Pengalihan Program Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang Merupakan Urusan Daerah Ke Dana Alokasi Khusus (DAK)

2.3.2. Pengalihan Program Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang Merupakan Urusan Daerah Ke Dana Alokasi Khusus (DAK)

Prasyarat untuk menghadirkan desentralisasi atau dalam cakupan yang lebih luas otonomi daerah sesungguhnya ada yang terlewat jauh atau lebih tepatnya belum tuntas benar adalah konsensus bersama untuk menyepakati batas-batas mana yang menjadi urusan pemerintah pusat dan yang menjadi urusan pemerintahan daerah. Penuntasan atas mana yang menjadi urusan pusat dan urusan daerah yang belum benar-benar rampung menyisakan kendala dan menjadi persoalan serius terutama dalam pelaksanaan urusan baik di pusat maupun di daerah pasca pelaksanaan desentralisasi/otonomi daerah. Kemudian pembagian urusan yang belum tuntas tadi merambat dalam pelaksanaan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang sejatinya adalah untuk menunaikan urusan pusat yang ada di daerah menjadi media dari kementerian/lembaga untuk ikut melaksanakan dan mendanai urusan daerah dengan alasan yang bisa dibenarkan dengan argumentasi serta intepretasi dari sudut pandang masing-masing kementerian/lembaga.

Pengalihan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke Dana Alokasi Khusus (DAK) merupakan amanat Pasal 108 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Permintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Disamping itu, dengan adanya temuan BPK RI bahwa masih ada dana pemerintah pusat yang membiayai urusan daerah melalui dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan sehingga BPK RI merekomendasi untuk mengalihkan dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang membiayai urusan daerah ke mekanisme DAK.

Pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan pasca implementasi desentralisasi/otonomi daerah mengungkapkan data dan fakta yang cukup mengejutkan semua pemangku kepentingan. Keterkejutan bukan hanya dari sisi keuangan negara semata juga memunculkan kekhawatiran bahwa otonomi daerah terancam keberlangsungannya karena urusan-urusan yang harusnya dilaksanakan oleh Pelaksanaan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan pasca implementasi desentralisasi/otonomi daerah mengungkapkan data dan fakta yang cukup mengejutkan semua pemangku kepentingan. Keterkejutan bukan hanya dari sisi keuangan negara semata juga memunculkan kekhawatiran bahwa otonomi daerah terancam keberlangsungannya karena urusan-urusan yang harusnya dilaksanakan oleh

Proses identifikasi internal Kemenkeu (Ditjen Perimbangan Keuangan dan Ditjen Anggaran) dan dilanjutkan dengan Kemenneg PPN/Bappenas dan kementerian/lembaga dilakukan atas 16 RKA-KL TA 2012. Dengan menggunakan data RAK-KL TA 2012 juga menyimpan kelemahan dan mungkin moral hazzard dari kementerian/lembaga. Kemungkinan bisa terjadi hasil identifikasi atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah pada TA 2012 tidak direncanakan dan tidak dianggarkan kembali oleh kementerian/lembaga. Yang dimaksud dengan indikasi moral hazzard adalah untuk menghindari kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah hasil identifikasi kementerian/lembaga menghilangkan kegiatan tersebut pada TA 2013 dengan mengganti kegiatan lain.

Sejak dari hulu yaitu dalam proses perencanaan dan penganggaran program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan berpotensi untuk menjadikan program/kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan melaksanakan urusan daerah. Sebagai akibat minimnya sosialisasi atas pembagian urusan di legislatif dan eksekutif (dalam hal ini adalah kementerian/lembaga) berimplikasi pada tumbuh suburnya pemikiran yang sifatnya sektoral tanpa mengindahkan pembagian urusan yang diatur dalam PP No. 38/2007. Kembali juga terungkap bahwa walaupun penanggungjawab semua urusan pada akhirnya adalah pemerintah pusat, kementerian/lembaga terikat dengan kontrak kinerja dengan presiden untuk melaksanakan urusan yang merupakan urusan daerah.

Sesuai prinsip money follows function (kewenangan mengikuti fungsi) berimplikasi dengan hilangnya kewenangan untuk pendanaan atas urusan yang Sesuai prinsip money follows function (kewenangan mengikuti fungsi) berimplikasi dengan hilangnya kewenangan untuk pendanaan atas urusan yang

Capaian desentralisasi/otonomi daerah, yang sudah menginjak usia 10 tahun, memang masih jauh dari yang diharapkan. Tesis yang paling mahsyur tentang adanya pemerintah lokal (dibentuk dengan prinsip demokrasi) yang menciptakan kedekatan untuk menyediakan barang publik yang sesuai preferensi publik lokal (baca rakyat di daerah) sehingga menciptakan efisiensi penyediaan barang publik dan pada akhirnya adalah kesejahteraan menjadi antitesis untuk beberapa contoh kasus di Indonesia. Sebagai contoh yang cukup menguncang adalah adanya kasus gizi buruk di daerah yang dengan tesis tersebut di atas bisa langsung diatasi langsung oleh pemerintah daerah hasil dari pilkada. Dengan bercermin dari fakta itu, menjadi kekhawatiran jika terjadi pengalihan besar-besaran atas kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang melaksanakan urusan daerah ke DAK. Seperti sudah diulas sebelumnya, kementerian/lembaga mempunyai kontrak kinerja dengan presiden untuk melaksanakan suatu misi (baca urusan) yang menjadi urusan daerah dengan ukuran kinerja tertentu. Jika urusan ini dikembalikan ke daerah menimbulkan sejumlah kekhawatiran yaitu:

1) Kemampuan SDM di daerah dalam melaksanakan urusan tertentu dengan indikator kinerja yang spesifik.

2) Dengan koordinasi yang masih belum sungguh benar terintegrasi dan faktor politis maka kontrol atas urusan yang menjadi kontrak kinerja akan sulit dilakukan. Yang pada akhirnya kontrak kinerja tidak dapat tercapai.

3) Skema pendanaan dengan DAK atas urusan daerah dinilai oleh kementerian/lembaga diragukan efektifitasnya berkaitan dengan aturan yang ada 3) Skema pendanaan dengan DAK atas urusan daerah dinilai oleh kementerian/lembaga diragukan efektifitasnya berkaitan dengan aturan yang ada

Beranjak ke faktor teknis yang terkandung dalam kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dan DAK memunculkan dikotomi ataupun kontrakdiksi satu sama lain antara keduanya. Dikotomi yang pertama adalah dari sifat kegiatan dekonsentrasi yang bersifat non fisik yang berupa kegiatan koordinasi, bimbingan teknis dan sejenisnya yang ditujukan kepada sesama aparatur di daerah sedangkan kegiatan DAK bersifat fisik. Kemudian adalah adanya ketentuan dana pendamping yang harus dialokasikan dalam APBD untuk kegiatan DAK bisa memberatkan daerah. Dengan terbatasnya bidang dari DAK tidak bisa menampung kegiatan tugas pembantuan yang tidak sesuai dengan bidang DAK yang ada saat ini menambah daftar dikotomi selanjutnya.

Jangka waktu pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yang sesuai aturan PP No. 7/2008 yaitu dimulai 2 tahun sejak tahun 2008 sudah dilakukan oleh beberapa kementerian, sebagai contoh adalah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kementerian Pendidikan Nasional dan Kebudayaan sudah melakukan pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yaitu kegiatan BOS. Namun dalam pelaksanaannya ada beberapa daerah tidak bisa melaksanakan secara optimal sehingga ada indikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meminta kembali pengelolaan Dana BOS.

Kendala dan fakta proses pengalihan kegiatan dekonsentrasi dan tugas pembantuan yang merupakan urusan daerah ke DAK yang sudah diuraikan dapat dikategorikan kedalam 4 (empat) kelompok utama kendala dan fakta pengalihan yaitu:

1) Kendala dan fakta dari sisi metode pendekatan dalam mengklasifikasikan pembagian urusan pemerintahan (yang menjadi faktor utama).

2) Dengan masih dominannya peran pemerintah pusat dalam melaksanakan semua urusan pasca implementasi desentraslisasi/otonomi daerah mengaburkan posisi masing-masing layer pemerintahan.

3) Dengan usia desentraslisasi/otonomi daerah yang sudah 10 tahun, kemampuan daerah dalam melaksanakan urusan wajib masih terbatas sungguh menjadi ironi yang mematahkan tesis desentralisasi/otonomi daerah.

4) Kesinkronan aturan teknis menjadi kendala yang cukup signifikan menjadi ganjalan untuk merampungkan pengalihan secara tuntas.