jatim ............................................................................ 47
Grafik 2. Kesesuaian Jenis Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi
Diusulkan Dengan Kebutuhan/Tuntutan RPJMD dan RKPD Prov. Jatim ....... 47
Grafik 3. Penentu Besarnya anggaran setiap program melalui anggaran
Dekonsentrasi Prov. Jatim ............................................................................ 48 Grafik 4. Penentu Pelaksanaan Tender Program Dekonsentrasi Prov. Jatim 48
Grafik 5. Penilaian Transparansi Pelaksanaan Program Dibiayai Dana
Dekonsentrasi Prov. Jatim ............................................................................ 49
Grafik 6. Penilaian Terhadap Profesionalisme Pelaksanaan Program Dibiayai
Dana Dekonsentrasi Prov. Jatim ................................................................... 49 Grafik 7. Pengamatan Terhadap Manfaat Besar Program Dekonsentrasi ..... 50
Grafik 8. Pendapat Terhadap Pembagian Kewenangan Urusan Konkuren Dalam PP 38/2007 Antara Pusat, Provinsi Dan Kab/Kota, Sulit Diterapkan
Untuk Program Yang Menggunakan Anggaran Dekonsentrasi Prov. Jatim ... 51
Grafik 9. Kewenangan Dekonsentrasi Belum Didukung Oleh Kapasitas Pemda
Yang Memadai Prov. Jatim ........................................................................... 51
Grafik 10. Penilaian Terhadap Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasi Dan Disinergikan Antara Pemda Kab/Kota Dengan Provinsi, Dan Antara Pemda Provinsi Dengan Kementerian/Lembaga
(Integrasi Vertikal) Prov. Jatim .................................................................... 52
Grafik 11. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Antara Sektor Yang Satu Dengan
Sektor Yang Lain (Integrasi Sektoral) Prov. Jatim ....................................... 53
Grafik 12. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergitaskan Antara Wilayah/Kawasan Yang
Satu Dengan Wilayah Yang Lain Dalam Kab/Kota Dan Provinsi ................... 54
Grafik 13. Penilaian terhadap program melalui anggaran Dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan antara tahun anggaran terdahulu
dengan tahun anggaran berikutnya (integrasi antar waktu) Prov. Jatim ..... 55
Grafik 14. Penilaian terhadap program melalui anggaran dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan dengan pola anggaran Tugas
Pembantuan (integrasi antar pola kewenangan konkuren) Prov. Jatim ....... 56
Grafik 15. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Dengan Pola Anggaran Desentralisasi
(Pola Kewenangan Konkuren Dengan Desentralisasi) Prov. Jatim ............... 57
Grafik 16. Inisiatif Awal Untuk Mengajukan Anggaran Tugas Pembantuan Di
Prov. Jatim ................................................................................................... 57
Grafik 17. Penilaian Terhadap Jenis Program Melalui Anggaran Tugas
Pembantuan Diusulkan Sesuai Kebutuhan/Tuntutan RPJMD dan RKPD ...... 58
Grafik 18. Penentuan Besarnya Anggaran Setiap Program Melalui Anggaran
Tugas Pembantuan di Prov. Jatim ................................................................ 59
Grafik 19. Penentu Pelaksanaan Tender Program Melalui Anggaran Tugas
Pembantuan di Prov. Jatim .......................................................................... 60
Grafik 20. Penilaian Pelaksanaan Program Tugas Pembantuan Dinilai Cukup Transparan Karena Diumumkan/Disampaikan Ke Instansi Eksekutif Dan
Legislatif Daerah Di Prov. Jatim ................................................................... 61
Grafik 21. Penilaian Pelaksanaan Program Melalui Anggaran Tugas
Pembantuan Di Daerah Dilaksanakan Secara Profesional Di Prov. Jatim ..... 62
Grafik 22. Penilaian Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Telah
Memberikan Manfaat Yang Besar Bagi Daerah Di Prov. Jatim ...................... 63
Grafik 23. Penilaian Terhadap Pembagian Kewenangan Urusan Konkuren Dalam PP 38/2007 Antara Pusat, Provinsi Dan Kab/Kota, Sulit Diterapkan
Untuk Program Yang Menggunakan Anggaran Tugas Pembantuan .............. 64
Grafik 24. Penilaian Terhadap Kewenangan Tugas Pembantuan Belum
Didukung Oleh Kapasitas Pemda Yang Memadai Di Prov. Jatim ................... 65
Grafik 25. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasi Dan Disinergikan Antara Pemda Kab/Kota Dengan Provinsi, Dan Antara Pemda Provinsi Dengan Kementerian/Lembaga
(Integrasi Vertikal) Di Provinsi Jatim ........................................................... 66
Grafik 26. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Antara Sektor Yang Satu Dengan
Sektor Yang Lain (Integrasi Sektoral) Di Provinsi Jatim ............................... 67
Grafik 27. Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasikan Dan Disinergitaskan Antara Wilayah/Kawasan Yang Satu Dengan Wilayah Yang
Lain Dalam Kab/Kota Dan Provinsi (Spatial Integration) Di Prov. Jatim ...... 68
Grafik 28. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Antara Tahun Anggaran Terdahulu
Dengan Tahun Anggaran Berikutnya (Integrasi Antar Waktu) ..................... 68
Grafik 44. Penilaian terhadap program melalui anggaran dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan dengan pola anggaran Tugas
Pembantuan (integrasi antar pola kewenangan konkuren) Prov. Kalteng ... 85
Grafik 45. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Dengan Pola Anggaran Desentralisasi
(Pola Kewenangan Konkuren Dengan Desentralisasi) Prov. Kalteng ............ 86
Grafik 46. Inisiatif Awal Untuk Mengajukan Anggaran Tugas Pembantuan Di
Prov. Kalteng ................................................................................................ 86
Grafik 47. Penilaian Terhadap Jenis Program Melalui Anggaran Tugas
Pembantuan Diusulkan Sesuai Kebutuhan/Tuntutan RPJMD dan RKPD
Prov. Kalteng
87
Grafik 48. Penentuan Besarnya Anggaran Setiap Program Melalui Anggaran
Tugas Pembantuan di Prov. Kalteng ............................................................. 88
Grafik 49. Penentu Pelaksanaan Tender Program Melalui Anggaran Tugas
Pembantuan di Prov. Kalteng ....................................................................... 88
Grafik 50. Penilaian Pelaksanaan Program Tugas Pembantuan Dinilai Cukup Transparan Karena Diumumkan/Disampaikan Ke Instansi Eksekutif Dan
Legislatif Daerah Di Prov. Kalteng ................................................................ 89
Grafik 51. Penilaian Pelaksanaan Program Melalui Anggaran Tugas
Pembantuan Di Daerah Dilaksanakan Secara Profesional Di Prov. Kalteng .. 90
Grafik 52. Penilaian Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Telah
Memberikan Manfaat Yang Besar Bagi Daerah Di Prov. Kalteng................... 90
Grafik 53. Penilaian Terhadap Pembagian Kewenangan Urusan Konkuren Dalam PP 38/2007 Antara Pusat, Provinsi Dan Kab/Kota, Sulit Diterapkan Untuk Program Yang Menggunakan Anggaran Tugas Pembantuan Prov.
Kalteng ......................................................................................................... 91
Grafik 54. Penilaian Terhadap Kewenangan Tugas Pembantuan Belum
Didukung Oleh Kapasitas Pemda Yang Memadai Di Prov. Kalteng ............... 92
Grafik 55. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasi Dan Disinergikan Antara Pemda Kab/Kota Dengan Provinsi, Dan Antara Pemda Provinsi Dengan Kementerian/Lembaga
(Integrasi Vertikal) Di Provinsi Kalteng ........................................................ 93
Grafik 56. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Antara Sektor Yang Satu Dengan
Sektor Yang Lain (Integrasi Sektoral) Di Provinsi Kalteng ........................... 94
Grafik 71. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Antara Sektor Yang Satu Dengan
Sektor Yang Lain (Integrasi Sektoral) Prov. Sulteng .................................. 108
Grafik 72. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergitaskan Antara Wilayah/Kawasan Yang
Satu Dengan Wilayah Yang Lain Dalam Kab/Kota Dan Provinsi Sulteng .... 109
Grafik 73. Penilaian terhadap program melalui anggaran Dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan antara tahun anggaran terdahulu
dengan tahun anggaran berikutnya (integrasi antar waktu) Prov. Sulteng 110
Grafik 74. Penilaian terhadap program melalui anggaran dekonsentrasi belum diintegrasikan dan disinergikan dengan pola anggaran Tugas
Pembantuan (integrasi antar pola kewenangan konkuren) Prov. Sulteng.. 111
Grafik 75. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Dekonsentrasi Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Dengan Pola Anggaran Desentralisasi
(Pola Kewenangan Konkuren Dengan Desentralisasi) Prov. Sulteng .......... 111
Grafik 76. Inisiatif Awal Untuk Mengajukan Anggaran Tugas Pembantuan Di
Prov. Sulteng .............................................................................................. 112
Grafik 77. Penilaian Terhadap Jenis Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Diusulkan Sesuai Kebutuhan/Tuntutan RPJMD dan RKPD
Prov. Sulteng
Grafik 78. Penentuan Besarnya Anggaran Setiap Program Melalui Anggaran
Tugas Pembantuan di Prov. Sulteng ........................................................... 113
Grafik 79. Penentu Pelaksanaan Tender Program Melalui Anggaran Tugas
Pembantuan di Prov. Sulteng ..................................................................... 114
Grafik 80. Penilaian Pelaksanaan Program Tugas Pembantuan Dinilai Cukup Transparan Karena Diumumkan/Disampaikan Ke Instansi Eksekutif Dan
Legislatif Daerah Di Prov. Sulteng .............................................................. 115
Grafik 81. Penilaian Pelaksanaan Program Melalui Anggaran Tugas
Pembantuan Di Daerah Dilaksanakan Secara Profesional Di Prov. Sulteng 115
Grafik 82. Penilaian Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Telah
Memberikan Manfaat Yang Besar Bagi Daerah Di Prov. Sulteng ................. 116
Grafik 83. Penilaian Terhadap Pembagian Kewenangan Urusan Konkuren Dalam PP 38/2007 Antara Pusat, Provinsi Dan Kab/Kota, Sulit Diterapkan Untuk Program Yang Menggunakan Anggaran Tugas Pembantuan Prov.
Sulteng ....................................................................................................... 117
Grafik 84. Penilaian Terhadap Kewenangan Tugas Pembantuan Belum
Didukung Oleh Kapasitas Pemda Yang Memadai Di Prov. Sulteng.............. 118
Grafik 85. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasi Dan Disinergikan Antara Pemda Kab/Kota Dengan Provinsi, Dan Antara Pemda Provinsi Dengan Kementerian/Lembaga
(Integrasi Vertikal) Di Provinsi Sulteng ...................................................... 119
Grafik 86. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Antara Sektor Yang Satu Dengan
Sektor Yang Lain (Integrasi Sektoral) Di Provinsi Sulteng ......................... 120
Grafik 87. Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasikan Dan Disinergitaskan Antara Wilayah/Kawasan Yang Satu Dengan Wilayah Yang
Lain Dalam Kab/Kota Dan Provinsi (Spatial Integration) Di Prov. Sulteng . 121
Grafik 88. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Antara Tahun Anggaran Terdahulu Dengan Tahun Anggaran Berikutnya (Integrasi Antar Waktu) Prov. Sulteng
Grafik 89. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Dengan Pola Anggaran Dekonsentrasi
(Integrasi Antar Pola Kewenangan Konkuren) Di Provinsi Sulteng ............ 123
Grafik 90. Penilaian Terhadap Program Melalui Anggaran Tugas Pembantuan Belum Diintegrasikan Dan Disinergikan Dengan Pola Anggaran Desentralisasi
(Integrasi Antar Pola Kewenangan Konkuren) Di Prov. Sulteng ................. 124 Grafik 91. Jumlah Program dibiayai Dana Dekonsentrasi ........................... 124 Grafik 92. Jumlah Program Dibiayai dana Tugas Perbantuan ..................... 125
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia sebagai negara kesatuan dalam sistem pemerintahannya menerapkan konsep otonomi daerah dalam melaksanakan sistem pemerintahannya. Pembagian kewenangan merupakan bagian penting dari sistem pemerintahan otonomi daerah. Pemetaan urusan kewenangan bersama antara pemerintah dan pemerintah daerah dalam perjalanannya menemui beberapa permasalahan, mulai dari proses perencanaannya sampai dengan pelaksanaannya. Berdasarkan hasil kunjungan lapang dan diskusi dengan stkaholder terkait di daerah, didapat banyak masukan terkait permasalahan serta upaya penyempurnaan pembagian kewenangan bersama pemerintah dan pemerintah daerah.
Salah satu contoh permasalahan yang cukup substansi dalam pembagian kewenangan urusan bersama adalah pada proses perencanaan dan pengganggaran antara pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masih belum bisa mengintergrasikan pelaksanaan kegiatan melalui dana dekonstrasi dan tugas pembantuan karena masih menggunakan perencanaan sistem top down. Pemerintah daerah hanya menerima pelaksanaan kegiatan yang diberikan dari Pusat.
Dalam kegiatan yang didanai dari dana dekonsentrasi dan TP sebagian besar Kementerian/Lembaga (K/L) belum mempertimbangkan kebutuhan pembangunan daerah dengan pengalokasian disesuaikan dengan prioritas pembangunan nasional dan prioritas pembangunan daerah.
Dalam mendukung langkah-langkah tersebut, maka perlu dilakukan penyusunan model analisis pembagian urusan kewenangan bersama pemerintah dan pemerintah daerah guna mendorong terwujudnya sinergi pusat dan daerah serta dibantu oleh Tenaga Ahli dalam bidang penyusunan model analisis pemetaan urusan kewenangan dimaksud.
1.2. Tujuan dan Sasaran
1) Tujuan Tujuan kegiatan ini adalah untuk menyusun model analisa pemetaan urusan kewenangan bersama pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka mendorong terwujudnya sinergi pusat dan daerah
2) Sasaran
a. Teridentifikasinya bentuk/model pemetaaan urusan kewenangan bersama pemerintah dan pemerintah daerah di beberapa provinsi dan kabupaten terpilih.
b. Terciptanya model pemetaaan urusan kewenangan bersama pemerintah dan pemerintah daerah;
c. Mendorong terwujudnya terwujudnya sinergi pusat dan daerah.
1.3. Hasil yang diharapkan
Tersusunnya 1 (satu) dokumen model analisa pemetaan urusan kewenangan bersama pemerintah dan pemerintah daerah dalam rangka mendorong terwujudnya sinergi pusat dan daerah.
1.4. Sistematika Laporan
Bab I Pendahuluan membahas tentang latar belakang, tujuan dan sasaran serta sistematika penulisan laporan. Bab II Kajian Pustaka membahas tentang hubungan kewenangan pusat dan daerah, Asas Dekonsentrasi dan Asas Tugas Pembantuan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan.
Bab III Hasil Kunjungan Lapang membahas tentang hasil FGD di 3 (tiga) provinsi yaitu Provinsi Jawa Timur, Kalimantan Tengah dan Sulawesi Tengah. Bab IV Pengolahan dan Analisis data membahas tentang hasil pengolahan data berdasarkan kuesioner dan masukan pada rapat koordinasi di Jakarta. Bab V Review Kajian Sebelumnya yaitu membahas tentang beberapa hasil kajian yang telah dilakukan sebelumnya berdasarkan penelusuran data sekunder.
Bab VI Kesimpulan dan Saran membahas tentang kesimpulan hasil kajian dan saran serta rekomendasi kebijakan pemetaan urusan bersama Pemerintah dan Pemerintah Daerah.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1. Hubungan Kewenangan Pusat-Daerah Menurut UU Nomor 32 Tahun 2004
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah ditegaskan bahwa penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dengan daerah otonom.
Pada dasarnya kewenangan pemerintahan dalam negara kesatuan adalah milik pemerintah pusat. Dengan kebijakan desentralisasi, pemerintah pusat menyerahkan kewenangan pemerintahan tersebut kepada daerah. Penyerahan wewenang terdiri dari:
Materi wewenang (semua urusan pemerintahan yang terdiri atas urusan pemerintahan umum dan urusan pemerintahan lainnya)
Manusia yang diserahi wewenang (masyarakat yang tinggal di daerah yang bersangkutan sebagai kesatuan masyarakat hukum)
Wilayah yang diserahi wewenang (daerah otonom, bukan wilayah administrasi)
Secara umum pola pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah digambarakan sebagai bagan 1 di bawah ini.
Bagan 1. Pola Kewenangan
Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan pemerintah pusat. Urusan pemerintahan tersebut menyangkut terjaminnya kelangsungan hidup bangsa dan negara secara keseluruhan, yakni urusan pemerintahan yang terdiri dari:
1. Politik Luar Negeri, dalam arti mengangkat pejabat diplomatik dan menunjuk warga negara untuk duduk dalam jabatan lembaga internasional, menetapkan kebijakan luar negeri, melakukan perjanjian dengan negara lain, menetapkan kebijakan perdagangan luar negeri, dan sebagainya;
2. Pertahanan, misalnya mendirikan dan membentuk angkatan bersenjata, menyatakan damai dan perang, menyatakan negara atau sebagian wilayah negara dalam keadaan bahaya, membangun dan mengembangkan sistem pertahanan negara dan persenjataan, menetapkan kebijakan untuk wajib militer, bela negara bagi setiap warga negara dan sebagainya;
3. Keamanan, misalnya mendirikan dan membentuk kepolisian negara, menindak kelompok atau organisasi yang kegiatannya mengganggu keamanan negara, dan sebagainya;
4. Moneter, misalnya mencetak uang dan menentukan nilai mata uang, menetapkan kebijakan moneter, mengendalikan peredaran uang, dan sebagainya;
5. Yustisi, misalnya mendirikan lembaga peradilan, mengangkat hakim dan jaksa, mendirikan lembaga pemasyarakatan, menetapkan kebijakan kehakiman keimigrasian, memberikan grasi, amnesti, abolisi, membentuk undang-undang, peraturan pemerintah pengganti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan lain yang berskala nasional, dan lain sebagainya;
6. Agama, misalnya menetapkan hari libur keagamaan yang berlaku secara nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan dan sebagainya; dan bagian tertentu urusan pemerintah lainnya yang berskala nasional, tidak diserahkan kepada daerah.
Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintah yang bersifat concurrent, yaitu urusan pemerintahan yang penanganannya dalam bagian atau bidang tertentu dapat dilaksanakan bersama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap urusan yang bersifat concurrent senantiasa ada bagian urusan yang menjadi kewenangan pemerintah pusat, ada bagian urusan yang diserahkan kepada provinsi, dan ada bagian urusan yang diserahkan kepada kabupaten/kota.
Untuk mewujudkan pembagian kewenangan yang concurrent secara proporsional antar pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota, maka kriteria yang dapat digunakan antara lain meliputi: eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi dengan mempertimbangkan keserasian hubungan pengelolaan urusan pemerintahan antar tingkat pemerintahan. Kriteria eksternalitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan dampak/akibat yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan tersebut. Apabila dampak yang ditimbulkan bersifat lokal, maka urusan pemerintahan tersebut menjadi kewenangan kabupaten/kota. Apabila bersifat regional menjadi kewenangan provinsi dan apabila bersifat nasional menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat digambarkan pada bagan di bawah ini mengenai anatomi urusan pemerintahan pusat dan daerah seperti bagan 2 di bawah ini.
Bagan 2. Anatomi Urusan Pemerintahan
Kriteria akuntabilitas adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan pertimbangan bahwa tingkat pemerintahan yang menangani sesuatu bagian urusan adalah tingkat pemerintahan yang lebih langsung/dekat dengan dampak/akibat dari urusan yang ditangani tersebut. Dengan demikian akuntabilitas penyelenggaraan bagian urusan pemerintahan tersebut kepada masyarakat akan lebih terjamin.
Kriteria efisiensi adalah pendekatan dalam pembagian urusan pemerintahan dengan mempertimbangkan tersedianya sumber daya (personil,dana, dan peralatan) untuk mendapatkan ketepatan, kepastian, dan kecepatan hasil yang harus dicapai dalam penyelenggaraan bagian urusan. Artinya apabila suatu bagian urusan dalam penanganannya dipastikan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna dilaksanakan oleh provinsi dan /atau kabupaten/kota dibandingkan apabila ditangani oleh pemerintah pusat, maka bagian urusan tersebut diserahkan kepada provinsi dan/atau kabupaten/kota. Sebaliknya apabila suatu bagian urusan akan lebih berdaya guna dan berhasil guna bila ditangani oleh pemerintah pusat, maka bagian urusan tersebut tetap ditangani oleh pemerintah pusat. Untuk itu, pembagian bagian urusan harus disesuaikan dengan memperhatikan ruang lingkup wilayah beroperasinya bagian urusan pemerintahan tersebut. Ukuran daya guna dan hasil guna tersebut dilihat dari besarnya manfaat yang dirasakan oleh masyarakat dan besar kecilnya risiko yang harus dihadapi.
Keserasian hubungan adalah bahwa pengelolaan bagian urusan pemerintahan yang dikerjakan oleh tingkat pemerintahan yang berbeda, bersifat saling berhubungan (interkoneksi), saling tergantung (interdependensi) dan saling mendukung sebagai satu kesatuan sistem dengan memperhatikan cakupan kemanfaatan. Pembagian urusan pemerintahan sebagaimana tersebut di atas, ditempuh melalui mekanisme penyerahan dan/atau pengakuan atas usul daerah terhadap bagian urusan-urusan pemerintahan yang akan diatur dan diurusnya. Berdasarkan usulan tersebut, pemerintah akan melakukan verifikasi terlebih dahulu sebelum memberikan pengaturan atas bagian urusan yang akan dilaksanakan oleh daerah.
Konsekuensi dari pendekatan tersebut adalah bahwa untuk pelayanan yang bersifat dasar ( basic services) maupun pelayanan-pelayanan untuk pengembangan usaha ekonomi masyarakat atas pertimbangan efisiensi, akuntabilitas dan eksternalitas Konsekuensi dari pendekatan tersebut adalah bahwa untuk pelayanan yang bersifat dasar ( basic services) maupun pelayanan-pelayanan untuk pengembangan usaha ekonomi masyarakat atas pertimbangan efisiensi, akuntabilitas dan eksternalitas
Dalam Bab III Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah ditegaskan bahwa pemerintah daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang tentang pemerintahan daerah ini ditentukan menjadi urusan pemerintah (politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama). Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten/kota ke desa. Urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah terdiri atas urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib dalam kaitan ini adalah urusan yang sangat mendasar yang berkaitan dengan hak dan pelayanan dasar warga negara, antara lain perlindungan hak konstitusional; perlindungan kepentingan nasional, kesejahteraan masyarakat, ketentraman dan ketertiban umum dalam kerangka menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia; pemenuhan komitmen nasional yang berhubungan dengan perjanjian dan konvensi internasional.
Sedangkan urusan pilihan dalam kaitan ini adalah urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara Sedangkan urusan pilihan dalam kaitan ini adalah urusan yang secara nyata ada di daerah dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan dan potensi unggulan daerah. Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal, dilaksanakan secara
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah provinsi merupakan urusan dalam skala provinsi yang meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
g. penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota; i.
fasilitasi pengembangan koperasi,usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
j. pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan termasuk lintas kabupaten/kota; l.
pelayanan kependudukan dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh
kabupaten/kota; dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.
Urusan pemerintahan provinsi yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah provinsi yang bersangkutan.
Urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah untuk kabupaten/kota merupakan urusan berskala kabupaten/kota meliputi:
a. perencanaan dan pengendalian pembangunan;
b. perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. penanganan bidang kesehatan;
f. penyelenggaraan pendidikan;
g. penanggulangan masalah sosial;
h. pelayanan bidang ketenagakerjaan; i.
fasilitasi pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah; j.
pengendalian lingkungan hidup; k. pelayanan pertanahan; l.
pelayanan kependudukan, dan catatan sipil; m. pelayanan administrasi umum pemerintahan; n. pelayanan administrasi penanaman modal; o. penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya;dan p. urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan. q. Urusan pemerintahan kabupaten/kota yang bersifat pilihan meliputi urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
r. Dengan demikian, hubungan pusat-daerah dalam bidang kewenangan akan terlihat dalam pelaksanaan berbagai urusan yang bersifat concurrent dan urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintah daerah.
Bagan 3. Urusan Pemerintahan Yang Diotonomikan
2.2. Asas Dekonsentrasi
Pembantuan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Disamping itu, sebagai konsekuensi negara kesatuan memang tidak dimungkinkan semua wewenang
pemerintah didesentralisasikan dan diotonomkan sekalipun kepada daerah. 1 Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah
1 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan
2 Ibid. 3
Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. 4 Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota.
Dasar pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu:
a. terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
b. terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar daerah;
c. terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan antarpemerintahan di daerah;
d. teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keanekaragaman sosial budaya daerah;
e. tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, serta pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum masyarakat; dan
f. terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam system administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2
Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan prosedur penugasan Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang disertai
pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi penugasan. Tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum.
dengan
kewajiban
melaporkan
2 Ibid.
Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa.
Tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah dan/atau desa meliputi sebagian tugas-tugas Pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah dan/atau desa akan lebih efisien dan efektif. Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota dan/atau desa meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta sebagian tugas pemerintahan dalam bidang tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada desa mencakup sebagian tugas-tugas kabupaten/kota di bidang pemerintahan yang menjadi wewenang kabupaten/kota.
Penyelenggaraan ketiga asas sebagaimana diuraikan tersebut di atas memberikan konsekuensi terhadap pengaturan pendanaan. Semua urusan pemerintahan yang sudah diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah harus didanai dari APBD, sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah harus didanai dari APBN melalui bagian anggaran kementerian/lembaga. Pengaturan pendanaan kewenangan Pemerintah melalui APBN mencakup pendanaan sebagian urusan pemerintahan yang akan dilimpahkan kepada gubernur berdasarkan asas dekonsentrasi, dan sebagian urusan pemerintahan yang akan ditugaskan kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan atas penyelenggaraan asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan 3
3 Pasal 2 Ayat (3) Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
Perimbangan keuangan dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah yang dalam system pengaturannya tidak hanya mencakup aspek pendapatan daerah, tetapi juga aspek pengelolaan dan pertanggungjawaban. Sejalan dengan hal itu, maka penyerahan wewenang pemerintahan, pelimpahan wewenang pemerintahan, dan penugasan dari Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan juga harus diikuti dengan pengaturan pendanaan dan pemanfaatan sumber daya nasional secara efisien dan efektif.
Bagan 4. Struktur Belanja Pemerintah Berdasarkan Pembagian Kewenangan
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagaimana yang diuraikan di atas, maka penyelenggaraan dan pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan menjadi sangat penting untuk diberikan pengaturan secara lebih mendasar dan Berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagaimana yang diuraikan di atas, maka penyelenggaraan dan pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan menjadi sangat penting untuk diberikan pengaturan secara lebih mendasar dan
Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan
dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi 4 . Penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (PP 7/2008), meliputi:
a. pelimpahan urusan pemerintahan;
b. tata cara pelimpahan;
c. tata cara penyelenggaraan; dan
d. tata cara penarikan pelimpahan. Pengelolaan dana dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. prinsip pendanaan;
b. perencanaan dan penganggaran;
c. penyaluran dan pelaksanaan; dan
d. pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan dekonsentrasi. Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. penyelenggaraan dekonsentrasi; dan
b. pengelolaan dana dekonsentrasi. Penyelenggaraan tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. penugasan urusan pemerintahan;
b. tata cara penugasan;
c. tata cara penyelenggaraan; dan
d. penghentian tugas pembantuan. Pengelolaan dana tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. prinsip pendanaan;
b. perencanaan dan penganggaran;
4 Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
c. penyaluran dan pelaksanaan; dan
d. pengelolaan barang milik negara hasil pelaksanaan tugas pembantuan. Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. penyelenggaraan tugas pembantuan; dan
b. pengelolaan dana tugas pembantuan. Pelimpahan Urusan Pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi
berdasarkan Pasal 11 PP 7/2008 meliputi: (1) Pelimpahan sebagian urusan pemerintahan dapat dilakukan kepada gubernur. (2) Selain dilimpahkan kepada gubernur, sebagian urusan pemerintahan dapat pula dilimpahkan kepada: (a) instansi vertikal; (b) pejabat Pemerintah di daerah. Jangkauan pelayanan atas penyelenggaraan sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan dapat melampaui satu wilayah administrasi pemerintahan provinsi.
Untuk urusan pemerintahan yang dapat dilimpahkan kepada gubernur dalam Pasal 13 ayat (3) PP 7/2008, didanai dari APBN bagian anggaran kementerian/lembaga melalui dana dekonsentrasi. Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat non-fisik. Penyaluran dana dekonsentrasi dilakukan oleh Bendahara Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara. Penerimaan sebagai akibat pelaksanaan dekonsentrasi merupakan penerimaan negara dan wajib disetor oleh Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran ke Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundangundangan. Semua barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan dana dekonsentrasi merupakan barang milik negara. Barang milik negara tersebut dapat dihibahkan kepada daerah.
Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi bertanggung jawab atas pelaporan kegiatan dekonsentrasi. Kepala SKPD provinsi selaku Kuasa Pengguna
Anggaran/Barang dekonsentrasi bertanggung jawab atas pelaksanaan dana dekonsentrasi.
Berkenaan dengan tugas pembantuan, pemerintah dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan. Pemerintah provinsi, juga dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan provinsi, serta, Pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan diluar 6 (enam) urusan yang bersifat mutlak yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah provinsi. Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa didanai dari APBN bagian anggaran kementerian/lembaga melalui dana tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa didanai dari APBD provinsi. Urusan pemerintahan yang ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa didanai dari APBD kabupaten/kota.
Pendanaan dalam rangka tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat fisik. Semua barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan dana tugas pembantuan merupakan barang milik negara. Barang milik negara dapaT dihibahkan kepada daerah. Penghibahan, penatausahaan, penggunaan dan pemanfaatan barang Pendanaan dalam rangka tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat fisik. Semua barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan dana tugas pembantuan merupakan barang milik negara. Barang milik negara dapaT dihibahkan kepada daerah. Penghibahan, penatausahaan, penggunaan dan pemanfaatan barang
Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan juga mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi atau kabupaten/kota selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Barang tugas pembantuan bertanggung jawab atas pelaksanaan dana tugas pembantuan.
pengelolaan dan pertanggungjawaban dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan berupa pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan kinerja berupa pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri dari pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi serta aspek efektivitas. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern Pemerintah.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi.
2. Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas.
3. Pemeriksaan atas dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan oleh BPK dan dan pemeriksaan meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
2.3. Review Kajian Sebelumnya
Dari hasil review terhadap kajian dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan yang sudah dilakukan sebelumnya, diantaranya Beny Trias Oktora 5
menunjukkan gambaran sebagai berikut:
2.3.1. Implementasi Kebijakan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan
Kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang telah dilaksanakan sejak tahun 2001 adalah dalam rangka mendukung pencapaian tujuan pembangunan nasional. Seiring dengan perubahan dinamika sosial politik, Pemerintah telah melakukan revisi beberapa materi dalam undang-undang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal dengan ditetapkannya Undang-undang (UU) Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Substansi perubahan kedua undang-undang tersebut adalah semakin besarnya kewenangan pemerintah daerah dalam mengelola pemerintahan dan keuangan daerah. Dengan demikian diharapkan pembangunan daerah dapat berjalan sesuai dengan aspirasi, kebutuhan, dan prioritas daerah, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi regional, yang pada gilirannya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Instrumen utama kebijakan desentralisasi fiskal adalah melalui kebijakan Transfer ke Daerah, yang terdiri dari Dana Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus. Adapun Dana Perimbangan terdiri dari Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK), yang merupakan komponen terbesar dari dana Transfer ke Daerah.
Selain dana desentralisasi tersebut, Pemerintah juga mengalokasikan dana untuk membiayai program dan kegiatan yang menjadi kewenangan Pemerintah di daerah, yaitu dana dekonsentrasi, dana tugas pembantuan, dan dana untuk melaksanakan
5 Beny Trias Oktora, SE, MA, Analis Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan, Kepala Subbidang Penyiapan Bahan Analisa Kebijakan Moneter, Kemenko Perekonomian, Pengalihan Kegiatan Dekonsentrasi dan Tugas
Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah ke Dana Alokasi Khusus (DAK), 2013 Pembantuan yang merupakan Urusan Daerah ke Dana Alokasi Khusus (DAK), 2013
Berdasarkan PP No. 38 Tahun 2007 menjelaskan bahwa Dana Dekonsentrasi merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di daerah. Dana ini timbul karena adanya pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah (WP) dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
Sementara itu Dana Tugas Pembantuan (TP) merupakan dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan. Dana ini berdasarkan adanya penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten, atau kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten, atau kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu dengan kewajiban melaporkan dan mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
Bila dilihat berdasarkan dari landasan hukum, maka kebijakan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan adalah sebagai berikut:
1) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2) UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah.
3) PP No. 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah.
4) PP No. 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga.
5) PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota.
6) PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. Untuk tidak melebarkan masalah pada pembahsan ini, penulis memfokuskan pada salah satu daerah propinsi, yaitu propinsi Maluku Utara dengan bahasan dekonsentrasi yang meliputi kegiatan malaria, kesehatan ibu dan gizi serta dana tugas pembantuan pada kegiatan upaya kesehatan masyarakat dan upaya kesehatan perorangan.