LANDASAN TEORI

c. Bentuk Pers

Dalam sejarah perkembangannya, beberapa tokoh seperti Fres S. Siebert, Theodore Peterson dan Wilbur Schramm telah merumuskan empat teori pers. Dalam bukunya yang berjudul “Four Theories of the Press” dimuat tentang empat teori pers, yang meliputi: authoritarian press (pers otoritarian), libertarian press , soviet communist (press atau pers komunis soviet), dan social responsibility press atau pers tanggung jawab social.

a) Pers Otoritarian (Authoritrian Press) Pers Otoritarian identik dengan situasi dimana kebenaran dianggap sebagai milik para pemegang kekuasaan. Tidak perduli apakah kebijkan sang penguasa tersebut menindas rakyat atau sebagainya, karena kekuasaan adalah segalanya. Masa ini muncul pada masa iklim otoritarian di akhir Renaisans Eropa, beberapa waktu setelah ditemukannya mesin cetak. Dalam kondisi masyarakat seperti itu, kebenaran adalah suatu hal yang dianggap bukanlah hasil dari masa rakyat, melainkan dari sekelompok kecil para pemegang tangguk kekuasaan.

Pers Otoritarian meletakkan kebenaran lebih dekat dengan pusat kekuasaan. Penguasa dalam menjalankan kekuasaannya menggunakan pers sebagai alat untuk memberi informasi kepada rakyat tentang kebijakan-kebijakan penguasa yang harus didukung. Hanya dengan ijin khusus penguasa pers boleh dimiliki oleh swasta, dan ijin ini dapat dicabut kapan saja tergantung dari

commit to user

membelot dari kebijakan pemerintah. Kegiatan penerbitan lembaga pers pada masa ini haruslah mengacu pada kontrak persetujuan antara pemegang kekuasaan dengan penerbit. Isi perjanjianpun selalu menyamping pada kepentingan penguasa, dimana pertama memberikan sebuah hak monopoli kepada penerbit dan yang terakhir memberikan dukungan terhadap kebijakan penguasa.

Para pemegang kekuasaan mempunyai hak untuk membuat dan merubah kebijaksanaan yang telah disepakati sebelumnya. Penguasa pun memiliki hak untuk menyensor isi pemberitaan yang akan diterbitkan. Hal ini jelas kontras dengan fungsi pers sebagai pengawas pelaksanaan kebijakan pemerintahan dan juga dalam menyampaikan kebenaran objektif kepada masyarakat. Informasi yang diterbitkan adalah kontaminasi dari kepentingan para pemegang kekuasaan.

Secara umum, pers masa Otoritarian memiliki ciri antara lain sebagai berikut:

1. Kebenaran adalah milik pemegang kekuasaan.

2. Pers diatur oleh penguasa sehingga pers kehilangan fungsinya sebagai media kontrol terhadap pemerintahan.

3. Isi pemberitaan harus mendukung kebijakan pemerintah dan tidak boleh membelot dari kepentingan penguasa.

4. Penguasa memiliki kewenangan untuk menyensor isi pemberitaan sebelum dicetak.

b) Pers Liberitarian Dalam Libertarian, pers bukanlah lagi instrument pemerintah yang dijadikan alat penopang kekuasaan melainkan berperan sebagai kontrol pemerintahan. Pers pada masa ini berperan sebagai sebuah alat untuk menyajikan bukti dan argumen-argumen yang akan menjadi landasan bagi orang banyak untuk mengawasi pemerintahan dan menentukan sikap terhadap kebijaksanaannya.

Pers Libertarian lahir pada saat tumbuhnya demokrasi politik dan paham kebebasan yang berkembang pada abad ke-17. Hal ini muncul sebagai akibat revolusi industri dan digunakannya sistem ekonomi laissez-faire.

commit to user

Pers tanggung jawab sosial berkembang sebagai akibat kesadaran pada abad ke-20, dengan berbagai macam perkembangan media massa (khususnya media elektronik), menuntut kepada media massa untuk memiliki suatu tanggung jawab sosial yang baru. Teori tanggung jawab sosial punya asumsi utama: bahwa kebebasan pers mutlak, banyak mendorong terjadinya dekadensi moral. Oleh karena itu, teori ini memandang perlu adanya pers dan sistem jurnalistik yang menggunakan dasar moral dan etika.

Pers mengerti tanggung jawabnya dan menjadikan landasan kebijaksanaan operasional mereka, maka sistem libertarian akan dapat memuaskan kebutuhan masyarakat. Jika pers tidak mau menerima tanggung jawabnya, maka harus ada badan lain dalam masyarakat yang menjalankan fungsi komunikasi massa. Pada dasarnya fungsi pers dibawah teori tanggung jawab sosial sama dengan fungsi pers dalam teori Libertarian. Digambarkan ada enam tugas pers :

1. Melayani sistem politik dengan menyediakan informasi, diskusi dan perdebatan tentang masalah-masalah yang dihadapi masyarakat.

2. Memberi penerangan kepada masyarakat, sedemikian rupa sehingga masyarakat dapat mengatur dirinya sendiri.

3. Menjadi penjaga hak-hak perorangan dengan bertindak sebagai anjing penjaga yang mengawasi pemerintah.

4. Melayani system ekonomi dengan mempertemukan pembeli dan penjual barang atau jasa melalui medium periklanan,

5. Menyediakan hiburan

6. Mengusahakan sendiri biaya financial, sehingga bebas dari tekanan- tekanan orang yang punya kepentingan

d) Pers Totalitarian (Soviet Komunis) Tugas pokok pers dalam system pers komunis adalah menyokong, menyukseskan, dan menjaga kontinuitas system social Soviet atau pemerintah partai. Dan fungsi pers komunis itu sendiri adalah memberi bimbingan secara cermat kepada masyarakat agar terbebas dari pengaruh-pengaruh luar yang dapat menjauhkan masyarakat dari cita-cita partai.

commit to user

kata kebebasan untuk masyarakat. Namun kebebasan masyarakat bagi otoritarian adalah kepentingan bisnis, sedangkan bagi totalitarian berarti kepentingan partai.

Teori pers yang tepat dalam skripsi ini yaitu mengenai teori pers otoritarian karena pers pada waktu itu dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Sehingga pers yang berkembang dikuasai oleh penguasa. Dan bagi yang membangkang dapat dihukum. Seperti banyak kasus yang terjadi. Mulai dari Tirto Adisuryo, tiga serangkai (Douwes Dekker, Suwardi, dan Cipto Mangun Kusumo), Soekarno, dan Moh. Hatta. Banyak lagi orang yang ditahan karena tulisannya yang dianggap mengancam kedudukan Belanda. Selain itu ada juga pembredelan terhadap pers yang dianggap membahayakan kedudukan Pemerintah kolonial.

d. Keadaan Pers Di Indonesia.

Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda melakukan tekanan terhadap pers Indonesia sehingga tidak jarang kaum pers Indonesia mengalami tekanan secara fisik maupun larangan untuk menerbitkan surat kabamya. Dengan kata lain bahwa pers pada masa kolonialisme Belanda adalah pers yang selalu berjuang untuk rnencapai kemerdekaan Indonesia dan kemerdekaan pers dari tekanan penjajah (Kurniawan Junaidhie, 1991: 210).

Pers juga memegang peranan penting dalam melawan ketidak adilan pemerintah kolonial Belanda dalam segala bidang. Perlawanan tersebut di wujudkan berupa tulisan-tulisan yang menyerang dan mengkritik pemerintah kolonial. Selain itu, pers juga bisa mempengaruhi pendapat orang banyak, sehingga pers dapat menghimpun kekuatan massa (1933. Majalah Fikiran Rakyat).

Pers juga dianggap sebagai pembantu bagi kaum pergerakan karena bisa menyebarkan atau mempropagandakan cita-cita dan kemauan kepada rakyat. Dengan suarat kabar dapat pula menyampaikan buah pikiran dan kemauan disemua pelosok dan sudut negeri, disegala tempat yang jauh sehingga pers sangatlah penting bagi kaum pergerakan (1933. Majalah Fikiran Rakyat).

commit to user

Terbuka artinya bahwa pers tidak bebas dari pengaruh lingkungan tetapi dilain pihak pers juga mempengaruhi lingkungan probablilitas berarti hasilnya tidak dapat diduga secara pasti (Hikmat Kusumaningrat, Purnama Kusumaningrat, 2005: 26). Hal ini karena pers pada masa Kolonial masih berbentuk koran maupun majalah yang merupakan kumpulan berita dari berbagai aspek kehidupan di Hindia Belanda maupun yang berkembang diluar Hindia Belanda. Selain itu pers telah merubah cara berfikir masyarakat yang pada awal mula bersifat kedaerahan menjadi Nasionalis.

Berdasarkan keterangan di atas dapat di simpulkan bahwa pers memegang peranan penting dalam perjuangan rakyat Indonesia melawan ketidakadilan pemerintah kolonial Belanda dalam segala bidang termasuk pers. Perlawanan tersebut di wujudkan berupa tulisan-tulisan yang menyerang dan mengkritik kepada pemerintah kolonial. Pers nasional mempunyai fungsi-fungsi penting dalam menginformasikan, mendidik, dan mempengaruhi masyarakat secara langsung maupun tidak langsung akan membawa pemikiran-pemikiran kritis kepada masyarakat. Sehingga muncul pemikiran nasionalisme kepada masyarakat.

3. Nasionalisme

a. Pengertian Nasionalisme.

Gelombang globalisasi semakin lama mengikis paham nasionalisme dewasa ini. Inilah yang sering kita dengan belakangan ini, sehingga perlunya semangat kebangsaan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air, sebab rasa cinta tanah air ini penting bagi suatu negara. Hal ini karena dengan adanya rasa cinta tanah air akan memajukan suatu negara dan terwujud persatuan. Rasa cinta tanah air ini juga sering dikaitkan dengan nasionalisme. Di Indonesia nasionalisme muncul pada abad ke-20, dimana pada saat itu bangsa sedang berjuang melawan Kolonialisme Belanda dan menuntut kemerdekaan.

Menurut Hans Kohn (2007: 16), bahwa nasionalisme merupakan rumusan pemikiran yang menghendaki loyalitas tertinggi individu dicurahkan

commit to user

Hardjosatoto (1985 : 42) makna natie dan nasionalisme yaitu: Natie : batja : naatsi : nasion. Yang dinamakan nation adalah masyarakat yang

bentuknya diwujudkan oleh sejarah. Kesatuan bahasa adalah salah satu sifat dari suatu nasion, begitu juga kesatuan daerah. Selanjutnya sifat-sifat lain dari suatu nasion adalah: kesatuan hidup ekonomis (economis leaven), hubungan ekonomis, kesatuan keadaan jiwa, yang terlukis dalam kesatuan kebudayaan. Nasionalisme adalah kesadaran diri yang mengikat dan diwujudakan oleh kecintaannya yang melimpah pada negeri dan bangsa sendiri dan kadang- kadang disertai akibat pengecilan arti dan sifat bangsa-bangsa lain. Nasionalisme di Indonesia timbulnya sudah tahun 1905 dengan menangnya Jepang atas Rusia dan timbulnya pergerakan Budi Utomo pada tahun 1908.

Meriam Budiharjo (1984: 44) yang berpendapat bahwa nasionalisme merupakan suatu perasaan subyektif pada sekelompok manusia bahwa mereka satu bangsa dan bahwa cita-cita serta aspirasi mereka bersama hanya dapat tercapai jika mereka bergabung dalam satu negara atau nation.

Berdasarkan beberapa definisi nasionalisme diatas, maka dapat dinyatakan bahwa nasionalisme muncul karena adanya reaksi terhadap kolonialisme dan imperialisme. Nasionalisme merupakan keinginan untuk bersatu dalam satu pendirian yang dimiliki sejumlah inividu yang terbentuk dalam kurun waktu yang tertentu menuju tercapainya cita-cita.

b. Sebab-sebab Nasionalisme.

Nasionalisme diberbagai negara muncul karena adanya persamaan nasib, sejarah, dan tempat. Semua ada karena terbukanya pengetahuan orang-orang yang sadar adanya kesalahan dalam pemerintahan maupun kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya. Hal ini senada dari kutipan buku Nasionalisme Menjelang abat XXI yang dikarang E.J. Hobsbawm (1992: 117) yaitu;

“Sekali perkembangan Eropa telah mencapai tingkat tertentu, komunitas rakyat yang linguistik dan kultural, setelah secara diam-diam menjadi matang diseluruh negeri, muncul dari dunia eksistensi sebagai rakyat yang pasif (Passiver volksheit). Mereka menjadi sadar akan dirinya sebagai sesuatu kekuatan dengan suatu takdir historis. Mereka menuntut penendalian terhadap negara sebagai instrumen kekuatan yang paling tinggi yang bisa diperoleh, dan menuntut penentuan sendiri politik mereka. Hari lahir gagasan politik mengenai bangsa dan tahun kelahiran kesadaran baru ini adalah 1789, tahun Revolusi Perancis.”

commit to user

cita-cita yang terkandung dalam nasionalisme, yaitu:

1) Perjuangan mewujudkan cita-cita nasional yang meliputi persatuan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, keagamaan, kebudayaan dan persekutuan serta adanya, solidaritas.

2). Perjuangan untuk mewujudkan kebebasan nasional yang meliputi kebebasan dari penguasaan asing atau campur tangan dunia, dan kebebasan dari kekuatan intern yang tidak bersifat nasional atau yang hendak mengesampingkan bangsa dan negara.

3). Perjuangan mewujudkan kemandirian, pembedaan, individualitas, keaslian, dan keistimewaan. 4). Perjuangan untuk mewujudkan pembedaan diantara bangsa-bangsa yang meliputi perjuangan untuk memperoleh kehormatan, kewibawaan, gengsi, dan pengaruh.

Mengenai timbulnya nasionalisme di Indonesia mempunyai ikatan yang sangat erat dengan kolonialisme Belanda. Nasionalisme Indonesia pada tingkat- tingkat pertama juga dikenal sebagai nasionalisme sempit, yang bersifat lokal atau kedaerahan. Nama-nama seperti Sarekat Ambon, Roekoen Minahasa, Pasoendan, Sarekat Soematera menunjukkan sifat kedaerahan dan kesukuan (Sartono Kartodirjo, 1992: 239).

Roeslan Abdulgani (1957: 29), mengatakan bahwa: Nasionalisme Indonesia lahir sebagai reaksi terhadap kolonial Eropa karena kolonial itu mengandung dimensi-dimensi eksploitasi politik, ekonomi; dan penetrasi kebudayaan. Maka nasionalisme Indonesia mempunyai tiga dimensi yang mengandung arti ingin menumbangkan dominasi politik kolonial untuk membangun negara nasional yang demokratis yang menghentikan eksploitasi ekonomi untuk membangun suatu masyarakat yang berkeadilan sosial dan mcnghentikan penetrasi kultural untuk menghidupkan kembali kepribadiannya.

Muncullah persatuan dengan dibentuknya berbagai jiwa nasionalisme melalui gerakan politik. Menurut Stephen van Evera, nasionalisme sebagai gerakan politik memiliki 2 ciri yaitu:

commit to user

komunitas etnik atau nasional; loyalitas ini mengalahkan loyalitas yang diberikan pada pengelompokan lain, misalnya berdasarkan keluarga dan ideologi politik.

2) Komunitas etnik atau nasionalisme tersebut menginginkan negara merdeka milik mereka. Nasionalisme Indonesia dimulai sejak berdirinya Boedi Oetomo pada tahun 1908. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi untuk bergerak secara nasional adalah:

1) Adanya tekanan dan penderitaan yang terus menerus, sehingga rakyat Indonesia harus bangkit melawan penjajah.

2) Adanya rasa senasib sepenanggungan yang hidup dalam cengkraman penjajah, sehingga timbul semangat bersatu membentuk negara.

3) Adanya rasa kesadaran nasional dan harga diri karena kehendak memiliki tanah air dan hak menentukan nasib sendiri (Depdikbud, 1997: 14).

Berkaitan dengan perjuangan pers di Indonesia , timbulnya nasionalisme dalam bidang pers khususnya, terutama sekali dimulai sejak timbulnya organisasi pergerakan nasional, Seperti kita ketahui bahwa masing-masing organisasi pergerakan nasional pada masa itu kebanyakan memiliki penerbitan surat kabar sendiri yang digunakan sebagai sarana mengobarkan semangat perjuangan dalam membebaskan bangsa dari kolonialisme Belanda. Sebagai contoh, Budi Utomo dengan Darmo Kondo, dijelaskan oleh Samsudjin Probohardjono (1985: 49-50) dalam buku berjudul sejarah pers dan wartawan di Surakarta bahwa “Sejak lahirnya ‘Budi Utomo’ surat-surat kabar dan majalah Nasional yang terbit di Surakarta dan juga di seluruh Indonesia pada umumnya, setapak-demi setapak sudah berani memuat tulisan-tulisanyang mengandung maksud politik menuju kebebasan dan kemerdekaan.”

Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pers Indonesia turut memberikan sumbangan yang tidak kecil bagi perjuangan rnencapai kemerdekaan. Selain itu juga bcrjuang dalam bidang pers sendiri, yaitu untuk

commit to user

kolonial Belanda kepada pers Pribumi. Dan sebagai langkah besar menuju proses Nasionalisme yang luas yaitu Kongres Pemuda II tahun 1928 yang menjadi tonggak awal persatuan nasional, bukan lagi bersifat kedaerahan.

B. Kerangka Berpikir

Penjelasan: Para pejabat kompeni Belanda memerintah dengan otoriter dan mempertahankan sistem kasta, sebagai ciri masyarakat kolonial, dalam mengatur kehidupan dan penghidupan di Hindia Belanda. Suatu media massa, yang dapat membuka kemungkinan untuk mengeluarkan pendapat umum terhadap kebijaksanaan pemerintah, tidak mendapat izin untuk terbit (Abdurrachman Surjomihardjo.2002: 25). Baru pada tahun 1744, dibawah pemerintahan Gubernur Jendral Van Inhoff yang berpandangan bebas, telah berkenan memberikan ijin atau “octrooi” kepada Jan Erdman Jordens, pedagang merangkap sekretaris kantor

Kolonialisme

Kebijakan Pemerintah Hindia Belanda

Fungsi Pers

Pergerakan Nasional

Pers di Indonesia

Fungsi Informasi

Fungsi

Mendidik

Kongres Pemuda II Tahun 1928

Nasionalisme

Fungsi menghibur

Fungsi

Mempengaruhi

commit to user

lamanya. Dengan Octrooi tersebut di Jakarta terbitlah surat kabar “Bataviasche Nouvelles en Politique Raisonnementen ”. Nomor pertama terbit pada tanggal 7 Agustus 1744. Bataviasche Nouvelles hanya bertahan dua tahun dengan penerbitan terakhir pada tanggal 20 Juni 1746 (Samsudjin Probohardjono, 1985).

Para pengusaha di masa itu telah meramalkan bahwa dunia pers di masa mendatang merupakan lahan bisnis yang menjanjikan. Oleh karena itu, tidak heran apabila para pengusaha persuratkabaran serta para kuli tinta asal Belanda berani membuka pers(Haryadi Suadi, 2006). Namun karena peraturan yang bersifat preventif sehingga pers pada abad ke-18 dan 19 kurang berkembang.

Pers kolonial berkembang pesat pada abad-20 dan tampak sekali tempat terbit serta penyebaranya terbatas pada kota-kota besar, yang penting bagi administrasi ataupun sebagai pusat perdagangan perusahaan-perusahaan Belanda. Awal abad ke-20 beberapa pers Belanda mewakili orientasi politik tertentu, namun bercorak mempertahankan hubungan kolonial di Indonesia.

Setelah munculnya pers kolonial kemudian pada akhir abad ke-19 muncullah pers Tionghoa yang pada awalnya bekerja dalam surat kabar yang diselenggarakan oleh Indo-Belanda. Pelopor pers Tionghoa yang terkenal adalah Lie Kim Hok. Munculnya pers Tionghoa dipengaruhi nasionalisme di daratan Tionghoa kemudian menjalar ke daerah Asia Tenggara, nasionalisme yang berkembang yaitu nasionalisme kultural. Hal ini dipengaruhi oleh adanya sikap diskriminasi terhadap orang Tionghoa sehingga banyak yang menggantungkan kepada Negara Cina. Namun timbulnya kesamaan nasib orang Tionghoa dengan pribumi menyebabkan Nasionalisme di kalangan Tionghoa (terutama peranakan).

Pers pribumi pertama kali muncul karena faktor ekonomi. Pertama kali dipelopori oleh Medan Prijaji pada tahun 1907-1910 dengan pimpinan redaksi R.M. Tirtoadisuryo. Sesuai dengan namanya, Medan Prijaji merupakan suara golongan Priayi, lingkungan pembaca yang ingin dicapai ialah “Anak Hindia”. Pers Pribumi berkembang sejalan dengan berkembangnya pergerakan nasional. Munculnya kemiskinan, masalah kesehatan, dan kebodohan yang diakibatkan adanya ekploitasi dalam bebagai bidang kehidupan di daerah koloni (Indonesia) semakin memperkuat konflik yang ada, hal ini dimuat dalam pers kolonial

commit to user

menimbulkan reaksi rakyat jajahan untuk berusaha mempertahan dan melepaskan diri dari belenggu kesengsaraan. Hal itulah yang mendorong dan memperkuat tumbuhnya pergerakan nasional dan Nasionalisme di Indonesia untuk mewujudkan kemerdekaan bangsa lepas dari belenggu penjajahan. Sedangkan pers digunakan sebagai sarana yang ampuh untuk memobilisir kekuatan-kekuatan bangsa kita untuk mengenyahkan penjajah.

Fungsi pers dari Onong U Efendi yang digunakan oleh penulis yaitu:

1. Fungsi informasi

2. Fungsi mempengaruhi.

3. Fungsi menghibur

4. Fungsi Mendidik Pers pribumi berfungsi sebagai alat agar tercapainya tujuan organisasi. Namun ada beberapa organisasi yang sudah memasukkan ideologi nasionalis. Pers yang paling banyak membuat propaganda persatuan yaitu Indonesia Merdeka yang dibuat oleh Perhimpunan Indonesia (Drs Sudiyo. 2003). Tahun 1925 Indische Vereeniging berubah menjadi Perhimpunan Indonesia dengan tujuannya Indonesia merdeka serta merubah nama majalah yang diterbitkan menjadi “Indonesia Merdeka”.

Majalah “Indonesia Merdeka” membuat Soegondo Djojopuspito terinspirasi terhadap persatuan Indonesia. Yang kemudian memimpin Kongres Pemuda Indonesia Kedua dan menghasilkan Sumpah Pemuda, dengan motto: Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa: Indonesia. Kemudian kalangan pers sendiri ikut berperan aktif dalam Kongres Pemuda II, diantaranya yaitu WR. Soepratman.

commit to user