Metode Pengumpulan Data

E. Metode Pengumpulan Data

Metode merupakan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena (Harimurti Kridalaksana, 2001: 136). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode simak atau penyimakan adalah metode pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1988: 2). Penggunaan metode simak dalam pengumpulan data penelitian ini yakni peneliti mengamati semua kata, frase, klausa, dan kalimat berbahasa Jawa yang mengandung kohesi gramatikal dan leksikal dalam wacana novel Jaring Kalamangga karya Suparto Brata. Adapun teknik dasar yang dipakai adalah teknik pustaka dan dilanjutkan dengan teknik catat.

Teknik pustaka adalah peneliti berperan sebagai instrumen kunci melakukan penyimakan secara cermat, terarah, dan teliti terhadap sumber data utama dalam rangka memperoleh data yang dibutuhkan. Hasil penyimakan kemudian dicatat sebagai sumber data (Edi Subroto, 1992: 42).

Setelah data dikumpulkan, diseleksi dan diklasifikasikan langkah selanjutnya adalah analisis data. Adapun metode analisis yang peneliti gunakan adalah metode distribusional. Metode distribusional adalah metode yang menganalisis bahasa berdasarkan perilaku atau tingkah laku satuan-satuan lingual tertentu dan mengamati dalam hubungannya dengan satuan lingual yang lain (Edi Subroto, 1992: 64). Teknik lanjutannya menggunakan teknik BUL (Bagi Unsur Langsung). Cara kerja teknik BUL ini adalah membagi satuan lingual datanya menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur yang bersangkutan merupakan bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud. Teknik BUL ini dipakai untuk menganalisis bentuk penanda kohesi gramatikal dan leksikal dalam novel Jaring Kalamangga karya Suparto Brata, kemudian dilanjutkan dengan teknik lesap dan teknik ganti.

Teknik lesap digunakan untuk menganalisis dan memgetahui kadar keintian unsur yang dilesapkan (Sudaryanto, 1993: 42). Jika hasil dari pelesapan tidak gramatikal maka unsur yang bersangkutan memiliki kadar keintian yang tinggi atau bersifat inti sehingga tidak dapat dihilangkan. Seperti halnya dengan teknik lesap, teknik ganti digunakan untuk mengetahui kadar keintian yang diganti.

Contoh penerapan metode analisis sebagai berikut: (18) Omah sing diparani Handaka iku gedhe njeganggrang. (JK/5)

‘Rumah yang didatangi oleh Handaka itu besar sekali.’ ‘Rumah yang didatangi oleh Handaka itu besar sekali.’

Kemudian data (18) diuji dengan teknik BUL menjadi berikut. (18a) omah sing diparani Handaka iku

’rumah yang didatangi Handaka itu’

(18b) gedhe njeganggrang. ’besar sekali.’

Kemudian dianalisis dengan teknik lesap menjadi berikut. (18c) omah sing diparani Handaka Ø

’rumah yang didatangi Handaka Ø’

Data (18c) gramatikal, walaupun penanda kohesi pengacuan demonstratif tempat iku ’itu’ dilesapkan, tetapi akan lebih baik jika pengacuan demonstratif tersebut hadir. Kemudian data (18) diuji dengan teknik ganti menjadi berikut :

iku

(18d) omah sing diparani Handaka

kae *punika

itu

’rumah yang didatangi Handaka

itu *itu

Penanda kohesi pengacuan demonstratif tempat iku ’itu’ apabila diganti dengan kae ‘itu’ secara gramatikal dapat berterima karena berada pada tingkat tutur yang sama, tetapi keduanya berbeda terkait dengan arah dan jarak waktu antara keduanya, iku ‘itu’ menunjuk pada arah yang lebih dekat dibandingkan Penanda kohesi pengacuan demonstratif tempat iku ’itu’ apabila diganti dengan kae ‘itu’ secara gramatikal dapat berterima karena berada pada tingkat tutur yang sama, tetapi keduanya berbeda terkait dengan arah dan jarak waktu antara keduanya, iku ‘itu’ menunjuk pada arah yang lebih dekat dibandingkan

griya pesanggrahan dhaerah mriki ditinggal Welandi sing gadhah, risak […]. (JK/42). ‘Dahulu rumah itu sudah rusak dipakai Jepang. Waktu itu banyak rumah

pesanggrahan di daerah sini ditinggalkan oleh pemiliknya yakni Belanda, rusak […]’

Pada data (19) terdapat penyulihan (subtitusi) yaitu satuan lingual bobrok ’rusak’ yang telah disebut terdahulu digantikan oleh satuan lingual risak ’rusak’ yang disebutkan kemudian.

Kemudian data (19) diuji dengan teknik BUL menjadi seperti berikut. (19a) Riyin griya niku rak pun bobrok dienggeni Jepang.

‘Dahulu rumah itu sudah rusak ditempati Jepang.’ (19b) Jaman semanten kathah griya pesanggrahan dhaerah mriki ditinggal

Welandi sing gadhah, risak […]. ‘Waktu itu banyak rumah pesanggrahan di daerah sini ditinggalkan oleh pemiliknya yakni Belanda, rusak […].’

Kemudian diuji dengan teknik lesap menjadi berikut.

(19c) Riyin griya niku rak pun Ǿ dienggeni Jepang. Jaman semanten kathah

griya pesanggrahan dhaerah mriki ditinggal Welandi sing gadhah, Ǿ [….]. ‘Dahulu rumah sudah Ǿ ditempati Jepang. Waktu itu banyak rumah pesanggrahan di daerah sini yang ditinggalka pemiliknya yakni Belanda, Ǿ […]’

Pada data (19c) satuan lingual bobrok dan risak tidak dapat dilesapkan karena kalimatnya menjadi tidak gramatikal. Hal ini menunjukkan bahwa Pada data (19c) satuan lingual bobrok dan risak tidak dapat dilesapkan karena kalimatnya menjadi tidak gramatikal. Hal ini menunjukkan bahwa

katandhing karo njenggerenge omah . (JK/5) ’Pepohonan di halamannya besar-besar dan menyeramkan, tetapi masih terlihat kecil dibandingkan dengan besarnya rumah.’

Pada data (20) terdapat konjungsi pertentangan/adservatif yaitu kata nanging ’tetapi’ yang mempertentangkan antara klausa wit-witan ing platarane gedhe-gedhe lan singup ’pepohonan di halamannya besar-besar dan menyeramkan’ dengan klausa berikutnya yaitu meksa katon cilik katandhing karo njenggerenge omah ’masih terlihat kecil dibandingkan dengan besarnya rumah’.

Kemudian dianalis dengan BUL yaitu dibagi atas dua unsur langsungnya : (20a) Wit-witan ing platarane gedhe-gedhe lan singup

’Pepohonan di halamannnya besar-besar dan menyeramkan’

(20b) nanging meksa katon cilik katandhing karo njenggerenge omah

’tetapi masih terlihat kecil dibandingkan dengan besarnya rumah.’

Kemudian diuji dengan teknik lesap menjadi data (3c) berikut: (20c) Wit-witan ing platarane gedhe-gedhe lan singup, Ø meksa katon cilik

katandhing karo njenggerenge omah. ’Pepohonan di halamannya besar-besar dan menyeramkan, Ø masih terlihat kecil dibandingkan dengan besarnya rumah.’

Pada data (20c) konjungsi nanging ’tetapi’ dilesapkan ternyata kalimatnya tetap gramatikal, tetapi maknanya berubah. Hal ini menunjukkan bahwa kehadiran nanging mutlak diperlukan. (21) Dadi lawang sing kayu sepasang mbukake manjaba, sing kayu separo kaca

uga sepasang, mbukake manjero. (JK/6) ’Jadi pintu kayu yang sepasang membukanya ke arah luar, yang kayu

(21a) Dadi lawang sing kayu sepasang mbukake manjaba

’Jadi pintu kayu yang sepasang membukanya ke arah luar.’

(21b) [...] sing kayu separo kaca uga sepasang, mbukake manjero. ‘[...] yang kayu setengah kaca juga sepasang membukanya ke arah dalam.’

Selanjutnya diuji dengan teknik lesap menjadi berikut. (21c) Dadi lawang sing kayu sepasang mbukake Ø, sing kayu separo kaca uga

sepasang, mbukake Ø. ’Jadi pintu kayu yang sepasang membukanya Ø, yang kayu setengah kaca juga sepasang membukanya Ø.

Data (21c) menunjukkan bahwa kata manjaba dan manjero mempunyai tingkat keintian yang tinggi sehingga kehadirannya mutlak diperlukan. (22) Jelas bangunan kolonial, bangunan jaman Landa biyen. (JK/5)

’Jelas bangunan kolonial, bangunan zaman Belanda dahulu.’

Pada data (22) di atas tampak adanya kepaduan wacana yang didukung oleh aspek leksikal berupa sinonimi antara frasa bangunan kolonial dan bangunan jaman Landa. Kedua kata tersebut maknanya sepadan.

Selanjutnya dianalisis dengan teknik BUL menjadi :

(22a) Jelas bangunan kolonial ’Jelas bangunan kolonial.’

(22b) [ ... ] bangunan jaman Landa biyen. ’bangunan zaman Belanda dahulu.’

Kemudian diuji dengan teknik lesap menjadi berikut : (22c) Jelas Ø, Ø biyen.

‘Jelas Ø, Ø dahulu.’

Setelah data (22c) diuji dengan teknik lesap terlihat bahwa kalimatnya

diperlukan. Adapun metode kedua yang dipakai dalam mengkaji sarana koherensi adalah metode padan. Metode padan adalah metode analisis dengan alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993: 13-15). Alat penentunya adalah kenyataan atau segala sesuatu (bersifat luar bahasa) yang ditunjukkan oleh bahasa (penekanan, kesimpulan, penambahan). Menurut Sudaryanto (1993: 13) metode padan berdasarkan alat penentunya dibagi menjadi 5 yaitu:

1. Metode padan referensial dengan alat penentunya kenyataan yang ditunjuk bahasa atau referen bahasa.

2. Metode padan fonetis artikulatoris dengan alat penentunya organ bicara atau organ pembentuk bahasa.

3. Metode padan translational dengan alat penentunya bahasa lain.

4. Metode padan ortografis dengan alat penentunya tulisan.

5. Metode padan pragmatis dengan alat penentunya mitra tutur. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode padan referensial untuk mengetahui makna yang ditunjukkan oleh sarana koherensi. Contoh penerapannya sebagai berikut. (23) Marga kabeh wis bisa nglakoni uripe kanthi madeg dhewe-dhewe, mula

Handaka tanggap, bisa open karo awake dhewe lan pakaryane dhewe . (JK/29-30)

Handaka bisa memperhatikan dirinya dan pekerjaanya.’ Koherensi marga 'karena' menunjukkan hubungan sebab akibat, karena kata tersebut menghubungkan klausa kabeh wis bisa nglakoni uripe kanthi madeg dhewe-dhewe ‘semua sudah bisa menjalani hidupnya secara mandiri’ sebagai sebab dan klausa mula Handaka tanggap, bisa open karo awake dhewe lan pakaryane dhewe ‘maka dari itu Handaka bisa memperhatikan dirinya dan pekerjaanya’ sebagai akibat.