METODOLOGI PENELITIAN

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian yang berjudul “Peranan Pers dalam Kongres Pemuda II Tahun 1928”, penulis melaksanakan penelitian dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka. Adapun perpustakaan yang digunakan untuk melaksanakan penelitian ini, antara lain:

a. Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan P. IPS FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta.

b. Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

c. Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

d. Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

e. Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.

f. Perpustakaan Daerah Surakarta.

g. Perpustakaan Monumen Pers Surakarta.

h. Library Centre Yogyakarta.

i. Perpustakaan Daerah Yogyakarta. j. Perpustakaan Propinsi Yogyakarta k. Perpustakaan Universitas Gajah Mada.

2. Waktu Penelitian

Waktu yang digunakan untuk penelitian ini adalah sejak pengajuan judul skripsi yaitu bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Oktober 2011. Adapun kegiatan yang dilakukan dalam jangka waktu penelitian tersebut adalah mengumpulkan sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber,

commit to user

terakhir menyusun laporan hasil penelitian.

B. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha merekonstruksikan mengenai “Peranan Pers Dalam Kongres Pemuda II Tahun 1928”. Mengingat peristiwa yang menjadi pokok penelitian adalah peristiwa masa lampau, maka metode yang digunakan adalah metode sejarah atau metode historis.

Nawawi (1995: 78-79) mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu dan terlepas dari keadaan masa sekarang. Gilbert J. Garraghan yang dikutip Abdurrahman (1999: 43) mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis, dan mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Louis Gottschalk yang dikutip Abdurrahman (1999: 44) menjelaskan metode sejarah sebagai proses menguji dan menganalisis kesaksian sejarah guna menemukan data yang otentik dan dapat dipercaya, serta usaha sintesis atas data semacam itu menjadi kisah sejarah yang dapat dipercaya.

Menurut Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61), yang dimaksud metode sejarah adalah proses menguji dan mengkaji kebenaran rekaman dan peninggalanpeninggalan masa lampau dengan menganalisis secara kritis bukti- bukti dan data-data yang ada sehingga menjadi penyajian dan cerita sejarah yang dapat dipercaya.

Dari beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa metode penelitian sejarah adalah kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji untuk memahami kejadian pada masa lalu kemudian menguji dan menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis dari

commit to user

menarik dan dapat dipercaya.

C. Sumber Data

Sumber data sering disebut juga data sejarah. Menurut Kuntowijoyo (1995: 94) perkataan ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum (bahasa latin) yang berarti pemberitaan. Menurut Dudung Abdurrachman (1999:

30) data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan, penyeleksian, dan pengkategorian. Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun (1996: 61) sumber sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau.

Sumber sejarah dapat berupa lisan, tertulis ataupun benda-benda sejarah. Sumber sejarah dapat dibedakan menjadi sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah adalah sumber yang disampaikan langsung oleh saksi mata. Dikatakan sebagai sumber sekunder karena tidak disampaikan langsung oleh saksi mata dan bentuknya dapat berupa buku-buku, artikel, koran, majalah (Dudung Abdurrahman, 1999: 56). Louis Gottschalk (1975: 17) berpendapat bahwa penelitian historis tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari sumber primer, yaitu peneliti secara langsung melakukan observasi atau penyaksian yang dituliskan pada waktu peristiwa terjadi. Data sekunder diperoleh dari sumber sekunder, yaitu penulis melaporkan hasil observasi orang lain yang satu kali atau lebih lepas dari aslinya. Diantara kedua sumber tersebut, sumber primer dipandang memiliki otoritas sebagai bukti tangan pertama dan diberi prioritas dalam pengumpulan data.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut diantara lain: lagu Indonesia Raya karya W. R. Soepratman, Bunga Rampai Soempah Pemoeda 50th, Laporan Kongres Pemuda Pertama, “Vlugsschriften van het Comite Boemi Poetra /Soerat-soerat Edaran dari Comite Boemi Poetra”. 1913, majalah Soeloeh

commit to user

Soeloeh Ra’jat Indonesia November 1928, dan majalah Persatoean Indonesia tahun 1928.

Sumber data sekunder yang digunakan seperti buku karangan Sudiyo dengan judul “Perhimpunan Indonesia”, Taufik Abdullah dengan judul “Nasionalisme dan Sejarah”, Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda, buku karangan M.C. Ricklefs “Sejarah Indonesia Modern 1200-2004”, Sudiyo tahun 2003. dengan judul “Arus Perjuangan Pemuda dari Masa ke Masa”, Soebagijo I.N. dengan judul “Sejarah Pers Indonesia”, Abdurrachman Surjomihardjo dengan judul “Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia”, buku berjudul “Pers Jawa Timur dari Masa ke Masa”, Tribuana Said dengan judul “Sejarah Pers Nasional dan Pembangunan Pers Pancasila”, Samsudjin Probohardjono dengan judul “Sejarah Pers dan Wartawan di Surakarta”, Sri Sutjiatiningsih dengan judul “Soegondo Djoyopuspito: Hasil Karya dan Pengabdian”, Wawan Tunggul Alam dengan judul “Mutiara kata Bung Karno”, Arbi sanit dengan judul “Sistem politik Indonesia: kestabilan, peta kekuatan politik dan pembangunan”, Soekarno dengan judul “Indonesia Menggugat”, Sartono Kartodirdjo dengan judul “Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme”, Cahyo Budi Utomo dengan judul “Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan hingga Kemerdekaan”, S. Silalahi dengan judul “Dasar-dasar Indonesia Merdeka”, Sumono Mustoffa dengan judul “Kebebasan Pers Fungsional sebagai Salah Satu Sarana Perjuangan Kemerdekaan di Indonesia”, Momon Abdul Rahman dengan judul “Wage Rudolf Supratman: Sang Pencipta Lagu Kebangsaan Indonesia Raya”, Sartono Kartodirdjo dengan judul “Sejarah Nasional Indonesia V”. I. Taufik dengan judul “Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia”, dan “Surat Kabar Indonesia Pada Tiga Zaman” serta majalah Pers Indonesia bulan Juli 1975 dan Januari 1978.

Berdasarkan uraian di atas, pengumpulan data dalam penelitian ini digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan data tertulis dengan menggali data dari buku-buku, majalah dan bentuk pustaka

commit to user

lain-lain.

D. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian historis, pengumpulan data dinamakan heuristik.Teknik pengumpulan data dalam penelitian historis merupakan salah satu langkah yang penting. Berdasarkan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Menurut Koenjaraningrat (1986: 36), bahwa keuntungan dari studi pustaka ada empat hal, yaitu: (1) memperdalam kerangka teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan sehingga memperdalam dalam perumusan, (4) menghindari terjadinya pengulangan suatu penelitian.

Menurut Florence M.A. Hilbish, mengemukakan bahwa catatan-catatan dalam pengumpulan data ada tiga bentuk, yaitu: (1) quation (kutipan langsung), (2) citation atau indirect quation (kutipan tidak langsung), (3) summary (ringkasan) dan comment (komentar)

Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data melalui studi pustaka yang dilakukan terhadap arsip, buku, majalah, surat kabar yang terbit pada masa itu atau yang terbit kemudian. Bahan ini dapat digunakan untuk menjelaskan peristiwa yang diteliti. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilaksanakan sebagai berikut:

1) Mengumpulkan sumber primer dan sekunder yang berupa buku-buku literatur dengan tema Peranan Pers dalam Pongres Pemuda II tahun 1928 yang tersimpan di beberapa perpustakaan diantaranya adalah Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Sebelas

commit to user

Surakarta, Perpustakaan Daerah Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, Perpustakaan Universitas Gajah Mada.

2) Membaca, mencatat, meminjam dan memfotokopi buku-buku literatur karangan sejarawan yang dianggap penting dan relevan dengan tema penelitian yang tersimpan di perpustakaan berdasarkan periodisasi waktu atau secara kronologis.

3) Mengumpulkan data yang telah diperoleh dari perpustakaan untuk digunakan dalam menyusun karya ilmiah.

E. Teknik Analisis Data

Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik analisis historis. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut Helius Syamsuddin (1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah.

Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64), analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori-teori disusunlah fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh. Menurut Sartono Kartodirdjo (1992: 2) analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan penelitian.

commit to user

Heuristik

Kritik Sumber

Interpretasi

Historiografi

Fakta Sejarah

kegiatan mengumpulkan data kemudian melakukan kritik ekstern dan intern untuk mencari otensitas dan kredibilitas sumber yang didapatkan. Dari langkah ini dapat diketahui sumber yang benar-benar dibutuhkan dan relevan dengan materi penelitian. Selain itu, membandingkan data dari sumber sejarah tersebut dengan bantuan seperangkat kerangka teori dan metode penelitian sejarah, kemudian menjadi fakta sejarah. Agar memiliki makna yang jelas dan dapat dipahami, fakta tersebut ditafsirkan dengan cara merangkaikan fakta menjadi karya yang menyeluruh dan masuk akal.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian adalah langkah-langkah penelitian awal yaitu persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Adapun prosedur penelitian ini adalah melalui empat tahap yang merupakan proses metode sejarah. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Adapun prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

Keterangan:

1. Heuristik

Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 55) heuristik berasal dari kata Yunani, Heuriskein yang artinya memperoleh. Menurut Helius Syamsuddin (1996: 99) heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah. Heuristik

commit to user

baik berupa bahan-bahan tertulis dan tercetak. Pada tahap ini, penulis berusaha mengumpulkan sumber atau data-data yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji. Dalam hal ini penulis melakukan pengumpulan data dan sumber dibeberapa perpustakaan seperti Perpustakaan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Fakultas Keguruan dan Ilmu pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Program Studi Pendidikan Sejarah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Perpustakaan Monumen Pers Surakarta, Perpustakaan Daerah Surakarta, Perpustakaan Daerah Yogyakarta, dan Perpustakaan Universitas Gajah Mada. Sumber - sumber sejarah dalam penelitian ini adalah berupa Arsip-Arsip dan Dokumen.

2. Kritik

Kritik yaitu kegiatan untuk menyelidiki apakah sumber-sumber sejarah itu sejati atau otentik dan dapat dipercaya atau tidak. Pada tahap ini kritik sumber dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 58) kritik ekstern yaitu menguji suatu keabsahan tentang keaslian sumber (otentisitas) sedangkan kritik intern menguji keabsahan tentang kesahihan sumber (kredibilitas).

Kritik ekstern dilakukan pada sumber tertulis dengan menyeleksi segi- segi fisik dari sumber yang ditemukan dilihat dari jenis kertasnya, gaya penulisannya, bahasa yang digunakan, tahun pembuatan, siapa yang membuat, dan dimana buku, arsip atau surat kabar tersebut dibuat. Usaha yang dilakukan didalam kritik ekstern lain yaitu dengan penyeleksian sumber-sumber pustaka berdasarkan cerita, seperti profesionalisme pengarang, ketebalan buku, tahun penerbitan, dan penerbit, misalnya pada sumber primer dari “Poetoesan Congres Pemoeda-Pemoeda Indonesia” dalam Soeloeh Ra’jat Indonesia November 1928 dan majalah Persatoean Indonesia. Kedua majalah tersebut diterbitkan pada tahun 1928 dan penulisan dengan gaya bahasa lama, misalnya kata “pemoeda” dibaca

commit to user

serta dalam Kongres Pemuda II. Kritik intern dilakukan dengan membandingkan antara isi sumber yang satu dengan isi sumber yang lain sehingga data yang diperoleh dapat dipercaya dan dapat memberikan sumber yang dibutuhkan. Hal tersebut dilaksanakan agar dapat mengetahui bagaimana isi sumber sejarah dan relevansinya dengan masalah yang dikaji. Kritik intern sumber data tertulis dalam penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi gaya, tata bahasa, dan ide yang digunakan penulis, sumber data, dan permasalahannya kemudian dibandingkan dengan sumber data lainnya. Kritik ini bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Misalnya dengan membaca buku karangan Sri Sutjiatiningsih dengan judul “Soegondo Djoyopuspito: Hasil Karya dan Pengabdian”, Buku Panduan Museum Sumpah Pemuda serta buku karangan Sudiyo yang berjudul “Perhimpunan Indonesia”. Dari ketiga buku tersebut banyak didukung data primer serta potongan surat kabar yang sangat berhubungan dengan pers serta membandingkan berbagai sumber sejenis agar didapat sumber yang relevan dan fakta.

Kebenaran isi dari sumber tersebut dapat dilihat dari isi pernyataan dan berita yang ditulis dari sumber yang satu dengan sumber yang lain. Kritik intern dalam penelitian ini dilaksanakan dengan studi komparatif berbagai sumber. Langkah ini ditempuh untuk menyoroti pengarang atau pembuat sumber, yang memberikan informasi mengenai masa lampau yang ingin diketahui, dan harus ada kepastian bahwa kesaksiannya dapat dipercaya. Kerja kritik adalah membandingkan isi sumber. Hasil dari kritik sumber ialah fakta yang merupakan unsur-unsur bagi penyusunan atau rekonstruksi sejarah.

3. Interpretasi

Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna

commit to user

sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji. Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan fakta sejarah atau sintesis sejarah. Langkah interpretasi data dalam penelitian ini menyangkut kegiatan menyeleksi dan membuat periodisasi sejarah.

Langkah – langkah operasional dalam interpretasi penelitian ini adalah :

1. Membaca buku – buku, majalah, surat kabar yang berisi tentang peristiwa yang berkaitan dengan penelitian. Membandingkan dengan sumber lain sehingga penulis dapat memilih fakta – fakta yang relevan dan menyingkirkan fakta – fakta yang tidak relevan.

2. Langkah selanjutnya, penulis menghubungkan fakta yang satu dengan fakta yang lain sehingga dapat diketahui hubungan sebab – akibat antara peristiwa satu dengan yang lain.

3. Yang terakhir penulis melakukan penafsiran semua hasil data yang telah dibuat untuk di hubungkan antara data yang satu dengan yang lain. Sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh kemudian menjadi suatu fakta sejarah.

Untuk merekonstruksikan peristiwa sejarah berdasar hasil interpretasi dari data – data sejarah yang ada, juga diperlukan eksplanasi. Eksplanasi dalam ilmu sejarah adalah menjelaskan atau menerangkan data sejarah yang ada sehingga didapat hubungan antara data yang satu dengan yang lain.

4. Historiografi

Historiografi merupakan kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Langkah-langkah yang dilakukan yaitu dengan menulis jejak-jejak sejarah yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa dan ditafsirkan. Dalam hal ini imajinasi penulis sangat diperlukan untuk merangkai fakta satu dengan yang lain sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan juga diperlukan kemahiran dalam memilih dan merangkai kalimat serta penggunaan bahasa yang baik dan benar. Peneliti juga tidak lupa memperlihatkan unsur keindahan bahasa sehingga didapatkan cerita

commit to user

tersebut dapat tersusun sebuah hasil karya penelitian yang berwujud skripsi dengan judul “Peranan Pers dalam Kongres Pemuda II tahun 1928”.

Kegiatan historiografi dalam penelitian ini dilakukan dengan memaparkan hasil interpretasi penulis terhadap sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan pada tahap heuristik dan telah diverifikasi pada tahap kritik. Dalam penulisan penelitian ini penulis berusaha memaparkan hasil penelitian yang obyektif berdasarkan data-data sumber sejarah yang telah melalui tahap heuristik, kritik, interpretasi, sehingga apa yang dituliskan merupakan data yang dapat dipertanggungjawabkan validitasnya sesuai dengan permasalahan yang dikaji. Dalam penelitian ini tempo atau waktu masalah yang dikaji adalah masa lalu, maka dalam kegiatan historiografinya penelitian ini lebih berdasarkan sumber fakta sejarah masa lalu. Fakta-fakta diungkap dan dirangkaikan oleh penulis menjadi gambaran atau sejarah mengenai bagaimana pers dapat berperan penting dalam terjadinya kongres pemuda II tahun 1928.

commit to user

PEMBAHASAN

A. Sejarah Munculnya Pers di Indonesia

Kolonialisme yang terjadi di Indonesia kebanyakan membawa pengaruh buruk bagi rakyat maupun persatuan. Namun segala sesuatu pasti ada sisi positif dan negatif. Tidak mungkin sepenuhnya hanya negatif atau keburukan saja. Kolonialisme juga memiliki segi positif. Dengan adanya politik etis yang berisi imigrasi, irigasi dan pendidikan membawa pengaruh positif, terutama pendidikan. pendidikan mendorong munculnya semangat nasionalisme dari rakyat Indonesia karena pemikiran mengenai perjuangan kemerdekaan negara lain dapat dilihat melalui membaca buku (Sudiyo, 2003: 1-15 ). Selain itu, teknologi yang dibawa bangsa Barat ke Indonesia membawa perubahan besar. Antara lain, dengan dibawanya mesin cetak dari negeri Belanda pada tahun 1717. Walaupun secara keseluruhan baru ada dua buah percetakan di Indonesia, namun dengan adanya percetakan dapat membuka jalan menuju perkembangan pers di Indonesia. Pada mulanya percetakan itu hanya digunakan untuk keperluan Kompeni (Soebagijo I.N. 1977 : 7).

C.W. Wormser di dalam catatannya “Drie en dertig jaren op java” diterbitkan oleh Ten Have, Amsterdam, negeri Belanda pada tahun 1944, menerangkan bahwa Indonesia lebih dulu menerbitkan surat kabar dari pada di negeri Belanda. Atas perintah Jan Pieterszoon Coen dan mendapat persetujuan dari Gubernur Jenderal Laurens Reaal, di Jakarta telah diterbitkan semacam surat kabar yang ditulis dengan tangan pada tahun 1615, dengan nama “Memories der Nouvelles ”. Surat kabar ini diberikan kepada orang yang berkepentingan, agar dapat mengetahui peringatan-peringatan, kejadian-kejadian, peraturan yang penting-penting yang berlaku dan terjadi dikalangan orang Belanda (Samsudjin Probohardjono, 1985: 15). Sedangkan di negeri Belanda muncul surat kabar tahun 1619 yang berisikan proses tuntutan hukuman mati Johan V.Olden Barnevelt. (Tim Departemen Penerangan, 1978: 23)

commit to user

dibawah pemerintahan Gubernur Jendral Van Inhoff yang berpandangan bebas, telah berkenan memberikan ijin atau “octrooi” kepada Jan Erdman Jordens, pedagang merangkap sekretaris kantor sekretariat Jendral pada waktu itu, untuk menerbitkan suratkabar, dengan jangka waktu selama tiga tahun. Dengan Octrooi tersebut di Jakarta terbitlah surat kabar “Bataviase Nouvelles en Politique Raisonnementen ”. Nomor pertama terbit pada tanggal 7 Agustus 1744. Akan tetapi “zeventien” atau “Dewan Tujuhbelas” yang merupakan pengurus kompeni Belanda mendapat berita tentang akibat dari penerbitan itu, lalu memutuskan pada tanggal 20 November 1745, memerintahkan melarang terbitnya surat kabar tersebut. Bunyi keputusan tersebut antara lain adalah seperti berikut: “dewijl van het drukken en uitgaven van de couranten te batavia . . . al nadelig gevolgen hier te lande heeft bespeurd, zoo zal U E D aanstonds na de ontvangst dezer het drukken en uitgeven van de couranten verbieden ”. Perintah tersebut terpaksa dipatuhi dan dijalankan, meskipun ada ijin penerbitan selama tiga tahun. Penerbitan terakhir Bataviase Nouvelles” pada tanggal 20 Juni 1746 (Samsudjin Probohardjono, 1985:14-15).

Selain surat kabar pemerintah, ada pula surat kabar swasta yang terbit di Surabaya pada bulan Maret 1836, diberi nama Surabayasche Advertentieblad, yang hanya berisi berita-berita iklan. Pada tahun 1853 berganti haluan dan berganti nama menjadi Surabayasche Nieuws en Advertentieblad. Sesuai dengan namanya disamping isi berita-berita iklan, surat kabar ini juga mementingkan berita-berita umum, meskipun masih sangat terbatas dan ada dibawah pengawasan yang ketat (Samsudjin Probohardjono, 1985: 17). Kemudian ditahun 1845 di Semarang terbit Semarangsch Advertentieblad, akan tetapi hanya bertahan satu tahun (Soebagijo I.N. 1977: 9).

Kesadaran orang-orang Tionghoa akan pentingnya pendidikan mendorong mereka untuk berusaha mendirikan sekolah-sekolah bagi kalangan etnis Tionghoa, sehingga muncul kelompok intelektual peranakan Tionghoa di Indonesia. Kelompok intelektual peranakan Tionghoa baik secara langsung maupun tidak, menumbuhkan dampak munculnya minat orang-orang Tionghoa

commit to user

minat pembaca dari kalangan etnis Tionghoa maka bermunculan penerbitan surat kabar dari kelompok peranakan Tionghoa (Soebagijo I.N. 1977: 13). Surat kabar peranakan Tionghoa muncul bersamaan dengan bangkitnya nasionalisme Tionghoa. Hal ini dikarenakan situasi Kolonialisme yang menimbulkan diskriminasi antara orang Belanda dengan orang Tionghoa, misalnya adanya aturan Passenstelsel dan Wijkenstelsel.

Etnis Tionghoa melalui aturan Passenstelsel dan Wijkenstelsel itu ternyata menciptakan konsentrasi kegiatan ekonomi orang Tionghoa di perkotaan. Ketika perekonomian dunia beralih ke sektor industri, orang-orang Tionghoa paling siap berusaha dengan spesialisasi usaha makanan-minuman, jamu, peralatan rumah tangga, bahan bangunan, pemintalan, batik, kretek dan transportasi (http://id.wikipedia.org/wiki/Tionghoa-Indonesia. diunduh 30 Januari 2011). Karena kebutuhan untuk menjual barang dagangan maka dibutuhkannya iklan. Pers Tionghoa muncul dua macam pers yaitu: pers yang mementingkan ekonomi sehingga berisikan banyak iklan dan pers yang berhaluan nasionalisme yang

berisikan kejadian penting di negeri Tiongkok serta kejadian di Hindia Belanda. Perkembangan surat-surat kabar di Indonesia dipengaruhi oleh pers Belanda dan penerbitan-penerbitan yang dimiliki orang Belanda serta Tionghoa. Tirtoadisuryo adalah pengusaha Indonesia pertama yang bergerak dibidang penerbitan dan percetakan. Dia membuat surat kabar dengan nama “Medan Priyayi” (Sartono Kartodirdjo, 1975: 301). Medan Priyayi terbit pada tahun 1907 di Betawi dengan filialnya di Bandung. Melalui Medan Priyayi, Tirtoadisuryo berhasil menggunakan Surat kabar sebagai alat pembentuk pendapat umum. Sebagai haluan surat kabar Medan Priyayi tercantum tebal dibawah judul yaitu “Organ boeat sebagi bangsa yang terperintah di HO (Hindia Olanda atau Hindia Belanda). Tempat akan memboeka swaranya anak-Hindia” (Abdurrachman. 2002: 82).

Menurut Soedarjo Tjokrosisworo, batu dasar jurnalistik modern telah diletakkan oleh Tirtoadisuryo. Tirtoadisuryo yang memulai pembaharuan dalam mengolah isi surat kabar. Surat kabar Medan Priyayi memuat karangan, berita,

commit to user

wartawan Indonesia yang pertama-tama menggunakan surat kabar sebagai alat untuk membentuk pendapat umum. (Sartono Kartodirdjo, 1975: 301)

Budi Utomo yang lahir di Jakarta tahun 1908, sangat memperhatikan pentingnya surat kabar sebagai penyambung suara organisasi. Walaupun surat kabar yang terbit bercorak lunak seperti sikap Budi Utomo; namun redakturnya selalu menulis dan memberitakan hal-hal yang penting bagi kemajuan dan kesejahteraan. Langkah yang demikian akhirnya diikuti berbagai organisasi pergerakn nasional lainnya, di antaranya Sarekat Islam, Indische Partij, Partai Komunis indonesia dan organisasi lain(Samsudjin Probohardjono, 1985:27).

Perjuangan pers di Indonesia tidaklah semudah yang dilihat. Dalam buku Pers Jawa Timur dari Masa ke Masa (Achmad Djais, 1994 : 7) dijelaskan karena penerbitan pers semakin bertambah, tahun 1856 pemerintah Hindia belanda mengeluarkan Reglement op de Drukwerken in Nederlandesch Indie yang lazim disebut Drukpers Reglement atau UU tentang percetakan dan Pers. UU itu berisi “Semua karya cetak sebelum diterbitkan, satu eksemplar harus dikirimkan dulu kepada Kepala Pemerintahan setempat, pejabat justisi dan algemeene Secretarie. Pengiriman ini harus dilakukan oleh pihak pencetakan dan penerbitan untuk mendapatkan persetujuan dari Kepala Pemerintahan setempat, pejabat justisi dan algemeene Secretarie . Kalau ketentuan ini tidak dipatuhi, karya cetak tersebut disita. Tindakan ini bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau tempat penyimpanan barang-barang percetakan tersebut”. Peraturan ini bersifat pengawasan preventif. Aturan ini pada 1906 diperbaiki menjadi bersifat represif, yang menuntut setiap penerbit mengirim karya cetak ke pemerintah sebelum dicetak. Sejak diberlakunya ketentuan liberalisasi, khususnya keputusan penguasa kolonial untuk menghapus Pra-sensor mulai tahun 1906, wartawan Indonesia memperoleh peluang untuk menerbitkan surat kabar sendiri (Tribuana Said. 1988: 24-25).

Pers pada awalnya merupakan bentukan dari pemerintah Hindia Belanda yang sangat dipengaruhi oleh kolonialisme dan terbatas dari kalangan tertentu. Namun dengan berkembangnya berbagai pengetahuan serta beberapa faktor

commit to user

sarana komunikasi yang efektif pada waktu itu, sehingga pers menjadi jalan bagi semua pihak untuk mencapai keinginannya.

B. Peran Pers Sebelum Kongres Pemuda II tahun 1928

Pers pada perkembangannya telah membuat revolusi komunikasi, antara lain mengubah pola komunikasi tradisional yang terutama oral (lisan) sifatnya menjadi tertulis sehingga menjadi lebih mantap dalam arti bahwa tidak berubah- ubah dan menjadi sumber terjaga keasliannya apabila dibaca lagi nanti. Yang lebih penting pers menciptakan sistem komunikasi terbuka, dimana informasi dapat diperoleh semua orang dari golongan sosial mana pun.

Saluran pers lebih bersifat satu arah (pers bersifat aktif sedangkan pembaca bersifat pasif atau hanya menerima berita yang dibacanya), namun pers mempunyai potensi membangkitkan kesadaran kolektif, antara lain yang berkaitan dengan kepentingan umum. Salah satu contoh adalah tulisan Suwardi Suryoningrat dalam “Gagasan Kaoem Hindia Tentang Permainan Pesta Kemerdikaan Bangsa Belanda di Djadjahannja” yaitu “Jika saya seorang Belanda saya tidak akan merayakan hari ulang tahun pembebasan tanah air di tengah- tengah rakyat yang sedang terjajah...”. Dengan adanya tulisan ini para pribumi sadar bahwa Belanda telah menginjak-injak harga diri mereka, maka timbul kesamaan nasib dari kalangan pribumi. Hal ini juga terjadi pada golongan Tionghoa maupun Indo-Belanda yang juga tertekan. (Sudiyo. 2004: 35-36)

Selain berita-berita dalam negeri, berita-berita mengenai luar negeri secara tidak langsung menambah kesadaran politik pembacanya. Misalnya dipaparkannya sistem politik dan kejadian-kejadian besar di berbagai Negeri, antara lain kemenangan Jepang atas Rusia (1905), gerakan Turki Muda di bawah Kemal Ataturk (1908) dan Revolusi Cina dibawah Sun Yat Sen (1911). Hal ini membangkitkan kecenderungan untuk membandingkan situasi politik luar negeri dengan di dalam negeri, sehingga timbul pemikiran-pemikiran dan pandangan kritis tentang terhadap lingkungan politik. Di sini fungsi pers sangat membantu tumbuhnya masa kritikal dalam masyarakat, kesadaran kolektif, dan solidaritas

commit to user

gerakan mempunyai pers sendiri yang berperan sebagai juru bicara (Sartono Kartodirdjo, 1999: 112-114).

Sejarah perkembangan pers di Indonesia tidak lepas dari sejarah politik Indonesia. Pada masa pergerakan sampai masa kemerdekaan, pers di Indonesia terbagi menjadi tiga golongan yaitu pers kolonial/ Belanda, pers Cina/ Tionghoa, dan pers nasional/ pribumi.

a. Pers Kolonial/ Belanda

Pada awalnya pers Belanda melakukan cetak karena dorongan untuk mencari keuntungan (komersiil) dan berisi berita-berita tentang Indonesia dan berita-berita Eropa. Pers Belanda memiliki tempat terbit dan penyebaran terbatas pada kota-kota besar, yang penting bagi administrasi ataupun sebagai pusat perdagangan perusahaan-perusahaan Belanda. Dapat dilihat dari tabel mengenai persebaran surat kabar Belanda di Indonesia dibawah ini: Tempat

Nama surat kabar

Tahun terbit Batavia

1. Bataviase Nouvelles

Bataviasche Courant

3. Javasche Courant

4. Bataviasche Advertentieblad

5. Nederlandsche Indishe Handelsblad

6. Java Bode

7. Biang Lala dan Bintang Barat

8. Hindia Nederland dan Bintang Djohar

1744 1811

1828 1857 1829 1853 1867 1869

Surabaya

1. Soerabaia Courant: surat kabar swasta pertama.

2. Oostpost dan Soerabaiasch Nieuws Advertentieblad.

3. Soerabaia Nieuwsbode

4. Soerat Kabar bahasa Melajoe

1937

1853

1861 1856

commit to user

5. Bintang Timor

1862 Semarang

1. Semarangsch Advertentieblad

2. De Locomotief

3. Semarangsch Courant

4. Slompret Melajoe

1845 1863 1846 1860

Solo

Bromartani

1855 Table 1.1 pers Belanda (M. Gani, 1978: 34-35 ). Surat kabar Nieuws van den Dag voor Nederlandsche-Indie terbit di Jakarta dengan redaksinya Karel Wijbrand, yang dalam kedudukannya terkenal karena kritik-kritiknya kepada pemerintah Belanda. Tampaknya Karel Wijbrand seorang radikal, tetapi sebenarnya dia seorang pendukung Kolonial (Abdurrachman. 2002: 31-32). Selain Nieuws van den Dag voor Nederlandsche- Indie muncul pula Java Bode yang merupakan surat kabar resmi, dan selalu membela kebijaksanaan pemerintah. Untuk itu, Java Bode mendapat berita-berita pemerintah secara khusus. Meski Java Bode merupakan surat kabar resmi, namun pada tahun 1864 dan 1873 tetap terkena delik pers (Tribuana Said, 1988: 16). Isi Java Bode adalah lembaran-lembaran penerangan bagi apa saja yang terjadi di kalangan pemerintah, seperti pengangkatan dan pemindahan pegawai, rencana- rencana peraturan pemerintah dan lain-lain. Oleh karena itu, pemimpin redaksinya, C.A. Kruseman menjadi sasaran kecaman Wijbrands, sebagai upaya mempertahankan surat kabarnya (Abdurrachman. 2002: 32-33).

Surat kabar yang dapat dikatakan netral dan melihat berbagai aspek kehidupan pribumi yaitu Bataviaasch Nieuwsblad. Bataviaasch Nieuwsblad dipimpin oleh F.K.H. Zaalberg, seorang Indo-Belanda yang menanjak dengan kekuatannya sendiri, dari pembantu korektor sampai menjadi pimpinan redaksi. Hal ini karena Zaalberg yang merupakan Indo-Belanda sangat pandai menulis dan terutama mencerminkan perasaan kaum Indo-Belanda yang sedang menderita kemelaratan serta kehilangan banyak kesempatan, terutama sejak mengalir banyak Belanda Totok di Indonesia(Hindia Belanda). Pada tahun 1907, Bataviaasch Nieuwsblad mempunyai redaktur yang handal yaitu E.F.E. Douwes Dekker. Douwes Dekker dan Zaalberg menyimpulkan penyebab kemelaratan kaum Indo-

commit to user

33-34). Pada tahun 1909 Douwes Dekker telah menilai mengenai pers di Indonesia yaitu pers berbahasa Melayu lebih penting daripada pers Belanda. Karena pers itu langsung dapat menarik minat pembaca-pembaca pribumi. Hal ini membuat surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad mempunyai watak dan keyakinan keras untuk tidak menjadi alat Kolonial seperti Nieuws van den Dag voor Nederlandsche-Indie dan Java Bode. (Sartono Kartodirdjo, 1975: 296)

Di Surabaya terbit Soerabaia Courant pada tahun 1837. Surat kabar ini bertahan lama dan setelah 26 tahun, Soerabaia Courant yang pada awalnya mingguan berubah menjadi surat kabar harian. Isinya terutama berita dan advertensi . Tajuk rencana menguraikan soal setempat, pertanian dan perdagangan. Kutipan berita dari surat kabar negeri Belanda, Singapura, India dan Cina (M. Gani, 1978: 35). Selain Soerabaia Courant terbit Het Soerabajaasch Handelsblad , yang didukung oleh kaum pengusaha pabrik gula Belanda di Jawa Timur. Dengan pimpinan redaksinya van Geuns, disebut sebagai orang liberalis dari aliran kuno. Van Geuns percaya bahwa satu-satunya kemajuan dan kemakmuran Hindia Belanda tergantung dari perkembangan perkebunan- perkebunan barat yang mengadakan ekspor. Soerabajaasch Handelblad merupakan reaksioner terhadap pertumbuhan pergerakan nasional (Achmad Djais, 1994: 6-7).

Pada pertengahan abad ke-19 banyak muncul surat kabar yang menggunakan bahasa daerah maupun melayu. Pada tahun 1855 di Surakarta terbit surat kabar pertama dalam bahasa Jawa dengan nama Bromartani. Surat kabar pertama yang menggunakan bahasa melayu adalah “Surat Kabar Bahasa Melajoe”, terbit di Surabaya pada tahn 1856. Dengan adanya surat kabar itu, mendorong munculnya surat kabar lainnya, diantaranya: Soerat Chabar Betawie (1858), Selompret Melajoe (Semarang, 1860), Bintang Timor (Surabaya, 1862), Djoeroe Martani (Surakarta, 1864), dan lain-lain (Tribuana Said, 1988). Bintang Timor dicetak oleh Gebr. Gimberg dan Co, Bintang Timor dipimpin oleh TCE Bouquet. Walaupun dipimpin oleh orang Belanda, surat kabar Bintang Timor berani menurunkan suara rakyat bumi putra. Pada edisi 3, seorang yang

commit to user

pemerintah karena kenaikan pajak dan keadaan rakyat miskin semakin melarat (Achmad Djais, 1994: 10-11).

Pada tahun 1845 di Semarang terbit Semarangsch Advertentieblad, akan tetapi hanya berumur satu tahun. Kemudian muncul De Locomotief pada tahun 1863 dengan penerbit Firma De Groot Kolff dan Co. Dalam waktu tujuh tahun, surat kabar ini menjadi dagblad (harian). Douwes Dekker (Multatuli) pernah mengirimkan tulisannya ke De Locomotif. De Locomotif menerbitkan surat kabar dengan lampiran-lampiran berbahasa Jawa, Tionghoa, dan melayu. Surat kabar ini bertahan lama dengan mengalami tiga zaman (kolonialisme Belanda, Jepang dan Negara Kesatuan Republik Indonesia) (Samsudjin Probohardjono, 1985: 18-19). Surat kabar ini berperan dalam mengumumkan berdirinya Budi Utomo dan mengenai persiapan-persiapan kongres pertama Budi Utomo. Di dalam De Locomotif memuat surat edaran mengenai Budi Utomo sehingga dapat dikatakan bahwa De Locomotief merupakan surat kabar yang penting pada saat itu (Sartono Kartodirdjo, 1975: 307).

Di luar Jawa juga muncul beberapa surat kabar, diantaranya Medan dan sekitarnya mempunyai korannya sendiri, Mula-mula terbit Deli Courant yang dianggap sebagai pembawa suara kaum direksi. Kemudian muncul Sumatera Post yang dianggap lebih demokratis dan lebih mementingkan masyarakat Belanda sendiri. Juga golongan Katholik, mempunyai surat kabar De Koerier, sedangkan golongan Indo-Belanda dengan surat kabar Onze Courant. Kaum Protestan yang tergabung dalam Christelijke Staatkundig Partij memiliki mingguan De Banier, Golongan Belanda yang tergabung dalam Vaderlandse Dub organnya bernama Nederlandsch Indie . Sedangkan Baars dan Sneevliet, pembawa faham komunis ke Indonesia, tahun 1920-an mempunyai Het Vrije Woord (www.stikosa-aws.ac.id, diunduh 30 januari 2011 pukul 14.00 ).

Dalam “Fikiran Rakjat” 1930 artikel yang berjudul “Pers dan Pergerakan” mengupas pers kolonial sebagai berikut: “Pers Kolonial berpihak pada Eropa dan memberikan hasutan-hasutan pada

petinggi suatu daerah maupun masyarakat yang membacanya. Pers Kolonial sering kali memberikan berita yang tidak sesuai dengan kebenaran, sehingga

commit to user

dan menganggap semua berita tersebut benar. Selain itu, kaum pergerakan selalu diserang dengan kritik-kritik yang merugikan, pers Kolonial menyatakan itu merupakan kritik yang sehat dan merupakan bagian dari kebebasan berpendapat. Sehingga pers disini digunakan untuk mempengaruhi para penguasa dan kritik-kritik yang dikeluarkan menjadi senjata pemerintah Kolonial untuk menekan pergerakan nasional.”

Surat kabar Belanda yang tumbuh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 baik langsung atau tidak, menjadi sarana pendidikan dan latihan bagi orang- orang Indonesia ikut serta di dalam kegiatan pers. Orang yang terjun dalam pers Belanda tersebut mempunyai peran yang sangat penting dalam pergerakan nasional maupun dalam pers pribumi. Mereka ini antara lain: Wahidin Soedirohoesodo, Abdul Muis, Abdul Rivai, Ki Hajar dewantara, RM Tirtoadisuryo, Marco Kartodikromo dan RM Bintarti.(Tribuana Said. 1988: 16- 17)

b. Pers Cina/ Tionghoa

Pers lokal baru bangkit awal 1900-an setelah kolonial Belanda mengizinkan kaum Tionghoa mengelola media cetak. Tionghoa di Batavia, sejak akhir abad ke-19 dan jelang abad ke-20 banyak memiliki percetakan. Ketika Tionghoa mulai menerbitkan surat kabar, orang-orang bumiputra juga mulai belajar mengelola koran. (http://indocina.wordpress.com. Diunduh 30 Januari 2011. 14.00).

Pers milik Tionghoa peranakan muncul setelah timbulnya gerakan Pan- China di Jawa akibat pengaruh propaganda nasionalisme Dr Sun Yat Sen di China daratan. Pers milik Tionghoa peranakan memakai bahasa Melayu. Sebab, mereka sudah banyak yang tak paham lagi dengan bahasa asli Tiongkok. Kebiasaan mereka juga sudah berbeda karena banyak yang menyerap dan terserap dalam budaya local pribumi (Abdurrachman. 2002: 44).

Pada awal mula berdirinya pers Tionghoa masih menggunakan redaktur dari orang Indo-Belanda, karena dianggap orang peranakan Belanda lebih mengerti dan sudah banyak mengelola tulisan dalam pers. Surat kabar Tionghoa pertama di Pulau Jawa adalah Li Po yang terbit di Sukabumi (Soebagijo I.N.

commit to user

yaitu ajaran Konghucu dan berkaitan dengan berdirinya Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) di Jakarta pada tahun 1900. Li Po tidak mengalami perkembangan. Selama enam tahun (1901-1907) terus berbentuk kecil dan dan terbit seminggu sekali. Isinya tidak ada kemajuan dan tidak terbaca berita sebagaimana terdapat pada surat kabar lain (Abdurrachman.2002: 56). Tak lama kemudian muncul sejumlah surat kabar lainnya, seperti Pewarta Soerabaia (Surabaya-1902), Warna Warta (Semarang, 1902), Kabar Perniagaan (Jakarta, 1903), Djawa Tengah (Semarang, 1909), dan Sin Po (Jakarta, 1910). (Soebagijo I.N. 1977: 13)

Pewarta Soerabaia memiliki pemimpin redaksi yang bernama HWR Kommer, mantan kontrolir Belanda. R.M. Bintarti pernah menjadi penanggung jawab redaksi di Pewarta Soerabaia. Setelah tujuh tahun terbit, surat kabar ini mengalami masalah krisis manajemen sehingga terus berganti-ganti kepengurusan. Walaupun demikian, surat kabar ini dapat terus terbit sampai kedatangan Jepang. Selain surat kabar Pewarta Soerabaia, muncul Warna Warta di Semarang (Achmad Djais, 1994: 12-13 ). Warna Warta merupakan surat kabar yang cukup berani menyerang pemerintah Hindia Belanda. Hal tersebut membuat pimpinan redaksi yaitu J.P.H. Pangemanan sering dipanggil ke pengadilan karena tulisannya (Sartono Kartodirdjo, 1975: 297-298).

Pada awalnya Kabar Perniagaan terbit berupa mingguan, baru setelah 1 Maret 1904 Kabar Perniagaan menjadi harian. Redaksinya terdiri dari seorang Indonesia dan seorang Tionghoa yang bernama F.D.J. Pangemanan dan Gow Peng Liang (Sartono Kartodirdjo, 1975: 297). Kabar Perniagaan pada tanggal 1 Maret 1904 yang pada awalnya berisi perniagaan dan Advertentie, kemudian mewartakan segala karangan yang berfaidah, kabar perang, kabar kawat dan lainnya(Abdurrachman. 2002: 56-57). Kabar Perniagaan merupakan salah satu surat kabar yang terpenting sebab pembacanya tersebar di seluruh Jawa dan menyuarakan cita-cita gerakan Cina modern (Sartono Kartodirdjo, 1975: 297).

Surat kabar Sin Po adalah majalah Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu. Diterbitkan pertamakali di Jakarta pada bulan Oktober 1910. Dua tahun berselang Sin Po berubah menjadi surat kabar harian. Surat kabar Sin Po memuat

commit to user

Wakhid, meskipun surat kabar Sin Po berhaluan ke nasionalisme Tiongkok, bukan berarti mereka mengabaikan perjuangan nasional Indonesia. Apalagi, kelompok Sin Po juga menolak kewarganegaraan Belanda. Mereka tetap menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia. (http://indocina.wordpress. com. Diunduh 30 Januari 2011. 14.00). Hubungan antara tokoh pergerakan dengan Sin Po diungkapkan oleh Yan Goan yang merupakan anggota redaksi Sin Po pada tahun 1921. Yan Goan menyadari bahwa warga Tionghoa dan warga Indonesia sama mengalami perlakuan tidak adil dan diskriminasi akibat penindasan kolonial Belanda. Dalam kapasitasnya sebagai anggota redaksi, Sin Po edisi bahasa Melayu sangat bersimpati terhadap penderitaan dan perjuangan rakyat Indonesia. Pada waktu itu anggota redaksi Sin Po banyak menerima karangan para pemimpin nasional Indonesia yang mencerminkan ketidakpuasan mereka terhadap pemerintah Kolonial Belanda (http://dennysakrie63.Wordpress. com.Diunduh 30 Januari 2011. 14.00).

Untuk mengobarkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia, Sin Po sering menurunkan tulian terjemahan tentang pergerakan kemerdakaan yang terjadi di India, Philipina, Maroko dan tempat-tempat lain. Akhirnya pembaca Sin Po yang warga Indonesia, akrab dengan nama-nama seperti Gandhi, Nehru dan Janna. Sin Po juga merupakan koran yang mendukung aspirasi para pemimpin pergerakan Indonesia dengan menyebarluaskan istilah ‘Indonesia” untuk mengganti istilah “Hindia Belanda”, dan istilah “orang Indonesia” untuk mengganti “Inlander” yang dikonstruksi kolonial Belanda. Hal ini didukung pendapat Houw bahwa “Sin Po adalah koran pertama yang tidak menggunakan kata inlander untuk menyebut orang Indonesia dan menggantinya dengan sebutan orang Indonesia.” Saat itu Belanda membagi masyarakat menjadi tiga kelas orang Eropa yang di dalamnya termasuk orang Jepang dan Thailand, orang Tionghoa dan

inlander untuk pribumi

(http://dennysakrie63.wordpress.com. Diunduh 30 Januari 2011. 14.00). Kata inlander ini juga di tolak digunakan oleh Perhimpunan Indonesia.

commit to user

Indonesia hingga bisa memberikan kesadaran dan inspirasi bagi perjuangan. Dalam beberepa periode, Sin Po banyak memakai wartawan bumiputra dan banyak memuat berita pergerakan. WR Supratman juga tercatat sebagai wartawan Sin Po . Melalui Sin Po juga lagu Indonesia Raya gubahan WR Supratman menjadi lagu kebangsaan Indonesia pertama kali dipublikasikan tahun 1925. Sementara

dengan Sin Po (http://indocina.wordpress.com. Diunduh 30 januari 2011. 14.00). The Young Republican terbit 15 oktober 1918, dengan redaktur Oeij Tjiong Yan, Tjoa Jan Hie, Tjiook Soe Tjioe dan Oeij Kiem Koei. Direktur perusahaannya Ong Ing Hwei. Mutu cetakannya cukup bagus dan berisik lebih banyak artikel mengenai pergerakan kaum muda Tionghoa (J.M. Kiveron, 1934: 17). Dengan semakin banyaknya artikel maupun berita dari luar mengenai pergerakan pemuda, secara langsung maupun tidak langsung akan memunculkan pemikiran-pemikiran dari golongan muda untuk melakukan tindakan yang sama. Sebuah berita dapat menguatkan pemikiran yang ada untuk segera dilakukan.

Pers Tionghoa dapat bertahan lebih lama jika dibandingkan dengan pers pribumi/nasional karena adanya permodalan dan dukungan dari pengusaha- pengusaha Tionghoa. Dalam sebuah surat kabar dapat terus berkembang dan menjadi besar karena jumlah pembaca yang besar dan banyaknya iklan yang dimuat. Selain itu pers Tionghoa merupakan pers netral yang berarti tidak membenarkan suatu tindakan dari kaum kolonial maupun pribumi. Semua berita yang dihadirkan sebagian besar merupakan kejadian di Tiongkok. Walaupun kadang adanya suatu kritik, namun kritik yang diambil merupakan bagian dari refleksi keadaan di sekitar. Sehingga jarang terkena pembredelan pers.

Java Herald , pada penerbitan pertama tak kurang 50 iklan yang dimuatnya. Sin Jit Po, bertahan dari tahun 1924 sampai tahun 1942 dan berisi tulisan mengenai tiongkok dan masyarakat yang cukup menonjol yang diimbangi tulisan luar negeri(60%), Sin Po yang terbit 1910 sampai 1960, dan lain-lain. Walau ada yang juga bertahan tidak lama, namun pers Tionghoa merupakan pers

commit to user

(J.M. Kiveron, 1934: 21-22). Menurut Nio Joe Lan, fungsi pers bukan sekadar memberikan informasi dan penyuluhan, tapi juga memberikan pendidikan masyarakat. Dari segi penyajian, bahasa yang dipakai pers Tionghoa peranakan adalah bahasa Melayu, sehingga secara tak langsung juga memasyarakatkan bahasa Melayu yang ketika itu sedang dikampanyekan sebagai bahasa persatuan di Indonesia melalui Sumpah Pemuda. Pers sebagai media informasi dan pendidikan perjaungan ini, paling tidak juga ikut andil dalam menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia (http://indocina.wordpress.com. Diunduh 30 januari 2011. 14.00).

Dalam buku 45 tahun sumpah pemuda, Abdurrachman Surjomihardjo menyatakan “Di Indonesia sendiri perkembangan pers berbahasa melayu dinilai sangat penting peranannya, karena pers itu dapat langsung mencapai pembaca penduduk bumi putra, golongan penduduk yang terbanyak jumlahnya disamping golongan Belanda dan Tionghoa.”(1974: 293) Pers yang berbahasa Melayu, dalam perjuangan bangsa Indonesia, amat penting karena dapat menarik pembaca dari kelompok Bumi Putra. Keberadaan pers yang berbahasa Melayu merupakan ancaman bagi pers Belanda. Oleh karena itu, dalam usaha untuk menarik pembaca, pemerintah Belanda juga menerbitkan pers berbahasa Melayu. Pers mampu memberikan sumbangan terhadap timbulnya kesadaran bangsa Indonesia.

c. Pers Pribumi

Salah satu hal mendasar yang dialami oleh para pejuang, khususnya pada masa pergerakan nasional adalah bagaimana mengkomunikasikan perjuangan pada pihak lain. Kurangnya komunikasi ini dapat memberikan dampak negatif dalam sebuah perjuangan. Komunikasi sangat bermanfaat dalam upaya mengkoordinasikan perjuangan. Salah satu sarana yang dapat dipergunakan untuk mengkomunikasikan perjuangan itu adalah melalui pers. Ketajaman “pena” pers itu dapat memberikan motivasi pada para pejuang, sebab bagaimanapun sebuah terbitan pasti memiliki “warna” dan nuansa yang subjektif. Secara umum, pers harus mampu memperjuangkan objektivitas, menjadi alat pendidikan, alat

commit to user

penggalangan opini umum (http://www.crayonpedia.org. Diunduh 2 Juni 2011 pukul 15.00).

Pergerakan nasional dan pers pribumi dapat diibaratkan sebagai kembar siam, kedua bidang kegiatan bangsa indonesia yang hidup berdampingan. Apabila pergerakan nasional dapat dipandang sebagai proses mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi dalam mewujudkan cita-cita nasional, hal ini berarti fungsi pokok pergerakan nasional ialah mensosialisaskan politik dikalangan masyarakat. Media massa dipandang dapat menyampaikan semua yang dibutuhkan organisasi, sehingga penggarapan kesadaran dapat terlaksana secara lebih efektif.

Berbagai orgaisasi yang muncul awal abad ke-20 membawa perubahan yang sangat besar bagi perkembangan pers. Dalam tahun-tahun 1913 keatas atau setelah perang dunia pertama, perkembangan pers Pribumi memang sangat hebat dan pesat. Bersama-sama dan bergandengan gerakan kebangsaan, baik yang berdasarkan agama maupun yang berazaskan kebangsaan semata, pers nasional merupakan gambaran serta cermin yang nyata dari kehidupan kebangsaan; sekaligus pers menjadi penyebar semangat nasionalisme. Ada kerjasama yang timbal balik antara kedua pihak itu, yang menguntungkan kedua belah pihak (Pers Indonesia. 1978: 18-19). Hal ini dapat dilihat dari data hubungan organisasi pergerakan nasional, yaitu:

NAMA ORGANISASI

KOTA

NAMA PERS

TAHUN BUDI UTOMO

SURAKARTA YOGYAKARTA

DARMO KONDO BOEDI OETOMO

1903 1920

SAREKAT DAGANG ISLAM

SURAKARTA

SEMARANG

SARO TAMA SINAR DJAWA

1914 1914

SAREKAT ISLAM

SURABAYA

BANDUNG SURAKARTA

MALANG

OETOESAN HINDIA

SIMPAJ SAROTOMO SRI SOERAPATI

1916 1916 1916 1910

commit to user

PALEMBANG YOGYAKARTA

MALANG

GARUT

TERAJOE TJABALAKA SOEARA KITA BALATENTARA ISLAM

1919 1920 1921 1924

INDISCHE PARTIJ

BANDUNG SEMARANG

DE EXPRES HINDIA PUTRA

1912 1920

JONG JAVA

JAKARTA SURAKARTA

JONG JAVA SISWO GOEPITO

1920 1924

Table. 1.2 Budi Utomo merupakan suatu organisasi pergerakan nasional yang

pertama didirikan tanggal 20 Mei 1908 dengan bentuk modern. Tujuan awal Boedi Oetomo adalah mencapai kemakmuran yang harmonis untuk nusa dan bangsa jawa dan madura (de harmonische ontwikkeling van land en vol van Java en Madura ). Untuk mencapai tujuannya dirumuskan beberapa usaha, yaitu: memajukan pengajaran, pertanian, peternakan, perdagangan, industri, dan menghidupkan kembali kebudayaan. Namun disini nasionalisme yang diangkat oleh Budi Utomo hanya terbatas pada wilayah Jawa dan Madura (Cahyo Budi Utomo. 1995: 49-51). Dalam perkembangannya, Budi Utomo didominasi oleh golongan ningrat atau aristokrat dan jaringan sosial yang terbentuk menjadi terbatas pada subkultur regional serta subkultur priyayi. Hal ini menimbulkan reaksi dari golongan lain, sehingga muncullah organisasi-organisasi sejenis yang semuanya merupakan manifestasi dari identitas golongan masing-masing, baik identitas subkultural etnis maupun subkultural kelas atau golongan sosialnya. Misalnya: Jong Sumatra, Jong Ambon, Jong minahasa, Sarekat Islam, Paguyuban Pasundan dan lain-lain (Sartono Kartodirdjo. 1990: 104-105).

Pada tahun 1911, H. Samanhudi mendirikan Serikat Dagang Islam (SDI) di Solo sebagai usaha koperasi untuk memajukan perdagangan pribumi sekaligus sebagai reaksi terhadap pedagang-pedagang Tionghoa yang memonopoli bahan-

commit to user

Adisuryo (pimpinan majalah Medan Priyayi), didirikan tahun 1905 di Jakarta dan 1911 di Bogor. Setelah itu Tirto Adisuryo berkeliling keseluruh pulau Jawa, terutama ke kota-kota besar. Akhirnya sampai di Solo dan membuka cabang bersama H. Samanhudi dengan semboyan “kebebasan ekonomi”, rakyat tujuannya, Islam jiwanya. Hal itu untuk kekuatan dan persatuan (Cahyo Budi Utomo. 1995:56).

Pada tahun 1912 SDI berubah menjadi Sarekat Islam (SI) karena gerakan itu tidak lagi membatasi diri hanya dalam bidang perdagangan, melainkan mencakup bidang lainnya. Pada awalnya Sarekat Islam merupakan gerakan reaktif terhadap situasi kolonial, maka gerakan itu melangkah kearah rekonstruksi kehidupan bangsa, untuk selanjutnya menentukan identitas dan akhirnya beralih ke perjuangan politik untuk menentukan nasib sendiri. Tambah pula di dalam gerakan itu agama Islam berfungsi sebagai ideologi sehingga gerakan itu lebih merupakan revivalisme, yaitu kehidupan kemali kepercayaan dengan jiwa atau semangat yang berkobar-kobar (Sartono Kartodirdjo. 1990: 107-108).

Sarekat Islam, dengan organnya Oetoesan Hindia langsung diasuh oleh Haji Oemar Said Tjokroaminoto dinilai sangat radikal, terutama tulisan-tulisan dari pembantu-pembantunya seperti Haji Agus Salim, Abdoel Moeis, Soerjopranoto, Samsi dan lain-lain, dianggap sangat berpengaruh kepada komunitasnya. Bahkan penerbitan di luar Jawa sering pula mengambil tulisan dari Oetoesan Hindia. Sayang sekali, karena sebagian pembaca Oetoesan Hindia kurang rajin membayar uang langganan, maka akhirnya surat kabar tadi terpaksa menghentikan penerbitannya (1923). Oetoesan Hindia bukan satu-satunya organ Sarekat Islam. Misalnya: di Saroetomo wartawan muda Mas Marco (Soemarko Kartodikromo) sering menulis artikel-artikel yang menyebabkan dia sering berurusan dengan pengadilan (www.stikosa-aws.ac.id. diunduh 30 januari 2011 pukul 14.00). Namun disini SI terpecah karena disusupi paham komunis.

Selain SI muncul juga Indische Partij yang didirikan oleh 3 orang tokoh yaitu Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat pada tahun 1912. Indische Partij memiliki tujuan Indie merdeka,

commit to user

organisasi ini berusaha membangunkan rasa cinta tanah air dari semua Indier dan berusaha untuk mewujudkan kerja sama yang erat untuk kemajuan tanah air dan menyiapkan kemerdekaan (Cahyo Budi Utomo. 1995: 70-71). Indische Partij, juga mempunyai penerbitannya sendiri, namun yang terkenal ialah De Expres. Pendiri sekaligus penulis dalam De Expres yaitu Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat banyak mengemukakan kritik tajam terhadap pemerintah Hindia Belanda (www.stikosa-aws.ac.id. Diunduh 30 januari 2011 pukul 14.00). Oleh karena itu, pihak pemerintah dengan cepat menangkap para pendiri Indische Partij dan dibuang ke negeri Belanda. Tulisan yang dianggap membahayakan terhadap pemerintah dan mengganggu keamanan dan ketertiban adalah tulisan R.M. Suwardi Suryoningrat (Ki Hajar Dewantara). Didalam buku yang ditulis Sudiyo dengan judul Perhimpunan Indonesia (2004 :

36) mengutip Tulisan Suwardi Suryoningrat yaitu “Jika saya seorang Belanda saya tidak akan merayakan hari ulang tahun pembebasan tanah air di tengah- tengah rakyat yang sedang terjajah...”

Dengan datangnya ketiga tokoh Indische Partij yang dibuang ke negeri Belanda mempunyai pengaruh kuat terhadap pemikiran para pelajar Indonesia di negeri Belanda (Indische Vereniging). Pemikiran untuk bergerak dalam bidang politik di kalangan Indische Vereniging diperkuat lagi oleh kedatangan suatu Panitia Ketahanan Hindia Belanda (Comite Indie Weerbaar) yang terdiri dari R.Ng. Dwidjosewoyo, Abdul Muis, dan Kolonel Rhemrev. Panitia ini mengusulkan kepada pihak pemerintah Belanda untuk memperkuat ketahanan Hindia Belanda di Waktu menghadapi perang. Namun ditolak, sehingga hal ini menimbulkan pemikiran para pelajar bahwa Belanda tidak memiliki niat untuk memberikan kesempatan orang Indonesia untuk berfikir secara luas, tetapi hanya untuk diperintah dan diatur (Sudiyo. 2004: 36-37).

Indische Vereniging berdiri tahun 1908 yang bergerak pada sosiokultural, namun secara bertahap terjadi perubahan pergerakan dari Indische Vereniging. Indische Vereeniging lalu mendirikan majalah Hindia Poetra dan melalui majalah tersebut para mahasiswa dapat menulis gagasan, ide-ide politik untuk dibaca

commit to user

Indische Vereniging diubah namanya menjadi Indonesische Vereeniging dengan tujuan dan gerakan yang sudah bersifat politis. Dalam perkembangan selanjutnya, saat diketuai oleh Dr. Sukiman nama Indonesische Vereeniging diubah namanya menjadi “Perhimpunan Indonesia” dan nama majalahnya diubah namanya menjadi “Indonesia Merdeka”. Perubahan nama tersebut dilakukan pada tahun 1925. Sedangkan tujuan Perhimpunan Indonesia dalam anggaran dasarnya dipertegas menjadi Kemerdekaan Indonesia. Untuk menunjukan identitas nasional, setiap anggota Perhimpunan Indonesia diharuskan memakai Kopiah (Peci) nasional. (Sudiyo, 2004: 45).

Majalah Indonesia Merdeka secara sembunyi-sembunyi dikirim ke Indonesia. Majalah ini dapat sampai pada para tokoh pergerakan nasional karena jasa dari para pegawai pos bangsa Indonesia yang bertugas menyortir surat dan kiriman dari negeri Belanda. Karena para pegawai pos tersebut banyak menaruh simpati kepada pergerakan pemuda/pelajar Indonesia dan kaum pergerakan nasional. Apabila ada majalah Indonesia Merdeka atau surat-surat lain yang dianggap rahasia, maka dengan cepat para pegawai pos mengambil dengan diam- diam dimasukan ke dalam bajunya untuk diserahkan kepada pemuda/pelajar dan tokoh-tokoh pergerakan nasional di Indonesia (Sudiyo. 2004: 54).

Pada tahun 1925, Soegondo Djojopoespito menumpang di rumah pegawai pos di gang Rijksman jalan Segara. Dari seorang Klerk yang bekerja mensortir surat-surat, Soegondo mendapatkan majalah Indonesia Merdeka. Dengan membaca majalah tersebut hati Soegondo semakin terbuka dan semakin tahu apa arti persatuan. Indonesia Merdeka ternyata sangat mempengaruhi Soegondo terutama ketertarikan terhadap pergerakan bangsanya. Oleh karena itu, dia sering datang kerumah Haji Agus Salim untuk berdiskusi dan belajar politik. Di samping itu dia juga berdiskusi dengan kawan-kawannya dan Soegondo meneruskan majalah Indonesia Merdeka kepada teman-temannya (Sri Sutjiatiningsih. 1999: 21-23).

Ali Sastroamidjojo yang turut aktif mengisi majalah Indonesia Merdeka juga mendapat tugas untuk menyebar luaskan majalah itu ke Indonesia, terutama

commit to user

secara sembunyi-sembunyi dengan cara meyobek halaman-halaman majalah Indonesia Merdeka dan ditempelkan di halaman majalah-majalah Belanda seperti: Haagsche Post, De Groene Amsterdammer , dan lain sebagainya, karena majalah- majalah Belanda tersebut masuk ke Indonesia tanpa adanya kontrol oleh polisi kolonial Belanda (Sudiyo. 2004: 64 - 121).

Di Indonesia sendiri suratkabar berkembang pada tahun 1920-an. Tercatat ada 400 penerbit dalam berbagai corak dan tersebar diseluruh Indonesia pada awal tahyn 1920. Diantaranya: kota Bandung terbit Sora Mardika (1920) dan Sipatahoenan (1923), Samarinda terbit Perasaan kita (1928), Pontianak terbit Warta Borneo, dan lain-lain. Pers Indonesia sudah berani memuat mengenai persatuan dan rasa nasionalisme walaupun masih secara tersirat. Hal ini terutama ketika ada peraturan yang merugikan maupun bentuk-bentuk penindasan pemerintah kolonial. Hal ini terpengaruh dari besarnya langganan majalah Indonesia Merdeka di Hindia Belanda yang mencapai 280 orang, dengan perincian; Aceh (3), Sumatra Utara (18), Sumatra Barat (37), Riau (1), Bengkulu (2), Sumatra Selatan (3), Jakarta/Batavia (45), Jawa Barat (29), Jawa Tengah (68), Jawa Timur (21), Kalimantan (7) dan Sulawesi (2) (Abdurrachman. 2002: 82). Yang terpenting majalah tersebut sampai pada anggota-anggota PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) yang mengambil inisiatif untuk mengadakan Kongres Pemuda II (Sudiyo. 2004: 54).

Dalam tulisan Hamka dengan karya Mukhtar Luthfi dan ilyas Ya Cub (Seruan Azhar dan pilihan Timur) dalam buku Bunga Rampai Sumpah Pemuda 50 tahun (1978: 106-107): Pada Tahun 1926, dua tahun sebelum Sumpah Pemuda, dari kalangan mahasiswa Islam Indonesia di Kairo, mesir, mengeluarkan sebuah surat kabar Bernama “Seruan Azhar” yang mengemudikan majalah itu adalah Mukhtar Luthfi dan Ilyas Ya’qub. Dan harus diingat pula bahwa yang menjadi tata Usaha ialah H. Taufiqurrahman Kafrawi, seorang pemuda berasal dari Jawa Timur. Simpulan dari Isi majalah Seruan Azhar ialah membangkitkan semangat di Tanah Airnya sendiri agar berjuang untuk kemerdekaan. Yang dimaksud dengan Tanah Air yaitu Indonesia dan Semenanjung (Malaysia). Umur Mukhtar Luthfi

commit to user

kemerdekaan di Mesir telah memberikan Inspirasi kepada kedua pemuda itu buat menyampaikan cita-cita kemerdekaan dalam Tanah airnya sendiri (Indonesia). Dan oleh karena Sumpah pemuda belum ada, mereka meyakinkan bahwa Indonesia ialah Tanah Air kita. Namun Kita sendiri adalah bangsa Melayu Minangkabau, dan tulisan yang menonjol pada waktu itu ialah huruf Jawi atau huruf Melayu yang di Jawa biasa disebut Huruf Pegon (Hamka, 1978: 107).

Dalam Fikiran Rakjat 1930 artikel yang berjudul Pers dan Pergerakan mengupas pers pribumi sebagai berikut: “Pada tiap perjuangan kemerdekaan serta meninggikan derajat bangsa dan

tanah air, untuk memperbaiki nasibnya adalah pers yang menjadi pembantu terbesar. Dalam sebuah negara yang tidak merdeka, surat kabar menjadi pembantu atau senjata dari kaum pergerakan, karena bisa menyebarkan atau mempropagandakan cita-cita dan kemauan dari kaum pergerakan nasional kepada rakyat. Dengan surat kabar dapat mengeluarkan buah pikiran dan kemauannya, bisa menentukan apa yang dikehendakinya dan menyampaikan segala isi hati keberbagai pelosok serta sudut negeri.”

Surat kabar yang berkembang pada awal abad ke-20 membawa aliran- aliran menurut golongan maupun organisasi yang dibawanya. Ada lairan nasionalis, agamis dan sosialis. Sehingga secara langsung akan membawa pengaruh pada isi surat kabar mengarah pada aliran-aliran organisasi. Menurut Jakob Oetomo dalam buku berjudul “Perspektif Pers Indonesia” (1987: 151-152), ada beberapa hal yang menonjol, yaitu:

1. Pers mempunyai komitmen kuat pada idealism, baik yang nasional maupun yang aliran.

2. Pers Indonesia pertama-tama berfungsi sebagai sarana perjuangan, maka; aspek komersial dari pers Indonesia kurang diperhatikan, bahkan uumnya lemah.

3. Pluralism aliran politik yang dominan menjadi satu penghambat tumbuhnya Koran independen yang bersirkulasi luas.

commit to user

Dengan melihat dari berbagai sudut fungsinya, maka peran pers dalam Kongres Pemuda II dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Pusat Informasi

Pada tahun 1926 banyak kaum nasionalis maupun pergerakan nasional yang ditangkap oleh polisi kolonial Belanda secara membabi buta akibat kegagalan pemberontakan PKI (Sudiyo. 2004: 125). Hal ini berakibat sulit berkembangnya organisasi pergerakan nasional di Indonesia. Adanya kevacuum- an pergerakan nasional membuat para pemuda berani tampil mengisi kekosongan tersebut (Sudiyo. 2003: 5). Pers yang melihat perkembangan organisasi kepemudaan menganggap pentingnya meliput berbagai kegiatan organisasi kepemudaan (Momon Abdul Rahman. 2007: 18).

Pers melihat gedung Kramat 106 sebagai pusat kegiatan diskusi bagi para pelajar. Hal ini karena gedung Kramat 106 selain menjadi tempat tinggal, juga menjadi tempat pertemuan-pertemuan yang berbau politik. Pada mulanya gedung Kramat 106 merupakan tempat bagi organisasi Jong Java, namun pada perkembangannya, banyak dipakai oleh golongan mahasiswa nasional lain dan organisasi kepanduan. Golongan mahasiswa nasional ini terdiri dari berbagai suku dan berbagai macam perguruan tinggi, dengan adanya diskusi dan pertemuan- pertemuan sehingga mulai pudarlah sifat kedaerahan dari para pemuda (Mardanas Safwan. 1996: 22-23). Seringnya terjadi pertemuan dari berbagai golongan mahasiswa maka pada permulaan tahun 1928 gedung Kramat 106 merupakan tempat pertemuan pemuda nasional (Sudiyo. 2004: 134).

Berbagai kegiatan yang dilakukan para pemuda tidak lepas dari sorotan surat kabar. W.R. Soepratman yang juga tertarik dalam aktivitas pergerakan nasional mengikuti berbagai pertemuan pemuda terutama di gedung Kenari dan Gedung Kramat 106. Pertemuan yang diadakan oleh para pemuda merupakan awal terbentuknya gagasan Kongres Pemuda II yang diikuti oleh berbagai organisasi kepemudaan. Kegiatan pergerakan ini merupakan kegiatan utama yang diliput W.R. Soepratman untuk surat kabar Sin Po (Momon Abdul Rahman. 2007: 18).

commit to user

persiapan Kongres Pemuda II. PPPI yang menjadi penggagas Kongres pemuda II menganggap penting peran surat kabar. Majalah “Indonesia Raya” dijadikan alat bagi PPPI untuk menyebarkan paham persatuan dan menjadi pusat informasi bagi para pemuda (Sudiyo. 2004: 121). Hal ini terutama dalam persiapan Kongres Pemuda II, Soegondo yang menjadi ketua kongres sekaligus menjadi ketua PPPI pasti menjadi pusat informasi yang utama dan akurat bagi majalah Indonesia Raya. Persiapan yang dilakukan PPPI yaitu persiapan-persiapan secara tehnis dan persiapan-persiapan secara ideologis yang dilakukan sebelum Kongres Pemuda II (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah. 1974: 60).

Persiapan tehnis yang dilakukan meliputi membuat susunan acara dan kepanitiaan. PPPI mengumumkan susunan acara kongres ke dalam surat kabar Persatuan Indonesia (Pengurus Kongres, 1928), sebagai berikut:

Rapat pertama (27 Oktober 1928, malam minggu. 7.30- 11.30 di gedung K. Jongelengen Bond, Waterlooplein ).

1. Membuka kerapatan oleh Tn. Soegondo.

2. Menerima salam dan menyukai kerapatan.

3. Dari hal persatuan dan kebangsaan Indonesia, oleh Muh Yamin. Rapat kedua (28 Oktober 1928, hari minggu. 8-12 Oost Java Bioscop, Koningsplein Noord ). Membicarakan perkara pendidikan oleh:

Mej. Poernamawoelan t.S. Mangoensarkoro t. Djokosarwono t. Kjai Adjar Dewantoro

Rapat ketiga (28 Oktober 1928, malam Senen 5.30-7.30 di gedung Indonesia Clubhuis Kramat 106)

1. Arak-arakan Pandu (Padvinderij)

2. Dari hal pergerakan Pandu oleh T. Ramelan

commit to user

luaran oleh t.W. Soenarjo.

4. Mengambil kepoetoesan.

5. Menoetoep kerapatan

Ajakan untuk menghadiri rapat yang akan diadakan pada tanggal 27 dan 28 oktober 1928 di cetak dengan tebal dan memberikan tekanan untuk mengikuti kongres. Dengan adanya maklumat ini kami (Pengurus) berharap supaya semua orang dapat membantu kerapatan ini, karena kami yang bertandatangan dibawah ini percaya kerapatan akan membawa kebaikan dan banyak manfaat bagi tanah air kita dan bangsa Indonesia.

Pengurus:

Ketua

: Soegondo Djojopuspito (PPPI)

Wakit Ketua

: R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)

Sekretaris : Muhammad Yamin (Jong Sumatranen Bond) Bendahara

: Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond) Pembantu I

: Djohan Mohammad Tjaja (Jong Islamieten Bond) Pembantu II

: R. Katja Soengkana (Pemuda Indonesia) Pembantu III

: R. C. L. Senduk (Jong Celebes)

Pembantu IV

: Johannes Leimena (Jong Ambon)

Pembantu V : Rochjani Soe’oed (Pemuda Kaum Betawi) Susunan acara dan panitia di atas disertai dengan ajakan yang mengarah pada undangan secara terbuka (menyeluruh). Dengan adanya undangan yang menyeluruh sehingga terbukalah Kongres Pemuda II untuk umum. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya peserta Kongres Pemuda II, baik dari wakil pemuda maupun golongan tua. Dari golongan tua yang hadir diantaranya dari PNI, PSI, Budi Utomo, Pasundan, Kaum Betawi, Timorsch Verbond dan lain-lain (Persatuan Indonesia. 1928). Golongan tua banyak membantu, baik pada persiapan, jalannya kongres, maupun penyebaran hasil kongres. Pers dapat dikatakan berhasil menyebarluaskan informasi mengenai acara Kongres Pemuda II.

Surat kabar merupakan hal penting yang dapat menjadi sumber informasi dan bertanya bagi masyarakat sehingga acara kongres menjadi jelas. Berbagai

commit to user

ini memiliki tujuan untuk mempersatukan seluruh organisasi kedalam pemikiran nasionalisme. Pertemuan-pertemuan serta perbincangan antar pengurus organisasi yang sering dilakukan di berbagai gedung pertemuan terutama Gedung Kramat 106 mendapatkan sorotan dari kalangan pers. Dengan adanya informasi tentang persiapan Kongres Pemuda II memudahkan tercapainya tujuan kongres yaitu:

1. Membentuk satu wadah organisasi kepemudaan, yang bersifat nasional dengan berasaskan persatuan Indonesia.

2. Menghilangkan segala perbedaan, yang menjadi hambatan terbentuknya persatuan Indonesia. (Sudiyo. 2003: 78)

b. Mempengaruhi Opini

Pers dapat memusatkah perhatian khalayak dengan pesan-pesan yang ditulisnya. Dalam masyarakat modern, gambaran kita tentang lingkungan yang jauh diperoleh dari pers dan media massa lainnya. Berbagai tulisan mengenai keadaan pribumi yang menderita karena penjajahan menimbulkan pemikiran- pemikiran kaum intelektual maupun kalangan pemuda. Selain itu, ideology yang berada dibelakang pers sangat berpengaruh dalam isi surat kabar.

Pada awalnya pers mempengaruhi penggunaan bahasa melayu sebagai bahasa yang sering digunakan dibandingkan bahasa Belanda. Hal ini sangat penting dalam mempengaruhi pemikiran pemuda, terutama dalam kongres Pemuda II, sebab pada awal mulanya ada beberapa pertentangan antar pemuda. Ada tiga pilihan dalam Kongres Pemuda I yaitu bahasa Jawa, bahasa Belanda, dan bahasa Melayu. Terdapat banyak penyanggahan terutama bahasa Belanda karena dianggap sebagai bahasa Kolonial. Bahasa Jawa juga banyak mendapat protes sebab memiliki tingkatan-tingkatan dan jarang digunakan oleh masyarakat di luar Jawa. Bahasa Melayu juga jarang digunakan, namun dengan berkembangnya pers berbahasa Melayu maka bahasa Melayu digunakan sebagai inti Bahasa Indonesia dengan berbagai penyesuaian. Di antaranya menambahkan kosa kata dari bahasa Jawa maupun bahasa Belanda. Selain itu juga memberikan imbuan dan merubah susunan katanya (Sartono Kartodirdjo, 1975: 288).

commit to user

sikap perjuangan non-koperasi mulai dihimpun oleh tokoh muda, yaitu Ir. Soekarno. Nama organisasi pemuda pelajar pimpinan Soekarno bernama Algemeene Studie Club . Organisasi ini pada awalnya memang tidak bergerak pada bidang politik, namun Ir. Soekarno memasukkan ide-ide tentang Nasionalisme kepada para pelajar. Banyak buku mengenai wawasan kebangsaan yang diperkenalkan, antara lain buku karya H.O.S Cokroaminoto tentang Islam dan Sosialisme, buku Renan yang berjudul “Qu’est ce cu’une Nation” (Apa bangsa itu?). (Sartono Kartodirdjo, 1975: 214). Soekarno sendiri aktif dalam menulis artikel-artikel kebangsaan, diantaranya pada tahun 1926 di Suluh Indonesia Muda yang berjudul “Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme”. Soekarno menulis suatu artikel mengenai perlunya persatuan antara semua golongan untuk memperjuangkan Indonesia Merdeka sebagai lawan dari pemerintah Hindia Belanda. Dengan persatuan ketiga pergerakan rakyat yang bersifat Nasionalistis, Islamistis dan Marxistis akan membawa kita kearah Indonesia Merdeka. (Moh. Sidky Daeng Materu, 1985: 31-32)

Dua organisasi kepemudaan yang memiliki inisiatif menyelenggaraan Kongres Pemuda II yaitu PPPI (Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia) dan Pemuda Indonesia. PPPI merupakan gabungan dari organisasi pemuda kedaerahan, namun menjelang terselenggaranya Kongres Pemuda II sifat kedaerahan mulai dilepaskan, sehingga memperlancar jalannya sidang. Sebenarnya PPPI dan Pemuda Indonesia memiliki hubungan dengan organisasi lain yang lebih dekat dan mempengaruhi arah pemikiran kedua organisasi kepemudaan ini. PPPI mengarah pada Perhimpunan Indonesia, sedangkan Pemuda Indonesia lebih dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) ( Sudiyo, 2003: 80).

Perhimpunan Indonesia aktif berjuang dan mempelopori perjuangan kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia dengan berjiwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Kegiatan pergerakan Perhimpunan Indonesia yaitu Nasional-demokratis, non-kooperasi dan meninggalkan sikap kerjasama dengan kaum penjajah. Melalui majalah “Indonesia Merdeka” Perhimpunan Indonesia

commit to user

Merdeka yang revolusioner anti Belanda mendapat larang dari pemerintah Hindia Belanda, namun secara illegal (diselundupkan) masuk ke Indonesia (Sudiyo, 2004: 64-121). Majalah yang membawa pesanan cita-cita dan teori-teori Perhimpunan Indonesia (PI) ini berpengaruhi terhadap pikiran-pikiran dan gagasan-gagasan politik pemuda-pemuda yang bergabung dalam Perhimpunan Pelajar-Pelajar Indonesia (Tim Museum Sumpah Pemuda, 1974: 257). Karena PPPI sering mendapatkan kiriman majalah Indonesia Merdeka. Dengan demikian, apa yang dilakukan Perhimpunan Indonesia diluar negeri dapat diketahui semua oleh PPPI (Sudiyo, 2003: 80).

Pemuda Indonesia yang lebih dekat dengan Partai Nasional Indonesia (PNI) daripada PPPI sehingga berpengaruh pada pemikiran mengenai persatuan dan kesatuan dari PNI. PNI sendiri secara langsung terpengaruh terhadap pemikiran Perhimpunan Indonesia, sebab ada lima dari delapan orang yang merupakan pengambil inisiatif untuk mendirikan PNI. Selain itu asas PNI secara tegas, yaitu:

1. Menolong diri sendiri (self-help)

2. Non-cooperatie

3. Marheinisme. (Moh. Sidky Daeng Materu, 1985: 32) PPPI melalui majalah Indonesia Raya yang di pimpin redaksi Abu Hanifah berusaha menyebarkan pemikiran persatuan yang diperoleh melalui majalah Indonesia Merdeka. Majalah Indonesia Merdeka berisikan artikel-artikel dan statement-statement tentang perjuangan Perhimpunan Indonesia di Belanda. PPPI menunjukkan persatuan dan kesatuan sehingga sifat-sifat kedaerahan mulai dilepaskan. Berbagai majalah yang beredar di Indonesia mulai banyak yang menyinggung mengenai persatuan walau hanya tersirat ( Sudiyo. 2004 : 120-123).

Jong Sumatra juga terpengaruh majalah Indonesia Merdeka, hal ini disebabkan Moh. Hatta yang menjadi bagian dari Jong Sumatra juga menjadi bagian dari Perhimpunan Indonesia. Moh Hatta merupakan ketua Perhimpunan Indonesia pada tahun 1926 – 1930 dan pernah menjadi bendahara Perhimpunan Indonesia. Hal ini berpengaruh pada pemikiran Jong Sumatra yang juga diikuti

commit to user

mengirimkan wakilnya untuk menjadi bagian dalam pengurus kongres (Moh. Yamin) (Sudiyo, 2004: 42-70).

Pengaruh persatuan dan perjuangan bangsa juga dirasakan oleh W.R. Supratman. W.R. Supratman adalah penggubah lagu Indonesia Raya yang diperdengarkan dalam Kongres Pemuda II merupakan seorang komponis dan wartawan. Ketika bekerja di Firma Hukum (Makasar) Mr. Schulten, Supratman sering mendapat bacaan dari berbagai Koran yang sebagian dari Koran tersebut dikelola oleh kalangan pergerakan. Dia juga mendengarkan ceramah dari Sneevliet yang membuatnya menjadi nasionalis yang pantang mundur (Momon Abdul Rahman. 2007: 12-13).

Pada saat bekerja sebagai wartawan, banyak sekali tulisan yang dibaca oleh Supratman, diantaranya berita luar negeri, yaitu “republik Cina harus menjadi negara yang merdeka dalam arti yang seluas-luasnya. Bukan hanya merdeka dalam nama, sedangkan dalam kenyataan tidak mempuyai wewenang untuk mengatur keadaan dalam negeri sendiri” (Soebagijo I.N, 1985: 29). Sedangkan berita dari dalam negeri, pada majalah Timboel yang terbit di Soloyang berisi “Manakah komponis Indonesia membangkitkan semangat rakyat?”. Membaca tulisan itu W.R. Soepratman tergerak, tulisan itu seakan ditujukan kepada dirinya (Momon Abdul Rahman. 2007: 34). Melalui Koran yang dibaca, Supratman sedikit demi sedikit mulai mengenal pergolakan dunia dan tentang pergerakan kebangsaan ( Soebagijo I.N, 1985: 29).

Berbagai surat kabar maupun majalah yang diterbitkan oleh orang Belanda, Tionghoa dan pribumi membawa pengaruh yang sangat besar dalam mengerucutkan pemikiran-pemikiran kearah nasionalisme. Selain itu dapat mengobarkan semangat dari individu maupun organisasi yang berperan serta dalam Kongres Pemuda II. Pers yang membawa ideologi organisasi akan berpengaruh pada konsep pemikiran individu yang membaca. PPPI menyebarkan ideologi nasionalis supaya adanya kesamaan tujuan dalam organisasi kepemudaan maupun nasional yaitu Indonesia Merdeka.

commit to user

Di dalam Kongres Pemuda II tahun 1928 banyak kalangan pers (wartawan atau penulis pers) yang menjadi perwakilan organisasi pemuda, tetapi yang sering disebutkan yaitu Saerun (Keng Po) dan W.R Supratman (Sin Po) karena mereka secara resmi mewakili kalangan pers. Banyaknya kalangan pers yang datang dikarenakan pergerakan nasional berkembang bersamaan dengan pers. Apabila kita kaji mengenai pers dan pergerakan nasional memang sesuatu yang tak bisa dipisahkan. Hampir semua ketua pergerakan nasional merupakan wartawan atau penulis dalam setiap surat kabar maupun majalah yang dikeluarkan oleh organisasi yang dipimpinnya, antara lain De Expres yaitu Ernest Douwes Dekker, Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Indische Partij), Moh Hatta (Perhimpunan Indonesia) menulis di majalah Indonesia Merdeka, Oetoesan Hindia yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto (SI), Moh Yamin dengan majalah Jong Sumatra dan lain sebagainya. Ada banyak yang hadir namun kurang berperan dalam pelaksanaan kongres, antara lain, Saerurn yang hanya memberikan sambutan yang berisi harapan supaya persatuan dapat kekal dan hidup dihati setiap orang Indonesia. Namun disini hanya ada dua orang yang memang mewakili pers dan berperan aktif dalam Kongres Pemuda II yaitu W.R. Supratman (Sin Po) dan S.M. Kartosoewirjo merupakan wakil Hoofdbestuur P.S.I. dan pers Fadjar Asia (Fadjar Asia,1928).

a) S.M Kartosuwirjo. Pada hari pertama, setelah pidato Yamin selesai, hadirin dipersilahkan untuk memberikan tanggapan. S.M. Kartosoewirjo mengeluarkan tanggapan mengenai kedudukan bahasa asing sebagai bahasa pergaulan internasional, Kartosoewirjo sampai pada kesimpulan bahwa bahasa Indonesia harus menjadi penghubung dalam persatuan Pemuda. Pergerakan nasional harus diserahkan kepada perkumpulan yang berdasarkan nasional (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2005: 22).

Dalam tanggapan Kartosuwiryo dapat diambil kesimpulan bahwa adanya suatu harapan supaya bahasa Indonesia dapat menjadi suatu bahasa nasional yang dapat digunakan oleh semua orang dalam organisasi pemuda pada khususnya dan

commit to user

yang terjadi antara suku maupun daerah untuk menjaga persatuan. Hal ini mungkin mengarah pada kesulitan yang dialami pada kongres Pemuda I, dimana bahasa menjadi salah satu penghambat adanya keputusan yang bulat mengenai persatuan. Selain itu adanya pergerakan nasional harus berdasarkan nasional dan tidak lagi mengarah pada sifat-sifat kedaerahan. (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2005: 15).

Pada rapat kedua dimulai dengan pembicara Mej. Poernomowoelan yang berbicara tentang pendidikan (Museum Sumpah Pemuda. 2005: 24). Pidato Poernomowoelan banyak menekankan tentang pendidikan Indonesia yang masih harus diperbaiki dan mempunyai sistem sendiri. Pidato Poernomowoelan tersebut masih menggunakan bahasa Belanda, dan diterjemahkan oleh Moh. Yamin ke dalam bahasa nasional (Sudiyo. 2004: 152). Setelah pidato selesai, Soegondo menanyakan kalau ada yang mau berpendapat. Ada lima pendapat yaitu dari: inoe, Sigit, Emma Poeradiredja, Antapermana dan karosuwirjo. Kartosuwirjo meminta ijin untuk menanggapi. Namun sebelumnya Kartosuwirjo menanyakan kepada pemimpin kongres, “apakah dia harus berbicara atas nama wakil Hoofdbestuur P.S.I. atau atas nama sendiri?”. Pemimpin kongres tidak keberatan kalau menggunakan namanya sendiri. Kartosuwirjo mula-mula menerangkan bahwa beberapa pembicara masih mencari-cari dan meraba-raba. Apakah disini tidak ada atau belum ada peraturan pendidikan yang tetap? Dengan terus terang Kartosuwiryo berkata” yang dimaksudnya adalah pendidikan secara Islam. Baik secara rohani maupun dalam perihal jasmani (Fadjar Asia. 3 November 1928).

Kartosuwirjo sebenarnya ingin menyimpulkan berbagai pendapat dari Sigit dan menyanggah pendapat Antapermana Sigit menyarankan adanya lima hal pendidikan melalui aturan kebangsaan, yaitu Interaksi, banyak membaca, organisasi Pemuda, sekolah berastrama dan keharmonisan kekeluargaan. Serta kesalahan pendidikan Indonesia adalah adanya anggapan bahwa derajat perempuan dibawah laki-laki. Sedangkan Antapermana berbicara tentang kawin paksa, kawin dibawah umur dan poligami. (Tim Museum Sumpah Pemuda. 2005: 15). Dari pendapat Sigit dan Antapermana, maka Kartosuwirjo menjelaskan

commit to user

waktu itu. Pendidikan yang menggunakan sistem pondok dan ada aturan-aturan yang mengatur mengenai perkawinan. Sehingga mematahkan pendapat kedua orang tersebut.

Pada rapat ketiga, Kartosuwirjo juga mengecam tindakan PID(Polietike Inlichtigen Dienst ) yang berusaha menghentikan rapat karena dianggap membahayakan. PID merupakan polisi atau penegak hukum yang dibentuk Belanda untuk mengawasi segala bentuk usaha menggangu ketertiban umum atau hendak merobohkan maupun menghancurkan kekuasaan yang sah, baik yang ada di negeri Belanda maupun yang ada di Hindia Belanda, secara langsung ataupun tidak langsung. Hampir hadir di setiap rapat yang diadakan oleh pergerakan nasional(Sudiyo. 2003: 64). Dengan penjelasan dan tanggapan dari peserta maupun ketua rapat maka rapat dapat dilanjutkan.

b) W. R. Supratman Setelah pidato pada rapat ketiga selesai, rapat ditunda untuk istirahat. W.R Supratman datang pada Soegondo dengan permintaan “apakah bila rapat sudah dibuka kembali dia dapat memperdengarkan karangannya, yang dinamakan “Indonesia Raya?”. Syair lagu sebelumnya telah diedarkannya dibeberapa kalangan, antara lain para pandu yang telah berusaha mempelajari bersama kata- katanya (Achmad Hamami, 1973: 195). Karena dalam syair Indonesia Raya terdapat banyak kata “Indonesia” dan Soegondo menyatakan bahwa Soepratman boleh memperdengarkan lagunya tetapi jangan menyanyikan Syairnya (Tim Yayasan Gedung-Gedung Bersejarah, 1974: 68).

Sebelum putusan kongres dibacakan Soegondo meminta perhatian para hadirin tentang lagu yang akan diperdengarkan Soepratman. Soepratman segera memperdengarkan lagu Indonesia Raya dengan biolanya. Dr. Raden Soeharto dalam karya Panca Dasa Warsa Sumpah Pemuda di buku Bunga Rampai Soempah Pemoeda 50th (1978: 134) mengatakan:

“Kenang-kenangan dari Indonesische Club (IC) yang mengesankan bagi saya diantaranya ialah ketika menjelang maghrib tanggal 20 Oktober 1928

commit to user

Biola yang sudah agak butut, langsung saja ke emper belakang dan dengan semangat mendengarkan lagu yang sama berulang-ulang kali dan kadang- kadang menyanyikan dengan suara yang agak parau dan baru kemudian saya mengetahui bahwa orang itu adalah W.R. Soepratman dan lagu yang berulang-ulang diperdengarkan adalah Indonesia Raya. Saya menyaksikan betapa hebat lagu itu disambut oleh Kongres, dan Soepratman dengan senyum-senyum dan mata berkaca-kaca menerima ucapan selamat dan pelukan para hadirin. Petugas-petugas PID (Politieke Inlichtingen Dienst) yang juga hadir dan biasanya sangat mengganggu rapat-rapat pemuda dengan tegoran-tegorannya, tampak diam, mungkin karena tidak dapat menangkap dengan cepat maknanya, mungkin juga karena ikut terharu.”

Hanya dengan irama biola dan tanpa dinyanyikan syairnya, namun sebagian besar orang yang berada pada kongres sebenarnya sudah mengetahui syair lagu Indonesia Raya sebelumnya. Demikian lagu ”Indonesia Raya” diperdengarkan dalam Kongres Pemuda II tanggal 28 oktober 1928.

d. Menyebarluaskan Isi Kongres Pemuda II

Saerun yang merupakan wartawan dari Keng Po bertugas dalam mencatat hasil dari Kongres Pemuda II. Hal ini terbukti melalui banyaknya berita yang berisi pidato dari Soegondo Djoyopuspito yang diterbitkan 29 Oktober 1928 halaman 2. Dengan isi pokok mengenai perjalanan sejarah bangsa Indonesia, sejak Budi Utomo dan diuraikan kilas balik sejarah keberhasilan Belanda menguasai Indonesia. Kunci pokok keberhasilan Belanda yaitu:

1. Politik divide et impera, pada masa itu bangsa Indonesia dapat dipecah-pecah, diadu domba satu sama lain. Sehingga mudah ditundukkan.

2. Menanamkn rasa perhambatan atau rasa derajat rendah kepada Indonesia.

3. Membuat bumi putera tetap bodoh. Jadi politik dan taktik Belanda yang buruk inilah yang harus dihadapi dan dikalahkan oleh pemuda- pemuda serta bangsa Indonesia.

Banyak dari pers yang mengutip pidato dari Kongres Pemuda II, antara lain majalah Persatuan Indonesia dan Fadjar Asia juga. Dalam majalah Persatuan Indonesia seluruh jalannnya kongres di jelaskan secara rinci namun ada juga

commit to user

penting Kongres Pemuda II. Persatuan Indonesia berisi penjelasan bahwa Kongres Pemuda II berbeda dengan Kongres Pemuda I, perbedaannya yaitu:

1. Kongres Tabrani (Kongres pemuda I) ialah didirikan atas nama suatu komite yang tidak berhubungan sama sekali dengan perhimpunan- perhimpunan pemuda, sedangkan kerapatan yang belakangan (Kongres Pemuda II) terdiri dari wakil-wakil perhimpunan- perhimpunan pemuda.

2. Kongres yang pertama hanya bermaksud untuk menyiarkan (propaganda) perasaan persatuan Indonesia, sedangkan kerapatan yang kedua bermaksud untuk penguatan perasaan persatuan dan kebangsaan, yang dimasa ini telah hidup di dalam hati tiap-tiap pemuda Indonesia.

Perselisihan antara PID (Politieke Inlichtingen Dienst) yang terjadi dalam Kongres Pemuda II tidak luput dari pemberitaan. PID melarang penggunaan kata Merdeka dan hamper saja menggagalkan acara kongres pemuda II. Selain itu berbagai perkataan yang berbau politik dilarang oleh PID sebab pemuda dilarang untuk berbicara masalah politik, apabila mengandung politik maka anak yang berumur dibawah 18 tahun tidak boleh mengikuti acara kongres. Mr Sartono menjelaskan masalah politik yang telah mempelajari ilmu hukum baik Indonesia maupun Belanda kepada PID (Persatuan Indonesia. 1928).

Surat kabar Fadjar Asia lebih lengkap dan lima hari mengupas isi kongres, mulai dari tanggal 30 Oktober, 31 Oktober, 2 November sampai tanggal 3 November dan 5 November 1928. Pada tanggal 30 Oktober berisikan sambutan dari Mr. Sartono(PNI dan PPPKI), Abdulrahman (Budi Utomo), Mr. Sunaryo (PAPI dan INPO), Inoe (PNI), Dr. Amir (DI), Saerun (Keng Po dan pers Indonesia lainnya), SM kartosuwiryo (Hoofdbestuur PSI dan pers Fadjar Asia), Sigit (IC), Muhidin (Pasundan), dan Manonutu (Perserikatan Minahasa).

Pada tanggal 31 Oktober berisi pidato dari Moh. Yamin. Moh. Yamin berbicara mengenai sejarah Indonesia mulai dari kerajaan Majapahit sampai dengan kejadian sekarang. Kemudian menghubungkan dengan persatuan dan

commit to user

bahasa Indonesia (yang dulu disebut bahasa Melayu) yang dalam kalangan pribumi dianggap remeh. Padahal bahasa merupakn sesuatu yang sangat penting. Setelah pidato selesai beberapa orang menanggapi pidato Moh. Yamin (Fadjar Asia. 1928).

Pada tanggal 2 November berisikan jalannya kongres pada hari kedua yang bertempat di gedung Oost Java Bioscop, Koningsplein Noord dan menyebutkan kalangan pers yang hadir yaitu Fadjar Asia, Bintang Timoer, Keng Po, Het Licht, Sin Po , dan lain-lain. Pada tanggal 3 November dan 5 November 1928 berisi jalannya kongres pada hari ke 3 (Fadjar Asia. 1928)..

Kongres ditutup dengan terlebih dulu di umumkan hasil perumusan berdasarkan pokok-pokok pikiran yang berkembang dalam kongres. Soegondo dengan suara dengan suara keras membaca usul resolusi yang intinya (Persatoean Indonesia. 1928).:

Pertama: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang

satu, tanah Indonesia. Kedoea: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu,

bangsa Indonesia. Ketiga : Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan,

bahasa Indonesia. Sebelum disahkan oleh kongres, ketua rapat mempersilahkan Yamin untuk memberikan penjelasan. Setelah penjelasan dari Moh Yamin maka disahkan resolusi itu sebagai keputusan kongres. Selanjutnya keputusan tentang kesatuan tanah air, bangsa, dan bahasa itu dilambangkan pula dengan:

1. Lambang Warna, yang berupa pengibaran bendera Merah Putih.

2. Lambang Suara, dengan melagukan lagu Indonesia Raya.

3. Lambang Lukisan, berupa lencana Garuda Terbang (Sri Sutjiatiningsih. 1999: 31).

Resolusi Kongres Pemuda II tersebut berbeda dengan apa yang sering di perdengarkan sekarang, yaitu pada resolusi ketiga yang pada awalnya “Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia” berubah

commit to user

Walau hanya berbeda beberapa kata, namun efek yang ditimbulkan sangat besar, yaitu mulai lunturnya bahasa daerah. Padahal yang dimaksudkan pada Kongres Pemuda II bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan masih menjaga bahasa daerah sebagai bahasa asli. Sehingga persatuan tetap terbentuk melalui bahasa persatuan yang sama.

Pemberitaan–pemberitaan yang luas dan banyak tidak lepas dari kesadaran Soegondo (Ketua Kongres Pemuda II) bahwa pers merupakan sarana terbaik dalam menyebarkan hasil kongres maupun jalannya Kongres Pemuda II. Sehingga Soegondo memberikan segala bahan pembicaraan serta keputusan yang diambil oleh panitia kepada Soepratman. Kemudian Soepratman mengolahnya menjadi berita untuk seterusnya disiarkan dalam surat kabar. Dalam kenyataannya pers memang tidak sedikit membantu menyebarluaskan keputusan-keputusan yang diambil dalam kongres (Soebagio I.N. 1985: 46-47).

Suatu yang mengesankan bahwa ada pengharapan yang ditulis pada akhir putusan Kongres Pemuda II yang tertulis: “Supaya putusan dalam Kongres Pemuda II disiarkan dalam segala surat kabar dan dibacakan dimuka rapat perkumpulan-perkumpulan kita” (S.M. Kartosuwirdjo: 1928). Jadi dalam tiap rapat adanya proses memupuk rasa persatuan. Persatuan merupakan suatu hal yang paling penting dalam sebuah negara baik yang merdeka maupun yang belum merdeka.

Berita mengenai Sumpah pemuda tidak hanya diterima oleh orang yang berada di Indonesia. Moh Hatta yang sedang berada di Belanda menyatakan:

“Kami baca dalam surat kabar Belanda, bahwa di Jakarta telah terjadi sumpah Pemuda yang mengaku mereka dari satu bangsa, bangsa Indonesia, dari satu tanah air, tanah air Indonesia, mempunyai satu bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Dalam surat kabar Belanda tentu tidak sesuai benar teks ucapan itu. Baru kira-kira sebulan sesudah itu bunyi teksnya tepat kami baca dalam surat- surat kabar Indonesia.”(Sudiyo. 2004: 130)

Lagu “Indonesia Raya” gubahan W.R. Supratman juga dimuat dalam surat kabar Sin Po pada bulan November. Pada surat kabar Sin Po pada bulan November 1928 jelas terlihat nama lagu Indonesia Raya pada awalnya berjudul

commit to user

INDONESIA Indonesia tanah airku, Tanah tumpah darahku, Disanalah aku berdiri, Menjaga pandu ibuku,

Indonesia kebangsaanku, kebangsaan tanah air ku, marilah kita berseru, Indonesia bersatu,

Hiduplah tanahku, Hiduplah negeriku, Bangsaku, jiwaku semuanya,

Bangunlah rakyatnya, Bangunlah badannya, Untuk Indonesia raya,

Indones, Indones, mulia, mulia, Tanahku negeriku yang ku cinta, Indones, Indones, mulia, mulia, Hiduplah Indonesia raya. (yang ke 2 dalam Sin Po, 1928)

Dalam lagu Indonesia Raya terjadi beberapa perubahan beberapa kali sampai terciptalah bentuk yang sempurna untuk dijadikan lagu kebangsaan.

Lagu Indonesia Raya yang dicetak dalam surat kabar Sin Po semakin bertambah luas penyebarannya. Melihat perhatian yang besar, maka Sin Po sengaja mencetaknya banyak-banyak. Orang-orang berebut membelinya, sehingga dalam waktu singkat lagu Indonesia Raya habis terjual. Pembelinya bukan hanya orang Batavia, tetapi juga dari daerah lain. Juga dari luar Jawa pesanan pun berdatangan (Soebagijo I.N, 1985: 57).

Peran pers terutama pers Nasional dan pers peranakan Tionghoa yang secara terus menerus memberikan pengaruh dan pendidikan mengenai nasionalisme dalam setiap terbitan. Selain itu, ikut sertanya dalam kongres pemuda membuktikan peran penting pers dalam Kongres Pemuda II. Dalam kenyataannya pers memang tidak sedikit membantu menyebarluaskan keputusan- keputusan yang diambil dalam kongres (Soebagio I.N. 1985: 46-47).

commit to user

Pemuda di Jakarta tahun 1928 yang mencetuskan ikrar satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa persatuan yang tebih dikenal dengan sebutan “Sumpah Pemuda” (Tribuana Said. 1988: 24). Dengan Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 itu, ide kesukuan dan ide kepulauan itu hilang lenyap laksana embun kena sinar matahari (Wawan Tunggul Alam. 2001: 109). Sumpah itu mencerminkan tekad persatuan kebangsaan bukan hanya kaum muda namun juga kaum tua (G. Moedjanto. 1989: 57).

commit to user

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang penulis kemukakan diatas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut :

1. Penerbitan suratkabar cetak di Indonesia baru muncul tahun 1744, dibawah pemerintahan Gubernur Jendral Van Inhoff yang berpandangan bebas, telah berkenan memberikan ijin atau “octrooi” kepada Jan Erdman Jordens, untuk menerbitkan suratkabar. Dengan Octrooi tersebut di Jakarta terbitlah surat kabar “Bataviase Nouvelles en Politique Raisonnementen”. Pers tionghoa muncul akhir abad ke 19, yang didahului lahirlah kalangan intelektual peranakan Tionghoa di Indonesia. Rasa nasionalisme Tionghoa yang timbul akibat kolonialisme. Sejak lahirnya Budi Utomo di Jakarta tahun 1908, organisasi ini memperhatikan pentingnya penerbitan dan surat kabar sebagai penyambung suara organisasi. Perjuangan pers di Indonesia tidaklah semudah yang dilihat, tahun 1856 pemerintah Hindia belanda mengeluarkan Reglement op de Drukwerken in Nederlandesch Indie yang lazim disebut Drukpers Reglement atau UU tentang percetakan dan Pers. Aturan ini pada 1906 diperbaiki menjadi bersifat represif, yang menuntut setiap penerbit mengirim karya cetak ke pemerintah sebelum dicetak. Sejak diberlakunya ketentuan liberalisasi, khususnya keputusan penguasa kolonial untuk menghapus Pra-sensor mulai tahun 1906, wartawan Indonesia memperoleh peluang untuk menerbitkan surat kabar sendiri.

2. Pers di Indonesia terbagi menjadi tiga golongan yaitu Pers Kolonial/ Belanda, Pers Cina/ Tionghoa, dan Pers Nasional/ Pribumi. 1) Pers Kolonial, menutup mata bagi keadaan dalam masyarakat Indonesia, bahkan untuk mengetahui apa yang terdapat dalam pers Indonesia saja dirasa tidak perlu, kecuali Bataviaash Nieuwsblad dan Locomotief. Surat kabar Nieuws van den Dag voor Nederlandsche-Indie di Jakarta dengan redaksinya Karel Wijbrand, yang dalam kedudukannya terkenal karena kritik-kritiknya

commit to user

muncul pula Java Bode yang merupakan surat kabar resmi, dan selalu membela kebijaksanaan pemerintah. Bataviaasch Nieuwsblad, memiliki pimpinan redaksi bernama F.K.H. Zaalberg, seorang Indo-Belanda yang dapat menanjak dengan kekuatannya sendiri dari pembantu korektor sampai menjadi pimpinan redaksi. Bataviaasch Nieuwsblad berbeda dengan Nieuws van den Dag voor Nederlandsche-Indie dan Java Bode. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad mempunyai watak dan keyakinan keras untuk tidak menjadi alat Kolonial seperti Nieuws van den Dag voor Nederlandsche- Indie dan Java Bode. Pers Cina/ Tionghoa, pers Tionghoa dikenal juga sebagai pers Melayu di Indonesia. Sin Po adalah majalah Tionghoa yang menggunakan bahasa Melayu. Untuk mengobarkan semangat nasionalisme rakyat Indonesia, Sin Po sering menurunkan tulisan terjemahan tentang pergerakan kemerdakaan yang terjadi di India, Philipina, Maroko dan tempat-tempat lain. Pers Pribumi, Pergerakan nasional dan pers pribumi dapat diibaratkan sebagai kembar siam, kedua bidang kegiatan bangsa indonesia yang hidup berdampingan. Apabila pergerakan nasional dapat dipandang sebagai proses mobilisasi rakyat untuk berpartisipasi dalam mewujudkan cita-cita nasional, hal ini berarti fungsi pokok pergerakan nasional ialah mensosialisaskan politik dikalangan masyarakat. Media massa dipandang dapat menyampaikan semua yang dibutuhkan organisasi, sehingga penggarapan kesadaran dapat terlaksana secara lebih efektif.

3. Dengan melihat dari berbagai sudut fungsinya, maka peran pers dalam Kongres Pemuda II ada 4, yaitu: Pusat informasi, Kongres Pemuda II mengumumkan hasil rapat kepada seluruh pemuda untuk ikut serta dalam Kongres Pemuda II dan menjadi pusat informasi yang utama. Dengan adanya undangan yang menyeluruh sehingga terbukalah Kongres Pemuda II untuk umum. Mempengaruhi opini, Perhimpunan Indonesia aktif berjuang dan mempelopori perjuangan kemerdekaan untuk seluruh rakyat Indonesia dengan berjiwa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Membantu pelaksanaan Kongres Pemuda II melalui wakil-wakilnya, ada dua orang

commit to user

yaitu W.R. Supratman (Sin Po) dan S.M. Kartosoewirjo merupakan wakil Hoofdbestuur P.S.I. dan pers Fadjar Asia. Menyebarluaskan isi Kongres Pemuda II, dengan peran pers terutama Pers Nasional dan Pers peranakan Tionghoa yang secara terus menerus memberikan pengaruh dan pendidikan mengenai nasionalisme dalam setiap terbitan. Selain itu, ikut sertanya dalam kongres. Hal ini membuktikan peran penting pers dalam Kongres Pemuda II.

B. Implikasi

1. Teoritis

Secara teoritis pers memiliki peran sebagai alat pembaharu sosial dan pembaharu masyarakat, serta memiliki fungsi informasi, mempengaruhi, mendidik, swadaya, dan ekonomi. Namun dalam Kongres Pemuda II fungsipers yang paling menonjol yaitu fungsi informasi dan mempengaruhi. Hal ini dapat terlihat dari pers sebagai pusat informasi, mempengaruhi opini dan menyebarluaskan hasil kongres. Selain berhubungan dengan fungsi pers,Kongres Pemuda II juga berhubungan dengan masing-masing individu atau bagian dari pers yang membantu jalannya kongres. Seorang wartawan tidak hanya melakukan tugas jurnalistik namun juga melakukan tugas individu sebagai bagian dari bangsa Indonesia. Rasa nasionalisme yang besar membuatnya menjalankan tugas jurnalistik dan membantu jalannya Kongres Pemuda II.

2. Praktis

Perkembangan pers di Indonesia turut memberian sumbangan yang besar bagi perjuangan mencapai kemerdekaan. Selain itu pers memperjuangkan kebebasannya agar terbebas dari tekanan-tekanan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pers juga menjadi jalan menuju nasionalisme yang luas yaitu dalam Kongres Pemuda II yang dapat dikatakan sebagai tonggak awal perkembangan persatuan nasional. Hal ini dapat menjadi contoh bagi masyarakat Indonesia bahwa persatuan nasional tidak mudah dicapai dan melalui proses yang

commit to user

pendidikan dan memberikan informaasi penting bagi masyarakat.

3. Metodologis

Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah metode historis. Pemilihan metode ini berdasarkan pada kegiatan pemecahan masalah dengan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang akan dikaji, untuk memahami kejadian pada masa lalu. Kemudian menguji dan menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis. Dari sumber sejarah tersebut dijadikan suatu rangkaian cerita sejarah yang objektif, menarik, dan dapat dipercaya. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik studi pustaka dengan mengadakan riset di perpustakaan terhadap sumber-sumber seperti arsip atau dokumen, buku, dan majalah.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah dalam pencarian sumber-sumber koran atau dokumen tertulis. Sumber surat kabar, majalah serta buku-buku yang memuat tentang peran pers tahun 1900-1928 sangat jarang dan banyak yang hilang. Oleh karena itu sumber primer, sekunder dan tersier yang ditemukan tidak bisa secara lengkap dan menyeluruh.

C. Saran

1. Bagi Pemerintah

Pemerintah harus berperan serta untuk menjaga dan menumbuhkan jiwa nasionalisme di dalam dirinya maupun didalam masyarakat seperti yang dilakukan oleh pers pribumi, terutama menanamkannya pada penerus bangsa melalui bidang pendidikan. Para pejabat harus meneladani sikap para wartawan yang membawa nama surat kabar dan menjadi bagian dari sebuah bangsa. Pejabat selain menjadi bagian dari partai (kelompok) harus bisa juga menjadi bagian dari Negara yang menjunjung tinggi jiwa nasionalisme sehingga seluruh lembaga yang ada pada pemerintah dapat berjalan dengan baik seperti apa yang diharapkan para pendahulu kita.

commit to user

Bagi para guru sejarah, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kesejarahan mengenai peranan pers dalam Kongres Pemuda II tahun 1928. Selain itu, dalam perkembangan pendidikan sejarah belum banyak materi yang membahas mengenai peranan pers dalam Kongres Pemuda II tahun 1928, kebanyakan yang di tuangkan hanya organisasi nasional dan Kongres Pemuda II, namun tidak menampilkan pers sebagai alat pergerakan nasional. Materi dari hasil penelitian ini juga dapat disisipkan pada materi IPS maupun pelajaran sejarah pada jenjang pendidikan Sekolah Dasar kelas 5 serta Sekolah Menengah Pertama kelas VIII semester genap pada kompetensi dasar Pergerakan Nasional Indonesia.

3. Bagi Mahasiswa

Bagi mahasiswa sejarah, hendaknya penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk menambah pemahaman mengenai Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, terutama mengenai peranan pers dalam Kongres Pemuda II tahun 1928. Hal ini dikarenakan kurangnya materi yang diajarkan dalam perkuliahan terutama yang membahas mengenai pers. Dengan adanya penelitian ini, diharapkan para mahasiswa akan meneliti mengenai pers untuk lebih memperdalam materi yang terdapat didalamnya. Pers sangat berperan dalam munculnya semangat nasionalisme dan persatuan di Indonesia. Pers juga menjadi bagian penting dalam berbagai bidang. Terutama mendukung perjuangan pergerakan Nasional indonesia. Dengan adanya penelitian ini dapat diambil pelajarannya bahwa sebuah perjuangan yang keras pasti akan menghasilkan sesuatu yang berharga.