Kohesi Leksikal

B. Kohesi Leksikal

Kepaduan wacana selain didukung oleh aspek gramatikal atau kohesi gramatikal juga didukung oleh aspek leksikal atau kohesi leksikal, yaitu hubungan antarunsur dalam wacana secara sistematis. Dalam hal ini menghasilkan wacana yang padu pembicara atau penulis dapat menempuhnya dengan cara memilih kata- kata yang sesuai dengan isi kewacanaan yang dimaksud.

Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai.

(72) Dheweke pancen detektip. Profesine detektip. (JK/10)

‘Dia memang detektif. Profesinya detektif.’

Dari data (72) di atas terdapat repetisi epistrofa detektip ‘detektif’ yang diulang pada akhir kalimat. Pengulangan kata tersebut menunjukkan bahwa kehadiran kata detektip ‘detektif’ penting dalam kalimat.

Kemudian data (72) di uji dengan teknik BUL untuk membagi unsur langsungnya menjadi berikut. (72a) Dheweke pancen detektip.

‘Dia memang detektif’

(72b) Profesine detektip. ‘Profesinya detektif.’

Data (72) kemudian dianalisis dengan teknik lesap menjadi seperti berikut. (72c) Dheweke pancen Ø. Profesine Ø.

‘Dia memang Ø. Profesinya Ø.’ Setelah data (72) dianalisis dengan teknik lesap ternyata kalimatnya

menjadi tidak gramatikal dan maknanya menjadi tidak jelas. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran detektip ‘detektif’ sangat diperlukan.

2. Sinonimi (Padan Kata)

Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain.

wacana. Sinonimi berfungsi untuk menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana.

(73) ‘Tekan ngarep lawang, nginguk manjero, jebul kamare amba, jembar, padhang […]. (JK/6). ‘Sampai depan pintu, melihat ke dalam, ternyata kamarnya lebar, luas, terang […].’

Berdasarkan kutipan yang ditampilkan di atas terlihat bahwa kata amba ‘luas’ bersinonim dengan kata jembar ‘luas’. Dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa sinonimi di atas merupakan sinonimi kata dengan kata.

Selanjutnya data (73) dibagi unsur langsungnya dengan teknik BUL seperti berikut.

(73a) Tekan ngarep lawang , nginguk manjero, jebul amba,

‘Sampai di depan pintu, melihat ke dalam, ternyata kamarnya luas,

(73b) [...], jembar, padhang [...]. ‘[...], luas, terang [...].’

Data (73) di atas kemudian diuji dengan teknik lesap untuk menguji kadar keintiannya menjadi sebagai berikut. (73c) ‘Tekan ngarep lawang, nginguk manjero, jebul kamare Ø, Ø,

padhang […]. (JK/6). ‘Sampai depan pintu, melihat ke dalam, ternyata kamarnya lebar, luas, terang […].’

Setelah data (73) di atas mengalami pelesapan ternyata kalimatnya menjadi tidak gramatikal dan tidak berterima sehingga kehadiran kata amba ‘lebar’ dan jembar ‘luas’ mutlak diperlukan. Penerapan teknik ganti sudah tidak diperlukan karena kedua kata tersebut sudah saling menggantikan.

ngoblah-oblah ‘luas sekali’ bersinonim dengan frasa amba banget ‘lebar sekali’. Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sinonimi di atas merupakan sinonimi kata dengan frasa.

Kemudian data (74) di atas diuji dengan teknik lesap menjadi seperti berikut. (74a) [...] njerone Ø Ø.

‘[...] dalamnya Ø Ø.’

Setelah mengalami pelesapan pada data (74a) di atas ternyata terlihat bahwa kalimat tersebut menjadi tidak gramatikal. Hal ini menunjukkan kehadiran kata ngoblah-ngoblah ‘luas sekali’ dan amba banget ‘lebar sekali’ sangat diperlukan. Teknik ganti sudah tidak diperlukan lagi karena kedua kata tersebut sudah saling menggantikan.

(75) Pamomong wadon, utawa emban. (JK/10).

‘Pengasuh perempuan, atau pengasuh perempuan.’

Berdasarkan kutipan yang ditampilkan di atas terlihat bahwa kata

pamomong wadon ‘pengasuh perempuan’ bersinonim dengan kata emban

‘pengasuh perempuan’. Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sinonimi di atas merupakan sinonimi frasa dengan kata.

Kemudian data (75) di atas dianalisis dengan teknik lesap menjadi sebagai berikut. (75a) Ø, utawa Ø.

‘Ø, atau Ø.’ Dari hasil analisis pada data (75a) di atas menunjukkan bahwa kalimat ‘Ø, atau Ø.’ Dari hasil analisis pada data (75a) di atas menunjukkan bahwa kalimat

(76) Jelas bangunan kolonial, bangunan jaman Landa biyen. (JK/5).

‘Jelas bangunan kolonial, bangunan jaman Belanda dulu.’

Berdasarkan kutipan yang ditampilkan di atas terlihat bahwa frasa

bangunan kolonial ‘bangunan kolonial’ bersinonim dengan frasa bangunan

jaman Landa ‘bangunan zaman Belanda’. Dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa sinonimi di atas merupakan sinonimi frasa dengan frasa.

Selanjutnya data (76) di atas dibagi unsur langsungnya dengan teknik BUL menjadi sebagai berikut. (76a) Jelas bangunan kolonial,

‘Jelas bangunan kolonial,

(76b) [...] bangunan jaman Landa. ‘[...] bangunan zaman Belanda.’

Kemudian data (76) di atas dianalisis dengan teknik lesap menjadi seperti berikut. (76c) Jelas Ø, Ø biyen.

‘Jelas Ø, Ø biyen.’

Dari hasil analisis di atas terlihat bahwa frasa bangunan kolonial ‘bangunan kolonial’ dan bangunan jaman Landa ‘bangunan zaman Belanda’ wajib hadir agar kalimat tersebut menjadi gramatikal. Penerapan teknik ganti pada data (76) di atas sudah tidak diperlukan karena kedua

Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu, misalnya dalam jaringan kemiliteran akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah kemiliteran dan orang- orang yang terlibat di dalamnya. Kata-kata seperti peleton, batalyon, kompi, misalnya merupakan contoh kata-kata yang cenderung dipakai secara berdampingan dalam domain militer atau jaringan kemiliteran. Dalam novel ini terdapat pemakaian kolokasi yaitu diantaranya.

(77) “Wah! Enggal kawin wae! Saiki prawan-prawan kita ayu-ayu nemen tinimbang jaman aku isih jaka. (JK/26). ‘Wah! Segera menikah saja! gadis-gadis sekarang cantik-cantik sekali daripada jaman mudaku dulu.’

Contoh di atas tampak pemakaian kata prawan-prawan ‘para gadis’, ayu-ayu ‘cantik-cantik’ yang saling berkolokasi dan mendukung kepaduan wacana tersebut.

(78) “Wong kaya ngono kuwi dibacok wae, karo arit sing gedhi, kaya perkakas kebon sing wingi disingkir-singkirake saka kamarku kae!” (JK/129) “Orang seperti itu disabit saja, dengan sabit yang besar, seperti

peralatan kebun yang disingkirkan dari kamarku itu!”

Pada data (78) di atas terdapat pemakaian kata dibacok ‘disabit’, arit ‘sabit’, dan perkakas kebon ‘peralatan kabun’ yang saling berkolokasi.

4. Hiponimi (Hubungan Atas-Bawah)

Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat)

(79) Kahanane dicukupi mawa perkakas kantor kang modern. Ana meja kantor telu sakursi-kursine ditata ngubengi kamar, rak buku lan

lemari mepet temboke. Ing meja-mejane ana tumpukan buku, piranti

nulis, mesin ketik standar. (JK/6) ‘Kamar luas itu sepertinya dijadikan kantor. Tempatnya dilengkapi dengan peralatan kantor yang modern. Ada meja kantor tiga beserta kursi-kursinya ditata mengelilingi kamar, rak buku dan lemari berhimpitan dengan tembok. Di meja-mejanya ada tumpukan buku, alat tulis, mesin ketik standar.

Data di atas yang menjadi hipernim perkakas kantor ‘peralatan kantor’ dan sebagai hiponimnya adalah meja kantor ‘meja kantor’, kursi-

kursi ‘kursi-kursi’, rak buku ‘rak buku’, lemari ‘almari’, tumpukan buku

‘tumpukan buku’, piranti nulis ‘peralatan tulis’, mesin ketik ‘mesin ketik’.

5. Antonimi (Lawan Kata)

Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk nama benda atau hal lain; atau satuan lingual yang maknanya berlawanan atau beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan samai kepada yang hanya kontras makna saja.

(80) “Mau mati, saiki kok murup! Mangka baneke wong rak ya mung sing pancakara mau? Mesthine ya wong-wong kuwi sing mlebu omah terus munggah loteng, lan ngurupake lampu,” pangunandikane Handaka. (JK/19).

“Tadi padam, sekarang kok menyala! Padahal sepertinya hanya ada

Handaka.’

Contoh di atas terdapat oposisi mutlak, yaitu pertentangan makna secara mutlak antara kata mati ‘padam’ dan murup ‘ menyala’.

Kemudian data (80) di atas dibagi unsur langsungnya menjadi sebagai berikut. (80a) “Mau mati, saiki murup!

‘Tadi padam, sekarang menyala.’

(80b) Mangka baneke wong rak ya mung sing pancakara mau? Mesthine ya wong-wong kuwi sing mlebu omah terus munggah loteng, lan ngurupake lampu,” pangunandikane Handaka.

‘Padahal sepertinya hanya ada orang yang berkelahi tadi? Seharusnya hanya orang-orang itu yang masuk rumah lalu naik ke atas dan menyalakan lampu,” gumam Handaka.’

Data (80a) di atas dianalisis dengan teknik lesap menjadi berikut. (80c) “Mau Ø, saiki Ø!

‘Tadi Ø, sekarang Ø!’ Dari hasil analisis di atas, setelah kata mati ‘padam’ dan kata murup

‘menyala’ dilesapkan ternyata kalimatnya menjadi tidak gramatikal. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran kedua kata tersebut mutlak diperlukan.

(81) […] subasitane wong enom marang wong kang luwih tuwa. (JK/7).

‘[…] sopan santunnya yang muda kepada yang lebih tua.’

Contoh di atas juga terdapat oposisi kutub, yaitu pertentangan makna antara kata enom ‘muda’ dan tuwa ‘tua’.

(82) Nanging Adib Darwan wonge ramah-tamah, tindak-tanduke

simpatik! Sing katon judhes iku Nyonyah Adib Darwan. ‘Tetapi Adib Darwan itu orangnya ramah, perilakunya juga baik! Yang terlihat galak yaitu Nyonyah Adib Darwan.’ simpatik! Sing katon judhes iku Nyonyah Adib Darwan. ‘Tetapi Adib Darwan itu orangnya ramah, perilakunya juga baik! Yang terlihat galak yaitu Nyonyah Adib Darwan.’

6. Ekuivalensi (Kesepadanan)

Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan, misalnya hubungan makna antara kata ditresnani ‘dicintai’, katresnan ‘kesetiaan’, katresnane ‘kecintaannya’ semuanya dibentuk dari bentuk asal yang sama yaitu tresna ‘cinta/ setia’.

(83) “Saben lawang kamar kayune pasangan rong lembaran, gedhe lan

dhuwur, ing ndhuwure isih nganggo […]. (JK/5) ‘Setiap pintu kamar kayunya sepasang dua lembaran, besar dan tinggi, di atasnya masing memakai […].’

Kata dhuwur ‘tinggi’ dan ndhuwure ‘atasnya’ saling berekuivalen dengan kata dhuwur sebagai bentuk asalnya. Kata-kata bentukan yang mempunyai kesepadanan bentuk asal seperti disebutkan di atas memiliki hubungan ekuivalensi dan secara leksikal dapat mendukung kepaduan makna wacana.