Sarana Keutuhan Wacana

5) Hiponimi (Hubungan Atas-bawah)

Hiponim merupakan hubungan dalam semantik antara makna Hiponim merupakan hubungan dalam semantik antara makna

Berikut contoh data yang terdapat hipernim perkakas kantor ‘peralatan kantor’ dan sebagai hiponimnya adalah meja kantor ‘meja kantor’, kursi-kursi ‘kursi-kursi’, rak buku ‘rak buku’, lemari ‘almari’, tumpukan buku ‘tumpukan buku’, piranti nulis ‘peralatan tulis’, mesin ketik ‘mesin ketik’: (10) Kahanane dicukupi mawa prekakas kantor kang modern. Ana

meja kantor telu sakursi-kursine ditata ngubengi kamar, rak buku lan lemari mepet temboke. Ing meja-mejane ana tumpukan

buku, piranti nulis, mesin ketik standar. (JK/6) ‘Tempatnya dilengkapi dengan peralatan kantor yang modern. Ada meja kantor tiga beserta kursi-kursinya ditata mengelilingi kamar, rak buku dan lemari berhimpitan dengan tembok. Di meja- mejanya ada tumpukan buku, alat tulis, mesin ketik standar.’

6) Ekuivalensi (Kesepadanan)

Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma.

Contoh ekuivalensi (kesepadanan): (11) Saben lawang kamar kayune pasangan rong lembaran, gedhe lan

dhuwur, ing ndhuwure isih nganggo kisi-kisi bolong kanggo mlebu-metune hawa bebas. (JK/5) ‘Setiap pintu kamar kayunya sepasang dua lembar, besar dan tinggi, di atasnya masih terdapat ventilasi untuk keluar masuknya

Pengertian koherensi tidak terlepas pada bahasa, keutuhan wacana lebih banyak ditentukan oleh kesatuan maknanya, sedangkan kesatuan makna hanya terjadi bila dalam wacana tersebut terdapat sarana-sarana koherensi yang mampu mempertalikan kalimat-kalimat dalam wacana. Pentingnya isi suatu wacana merupakan sarana yang ampuh dalam pencapaian koherensi di dalam wacana berarti pertalian pengertian yang lain (Henry Guntur Tarigan, 1993: 32).

Menurut Fatimah Djajasudarma (1994: 46) koherensi merujuk pada perpautan makna. Mulyana (2005: 31) menyatakan bahwa hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis.

Sarana koherensi wacana dapat berupa referensi dan inferensi yang berfungsi memperjelaskan dan mempertalikan makna kalimat dalam wacana. Referensi merupakan ungkapan kebahasaan yang dipakai seorang pembicara untuk mengacu kalimat-kalimat yang dibicarakan itu. Inferensi merupakan proses yang dilakukan oleh pembicara atau pendengar untuk memahami makna yang secara harfiah tidak terdapat dalam wacana yang diungkapkan (Moeliono, 1988: 358).

Kohesi dan koherensi umumnya berhubungan, tetapi tidak berarti kohesi harus selalu ada agar wacana menjadi koheren (Fatimah Djajasudarma, 1994: 47). Pengertian tentang koherensi tidak terletak pada bahasa, keutuhan wacana lebih banyak ditentukan oleh kesatuan maknanya sedangkan kesatuan Kohesi dan koherensi umumnya berhubungan, tetapi tidak berarti kohesi harus selalu ada agar wacana menjadi koheren (Fatimah Djajasudarma, 1994: 47). Pengertian tentang koherensi tidak terletak pada bahasa, keutuhan wacana lebih banyak ditentukan oleh kesatuan maknanya sedangkan kesatuan

Adapun sarana koherensi yang dipergunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini adalah berupa: (1) sebab-akibat (marga ‘karena’, sebab ‘karena’); (2) penekanan (samsaya ‘semakin’, saya ’makin’, pancen ‘ memang’); (3) lokasi/kala (Surabaya ‘Surabaya’, sesuk ‘besok’); (4) penambahan (lan ‘dan’, uga ‘juga’, saha ‘dan’); (5) penyimpulan (dadi ‘jadi’, mila ‘maka’); (6) pertentangan (nanging ‘tetapi’).

a. Penanda Koherensi Sebab-Akibat

Penanda koherensi yang bermakna sebab akibat diwujudkan dalam bentuk kata, yang muncul dalam sebuah wacana. Kata tersebut menggabungkan antara dua klausa atau lebih dalam sebuah wacana. Penanda koherensi yang bermakna sebab akibat yang ditemukan dalam penelitian ini adalah marga ‘karena’, awit ‘karena’, dan jalaran ‘karena’.

Dalam novel Jaring Kalamangga dapat dilihat pada: (12) Marga kabeh wis bisa nglakoni uripe kanthi madeg dhewe-dhewe,

mula Handaka tanggap, bisa open karo awake dhewe lan pakaryane dhewe. (JK/29-30)

‘Karena semua sudah bisa menjalani hidupnya secara mandiri, maka Handaka menyadari bisa memperhatikan dirinya dan pekerjaanya.’

b. Penanda Koherensi Penekanan

Koherensi penekanan dalam sebuah wacana berfungsi untuk menyatakan penekanan terhadap sesuatu maksud yang telah dinyatakan dalam kalimat sebelumnya. Bentuk koherensi yang bermakna penekanan

‘memang’, dan juga tambah ‘semakin’. (13) “Hm, Jamane pancen isih ngene! Geger politik gak uwis-uwis.”

(JK/23) “(Hm), Zamannya memang masih seperti ini! Masalah politik tidak

kunjung selesai.”

c. Penanda Koherensi Lokasi/Kala

Koherensi yang menyatakan makna lokasi dan kala digunakan untuk menyatakan suatu tempat dan waktu tertentu sehingga dapat menambah kekoherensian wacana. Koherensi yang menyatakan makna lokasi dan makna kala dapat berupa kata maupun frasa. Hal tersebut dapat dilihat pada wacana sebagai berikut. (14) "Sesuk kowe bisa mrene aweh katetepan. Jam yah mene. Nanging

yen sesuk kowe mrene sing dirembug bab penggawean ngethik tok, bisike lirih, nyawang Handaka liwat alise. Bab detektip aja dirembug maneh. Ngreti karepku? Ing kene kowe nginep ngendi? Iki mau kowe rak ora langsung saka biromu ing Surabaya, ta? Sing alamate kaya suratku kuwi?” (JK/13). ’Besok kamu bisa ke sini memberi keputusan. Jam sekian. Tetapi kalau besok kamu ke sini yang dibahas tentang pekerjaan lagi. Tahu maksud saya? Di sini kamu menginap dimana? Tadi kamu tidak langsung dari biromu di Surabaya kan? Alamatnya seperti pada surat saya itu?’

d. Penanda Koherensi Penambahan

Koherensi yang dapat menimbulkan makna penambahan dalam sebuah wacana dapat berbentuk kata maupun frasa. Dalam bentuk kata dapat disebutkan antara lain bentuk lan ‘dan’, uga ‘juga’, saha ‘dan’, sarta ‘serta’, dalasan ‘dan’, miwah ‘dan’. Hal tersebut dapat dilihat pada wacana sebagai berikut.

sing nyatakake kowe kuwi juru ketik.” (JK/13). “Dan jangan lupa surat-surat baku yang menyatakan bahwa kamu

adalah juru ketik.”

e. Penanda Koherensi Penyimpulan

Koherensi yang dapat menimbulkan makna penyimpulan dalam wacana dapat diwujudkan dalam bentuk kata dadi ‘jadi’, mila ‘maka’, maupun bentuk frasa pramila menika ‘maka dari itu.’ Hal tersebut dapat dilihat pada wacana sebagai berikut.

(16) "Yen ten griya bobrok kilen niku kaet riyin pancen mboten diwatesi pager. Mila kalih ngriki kados dados sapekawisan.” (JK/43) ‘Kalau rumah rusak yang sebelah barat itu dari dulu memang tidak

dibatasi pagar. Maka dari itu seperti satu pekarangan dengan rumah ini.’

f. Penanda Koherensi Pertentangan

Koherensi yang bersifat pertentangan menyatakan makna suatu hal yang bertentangan dengan makna sebelumnya. Bentuk-bentuk yang sering muncul dalam wacana bahasa Jawa yaitu ananging/nanging ‘tetapi’, suwalike ‘sebaliknya’, dan bentuk seperti frasa ewosemana/ewamangkana ‘namun demikian’. Dalam wacana ini ditunjukkan penggunaan penanda tersebut.

(17) "O, niku rak margi sidatan king kampung nginggil mriku kesah teng peken Tretes ngandhap ngrika, tiyang-tiyang sami langkung mriku. Nanging, sakniki pun ditutup kalih Ajis.” (JK/43) “O, itu kan jalan pintas dari kampung dari atas itu kalau mau ke pasar Tretes di bawah sana, orang-orang lewat situ. Tetapi, sekarang sudah ditutup sama Ajis.”